Vee
“Sudah punya topik untuk tesismu?”
Itu kalimat pertama yang keluar dari mulut Professor Rodriguez. Tanpa sapaan, tanpa basa-basi. Langsung ke pokok pembicaraan. Selamat datang di Ashenwood University? Tidak. Aku bahkan belum tahu di mana kamar mandinya.
Sejujurnya, satu-satunya alasan aku pindah ke universitas ini adalah untuk bertemu dengan satu orang, Thomas Hunt. Sutradara legendaris di balik The Last Duchess. Jenius. Idolaku. Film itu bukan hanya bagus, tapi mengubah cara pandangku terhadap hidup. Di situlah ia juga bertemu dengan istrinya, Elara Hunt, sang aktris terkenal.
“Sesungguhnya, saya belum benar-benar memikirkannya, Prof,” jawabku jujur.
Rodriguez menatapku tajam dari balik kacamatanya. Sebagai pembimbing akademik, dia orang yang akan memantau perjalanan akademisku selama setahun ke depan. “Baiklah, tapi kau harus mulai memikirkannya dengan serius. Ini tahun terakhirmu. Pertimbangkan baik-baik. Kau juga bisa mengambil proyek besar sebagai pengganti tesis.”
Kata-kata terakhirnya membuatku menoleh. “Proyek besar?”
Rodriguez mengangguk, menulis sesuatu di buku catatannya.
“Baiklah, akan saya pertimbangkan. Mungkin…” aku ragu sejenak, lalu akhirnya mengaku, “Saya ingin melakukan studi terhadap film Thomas Hunt, The Last Duchess. Film itu yang membuat saya pindah ke Ashenwood dan meninggalkan jurusan Bisnis.”
Rodriguez tidak tampak terkejut. “Jadi kau salah satu pengagum Thomas Hunt, ya? Banyak mahasiswa yang mendaftar ke sini karena namanya.”
“Saya sudah menonton hampir semua karyanya. Tapi The Last Duchess—” aku tersenyum kecil, “—film itu bukan hanya indah, tapi penuh jiwa. Saya ingin jadi sutradara yang bisa menciptakan sesuatu sebermakna itu.”
Rodriguez memeriksa berkas di tangannya, lalu tersenyum tipis. “Yakin tidak menyesal meninggalkan bisnis untuk film?”
Aku terkekeh pelan. “Saya rasa saya senang membuat keputusan impulsif, Prof.”
Pertemuan itu berlangsung sekitar tiga puluh menit, sebelum akhirnya ia menutup mapku dan berkata, “Kau akan bertemu Tyler Hill. Dia asisten Professor Hunt dan akan mengajar semua kelasnya tahun ini. Jangan lupa hadir di Introduction to Film Study jam tiga sore. Kalian bisa berdiskusi soal proyek atau topik tugas akhirmu.”
Tyler Hill.
Asisten dari idolaku sendiri. Rasanya seperti mengenalnya selangkah lebih dekat.
Aku mengangguk, lalu keluar dari ruangan dengan dada penuh semangat.
\~\~\~
Aku benar-benar berantakan. Baru saja tiba di Ashenwood jam 7 pagi tadi, hanya sanggup drop barang-barang di asrama, lalu bertemu Rodriguez. Sekarang sudah pukul 10:50—sepuluh menit sebelum kelas pertama dimulai, History of Cinema di ruang 4-02. Panik menyelimutiku saat berlari menuju lift, menghindari kerumunan mahasiswa di lorong. Beberapa menit ku menunggu, namun liftnya belum terbuka juga, aku menghentakkan kakiku tidak sabaran, lalu memutuskan untuk berbalik arah, menaiki tangga darurat.
Tapi langkahku terhenti oleh sesuatu yang keras.
Atau… seseorang.
Aku menabrak tubuh tinggi itu hingga terjatuh. Rambutku berantakan, tas masih menggantung di bahu. Pria itu berdiri diam, lalu mengulurkan tangan. Aku buru-buru menerima ulurannya, hanya sempat berucap “Thanks,” sebelum kembali berlari menuruni tangga.
Sesampainya di kelas, aku terlambat lima menit, napas tersengal, rambut acak-acakan. Sungguh hari yang luar biasa… buruk.
Hari pertamaku di Ashenwood ternyata benar-benar tanpa ampun: History of Cinema jam sebelas, Screenwriting jam satu, dan terakhir Introduction to Film Studies jam tiga.
Begitu duduk di kelas terakhir, tubuhku menolak kompromi. Kepalaku berat, mataku memanas. Hanya sebentar, pikirku. Sekejap saja menutup mata.
