NovelToon NovelToon

TERBUNGKUS WAKTU Rahasia Suamiku

Dibalik Senyum pengantin

Gemerincing gamelan berpadu dengan alunan musik lembut mengiringi pesta pernikahan yang digelar di ballroom hotel bintang lima. Lampu kristal berkilau di atas kepala, bunga mawar putih dan lily menghiasi setiap sudut ruangan. Semua mata tertuju pada sepasang pengantin yang duduk di pelaminan—Bayu Pratama dan Sekar Ayu.

Sekar menunduk sedikit, jari-jarinya yang halus menggenggam pelan buket bunga di pangkuannya. Hatinya berdebar kencang, bukan karena bahagia sepenuhnya, tapi karena gugup.

Ia merasa asing di tengah kemewahan yang begitu megah. Gaun putih berkilau yang membalut tubuhnya terasa begitu indah, namun juga berat—seakan menandakan tanggung jawab besar yang baru saja ia sandang.

“Angkat wajahmu sedikit, Sekar. Tamu ingin melihat wajahmu,” bisik Bayu lembut di sampingnya.

Nada suaranya tenang, sopan, tanpa nada perintah. Sekar menatap sekilas ke arah pria itu—gagah, berwibawa, mengenakan jas hitam dengan dasi perak. Senyumnya tampak hangat di depan tamu, namun mata itu… begitu sulit dibaca.

Sekar memaksa tersenyum.

Ia tahu, semua orang di ruangan itu menilai, menebak-nebak siapa dirinya—gadis biasa yang tiba-tiba menjadi istri seorang CEO muda ternama.

Beberapa tamu bahkan berbisik pelan, menatap dari jauh. Tapi Sekar hanya diam, menunduk, menahan degup yang seolah berpacu dengan musik.

Ibu Arumi tampak bahagia di kursinya, sesekali menatap menantu barunya dengan senyum penuh kebanggaan.

Bayu menggenggam tangan Sekar pelan, hanya sekilas—gerakan kecil yang seolah menenangkan.

“Aku tahu kamu gugup,” ucapnya lirih tanpa menoleh.

Sekar mengangguk pelan. “Sedikit, Mas.”

Bayu tersenyum tipis. “Tenang saja. Setelah ini, semuanya akan baik-baik saja.”

Namun entah kenapa, kata-kata itu justru membuat Sekar merasa sesak. Ia tak tahu apa arti “baik-baik saja” bagi Bayu—apakah itu tentang mereka, atau hanya tentang kewajiban di mata keluarga.

---

Malam itu, setelah pesta usai dan tamu terakhir pamit, Sekar melangkah pelan ke kamar pengantin yang luas dan wangi bunga segar.

Gaun putih sudah berganti menjadi piyama sutra yang dipilihkan oleh ibu Arumi sendiri. Di cermin besar, wajahnya tampak lelah namun tetap anggun.

Ketika pintu kamar terbuka, Bayu masuk dengan langkah tenang. Jas hitamnya kini berganti kemeja santai berwarna abu.

Ia menatap Sekar sejenak, lalu tersenyum tipis.

“Sudah capek ya?”

Sekar menunduk malu. “Lumayan… hari ini panjang sekali.”

Bayu mengangguk, mengambil segelas air dan meletakkannya di meja samping tempat tidur.

“Minum dulu, lalu istirahat. Aku tahu kamu butuh waktu menyesuaikan diri.”

Sekar menatapnya, bingung, gugup, dan… sedikit lega. Ia sempat membayangkan malam itu akan canggung, mungkin menakutkan. Tapi Bayu tak menunjukkan tanda-tanda ingin mendekatinya lebih jauh.

Ia hanya duduk di kursi dekat jendela, memandang langit malam.

“Sekar,” ucapnya pelan, “kita sudah menikah. Tapi aku ingin kamu tahu… aku tidak akan memaksamu untuk apa pun. Aku ingin kamu nyaman lebih dulu.”

Kata-kata itu membuat dada Sekar hangat. Ada ketulusan di sana, meski terselip jarak yang tak ia mengerti.

“Terima kasih, Mas,” jawabnya lirih.

Bayu tersenyum kecil. “Tidurlah. Aku akan kerja sebentar di ruang sebelah.”

Ia berdiri, berjalan pelan menuju pintu. Namun sebelum keluar, ia menoleh sebentar—tatapan teduhnya menembus lembut ke arah Sekar.

