Ketika senja mulai menguning, angin mulai bertiup kencang. Awan mulai menggelap, menutup keindahan alam yang begitu indah menawan.
Rintik hujan mulai turun, sedikit demi sedikit lalu menjadi deras tak terkendali. Petir mulai menyambar dan kilatan cahaya menakutkan.
Seorang Pemuda, mengenakan seragam sekolah menepikan motor sport miliknya di sebelah gubug Reyot. Dia berteduh, meskipun bajunya sudah basah kuyup, dan hawa dingin sudah mulai menusuk tulangnya.
Pemuda itu tinggi dan menawan, gelapnya malam dan kilatan petir tidak menurunkan pesonanya. Memiliki tinggi sekitar 190cm, dengan tubuh proposional, tegap dan Berkharisma.
Di samping pemuda itupun, ada seorang gadis. Memakai pakaian lusuh, dia berjongkok di sudut, berteduh dari langit yang mengamuk.
Gadis itu memiliki rambut panjang yang sudah basah terkena hujan, memakai kaos hitam kebesaran dan kolor training lusuh. Pemuda itu melirik dengan ujung matanya, dia tidak peduli selagi bukan hantu.
Mereka berteduh dengan senyap, tidak ada sapaan atau basa basi. Mereka sibuk menunggu hujan reda dan kembali melanjutkan perjalanan.
Detik, menit, Jam berlalu namun hujan masih saja deras. Semakin deras hingga air sudah mulai menggenang di jalanan. Malam semakin larut membuat suasana sepi mencekam, di kelilingi kebun.
Si Gadis yang mulai merasa takut, duduk di kursi reyot samping pemuda tadi. Meskipun tetap menjaga jarak.
Kriiieett__
BRAKKKK!!!!
Kursi reyot yang mereka duduki roboh, membuat keduanya terjatuh terlentang ke belakang. Gadis itu sempat memekik, sedangakn si pemuda nampak tidak menujukan ekspresi apapun.
Saat si pemuda mulai bangkit, si Gadis menahan nafas karena jarak mereka sangat dekat. Bahkan lengan mereka sudah saling menempel.
"Hayo!! kalian berzina ya!!."
Teriakan seorang pria mengejutkan keduanya, keduanya buru buru berdiri. Melihat ada banyak gerombolan bapak-bapak, datang membawa senter dan payung.
"Masih muda, bukannya belajar malah berzina di kebun orang!!." Bentak salah satu dari mereka.
"Di arak aja Pak, Bikin desa kita jadi tercemar." Hasut yang lain.
"Nikahin aja, mereka harus bertanggung jawab karena sudah berbuat dosa. Bisa bikin desa kita kenal sial." Ucap yang lain.
Si Gadis dan Pemuda itu nampak tegang, mereka panik bukan karena ketahuan. Tapi karena fitnah yang mereka terima.
"S-sebentar Pak, kami bahkan tidak saling kenal." Si Gadis berusaha bicara dengan takut.
"Halah, ngga kenal tapi doyan." Sungutnya.
"Ini tidak seperti yang bapak bapak pikirkan, kami hanya berteduh tapi kursinya roboh, jadi kami terjatuh." Ucap Si Gadis.
"Banyak alesan, dia itu cucu nya si mbok Sri. Mungkin cape kerja di ladang, makanya cari yang instan begini." Bantah mereka, mengenali gadis itu.
"Cucu mbok Sri? Aurora? yaudah langsung di bawa ke masjid aja, kita nikahkan." Putusnya.
"Maaf, sebentar. Saya hanya berteduh disini." Pemuda situ angkat bicara.
"Udah makan gamau bayar, kamu itu keliatannya anak kota. Ngapain neduh di tempat sepi begini, nggausah banyak alasan." Bentak para Bapak-bapak.
Keduanya di seret dan di arak menuju masjid, sepanjang jalan banyak orang yang melihat, mengecam, bahkan melempari mereka.
Pembawa Sial!
Pezina!!
Harus diarak telanjang!
Ngotorin kampung kita!
Itu Cucunya Mbok Sri!
Usir aja! Usir!
Huuuuu!!