Tiba-tiba ada yang menyentuh tanganku. Pelan, tapi cukup lama hingga aku terlonjak bangun.
“Hey!” seruku refleks.
Ruang kelas langsung hening. Puluhan pasang mata menatapku.
“Maaf mengganggu tidur siangmu, tuan putri,” ucap seseorang dengan suara dalam dan sedikit sarkastik.
Aku menoleh, dan jantungku berhenti berdetak.
Pria tinggi dengan rambut man bun. Tatapan tajam, dingin, menusuk.
Astaga. Aku tertidur di hari pertamaku.
“Duduklah, kalau kau masih ingin lulus kelas ini. Atau tinggalkan ruangan, aku tidak peduli,” katanya datar.
Wajahku panas. Aku menunduk cepat. “Maaf, Pak.”
Aku kembali duduk, mencoba fokus pada materi. Tapi sulit. Rasa kantuk, kelelahan, dan rasa malu bercampur jadi satu. Hingga aku sadar… wajah itu. Suara itu.
Pria di depan kelas.
Orang yang tadi kutabrak di depan lift.
Oh, Tuhan.
“Ms.?” suaranya menegur lagi, tajam. “Ada pertanyaan?”
Aku tergagap. “Tidak, Pak.”
“Kalau begitu duduk dengan tegak dan perhatikan materi. Atau saya akan memintamu keluar, dan jangan harap bisa kembali.”
Tenggorokanku kering. “Maaf, Pak. Saya janji tidak akan terjadi lagi.”
Ia hanya berkata, “Good,” lalu melanjutkan mengajar seolah tidak terjadi apa-apa.
Yang bisa kulakukan hanyalah menatap buku catatan di depanku, berusaha menelan rasa malu.
Hari pertama kuliah, dan semuanya sudah kacau.
Perfect first day, Vee. Just perfect.
\~\~\~
Tyler
Aku baru saja kembali dari kediaman Thomas, Ketika sampai di Ashenwood untuk mengajar Introduction to Film Studies.
Kelas ini seharusnya diajar oleh Thomas Hunt sendiri, tapi karena kesehatannya memburuk, pria tua itu jadi lebih sentimental, dan memaksa untuk berhenti mengajar sejenak, lalu siapa lagi yang terpaksa menggantikannya, jika bukan aku.
Tyler Hill—murid kesayangan Thomas Hunt, yang baru saja menyelesaikan master degree beberapa bulan lalu, setidaknya itu yang orang lain pikirkan.
Tapi Thomas selalu berkata, “Tidak perlu dengarkan orang lain, selain dirimu sendiri.” Kata-kata itu yang melekat padaku. Biarkan saja orang berkata apa, aku tidak peduli.
Universitas kecil ini bisa berdiri dari reputasi dan nama besar Thomas Hunt. Bahkan saat kesehatannya mulai memburuk, mereka belum bisa melepasnya. Thomas lah akhirnya yang memutuskan aku yang menggantikannya semester ini, supaya beliau bisa focus pada pengobatan, dan keluarganya.
Pikiranku teralihkan pada kejadian pagi tadi, seorang gadis menabrakku di depan lift hingga terjatuh.
“Aw.”
Aku mengulurkan tangan, yang diraihnya dengan cepat, dan berkata, “Thanks,” sebelum berlari menyusuri lorong
Benar-benar berantakan
Sudah jelas, dia terlambat masuk kelasnya. Aku menghembuskan nafas, dan masuk ke lift yang terbuka.
Sepanjang hari, aku sibuk mengedit script Thomas yang belum selesai. Tak terasa, waktu menunjukkan jam 2:50, aku bersiap menghadiri kelas pertamaku, sebagai dosen pengganti.
Begitu memasuki ruangan, beberapa murid sudah bersiap duduk. Aku mulai mempersiapkan materi, memeriksa kembali catatan, mencoba menguatkan diri.
Hari pertama seharusnya tidak begitu sulit, kan?
“Selamat siang. Sebelum kita mulai kelas hari ini, ijinkan saya memperkenalkan diri terlebih dahulu. Tyler Hill. Saya akan mengajar seluruh kelas Professor Hunt tahun ini, selama beliau absen. Walaupun saya hanya pengganti, bukan berarti kalian bisa sesuka hati kalian. Saya menghabiskan 7 tahun mempelajari film dibawah bimbingan langsung Professor Hunt. Jadi kalau kalian pikir bisa seenaknya, silahkan meninggalkan ruangan ini, dan jangan berpikir bisa kembali. Baiklah sekarang kita mulai—"
Kemudian aku melihatnya.
Seorang gadis menarik perhatianku, sedang tertidur lelap dengan menyilangkan tangannya di meja, rambut hitamnya menutupi wajahnya.