“Selamat malam, istriku.”

Sekar hanya bisa menatap punggungnya yang menjauh.

Entah kenapa, panggilan itu terasa hangat sekaligus menyakitkan.

Ada sesuatu dalam nada suaranya—bukan kebencian, tapi seolah menyimpan rahasia yang tak ingin ia ungkapkan.

Dan malam pertama itu pun berlalu… tanpa sentuhan, tapi penuh perhatian.

Di mata orang tua mereka, keduanya tampak seperti pasangan bahagia. Namun hanya Sekar dan Bayu yang tahu—ada jarak halus di antara mereka, jarak yang mungkin hanya waktu yang bisa menjembatani.

....

Cahaya matahari pagi menembus tirai tipis, menebar rona lembut ke dalam kamar besar yang kini menjadi tempat tinggal Sekar dan Bayu.

Sekar terbangun perlahan, mendengar derit halus dari pintu kamar mandi. Bayu keluar dengan kemeja putih yang sudah rapi, rambutnya sedikit basah, aroma sabun dan parfum khasnya memenuhi udara.

Ia tersenyum kecil saat melihat Sekar yang masih setengah sadar di tepi ranjang.

“Selamat pagi, Sekar.”

Suara itu lembut, hangat, dan membuat Sekar refleks menegakkan duduknya.

“P-pagi, Mas...” jawabnya pelan, gugup tapi tak bisa menyembunyikan senyumnya.

Bayu mendekat, lalu dengan gerakan ringan, ia menyentuh bahu Sekar—sekilas, tapi cukup membuat jantung Sekar berdegup lebih cepat.

“Jangan buru-buru. Sarapan masih lama. Ibu pasti belum turun,” ucapnya sambil melangkah menuju meja kecil di dekat jendela, mengambil jam tangan dan ponselnya.

Sekar hanya mengangguk.

Ada sesuatu dalam setiap gerak Bayu—tenang, berwibawa, namun tidak berjarak seperti beberapa hari lalu.

Dan pagi itu, untuk pertama kalinya, Sekar merasa keberadaannya di kamar itu tidak sepenuhnya asing lagi.

---

Ruang makan keluarga Pratama terlihat megah namun hangat.

Meja panjang dengan taplak krem lembut, peralatan makan berlapis perak, dan aroma kopi memenuhi udara.

Ibu Arumi duduk di ujung meja, tampak anggun dengan balutan kebaya modern. Di sisi lain, duduk Rama, kakak Bayu, bersama istrinya Tania yang selalu ceria dan gemar menggoda.

“Wah, akhirnya pengantin baru turun bareng juga!” goda Tania dengan tawa kecil.

Sekar tersipu, sementara Bayu hanya tersenyum tanpa membalas.

“Dulu waktu aku baru nikah sama Rama, kami juga malu-malu gitu,” lanjut Tania sambil menatap Sekar dengan tatapan jahil.

“Iya, tapi kamu sekarang malah kebanyakan bicara,” sahut Rama sambil tersenyum geli.

Tawa kecil pun memenuhi ruangan, mencairkan suasana.

Sekar ikut tersenyum, meski pipinya memerah. Bayu menoleh sebentar, lalu menatapnya sekilas dengan sorot lembut.

“Kamu suka roti atau nasi pagi ini?” tanyanya pelan, membuat Ibu Arumi yang mendengar ikut tersenyum puas.

“Roti saja, Mas,” jawab Sekar lirih.

“Baik,” ucap Bayu, lalu memotongkan roti dan menaruhnya di piring Sekar.

Sebuah gestur kecil, tapi membuat jantung Sekar berdetak lebih cepat.

Untuk pertama kalinya, di hadapan keluarga, mereka tampak seperti pasangan yang benar-benar saling mengenal.

---

Sore hari, rumah besar itu kembali hening. Angin lembut berhembus dari arah taman, membawa aroma bunga kamboja yang jatuh di sekitar kolam renang.

Sekar baru saja selesai membantu pelayan dapur menyiapkan camilan sore untuk ibu Arumi, ketika matanya menangkap sosok Bayu di tepi kolam.

Ia duduk sendiri di kursi kayu panjang, memandangi air yang berkilau diterpa cahaya senja.

Wajahnya tenang, tapi tatapannya kosong—seperti sedang berbicara dengan masa lalu yang tak terlihat.