Si gadis menangis, dia merasa sangat malu. Padahal dia tidak melakukan seperti yang mereka tuduhkan, kenapa tidak ada yang percaya padanya. Padahal dia sudah cukup lama berbuat baik pada mereka semua.
Pemuda itu hanya diam menunduk, tau jika bicara pun tidak akan di dengar. Tentu saja dia juga merasa marah dan malu, tapi dia tidak mungkin bisa melawan satu kampung.
"Rora?!! ya allah cucuku, heh kenapa cucuku di tarik, lepaskan." Nenek Aurora datang, menggunakan tongkat kayu.
"N-nenek, Rora ngga zina nek, ini fitnah." Ucap Aurora meneteskan air mata, berharap sang nenek menyelamatkannya.
"Zina?." Nenek terkejut.
"Mbok Sri, Aurora di Grebek bersama pemuda ini di Gubug Kebun Pak Budi. Saat kami datangi, mereka sedang tidur bersama, kami memutuskan untuk menikahkan mereka." Ucap Salah satu Bapak menjelaskan.
"Hah? Astaghfirullah Rora... Ya Allah." Nenek sangat terguncang, hingga terjatuh tak sadarkan diri.
"NENEKKK!!!!." Teriak Aurora.
Para Warga mulai mengerubungi Mbok Sri, Aurora juga langsung memeluk Neneknya. Berusaha membangunkannya, para warga mulai merasa Iba tapi Zina tetaplah Zina.
"Innalilahi wainnailaihi rojiun." Ucap warga, yang memeriksa detak jantung dan nafas mbok Sri.
"NGGAK!! NENEK!! BANGUN NENEK, JANGAN TINGGALIN RORA!! NENEK!!." Aurora berteriak histeris, tidak mau percaya dengan apa yang di dengarnya.
"Itu lah makanya kalau berbuat sesuatu harus di pikir dulu, Mbok mu ini sudah merawatmu dari kecil, malah dibuat jantungan sampai meninggal. Cucu durhaka, buruan di nikahkan biar dia pergi sama pasangan Zina nya itu." Ucap Ibu-ibu julid.
Saat situasi sedang kacau itu lah, kyai Desa datang menengani. Kyai meminta para warga untuk tetap tenang, memberikan waktu berduka pada Aurora, sebagai bentuk perikemanusiaan.
"Neng Rora, seperti adat di kampung kita. Sebaiknya Ijab Qobul di lakukan di atas keranda Mbok mu, Mas nya coba hubungi orangtua supaya datang." Ucap Kyai.
"Saya nggak Zina, Pak Kyai." Aurora Lirih, merasa kecewa dan sakit hati.
"Udahlah! udah ketangkap basah aja masih ngeles, buruan di nikahin aja Pak Kyai, sebelum lakik nya Kabur." Saut Ibu-ibu.
"Ayo para warga, segera urus pemakaman mbok Sri. Segera di mandikan, di kafankan dan di sholatkan. Ijab qobul akan di lakukan, setelah keluarga pihak laki laki datang." Ucap Kyai.
Para Warga menurut, Aurora dan Pemuda tadi tetap di tahan oleh warga. Mereka di tahan di masjid, Pemuda itu dengan desakan dan kemarahan warga, mulai menelepon keluarganya agar datang.
Pengurus masjid, meminjamkan baju Koko dan sarung untuk pemuda itu. Sedangkan Aurora, sempat di perbolehkan pulang untuk ganti baju.
Jasad Mbok Sri sudah siap di sholatkan pada pukul 23.00, hanya beberapa saja karena besok pagi akan di sholatkan lagi. Aurora terus menatap keranda neneknya, hatinya hancur, masa depannya juga hancur.
Pemuda yang tadi di grebeg dengannya, duduk di sebelahnya, tatapannya terlihat marah, dan itu membuat Aurora semakin hancur. Entah seperti apa hidupnya setelah ini.
Seorang pengurus Desa, datang menghampiri Pemuda itu menanyakan KTP. Salah satu dari pengurus Desa yang mengenal Aurora, tidak mau jika hanya menikah secara Sirih. Mereka akan menikahkan keduanya secara SAH Agama dan Negara. Dengan bantuan Pak Kyai yang putranya seorang pegawai KUA.
"Mana KTP mu, untuk Mahar silahkan siapkan semampumu." Ucap Pengurus Desa.