Beraninya dia tertidur di kelasku.
Aku berjalan menghampiri gadis itu yang berada di tengah ruangan
Entah kenapa, pemandangan ini sangat…indah
Aku menyentuh tangannya perlahan, mencoba membangunkannya.
Dia terbagun, lalu berdiri dengan canggungnya.
Dan saat itulah aku melihatnya dengan lebih jelas.
Hazel eyes, rambutnya berantakan, terlihat jelas kelelahan di matanya. Wajahnya memerah karena malu. Tapi entah kenapa, jantungku berdegup kencang
Aku tidak bisa memperlihatkannya. Ada puluhan pasang mata yang sedang memperhatikan.
Namun ada sesuatu tentang dirinya.
Cara ia menunduk malu-malu, cara suaranya terdengar seolah seluruh beban dunia menekan pundaknya. Justru ketidaksempurnaan itulah yang menarikku.
Aku ingin tahu siapa dia.
Mengapa ia tampak begitu lelah di hari pertamanya.
Dan mengapa satu tatapan darinya saja sudah cukup mengguncang dinding yang kupikir telah kukokohkan.
Aku mempertahankan ekspresi tegas. Tak boleh ada kelemahan. Ini kelas pertamaku, aku harus terlihat tegas. Tapi jauh di dalam hati, aku tahu sesuatu telah berubah sejak mata kami bertemu.
Ia kembali duduk, menggumamkan permintaan maaf. Aku melanjutkan mengajar, berusaha sekuat mungkin untuk tidak menatapnya lagi.
Matanya berbahaya.
Lima belas menit berlalu tanpa masalah. Lalu tiba-tiba, aku merasakan tatapannya. Ia menatap lurus padaku, mata terbuka lebar, seolah baru menyadari sesuatu.
Dan aku pun menyadarinya.
Gadis di kelasku adalah gadis yang menabrakku tadi di dekat lift.
Aku membeku. Dunia seakan menyusut, menyisakan hanya tatapan terkejutnya yang terkunci pada mataku.
Apakah ini kebetulan yang terlalu rapi untuk dipercaya?
Ataukah takdir sudah mulai memainkan perannya?
Aku mengepalkan rahang, berpura-pura fokus pada materi kuliah. Tapi di dalam, hatiku sudah lebih dulu mengkhianatiku.
Aku belum tahu namanya.
Tapi satu hal pasti
ini bukanlah pertemuan terakhir kami.
\~\~\~
Vee
“Victoria Sinclair.” Suara bariton Profesor Hill terdengar rendah namun tegas saat kelas berakhir, menggema di ruangan kosong ini. Tatapan tajamnya membuat perutku menegang oleh gugup.
“Ya, Pak. Maaf kalau saya mengganggu kelas Anda hari ini. Saya baru tiba di Ashenwood pagi ini dan… jadwalnya cukup padat. Saya belum sempat beristirahat.” Aku berusaha tersenyum, meski wajahku terasa panas.
Dan seolah tubuhku ingin mempermalukanku lebih jauh, perutku tiba-tiba berbunyi keras. Pipiku langsung memerah. Profesor Hill menghela napas pelan, matanya menatapku sedikit lebih lama dari yang seharusnya.
“Kapan terakhir kali kamu makan?” Suaranya datar, tapi samar-samar terdengar nada khawatir di baliknya.
Aku berpikir sejenak. “Entahlah… mungkin tadi malam, sebelum penerbangan.”
Tanpa berkata apa-apa lagi, ia mengambil jaketnya dan melangkah menuju pintu. Tubuhnya yang tinggi dan langkahnya yang teratur terdengar mantap. Aku hanya berdiri diam, terpaku.
“Sekarang sudah pukul enam sore,” katanya akhirnya, suaranya dalam. “Kamu merantau disini, dan seharian belum makan.” Ia menoleh ke arahku, tatapannya tajam namun hangat. “Ikut aku. Setidaknya, kamu harus makanan.”
Tenggorokanku terasa kering. Benarkah ini Profesor Hill yang tadi begitu dingin dan menakutkan? Bukankah dia seharusnya sudah muak dengan mahasiswa pindahan yang menyebalkan sepertiku?
Namun kemudian, perutku berbunyi lagi—lebih keras kali ini. Tubuhku kembali mengkhianatiku.
“Ayo,” katanya singkat.
Aku menunduk, berusaha menyembunyikan malu, dan cepat-cepat mengikutinya. “Baik, Pak.”