Sekar ragu sejenak, lalu melangkah pelan mendekatinya.

“Mas, boleh saya duduk di sini?” tanyanya hati-hati.

Bayu menoleh, sedikit terkejut, tapi kemudian tersenyum hangat.

“Tentu boleh. Duduklah.”

Sekar duduk di sampingnya, menjaga jarak sopan. Hening sejenak, hanya suara gemericik air yang terdengar.

Bayu menatap langit sore yang mulai jingga.

“Kamu cepat menyesuaikan diri,” katanya tanpa menoleh.

Sekar tersenyum samar. “Saya hanya berusaha agar semua nyaman, Mas. Saya tidak ingin Ibu merasa salah menjodohkan kita.”

Bayu menatapnya kini, dalam dan tenang.

“Kamu tidak perlu berusaha keras, Sekar. Ibu menyukaimu bukan karena kamu sempurna, tapi karena kamu tulus. Itu sudah cukup.”

Sekar menunduk, matanya terasa hangat mendengar kalimat itu.

“Terima kasih, Mas…”

Bayu tersenyum, lalu bersandar santai di kursinya.

“Mungkin aku tidak banyak bicara, tapi aku suka kalau kamu di sini. Rumah ini terasa lebih hidup.”

Sekar menatapnya pelan, dan tanpa sadar tersenyum kecil.

Sore itu, di bawah langit yang memerah, keheningan mereka bukan lagi canggung—melainkan hangat.

Mereka berbagi diam yang nyaman, seolah ada sesuatu yang perlahan tumbuh di antara dua hati yang dulu terpisah jarak.

Bayu memejamkan mata sebentar, membiarkan angin sore menyentuh wajahnya.

Sekar diam-diam memperhatikannya.

Dalam hati kecilnya, ia berdoa… semoga perlahan, ia bisa menjadi cahaya kecil yang menghangatkan hati suaminya yang dingin.

Dan senja pun menutup hari itu—dengan tenang, namun menjanjikan awal yang baru bagi cinta yang mulai bersemi.

Tak ada sentuhan

Sore yang indah itu terasa terlalu singkat bagi Sekar. Seiring matahari perlahan tenggelam di balik horizon, ia masih duduk di samping Bayu, menikmati ketenangan yang tiba-tiba melingkupi mereka. Meski baru beberapa hari sejak pernikahan mereka, rasanya seperti sudah banyak hal yang terjadi. Perasaan aneh—antara cemas, harap, dan rindu—saling beradu dalam dadanya.

Bayu, yang sejak tadi tampak begitu tenang, akhirnya membuka suara lagi. “Sekar,” panggilnya, suaranya masih lembut, namun ada sesuatu yang berbeda kali ini, seperti ada beban yang tak terlihat.

Sekar menoleh, menatap wajah suaminya yang kini tampak lebih lelah dari biasanya, meski senyumnya tetap terukir di sana. "Ada apa, Mas?"

Bayu menarik napas panjang, matanya tak lepas dari kolam renang yang kini berkilauan di bawah cahaya bulan. "Aku ingin kita bicara tentang sesuatu. Tentang kita."

Sekar merasakan dadanya berdegup lebih cepat. Ada sesuatu yang berbeda dalam nada Bayu, seperti ada ketegangan yang menyelinap di antara mereka. Ia menahan napas sejenak, berusaha menenangkan dirinya. "Tentang kita?" ulangnya, suara itu terdengar lebih lirih dari yang ia inginkan.

Bayu mengangguk perlahan, matanya tetap terfokus pada air. "Ya. Tentang bagaimana kita berdua berada di sini. Bagaimana aku merasa… jarak yang ada di antara kita. Aku tahu, kamu pasti merasakannya juga."

Sekar terdiam. Perasaannya sudah lama terombang-ambing antara harapan dan kekhawatiran. "Aku… merasa ada sesuatu yang belum aku pahami tentang dirimu, Mas," ujarnya akhirnya, dengan suara yang tak lebih dari bisikan. “Kamu begitu baik, namun kadang aku merasa begitu jauh darimu. Seperti ada tembok yang membatasi kita.”

Bayu tersenyum tipis, namun senyum itu terasa sedikit pahit. "Itu karena aku juga merasa seperti itu. Aku tak ingin menuntutmu terlalu banyak, Sekar. Kita memang baru memulai. Tapi… aku merasa ada bagian dari diriku yang masih belum bisa aku buka untukmu."