Pemuda tadi dengan muka datar mengeluarkan KTP dari dompetnya, Aurora diam, melirik dengan ekor matanya. Dia merasa ingin kabur saja, kepalanya terasa berat dan rasa malu menggerogotinya.
"Kapan orangtuamu akan tiba?." Tanya Pengurus Desa.
"Sudah dalam perjalanan, mungkin pagi buta akan sampai." Jawab Pemuda itu.
"Baguslah, kau akan tinggal dan makan di masjid. Apa kau sudah sholat?." Tanya Pengurus Desa.
"Maaf, saya Nasrani." Jawab si Pemuda.
Eh?
Loh?
Pengurus Desa saling pandang, lalu membaca ulang KTP si pemuda. Mereka menatap rumit, sepertinya ini akan lebih sulit dari yang mereka duga.
Pengurus Desa, akhirnya meminta bantuan Kyai Agar mencarikan jalan keluar. Aurora juga terkejut, ternyata pemuda itu Nasrani tapi dia tidak keberatan memakai sarung dan baju Koko di masjid.
Pukul 04.00 Saat Adzan Subuh sebentar lagi berkumandang. Dua Mobil Mewah datang, keluarlah sepasang paruh baya yang terlihat menawan, di mobil belakang ada beberapa Bodyguard yang turut hadir.
Aurora semakin takut, dia beringsut di sudut Masjid, dia merasa bingung. Apakah lebih baik dia bunuh diri saja? menyusul sang nenek yang berpulang karena ulahnya?.
Pengurus Masjid, mempersilahkan keluarga itu duduk di teras Masjid. Menyuguhkan kopi dan teh hangat, Pemuda itu juga duduk di sana dia terlihat datar-datar saja.
Pak Kyai datang menemui mereka setelah selesai sholat Subuh, memberitahu detil kronologis. Pihak keluarga itu nampak prihatin, mencari dimana Aurora.
Mereka melihat gadis yang terlihat rapuh, beringsut di sudut Masjid, menatap ke arah keranda dengan tatapan kosong. Ibu dari pemuda itu datang menghampiri dengan hangat.
Pukul 04.00 Saat Adzan Subuh sebentar lagi berkumandang. Dua Mobil Mewah datang, keluarlah sepasang paruh baya yang terlihat menawan, di mobil belakang ada beberapa Bodyguard yang turut hadir.
Aurora semakin takut, dia beringsut di sudut Masjid, dia merasa bingung. Apakah lebih baik dia bunuh diri saja? menyusul sang nenek yang berpulang karena ulahnya?.
Pengurus Masjid datang, mempersilahkan keluarga itu duduk di teras Masjid. Menyuguhkan kopi dan teh hangat, Pemuda itu juga duduk di sana dia terlihat datar-datar saja.
Pak Kyai datang menemui mereka setelah selesai sholat Subuh, memberitahu detil kronologis. Pihak keluarga itu nampak prihatin, mencari dimana Aurora.
Mereka melihat gadis yang terlihat rapuh, beringsut di sudut Masjid, menatap ke arah keranda dengan tatapan kosong. Ibu dari pemuda itu datang menghampiri dengan hangat.
"Halo, kamu yang namanya Aurora?." Ucapnya lembut.
Deg.
"I-iya Tante." Aurora nampak gugup.
"Pasti berat ya jadi kamu, nggapapa Alvian bakal tanggung jawab kok." Ucapnya.
"Alvian?." Bingung Aurora.
"Oh kalian belum kenalan? nama anak Tante Alvian Donovan." Jawab wanita modis itu ramah.
"Anu.. Tante, kita ngga nglakuin apa yang mereka tuduhkan kok. Lagian kita juga beda agama, mending di batalkan saja." Ucap Aurora Lirih.
"Sayangnya nggabisa, pengurus Desa sudah memutuskan. Lagian sebagai orangtua, kami ingin mengajarkan apa itu tanggung jawab pada anak kami, mungkin saja berkat kejadian ini, dia jadi pribadi yang lebih baik lagi. Apalagi kamu sekarang sebatang kara kan? memiliki suami tidak buruk juga." Ucap Nya.
"Tante serius?." Aurora menatap heran.