\~\~\~
Tyler
Apa yang kau lakukan, Tyler? Dia mahasiswi, dan kau dosennya. Walaupun sebenarnya hanya pengganti, karena Thomas lah seharusnya yang mengajar. Tapi tetap saja, saat ini dia masih menjadi mahasiswi mu. Dan kau malah membawanya ke Laura’s Kitchen
Satu-satunya tempat di Ashenwood dimana aku terbiasa menikmati makan malam yang sunyi. My comfort place. Apa yang ku pikirkan?
“Terima kasih sudah mengajak saya kesini, Pak”
Dia duduk di depanku. Wajahnya masih terlihat jejak lelah dari perjalanannya, rambutnya diikat, namun ikatannya mengendur, membuat beberapa helai rambutnya jatuh di bahunya. Namun, matanya masih memancarkan cahaya—that hazel eyes—bersinar terang dibalik kelelahannya.
“Pesan apapun yang kamu inginkan,” Aku berkata dengan nada datar. “Tapi jangan berlebihan, hanya yang sanggup kau habiskan saja. Tidak baik membuang makanan”
Matanya langsung berbinar dan membaca menu dengan seksama, membolak balik menu dengan semangat. Aku berusaha mengalihkan pandangan dengan melihat menu, menu yang sama yang sudah ku lihat berkali-kali. Namun malam ini, terasa berbeda.
Dari balik konter, Laura menatapku dengan senyum nakal, matanya menyipit penuh godaan. Ia mendekat ke meja kami, suaranya ceria.
“Selamat malam. Sudah memutuskan mau pesan apa?”
“Tagliatelle al Ragù untukku,” Aku menjawab cepat, “Dan Carbonara untuknya.”
Dia mengerutkan dahi, mengangkat sebelah alisnya.
“Bukankah Anda bilang tadi saya boleh pesan apapun? Kenapa malah memesan untuk saya?”
Aku menatapnya sekilas, menahan senyum. “Kau kelihatannya masih ragu, jadi ku pesankan untukmu. Jika tidak suka, boleh ganti pesan apapun yang kau inginkan”
Dia menghembuskan nafas, lalu menatap menu. “Baiklah, tapi aku ingin tambah Caprese Salad, Garlic Bread, dan… dessert apa yang paling enak disini, Pak?”
“Tiramisu. 1 porsi saja” Aku menjawab tegas. “Kau tidak akan sanggup menghabiskannya sendirian.”
“Baiklah.”
Ada kilatan kemenangan di matanya, seperti habis memenangkan sesuatu.
Laura menuliskan pesanan, bibirnya menahan tawa. “Baiklah saya ulangi pesanannya, Tagliatelle al Ragù, Carbonara, Caprese Salad, Garlic Bread, dan satu porsi Tiramisu untuk sharing. Minumnya?”
“Sparkling water saja.”
“Baiklah, tunggu sebentar yaa.” Dia berbalik, namun sempat berkedip nakal ke arahku.
Tentu saja. Bagi Laura, ini pasti terlihat seperti… kencan.
\~\~\~
Vee
Sepuluh menit berlalu sejak pelayan mengambil pesanan kami, dan tak satu pun dari kami berbicara. Profesor Hill tenggelam dalam bukunya, kacamatanya sedikit melorot di hidung. Sementara aku sibuk berpura-pura tertarik pada segala hal di restoran—lantai kayu gelap, lampu gantung, bahkan garam di meja seketika terlihat sangat menarik. Apapun untuk mengalihkan perhatianku dari keheningan ini.
Akhirnya aku tak tahan lagi. Aku harus bicara.
“Professor Hill, apakah—”
“Tyler.” Suaranya memotong, tegas, tanpa menatapku.
Aku tertegun.
“Usia kita tidak terpaut jauh. Lagipula, saya hanya dosen pengganti. Tidak perlu terlalu formal saat tidak di lingkungan kampus,” dia menambahkan, suaranya lebih lembut kali ini.
“Jadi, ehm….Tyler.” Lidahku terasa kaku. Rasanya aneh memanggilnya langsung dengan nama. Bagaimanapun, beliau masih mengajar di kelas. “Prof Rodriguez berkata kalau ingin berdiskusi terkait tugas akhir dengan Professor Hunt bisa melalui anda.”
“Professor Hunt sedang cuti, sampai waktu yang belum bisa ditentukan.” Dia berkata sembari membalik halaman bukunya. Aneh sekali bagaimana dia bisa berkonsentrasi membaca dan berbicara
“Jadi saya belum bisa bertemu dengan beliau ya? Sayang sekali, ini tahun terakhir saya disini. Saya penggemar berat beliau, sudah menonton semua karyanya terutama The Last Duchess, yang sudah saya tonton berkali-kali sampai hafal semua dialog nya, seperti saat Christopher si pengembara mengonfrontasi Duchess Kathrine karena sudah menghancurkan hidupnya ‘Katakan padaku wahai Duchess, apa yang kau inginkan kali ini?.....’”Ujarku sembari mencontohkan beberapa adegan yang ku ingat.