Sekar merasa jantungnya serasa tercekat. Apa yang sebenarnya sedang dipendam oleh Bayu? "Apa maksudmu, Mas?"

Bayu menatapnya, kali ini tatapannya tidak bisa lagi disembunyikan. Ada keraguan, ada keresahan. "Aku takut," katanya pelan, suaranya hampir tak terdengar. "Aku takut jika aku membuka diriku lebih jauh, aku akan mengecewakanmu. Aku takut jika kita terlalu dekat, akan ada sesuatu yang menghalangi kita."

Sekar merasa hatinya berdesir. Ia tidak pernah mengira bahwa Bayu yang terlihat begitu kuat, yang begitu tampak sempurna di mata dunia, ternyata menyimpan rasa takut yang mendalam. Tanpa sadar, ia meraih tangan Bayu, menggenggamnya dengan lembut. "Jangan khawatir, Mas. Kita tidak perlu terburu-buru. Kita bisa mulai perlahan. Aku ingin memahami dirimu lebih dalam, bukan karena kewajiban, tapi karena aku ingin kita benar-benar menjadi pasangan."

Bayu menatap tangan Sekar yang menggenggamnya, lalu matanya beralih ke wajah Sekar yang kini dipenuhi dengan ketulusan. Ada sesuatu dalam tatapan Sekar yang membuat hatinya terasa lebih ringan. Untuk pertama kalinya sejak pernikahan mereka, ia merasa sedikit lebih tenang.

“Terima kasih, Sekar,” bisiknya, suara itu penuh dengan rasa syukur. “Aku terlalu banyak berpikir, hingga melupakan apa yang sebenarnya kita butuhkan. Aku tak ingin kita hanya sekadar bersama karena kewajiban.”

Sekar tersenyum, mencoba memberi kehangatan yang ia harapkan bisa membuat Bayu merasa lebih nyaman. "Kita bisa saling memberi ruang, Mas. Tapi juga berbagi, jika kita ingin."

Bayu tersenyum, namun kali ini senyum itu tampak lebih tulus, lebih terbuka. “Aku ingin kita berbagi lebih banyak, Sekar. Aku ingin kita benar-benar mengenal satu sama lain.”

Malam itu, di bawah langit yang dihiasi oleh bintang-bintang yang mulai muncul, mereka duduk bersama, berbicara tentang harapan dan ketakutan, tentang masa lalu yang masih membayang, dan tentang masa depan yang belum bisa mereka pastikan. Tapi satu hal yang mereka tahu—mereka ingin bersama, melalui semua ketegangan, kebahagiaan, dan kesedihan yang mungkin akan datang.

---

Hari berikutnya, suasana rumah Pratama kembali terasa hangat dengan tawa. Sekar membantu ibu Arumi di dapur, sedangkan Bayu sibuk dengan pekerjaannya di ruang tamu. Namun ada satu hal yang terasa berbeda—keheningan yang dulunya menyelimuti mereka kini sudah mulai terpecah.

Sekar dan Bayu mulai berbicara lebih banyak, berbagi hal-hal kecil yang membuat mereka saling mengenal. Dari hobi, hingga impian kecil yang mereka pendam. Meskipun tak banyak kata, mereka merasa semakin dekat. Mereka mulai saling menuntun untuk memahami satu sama lain, tanpa tekanan, tanpa beban.

Namun, meski hari demi hari berlalu dengan lebih hangat, ada sesuatu dalam diri Sekar yang masih mengganjal. Ia merasakan bahwa meskipun Bayu menunjukkan perhatian dan kebaikan, ada masa lalu yang belum sepenuhnya ia buka. Sekar ingin lebih dari sekadar perhatian. Ia ingin tahu apa yang sebenarnya membuat Bayu menjadi dirinya yang sekarang—terlalu tertutup, terlalu terjaga.

Satu malam, setelah makan malam yang sederhana namun menyenangkan, Sekar mengajak Bayu untuk duduk di teras. Suasana malam itu tenang, dengan angin malam yang menyegarkan.

“Mas,” Sekar memulai, dengan suara sedikit gemetar, “ada yang ingin aku tanyakan.”

Bayu menoleh, memberi perhatian penuh padanya. "Apa, Sekar?"

Sekar menarik napas, berusaha untuk tidak tampak ragu. "Kenapa kamu selalu terlihat begitu terjaga? Apa yang membuatmu menutup dirimu seperti ini? Aku… aku ingin tahu."