"Iya, untuk masalah Agama. Tentu saja Alvian yang akan mengikuti Agama mu, sejak lahir dia memang mengikuti Agama keluarga Ayahnya. Sekarang dia bebas memilih, dan keputusannya tentu saja harus mengikuti hukum disini." Ucap wanita itu tenang.
"Maksud Tante?." Aurora masih mencerna informasi.
"Tante Islam, Suami Tante dulunya Nasrani. Dia mengikuti Agama Tante, cuma ya keluarga besar maunya Alvian ikut agama mereka, meskipun Alvian ngga pernah sekalipun ibadah, dia bener bener kaya Atheis." Ucapnya berbisik.
"Maaf Tante, anak Tante ngga bersalah. Ini semua Fitnah, takutnya nanti anak Tante jadi nggabisa sekolah dan kehilangan masa depan." Ucap Aurora.
"Hahahaha, kamu polos banget ya. Tenang aja, suami Tante itu banyak duitnya, dia bisa tetep menyekolahkan kalian berdua meskipun sudah menikah. Ya tapi, kalian harus backstreet." Ucap Ibu Alvian, mengedipkan mata.
Aurora tidak berkata apa apa lagi, tepat sebelum Ijab Qobul, Alvian di tuntun mengucapkan kalimat syahadat, sebagai bukti bahwa dirinya memeluk Agama Islam.
Aurora sudah memakai kebaya hitam disanggul simple, itu pakaian milik anak Bu RT. Aurora terlihat manis dan cantik, meskipun polos tatapannya itu tajam.
Alvian sudah memakai baju adat mahal, yang dibawa oleh keluarganya. Dia terlihat sangat berwibawa sekali, sangat jomplang dengan Aurora yang polosan tanpa makeup.
Meja kecil sudah di siapkan di samping Keranda, diatasnya sudah ada 5 gepok uang, Set Perhiasan dan Sertifikat Rumah. Sebagai Mahar yang di berikan pihak orangtua Alvian, pada Aurora.
"Baik Mas Alvian, silahkan ikuti kalimat saya." Ucap Kyai menuntun Alvin, mengucapakan 2 kalimat syahadat.
"Ashadu...................... 2X.
Semua orang berdoa dan mengucapkan selamat pada Alvian, Alvian tetap datar sedangkan Aurora merasa tangannya gemetar hebat.
"Ya Allah.... mahar nya banyak banget, ini beneran di kasih apa nanti di kembaliin?." Batin Aurora.
Setelah Alvian resmi memeluk Agama yang sama dengan Aurora. Kini saatnya mereka mengucapkan ijab qobul, Aurora rasanya ingin pingsan, jantungnya berdegup kencang sekali, parfum Alvian di sebelahnya bahkan tercium olehnya.
Alvian sudah siap berjabat tangan, diawali dengan penyerahan dan keikhlasan Aurora untuk menikah kepala wali hakim. Kini saatnya Ijab Qobul di langsungkan.
" Alvian Donovan."
"Ya saya."
"Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau, dengan Aurora Navarro binti Ahmad, untuk dirimu sendiri sebagai Istri. Dengan Maskawin Logam Mulia 50gram, Sertifikat Rumah dan Uang tunai sebesar 100.000.000 rupiah dibayar TUNAI."
"Saya terima nikah dan kawinnya, Aurora Navarro binti Ahmad, untuk saya sendiri. Dengan maskawin tersebut di bayar TUNAI."
"Bagaimana para Saksi.. Sah?!.'"
SAHHHH!!!!
"Alhamdulillah."
Semua orang berdoa, tentu saja ada ibu-ibu yang tidak senang dan merasa iri dengan maskawin yang diterima Aurora. Siapa sangka, perkawinan paksa itu mendapatkan maskawin yang fantastis.
Mereka pikir Aurora hanya akan mendapat Maskawin perangkat alat solat, atau uang sepuluh ribu.
Penghulu meminta Aurora mencium tangan Alvian sebagai Suami. Aurora dengan keringat dingin mencium tangan Alvian, dirinya berdoa semoga pernikahannya Sakinah, Mawadah, warahmah.