Kali ini, matanya terangkat dari buku, lalu menatapku. Tatapannya begitu dalam sampai rasanya aku ingin meleleh saja ke kursi. “Lalu? Kau pikir kau special? Ada ratusan, bahkan ribuan penggemar beliau seperti kau.”
Aku memaksakan senyum kecil “Tapi, saya pindah universitas dan jurusan, jauh-jauh kesini, ke Ashenwood University, hanya untuk belajar langsung darinya”
“Oh ya? Sayang sekali kau tidak bisa belajar langsung dari beliau” Nadanya sarkas menusuk, tapi anehnya membuat jantungku berdetak lebih cepat. “Pasti berat meninggalkan kota besar hanya untuk bertemu ‘idola’. Dari mana asalmu?”
“Cali. Sekitar 4 jam dari ibukota. Disana hangat, dan dekat dengan Pantai. Anda harus kesana sesekali, mungkin bisa mencerahkan suasana hati Anda..”
Tyler menutup bukunya perlahan, lalu meletakkan di meja. Kali ini melipat tangannya di meja, lalu menatapku dengan tajam
“Kau pikir saya belum pernah ke Cali?”
Aku menelan ludah. “Entahlah, mungkin saja belum?”
“Saya sudah pernah kesana sekali. Dan biasa saja, saya tidak mengerti mengapa orang begitu melebih-lebihkan Cali. Disana terlalu panas. Lebih baik Ashenwood, saya sudah tinggal disini selama 27 tahun.”
Aku tertawa gugup. “Benar juga. Saya juga ingin pergi sejauh mungkin dari Cali…”
Untungnya, pelayan yang tadi datang membawa makanan kami, sebelum Tyler bisa membaca lebih jauh apa yang baru saja ku katakan. Walaupun, matanya masih menatapku seperti ingin menggali lebih jauh.
Aku menatap makanan di meja—Spaghetti carbonara yang dengan saus creamy kental, dan garlic bread. Baunya sangat menggugah selera makan, dan perutku kembali berbunyi, tapi aku tidak peduli. Akhirnya aku betemu makanan setelah sekian lama.
“Makanlah,” Tyler berkata.
Aku mengangguk lalu meraih garpu. Saat mencoba memutar spaghetti di piring, tanganku tidak sengaja menyentuh garlic bread jatuh ke meja. Secara refleks aku meraihnya—Saat Tyler mencoba meraihnya pada waktu yang bersamaan.
Tangan kami bersentuhan. Hangat, dan tak terduga.
Aku menarik tanganku cepat. “Maaf! Saya—”
Ia menatapku sekilas, rahangnya menegang. Lalu dengan tenang, ia meletakkan sepotong garlic bread itu di piringku. Suaranya dingin.
“Makanlah perlahan, fokus pada piringmu. Jangan jadikan makan malam ini hancur karena kecerobohanmu.”
Aku meringis, lalu terkekeh pelan. “Baik, Pak—eh, maksudku, Tyler.”
Ia menghela napas, tapi aku menangkap sedikit gerakan di ujung bibirnya. Hampir seperti… senyum.
Aku mencoba mencairkan suasana. “Tahu tidak, saya pernah mencoba masak carbonara sendiri. Hasilnya… tidak bisa dimakan. Sausnya menggumpal, pastanya lembek, dan adikku bilang rasanya seperti makanan bayi.”
Tyler meletakkan garpunya, menatapku tajam. “Lalu?”
Aku tersenyum malu. “Sejak itu saya bersumpah tidak akan menyiksa siapa pun dengan eksperimen masakanku lagi. Bahkan microwave pun tampak gugup kalau aku mendekat.”
Hening.
Lalu, sesuatu yang mengejutkan. Suara rendah, tertahan… tawa. Singkat, pelan… tapi nyata.
Aku menatapnya, ternganga. “Barusan itu… tawa? Astaga, ternyata Anda bisa tertawa!”
Ia menutup mulut dengan tangan, menggeleng. “Jangan besar kepala. Itu cuma… refleks.”
Tapi aku melihatnya, hangat yang berkilau di matanya.
Untuk pertama kalinya malam itu, suasana rasanya tidak terlalu canggung lagi diantara kami.
Makan malam berlalu dalam ritme aneh tapi lembut. Tyler tetap tenang, berhati-hati, tapi sesekali aku menangkap sisi lembut di balik ketegasannya. Dan setiap kali aku berhasil membuatnya tersenyum walau sedikit, rasanya seperti kemenangan kecil.