Bayu terdiam sejenak. Kemudian ia menarik napas panjang, seolah mencari keberanian. “Sekar,” katanya, akhirnya, “Aku tidak pernah mengharapkanmu untuk memahami semua ini dengan cepat. Ada banyak hal dalam hidupku yang membuatku seperti ini. Aku… pernah kehilangan orang yang sangat aku sayangi. Sejak saat itu, aku merasa lebih baik menjaga jarak dengan semua orang. Takut terluka lagi.”

Sekar mendengarkan dengan hati-hati. Perlahan, ia meraih tangan Bayu, memberikan ketenangan yang ia bisa berikan. "Mas… aku tidak akan pergi. Aku di sini. Jika kamu mau, kita bisa menghadapi semuanya bersama-sama."

Bayu menatapnya dalam-dalam, dan untuk pertama kalinya, ia merasa sesuatu yang berbeda—ada harapan, ada penerimaan yang tulus di mata Sekar. "Terima kasih, Sekar. Mungkin aku belum siap sepenuhnya, tapi aku ingin berusaha. Untuk kita."

Sekar tersenyum, dan malam itu mereka duduk bersama, berbicara lebih banyak dari sebelumnya. Tak ada lagi jarak yang tak terjamah, tak ada lagi ketegangan yang menahan mereka. Mereka berbagi kehangatan yang perlahan tumbuh, membuka ruang untuk sesuatu yang lebih indah.

....

Minggu berlalu dengan begitu cepat, namun ada sesuatu yang mulai mengganggu pikiran Sekar. Ia merasa seakan ada sebuah ruang kosong di antara dirinya dan Bayu, meskipun mereka berbagi waktu bersama hampir setiap hari. Meskipun Bayu selalu memperlakukannya dengan penuh perhatian, meskipun ia mendengar kata-kata manis dari suaminya, namun ada satu hal yang sangat terasa hilang: keintiman yang seharusnya menjadi bagian dari hubungan mereka.

Tidak ada sentuhan, tidak ada pelukan, bahkan ciuman di pagi hari yang biasanya menjadi kebiasaan pasangan baru—semuanya terasa seperti hanya formalitas. Sekar merasa asing dengan pernikahannya sendiri, seolah-olah mereka terjebak dalam peran yang sudah ditentukan. Bayu yang selalu tampak baik, selalu menjaga sikap dan tatapan, namun tak pernah benar-benar membuka dirinya.

Hanya sekali, di malam pertama mereka, Bayu memanggilnya “istriku” dengan suara yang lembut, namun terasa begitu jauh. Sejak itu, hubungan mereka berlanjut tanpa adanya kedekatan fisik, tanpa ada tanda bahwa pernikahan mereka memiliki gairah atau kedalaman yang lebih dari sekadar pertemuan dua dunia yang berbeda.

Sekar tak tahu harus bagaimana, tidak tahu harus berbicara dengan siapa. Ia merasa bingung dan cemas, bertanya-tanya apakah ia yang salah, apakah ia yang terlalu menuntut sesuatu yang tidak wajar dalam pernikahan mereka. Tapi keheningan Bayu, yang dulunya tampak tenang, kini semakin membuatnya cemas. Bayu tidak pernah membicarakan perasaan atau apa yang mengganjal di hatinya.

Suatu hari, Ibu Arumi harus pergi ke luar negeri untuk urusan keluarga. Kepergiannya meninggalkan kekosongan di rumah besar itu, membuat suasana terasa lebih sunyi dari biasanya. Sekar, yang sudah mulai merasa asing dengan rumah barunya, merasa lebih kesepian tanpa kehadiran ibu mertua yang selalu ada untuk memberinya petunjuk dan dukungan.

Malam itu, seperti biasa, Bayu tidak pulang. Sekar sudah mulai terbiasa dengan kebiasaan Bayu yang sering pulang larut, namun entah kenapa, malam itu terasa berbeda. Biasanya, Bayu akan memberitahunya jika ia harus lembur atau ada urusan bisnis, tetapi malam itu, ia hanya pergi tanpa memberi kabar. Hati Sekar terasa gelisah, dan pikirannya mulai melayang pada kemungkinan-kemungkinan yang membuatnya cemas.