Alvian mengecup Ubun Ubun Aurora, karena dipaksa perintah penghulu. Setelah beberapa kali sesi foto menggunakan buku nikah, mereka kembali duduk untuk menandatangani buku nikah.
"Baik, karena ijab qabul telah dilaksanakan. Sekarang sudah waktunya memakamkan mendiang Mbok Sri, mohon para warga membantu prosesnya." Ucap Kyai.
Sebagai Cucu Mantu, Alvian di tugaskan memanggul keranda bersama beberapa pemuda Desa. Alvian sudah melepaskan Jasnya, dirinya kini memakai kemeja putih dan celana bahan hitam.
Keranda di gotong menuju tempat pemakaman Umum. Aurora di temani Ibu dari Alvian, berjalan mengikuti keranda sambil melempar bunga yang berisi koin. Salah satu adat di Desa itu saat mengantar Jenazah ke Pemakaman.
Lailahailallah....
lailahailallah...
lailahailallah...
Mereka pun sampai di pemakaman, di sana sudah ada beberapa orang penggali makam. Pemakaman berlangsung dengan sangat sakral, Alvian turun ke liang lahat menerima Jazad Mbok Sri. Di perintahkan untuk meminta maaf sambil meletakan Jazad itu ke tanah.
Aurora menatap dengan pedih, melihat jazad neneknya sudah tertutup tanah. Dia berdoa dan meminta maaf pada Neneknya, belum sempat dirinya membalas Budi, dia justru menjadi alasan neneknya berpulang ke sisi Ilahi.
"Ampuni dosaku ya Allah." Batin Aurora.
Pemakaman berlangsung dengan lancar, semua orang kembali kerumah masing masing. Aurora membawa Suaminya berserta keluarga ke rumah reyot Mbok Sri.
Rumah itu masih berlantai tanah, berdinding anyaman bambu. Alvian bahkan sampai Mengkrenyitkan dahi melihat rumah yang ditinggali Aurora.
Mereka kembali dibuat semakin heran, saat melihat Aurora di suruh memasak dan melakukan ini itu oleh Ibu-ibu.
"Maaf, Aurora kan sedang berduka. Alangkah baiknya jika tidak memintanya memasak." Ucap Ibu Alvian menegur.
"Aduh dasar orang kota, di Desa kalo ada keluarga yang meninggal ya masak buat njamu pelayat sama buat Yasin Tahlil." Jawabnya sewot.
"Ini, saya bayar. Jangan suruh suruh menantu saya lagi." Ucapnya.
Ibu-ibu dengan berbinar menerima uang itu, Aurora akhirnya duduk dengan tatapan kosong dan sendu. Dia kebingungan, merasa asing dan perlu beradaptasi dengan situasi saat ini.
"Sebelum ini kamu sekolah dimana? biar kita urus kepindahanmu." Ucap Ibu Alvian.
"Em.. saya udah ngga sekolah, Tante." Lirih Aurora, merasa malu.
"Oh udah lulus?." Ibu Alvian salah paham.
"Iya, lulus SMP." Aurora mengangguk.
Ibu dan Ayah Alvian saling pandang, mereka tidak menyangka Aurora putus sekolah. Mungkin di Desa memang banyak yang bersekolah hanya sampai jenjang SMP, tapi mereka tetap saja merasa terkejut.
"Loh? SMP? kamu umur berapa sekarang?." Kagetnya.
"17 tahun, Tante." Jawab Aurora.
"Berarti udah 2 tahun kamu ngga sekolah lagi? Yaudah setelah ini kamu bakal lanjut sekolah di kota ya?." Ucap Ibu Alvian ramah.
"Eh? N-ngga usah Tante." Aurora sungkan.
"Loh, kenapa? Setelah ini kan semua tanggungan hidup kamu ya tanggung jawab Alvian, kamu kalo mau minta pesawat juga Alvian harus mengusahakan." Ucap Ibu Alvian, terlihat santai.
"Alvian, kenapa kamu ngga ngajak istrimu ngobrol? kalian ini suami istri, bukan musuh." Ucap Ayah Alvian, menatap putranya dengan teduh.
"Apa? ngga ada yang pengen Alvian tanya, Yah." Jawab Alvian, cuek.