Ketika Laura kembali, ia membawa sepiring tiramisu, krimnya lembut, taburan coklat bubuknya sempurna. “Satu porsi Tiramissu,” katanya dengan nada penuh arti, lalu pergi lagi.
Aku menatap dessert itu sejenak, lalu melirik Tyler. “Anda yakin ini cukup untuk dua orang?”
“Percayalah. Kamu tidak akan sanggup menghabiskannya sendiri. Terutama saat kau sudah makan seluruh Caprese Salad dan Garlic Bread di meja”
Ia menyendok sedikit, mendorong piring ke arahku. “Coba.”
Aku mengulurkan sendok, tapi beradu dengan sendoknya. Bunyi logam yang lembut membuatku terdiam. Tatapan kami bertemu—dan aku merasa kali ini, ia tak lagi menatapku sebagai dosen. Pandangannya lebih dalam. Berbeda.
Aku buru-buru mencicipinya, berusaha menyembunyikan kegugupan. Krim manis dan pahit kopi meleleh di lidahku. “Enak sekali,” bisikku.
Tyler mencicipi bagiannya. Ia mengangguk sekali. “Lumayan.” Tapi sorot matanya jelas lebih memperhatikan reaksiku daripada rasa tiramisu itu sendiri.
Kami makan perlahan, saling bergantian, sendok kami sesekali bersentuhan lagi. Setiap kali itu terjadi, jantungku berdebar makin kencang. Di sekitar kami, restoran mulai sepi, hanya musik jazz lembut yang tersisa di udara.
Dan saat itu aku menyadari sesuatu. Dinding di sekitar Tyler—yang dingin, kokoh, dan tak tersentuh—mulai retak.
Dan aku? Aku sudah terjatuh melewatinya…
\~\~\~
Vee
Empat hari berlalu sejak Professor Hill—well, Tyler—mengajakku makan malam di Laura’s Kitchen. Aku belum lagi bertemu dengannya dimanapun, bahkan di kampus. Jadwal kuliahku padat karena harus mengambil sebanyak mungkin mata kuliah wajib untuk jurusan Film. Jadi memang kemungkinan kami bertemu sangat minim. Kalaupun kami bertemu, seharusnya tidak masalah bukan, dia hanya bersikap baik kepadaku hari itu. Tidak perlu terlalu memikirkannya, Vee.
Tapi setiap kali aku teringat malam itu—sentuhan tangan yang tidak disengaja, cara dia menatapku, wajah dingin nya yang tersenyum kecil karena candaanku—wajahku memanas dengan sendirinya. Siapa yang tahu sepiring tiramissu bisa berdampak sebesar itu?
“Hey, Vee! Bagaimana kelas hari ini?”
Chloe bersandar di ambang pintu, rambut pirang bergelombangnya terurai alami. Chloe Davenport—teman asramaku, dan tahun kedua di Film Studies. Pada hari pertamaku di Ashenwood, dialah yang membantu mengangkat koper-koper besarku kedalam asrama. Dia mungkin terlihat feminin, tapi dibalik penampilannya, dia atletis dan sedikit tomboy.
“Kelasku jam 1 siang nanti. Praktik Penyutradaraan, diajar oleh…” Aku mencari-cari jadwal di sela buku catatan “Thomas Hunt? Benarkah? Berarti ini artinya aku akan bertemu Tyler Hill lagi?”
Aku tidak percaya. Baru saja aku memikirkannya beberapa menit lalu, dan sekarang… aku harus berhadapan kembali dengannya.
Chloe duduk di pinggir kasur, dengan senyum lebar seperti sudah menunggu seharian untuk bergossip “Kamu tahu nggak? Mahasiswa lain cemburu dengan mahasiswa jurusan film tahun ini. Karena sejujurnya, Professor Hunt itu menyeramkan. Selalu mencela semua hal yang bersifat modern, tidak mentolerir kesalahan sedikit pun, kelasnya selalu penuh tekanan. Jadi banyak mahasiswa yang menghindari jurusan Film karena alasan itu.”
“Dan sekarang Tyler yang mengajar kelasnya,” Ujarku
“Tepat sekali.” Dia mendekat, matanya bercahaya. “Asisten Thomas Hunt yang terkenal itu. Secara teknis dia cuma dosen pengganti, jadi seharusnya dipanggil Mr. Hill. Tapi tidak—semua orang memanggilnya professor. Seolah kehadirannya saja sudah pantas dapat gelar lebih tinggi.”
Aku tertawa kecil “Tyler sama saja seperti itu. Kaku, sarkas, tidak pernah tersenyum.”