Apakah Bayu sedang menyembunyikan sesuatu? Ataukah ia hanya terlalu sibuk dengan pekerjaannya? Sekar mencoba mengusir kekhawatirannya, tetapi rasa ragu dan cemas semakin menguasai dirinya.

Akhirnya, tanpa banyak berpikir, Sekar memutuskan untuk menghubungi Rama, kakak Bayu, yang tinggal di perumahan seberang. Ia ingin tahu apakah Bayu ada di sana atau jika ada sesuatu yang sedang terjadi pada suaminya. Sekar mengambil ponselnya dengan tangan yang sedikit gemetar dan menekan nomor Rama.

Beberapa detik kemudian, telepon tersambung, dan suara Rama terdengar di ujung sana, ceria seperti biasa. “Halo, Sekar! Ada apa?”

Sekar menarik napas panjang. “Mas Rama, maaf mengganggu. Aku hanya ingin bertanya… apakah Bayu ada di sini? Aku merasa sedikit khawatir karena dia tidak pulang semalam, dan aku tidak tahu ke mana dia pergi.”

Rama terdiam sejenak, dan Sekar bisa merasakan adanya keheningan yang aneh. "Sekar, Bayu memang tidak memberitahumu?" akhirnya tanya Rama, suaranya kini terdengar sedikit cemas.

“Tidak, Mas. Aku baru saja menyadari dia pergi tanpa memberi kabar. Aku hanya ingin tahu apakah semuanya baik-baik saja,” jawab Sekar, berusaha terdengar tenang meski hatinya berdebar-debar.

“Sekar… aku tidak ingin membuatmu khawatir, tapi… sebenarnya aku juga tidak tahu ke mana Bayu pergi. Tapi kalau aku jujur, dia memang beberapa kali keluar malam ini untuk urusan pekerjaan yang tidak terlalu jelas. Aku sudah coba tanya, tapi dia tidak banyak bicara. Sepertinya ada sesuatu yang sedang mengganggunya.”

Sekar merasa hatinya seperti dijatuhi batu besar. “Apa yang sedang mengganggunya, Mas? Aku… aku merasa ada yang salah, tapi aku tidak tahu harus bertanya apa lagi.”

Rama menghela napas panjang, suaranya kali ini lebih serius. "Sekar, aku tidak tahu apakah kamu sudah tahu atau belum, tapi… Bayu tidak mudah untuk terbuka, apalagi tentang hal-hal pribadi. Dia sering menutup-nutupi banyak hal, dan kadang aku merasa dia menyembunyikan sesuatu yang besar. Tapi aku tidak ingin kamu terlalu khawatir. Mungkin lebih baik kalau kamu bicara langsung dengan Bayu, kalau dia sudah pulang."

Sekar terdiam. Ada keraguan yang terus menghantui pikirannya. Apakah ini semua hanya tentang pekerjaan, atau ada hal lain yang lebih besar di balik sikap Bayu yang tiba-tiba menjauh? “Terima kasih, Mas Rama. Aku… akan coba bicara dengan Bayu.”

Saat itu, Sekar merasa sedikit lega karena setidaknya ia mendapatkan sedikit penjelasan, meskipun tak sepenuhnya memuaskan. Ia ingin percaya bahwa Bayu akan segera pulang dan menjelaskan semuanya, tetapi ada rasa tidak nyaman yang terus merayap di dalam hatinya.

Malam itu, setelah panggilan selesai, Sekar duduk termenung di ruang tamu, menunggu Bayu pulang. Tetapi semakin lama menunggu, semakin ia merasa terjebak dalam kekosongan yang mendalam. Tidak ada suara langkah kaki, tidak ada pesan singkat dari Bayu. Hanya sunyi yang menemaninya.

Tiba-tiba, pintu depan terbuka dengan suara gemerisik pelan, dan Bayu masuk ke dalam rumah. Sekar segera berdiri, merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Bayu tampak lelah, wajahnya terlihat lebih lelah dari biasanya, dan ada sesuatu yang berbeda dalam caranya menatapnya—sebuah jarak yang lebih jauh dari sebelumnya.

“Mas Bayu, kamu pulang…” Sekar berkata pelan, mencoba untuk tetap tenang meski hatinya dipenuhi kecemasan.

Bayu menatapnya sejenak, lalu tersenyum tipis. "Maaf, Sekar. Aku terlambat pulang. Ada banyak hal yang harus aku selesaikan."