Ibu Alvian menatap putranya dengan sedih, dia tau watak putranya memang minim empati. Memiliki ide, mungkin jika ditinggalkan berdua, mereka akan mengobrol.
"Ayah, temenin Ibu ke warung Yuk." Ajaknya.
"Kebetulan, Ayah juga mau beli sesuatu." Keduanya pun beranjak keluar dari rumah.
Aurora dan Alvian dilanda keheningan, Sebenarnya Aurora itu bukan anak yang polos. Dia juga suka mengumpat kasar, suka melawan anak anak nakal, dia bahkan bisa berkelahi. Hanya saja dia punya sifat introvert.
Aurora merasa malas tiba tiba, dia menatap cincin di tangannya. Cincin kawin yang sangat mahal itu, membuat jarinya terlihat cantik sekali, dia melirik tangan Alvian yang juga menggunakan cincin serupa.
"Heh Aurora, jangan keenakan dulu. Mertuamu itu baik di depan kita aja, nanti kalo udah di bawa ke kota ya kamu di jadiin babu." Ucap Ibu-ibu julid.
"Bacot anjing." Sungut Aurora, dengan wajah datar.
Deg.
Alvian menoleh dengan kaget, tidak percaya Dengan apa yang di dengarnya. Dengan muka polos dan menyedihkan, ternyata mulut Aurora sangat berbisa. Berbanding terbalik dengan covernya.
"Dasar anak Durhaka, berani banget ngumpatin orangtua. Lihat aja nasibmu kedepan, suamimu itu kaya raya pasti seleranya bukan kamu." Ucap Ibu-ibu itu marah.
"Daripada suami Ibu, udah miskin, nggamau kerja, selingkuh lagi. Ngaca dulu sebelum ngomongin orang, saya gampar tau rasa." Aurora meladeni dengan senang hati.
"Hiihh amit amit saya punya menantu kaya kamu." Ibu itu bergidik sinis.
"Loh, Ibu lihat dong suami saya. Ganteng, banyak duit, ga banyak omong, dibandingin sama anak ibu yang kumel, tukang mabuk sama kecanduan pinjol itu? Istighfar Bu." Aurora menatap dengan prihatin.
"Kamar Lo dimana? gue ngantuk." Alvian bicara, menenangi perkelahian Ras terkuat di bumi.
"Oh, iya." Aurora menarik Alvian ke kamarnya.
Alvian kembali Mengkrenyit melihat kamar yang jauh dari kata layak. Tapi terlihat bersih dan rapih, dengan hati-hati Alvian duduk di ranjang yang berderit.
Aurora keluar kamar dan kembali membawa teh hangat dan makanan untuknya dan Alvian. Alvian menatap wajah Aurora, yang terlihat polos, tapi teringat dengan mulutnya tadi.
"Udah jangan dengerin omongan setan, makan aja." Ucap Aurora.
"Ternyata Lo ngga se polos itu." Celetuk Alvian.
"Ya ngga, kadang Berani juga perlu. Kalo penakut, bisa bisa di injak orang, kaya gapunya harga diri. Hidup miskin di Desa itu berat." Ucap Aurora, sambil makan.
"Kenapa Lo ngga lawan waktu di grebeg kemaren?." Tanya Alvian.
"Ya mikir lah setan, ngelawan bapak-bapak sebanyak itu. Belum lagi satu kampung ikutan, yang ada mati di rajam." Aurora terlihat kesal.
Alvian terdiam, karena ucapan Aurora ada benarnya. Diirnya sendiri saja tidak berani, apalagi Aurora. Alvian diam, menatap ponselnya dan sibuk sendiri.
"Makan." Ucap Aurora tegas.
"Ngga laper." Tolak Alvian.
"Kenapa? ngga sesuai selera anak kota? nggapapa daripada mati." Ucap Aurora.
"Gue ngga akan mati, cuma gara gara telat makan." Sinis Alvian.
"Bisa mati, mati di tanganku." Aurora menatap lurus, ke arah Alvian.
Alvian menoleh, melihat tatapan aneh Aurora. Dia menatap lurus tapi tidak berkedip, terlihat menakutkan dan membuatnya merinding. Terlihat seperti orang kerasukan hantu di film-film.
"Ngomong apa sih." Alvian melengos.