Hampir tidak pernah tersenyum, tambahku sendiri. Kecuali malam itu. Senyum kecilnya malam itu masih membuatku salah tingkah setiap mengingatnya.
“Yesss, tapi ayolah,” Chloe menimpali, menaikkan alisnya nakal seperti penjahat di kartun. “Bahu tegap. Rahang tegas. Rambut hitam, yang diikat dengan rapi. Bayangkan seperti apa jika rambutnya dibiarkan tergerai” Dia mengipasi dirinya sendiri secara dramatis, kemudian mendekat kearahku lalu melanjutkan, “Orang-orang memanggilnya Professor Dreamy, tahu?
Aku sedang minum air dari botol air, nyaris tersedak mendengar itu. “Professor Dreamy?”
Chloe tertawa “Ayolah, tidak perlu berpura-pura kau tidak melihatnya juga. Tenang saja, dia bukan tipeku, aku sudah punya pacar.”
Aku mengangkat sebelah alis. “Oh yeah? Jason Clarke si pemain Football terkenal? Defense untuk The Eagles, yang itu kan?” Nada bicaraku penuh ejekan kali ini
Chloe memukul pundakku perlahan dengan muka memerah.
“Anyway,” Ucapnya sambil beranjak dari kasur, “bagaimana kalau malam ini kita hang out? Ada bar terkenal didekat sini—The Tavern. Kita bisa bersenang-senang, dan kamu bisa…mungkin cari pacar disana?”
Aku meringis “Nggak tau ya kalau pacar, tapi hang out? Kedengarannya lebih menarik daripada menghabiskan jumat malam sendirian di kamar kecil ini.”
“Perfect. Aku juga ingin mengenalkanmu ke teman-temanku. Kami adalah The Reels.”
“The Reels?” Ujarku, penasaran
“Yep. Sahabatku sejak tahun pertama. Sophie, Ethan, dan Liam. Liam tahun terakhir, sama sepertimu. Aku yakin kamu pasti bisa langsung cocok dengan mereka.”
Aku tersenyum. “Okay, deal. See you there.”
Jam menunjukkan pukul 12:40. Aku mengambil tas dan bergegas keluar asrama. Dalam pikiranku hanya satu : Jangan sampai terlambat masuk kelas Tyler Hill.
“Good luck, Vee!” Seru Chloe. Suaranya bergema sepanjang lorong.
Aku menarik napas dalam-dalam. Semoga aku siap.
\~\~\~
Tyler
Menyutradarai bukannya passion ku, melainkan Thomas. Tapi disini lah aku sekarang, menggantikan beliau mengajar segala hal tentang itu. Aku tahu tidak seharusnya aku mengeluh, jika bukan karena Thomas Hunt, mungkin aku sudah berhenti kuliah 8 tahun lalu, lalu menghilang entah kemana.
Praktik penyutradaraan adalah kelas yang tidak ku sukai. Terlalu banyak hal yang tidak bisa ku kontrol, terlalu banyak orang yang perlu diarahkan. Semoga hari ini segera berakhir.
Langkahku berat saat mencapai studio. Lampu-lampu sorot tergantung rendah, panasnya menyentuh kulitku seperti peringatan. Kamera untuk latihan berjejer rapi di satu dinding, kabel yang menjalar di lantai seperti jebakan. Kursi lipat tersusun rapih membentuk lingkaran, tampak ramah namun tampak menghakimi.
Dan disanalah dia.
Victoria. Rambut hitamnya terurai menutupi sebagian wajahnya, duduk di barisan belakang, seperti berharap redupnya ruangan bisa menelannya. Mengajar dalam kelas praktik sudah cukup membuatku pusing—dan sekarang aku harus berpura-pura kehadirannya tidak mempengaruhiku.
Aku sudah berusaha cukup baik menghindarinya beberapa hari ini. Tiap kali aku melihat siluetnya di lorong, aku berbalik arah. Sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk goyah.
“Barisan depan, Sinclair,” Ujarku dari depan ruangan, “Kalau mau belajar menyutradarai, kau tidak bisa bersembunyi di belakang.”
Semua kepala menoleh. Dia menatapku—terkejut sepersekian detik—lalu berdiri dan melangkah ke depan. Dadaku sempat ingin berdegup lebih cepat, tapi aku paksa untuk tenang.
“Baik,” aku memotong bisik-bisik di antara mereka. “Menyutradarai bukan sekadar memberi perintah. Ini soal memahami script, menafsirkan emosi, dan menyalakan kehidupan dalam tubuh aktor. Kita langsung praktik.”
Beberapa mahasiswa bergumam tegang. Praktik ini bisa membuat mahasiswa paling percaya diri sekalipun bisa terlihat rapuh, sedikit pun keraguan bisa terlihat sebagai sebuah kelemahan.