Sekar menatapnya tajam, mencari jawaban lebih dari sekadar alasan yang terdengar biasa. "Aku khawatir, Mas. Kenapa kamu tidak memberitahuku sebelumnya?"

Bayu menghela napas, berjalan ke ruang tamu dan duduk di kursi dekat jendela. "Aku tidak ingin membuatmu khawatir. Ada beberapa urusan yang harus aku selesaikan, dan aku tidak ingin melibatkanmu. Aku… aku butuh waktu sendiri."

Sekar merasa hati itu terhimpit. Ia mencoba menahan air mata, meskipun semuanya terasa sangat berat. “Mas, aku hanya ingin tahu apa yang sedang terjadi. Kenapa kamu tidak bisa terbuka padaku? Aku istrimu, Bayu.”

Bayu terdiam, dan untuk pertama kalinya, ada ekspresi yang jauh di matanya—sebuah rasa sakit yang begitu dalam. Ia menatap Sekar dengan mata yang seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi lidahnya terasa kelu.

“Sekar,” ucapnya akhirnya, suara itu berat dan penuh penyesalan. “Aku… aku takut kalau aku membuka semuanya, aku akan menghancurkan apa yang kita miliki. Tapi aku juga tahu aku tidak bisa terus seperti ini. Maafkan aku.”

Sekar menatapnya dengan penuh harapan, meski hatinya masih penuh tanya. "Aku ingin mendengarnya, Mas. Semua yang kamu sembunyikan. Jangan biarkan ada jarak di antara kita."

Bayu menunduk, dan untuk pertama kalinya sejak mereka menikah, Sekar merasa sedikit lebih dekat dengan suaminya—meskipun masih ada banyak rahasia yang harus mereka pecahkan bersama.

sang masalalu

Pagi berikutnya

Mentari baru saja naik, sinarnya menembus tirai ruang makan rumah Pratama yang megah. Aroma teh melati dan roti panggang memenuhi ruangan, namun pagi itu terasa hening, seolah udara pun enggan bergerak.

Sekar duduk berhadapan dengan Bayu, mencoba menata suasana. Ia menatap secangkir teh di tangannya, sementara Bayu tampak tenang seperti biasa, meski ada sesuatu yang tampak berbeda dari sorot matanya—lebih kosong, lebih berat.

Sarapan berlangsung dalam diam. Hanya suara sendok yang sesekali beradu dengan piring. Sekar ingin berbicara, ingin bertanya apakah Bayu akan menceritakan sesuatu seperti yang dijanjikannya semalam, tapi bibirnya kelu.

Setelah beberapa menit, Bayu meletakkan sendoknya perlahan dan menyeka bibir dengan tisu. Ia tersenyum, tapi senyum itu tak sampai ke matanya.

“Sekar, aku berangkat dulu,” katanya lembut.

Sekar menatapnya, menahan kecewa yang tak bisa disembunyikan. “Mas, kamu tidak sarapan banyak. Apa kamu benar-benar baik-baik saja?”

Bayu hanya mengangguk. “Aku baik, Sekar. Jangan khawatir.”

Ia berdiri, mengambil jasnya yang tergantung di kursi. Tak ada kecupan di kening, tak ada pelukan—hanya angin dingin yang tiba-tiba terasa menyusup di antara mereka.

Sekar menatap punggung suaminya yang semakin menjauh. Hatinya terasa berat, seolah firasat buruk mulai berbisik di telinganya.

Bayu melangkah keluar rumah, menuju halaman depan. Sopir yang sudah menunggu segera membuka pintu mobil, namun langkah Bayu terhenti tiba-tiba.

Di seberang jalan, berdiri seorang wanita dengan gaun berwarna krem muda, rambutnya tergerai rapi, bibirnya melengkung dalam senyum yang samar namun tajam.

Alira.

Nama itu kembali bergema di kepala Bayu, membawa seluruh kenangan yang seharusnya sudah ia kubur dalam-dalam. Wanita itu—yang dulu ia cintai dengan sepenuh hati—kini hanya meninggalkan bayangan kelam di hidupnya.

Bayu menatapnya dengan rahang mengeras. Ia tahu, setiap kali Alira muncul, tak pernah ada kebaikan yang datang bersamanya.

Tanpa pikir panjang, ia menyeberang jalan. Sopir yang melihatnya hendak menahan, tapi Bayu mengangkat tangan, memberi isyarat agar tidak ikut campur.