"Beneran." Aurora berdiri, dengan tatapan yang sama menatap Alvian.
"CK.. iya gue makan." Alvian dengan kesal meraih piringnya.
Aurora tersenyum puas, dia sempat melirik layar ponsel Alvian. Dia tersenyum miris, ternyata Alvian punya kekasih. Artinya dirinya baru saja menjadi pelakor, Aurora tersenyum miris, merasa bersalah.
Dia berjanji tidak akan menyakiti wanita itu atas kehadirannya. Tidak masalah jika Alvian dingin padanya, yang terpenting Aurora akan hidup dengan sebaik baiknya.
"Sekolah, Kuliah, Sukses, jadi Janda kaya raya." Batin Aurora.
Yasin Tahlil diadakan saat malam hari, dihadiri oleh para Bapak-bapak. Aurora mendoakan mendiang Neneknya, dia sudah mulai ikhlas meskipun hatinya masih sakit.
Ke Esokan harinya, Aurora siap pergi menuju kota. Dimana Suaminya tinggal, Dengan langkah berat, Aurora masuk ke dalam mobil mewah meninggalkan kampung halamannya.
Mobil melaju dengan kecepatan sedang, membelah jalanan Desa menuju Kota. Dari kota satu ke kota yang lain, Aurora menikmati perjalanan itu, pertama kalinya dirinya keluar dari Desa.
Alvian di sebelahnya sibuk dengan ponselnya, Motor pemuda itu di bawa oleh salah satu Bodyguard. Aurora merasa dadanya sesak, dia merasa sakit hati tapi tidak boleh terluka.
Dia hanya Istri yang terpaksa dinikahi, bukan wanita yang dicintai. Aurora berusaha menahan perasaan sesak itu, wanita mana yang tidak sakit hati saat suaminya memiliki kekasih. Tapi Aurora tersenyum miris, dia ini pelakornya.
Enam jam perjalanan, Akhirnya mereka sampai di sebuah mansion mewah. Aurora mematung, merasa seperti bermimpi, dia jadi teringat kata-kata tetangganya, apa benar dirinya akan dijadikan babu di sini?.
Aurora mengikuti langkah Alvian, dia mengikuti seperti anak Ayam. Hingga masuk ke kamar Alvian yang megah, semuanya menggunakan warna hitam dan putih, wangi maskulin tercium begitu Aurora masuk.
Alvian langsung masuk kamar mandi, Aurora yang kikuk memilih duduk di sofa empuk dan mengamati sekitar. Dia terlihat seperti sedang tersesat, rasanya tidak nyaman dan ingin pulang.
"Ngapain bengong, mandi sana udik." Ucap Alvian, baru saja selesai mandi.
"Aku balik aja ya." Ucap Aurora.
"Hah?." Alvian menoleh.
"Aku ngga cocok disini, rasanya ngga nyaman. Mending sewain kontrakan sepetak aja buat aku tinggal." Ucap Aurora, menatap serius.
"Gausah banyak tingkah, minggu depan kita pindah ke rumah baru." Ucap Alvian.
"Rumah baru?." Heran Aurora.
"Iya, rumah yang jadi mahar Lo." Ucap Alvian cuek, rebahan di kasurnya.
Aurora berbinar, dia merasa lebih baik. Dia mengeluarkan pakaian lusuh dari tasnya, masuk ke dalam kamar mandi dan membersihkan diri.
Setelah beberapa saat, Aurora keluar kamar mandi, memakai pakaian lusuh. Alvian Mengkrenyit, bangkit dari tempat tidur, masuk ke Walk in Closet. Alvian keluar membawa kaos lalu melemparnya pada Aurora yang sedang mengeringkan rambut.
"Buang semua baju Lo, pake ini." Ketusnya.
Aurora tau jika bajunya memang usang semua, tidak merasa sakit hati justru senang. Aurora masuk kemar mandi dan ganti pakaian, dia terlihat jauh lebih baik.
Aurora ikut rebahan di kasur empuk itu, tentu saja Aurora merasa canggung. Hanya saja dia lelah, dia juga ingin rebahan, dia juga memiliki hak atas kasur suaminya sendiri.
"Cuma mau tidur 10 menit, cape banget." Batin Aurora, bersiap menuju alam mimpi.