“Kalian akan berpasangan, 1 aktor, 1 sutradara. Tapi kalian berdua harus bisa menampilkan penampilan singkat yang meyakinkan.”
Aku menelusuri daftar nama. “Walsh dengan Marlowe. Blake dengan Jensen. Sinclair dengan…” Jeda terlalu lama berarti kelemahan, aku hanya menahannya sepersekian detik saja. “Carter.”
Aku menangkap siluet panik di matanya sekilas. Kemudian dia berbalik dan menemukan Carter. Dia berdiri, dan mengangkat tangan, dan terlihat santai seperti seseorang yang biasa tampil. Sepertinya partner nya bisa diandalkan.
Aku berjalan keliling ruangan sementara mereka menyiapkan diri. Bisikan terdengar, kertas berdesir. Dari sudut mataku, kulihat Victoria menggulung naskahnya, lalu meratakannya lagi—tanda seseorang yang mencoba menenangkan diri. Carter menunjuk beberapa baris; mereka saling bertukar pandang. Victoria mengangguk—terlalu cepat.
“Waktu habis,” kataku. “Kelompok Walsh silahkan maju pertama.”
Satu pasangan tampil, lalu berikutnya. Catatan demi catatan: “Tunjukkan aksi, bukan penjelasan.” “Motivasi, bukan volume.” “Tahan jeda beberapa detik, biarkan penonton bernapas.”
“Sinclair—Carter.”
Mereka maju. Carter berdiri miring sedikit, satu tangan di saku. Victoria dua langkah darinya, bahunya kaku. Aku benci bahu yang kaku. Bahu yang kaku adalah kebohongan.
“Mulai,” kataku.
Adegan berjalan. Carter membuka dengan baik: tenang, tidak berlebihan. Masalahnya ada di Victoria; suaranya tepat, tapi matanya… kosong. Tidak ada bahaya di dalamnya. Tidak ada rahasia.
“Berhenti,” potongku. Semua mata menatap. “Sinclair, apa yang kamu inginkan darinya?”
Ia menatapku. “Konflik—”
“Bukan jawaban dari buku teks,” kataku datar. “Apa yang kamu inginkan—sekarang?”
Ia menarik napas. “Aku ingin dia mengaku.”
“Bagaimana kau akan memaksanya?”
Hening. Aku benci keheningan yang takut. Lalu dia melangkah setengah langkah mendekat—masih kurang. “Setengah lagi,” kataku.
Ia menuruti. Mata hazel-nya terangkat. Ada sesuatu di sana—kecil, berani. Carter bereaksi; bahunya bergeser, dagunya menunduk. Bagus. Carter mulai merasakan tekanannya.
“Lanjut,” perintahku.
Dialog berlanjut. Victoria lebih percaya diri, terlihat dia mulai mengarahkan Carter melalui kata-katanya. Carter terpancing, suaranya merendah. Ruangan menjadi jenis hening yang indah, hening yang berarti perhatian.
“Cukup,” kataku pada waktu yang tepat. “Tidak buruk. Tapi kau masih bermain aman, Sinclair. Wajahmu sudah bagus, biarkan suaramu mengarahkannya”
Dia mengangguk. Garis di rahangnya sedikit berubah. Aku berbalik sebelum membaca terlalu banyak dari gerak geriknya.
Sisa kelas berjalan lancar. Pertunjukkan singkat, bahkan tawa kecil saat salah satu diantaranya melakukan improvisasi yang berlebihan. Saat bel hampir berbunyi, aku menutup buku catatan.
“Tugas minggu ini kalian pilih satu adegan dua halaman. Sutradara siapkan blocking dan motivasi. Aktor buat latar belakang singkat. Kita tampil hari Jumat depan. Kelas selesai.”
Kursi berderit. Ritsleting tas dibuka. Langkah-langkah bergeser. Aku menahan diri untuk tidak mencarinya di antara kerumunan.
“Sinclair,” panggilku, datar.
Dia menoleh. “Ya, Pak—” Ia tampak kaget sesaat.
Aku pura-pura tak memperhatikan.
“Jangan bermain aman,” kataku. “Ikuti nalurimu dan lihat apa yang terjadi.”
Sepersekian detik, matanya menantangku. “Baik.”
Dia pergi, menyusul Carter di pintu. Dadaku tak lagi terasa sesak seperti sebelumnya—dan aku tidak menyukai kenyataan itu.
Menyutradarai masih bukan passionku. Tapi hari ini… kelas terasa tidak seburuk biasanya.
Dan justru itulah masalahnya.
\~\~\~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!