"Mana Hp Lo?." Tanya Alvian, mengejutkan Aurora yang sudah hampir terlelap.
"Oh.. hm.. kenapa?." Ujar Aurora.
"Gue kasih password wifi nya." Jawab Alvian.
".... ngga punya hp." Jawab Aurora Lirih, balik badan dan memunggungi Alvian.
Alvian menatap dengan rumit, mana mungkin anak zaman sekarang tidak punya hp? tapi dia teringat bagaimana miskinnya Aurora, dia pun mengangguk percaya.
Aurora tidur lelap, dia merasa sedikit tenang dan nyaman dalam tidurnya. Setelah banyaknya hal yang terjadi padanya, dia merasa jauh lebih baik, meskipun hatinya sakit.
Aurora terbangun saat hari sudah gelap, dia meregangkan tubuhnya dan bersandar di kepala ranjang sebentar. Menoleh ke samping, sudah tidak ada Alvian di sana, Aurora beranjak menuju kamar mandi untuk cuci muka dan gosok gigi.
Kruyukkkk~~~
kruukkkk
"Aduh, laper banget." Ujar Aurora.
Aurora pun keluar kamar, bermaksud menuju dapur meminta makan. Dengan kaos putih polos Oversize milik Alvian, Aurora terlihat imut. Meksipun hidup di desa, kulit Aurora putih terawat dengan baik.
Tap.
Tap.
Tap.
Suara ketukan kaki Aurora yang menuruni tangga, sampai di tangga bawah Aurora melihat Alvian, sedang berbincang dengan seorang gadis modis.
Hatinya sempat berdenyut sakit, tapi dia mempertahankan wajah datar miliknya. Tetap berjalan dengan percaya diri menuju dapur, saat ini fokus utamanya adalah makan.
"Loh sayang, udah bangun? kenapa ke dapur?." Suara Ibu Alvian terdengar, membuat Aurora menoleh ke belakang.
"Mau makan." Jawab Aurora, dengan polos.
"Kebetulan, Ibu juga baru mau makan. Bareng aja gimana? Ayah lagi sibuk kerja soalnya." Ucap Ibu dengan hangat, merangkul Aurora.
"Boleh." Aurora mengangguk.
Keduanya pergi ke meja makan, makan bersama dengan hangat. Tidak lebih tepatnya Ibu Alvian lah yang lebih banyak bicara, Aurora sengaja terlihat biasa saja, supaya tidak terlihat menjilat.
Di ruang tamu, Alvian dan gadis di sebelahnya melihat semuanya. Gadis itu melirik tajam, dia mengenal baju yang di pakai oleh Aurora, itu adalah baju milik Pacarnya.
"Bentar deh yang, bukannya itu baju kamu?." Ucap nya ketus.
"Iya." Jujur Alvian.
"WTF! Dia siapa? kamu selingkuh?." Marahnya.
"Ngomong apa sih." Alvian terlihat cuek.
"Alvian, kita udah pacaran 2 tahun. Masa kamu masih gini gini aja sih, setidaknya kenalin aku ke ortu kamu lah, kamu juga kenapa gapernah mau kerumah aku." Ucapnya merajuk.
"Ngapain?." Ucap Alvian.
"Bener bener deh, kamu tuh beneran cinta sama aku ngga sih." Dia terlihat kesal.
"Udah deh, nggausah drama. Gue udah nurutin semua yang Lo mau, kurang apa lagi sih?." Alvian menahan kesal.
"Semua? Lo ga pernah publik hubungan kita____
"Berisik, Lo kan tau sendiri gue pacarin Lo karena taruhan. Lama-lama gue muak, mending putus aja." Ucap Alvian.
"Apa?!! Ngga bisa dong Alvian, kita udah 2 tahun!!." Pekiknya tidak terima.
"Gue udah punya Tunangan, harusnya Lo tau malu teriak-teriak di rumah gue. Lo ga liat Tunangan gue aja ga se caper Lo." Ucap Alvian melirik Aurora.
"N-ngga mungkin." Gadis itu menggeleng, air mata mulai menetes, dia menatap dengan berang ke arah Aurora yang tampak santai, tidak terganggu sama sekali dengan kehadiran Aurora.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!