“Alira,” sapanya dingin ketika jarak mereka hanya tinggal beberapa langkah.

Alira tersenyum, tatapannya penuh kepuasan. “Lama tidak bertemu, Bayu. Kuharap istrimu bahagia denganmu… setidaknya untuk sementara.”

Bayu menatapnya tajam. “Apa yang kamu inginkan kali ini?”

Alira menunduk sedikit, memainkan ujung rambutnya dengan senyum licik. “Kau tahu apa yang kuinginkan, sayang. Sama seperti dulu—aku hanya ingin kita bersatu kembali. Perusahaanmu… asetmu… itu semua seharusnya menjadi bagian dari kita, bukan?”

“Jangan mimpi,” sahut Bayu tegas. “Permainanmu sudah selesai, Alira.”

Alira tertawa kecil, dingin dan meremehkan. “Oh, Bayu. Kau selalu berpikir kau bisa keluar dari permainan ini. Tapi sayangnya, aku masih punya sesuatu yang bisa menghancurkanmu.”

Ia mendekat, berbisik di telinga Bayu, “Ingat malam itu? Aku masih menyimpan buktinya.”

Wajah Bayu menegang. Napasnya terasa sesak, seolah udara tiba-tiba menghilang. “Cukup, Alira.”

Namun Alira hanya tersenyum puas, lalu berbalik perlahan, meninggalkan Bayu yang mulai merasakan berat di kepalanya. Dunia seolah berputar. Suara tawa Alira masih bergema di telinganya, semakin jauh, semakin menusuk.

Bayu menatap sekeliling, pandangannya mulai kabur. Ia melangkah gontai kembali ke arah rumah, tapi langkahnya terhuyung.

“Agh…” Bayu memegangi kepala, tubuhnya goyah. Ia berusaha meraih kap mobil untuk bersandar, tapi tangannya gagal menjangkau. Pandangannya menjadi gelap.

Suara teriakan Sekar memecah kesunyian pagi.

“Mas Bayu!”

Sekar berlari dari teras, wajahnya pucat pasi. Sopir yang panik segera ikut berlari, memapah tubuh Bayu yang ambruk di atas jalanan batu.

“Cepat! Tolong angkat Mas Bayu ke dalam!” Sekar menjerit, air matanya mulai jatuh tanpa ia sadari.

Bayu tak merespons. Hanya wajahnya yang tampak pucat, dan napas yang tersisa begitu lemah.

Saat mereka memapahnya masuk ke rumah, Sekar sempat menoleh ke arah jalan seberang.

Kosong.

Hanya ada sisa aroma parfum yang tertinggal di udara dan suara mesin mobil yang baru saja pergi menjauh.

Sekar menggenggam tangan Bayu yang terkulai.

“Mas… buka matamu, Mas. Tolong jangan tinggalkan aku…”

Suara tangisnya pecah, menembus pagi yang kini terasa lebih sunyi dari sebelumnya.

---

Pagi hari, pukul tujuh.

Suasana rumah Pratama masih diselimuti kecemasan. Bayu baru saja sadar setelah satu jam kehilangan kesadaran. Sekar yang sejak tadi tidak beranjak dari sisinya langsung memegang tangan suaminya begitu matanya perlahan terbuka.

“Mas… syukurlah kamu sadar,” ucap Sekar dengan suara bergetar. Matanya masih merah, bekas tangis semalaman.

Bayu mengerjap pelan, mencoba memahami keadaan. Tubuhnya terasa berat, tapi pandangannya sudah lebih jelas. Ia melihat Sekar yang duduk di sisi ranjang dengan wajah cemas.

“Aku… kenapa, Sekar?” tanyanya lemah.

Sekar menatapnya penuh khawatir. “Kamu pingsan di depan rumah, Mas. Aku benar-benar takut…”

Bayu menutup mata sejenak, mengatur napasnya. “Mungkin aku terlalu lelah. Belakangan ini kepala sering terasa berat.”

“Mas seharusnya istirahat dulu,” ujar Sekar lembut, “biar aku hubungi dokter lagi untuk.”

Namun Bayu sudah berusaha bangkit dari ranjang.

“Tidak perlu. Aku sudah jauh lebih baik sekarang.”

“Mas...”

“Aku tidak apa-apa, Sekar,” potong Bayu dengan nada lembut tapi tegas. Ia duduk di tepi ranjang, mengenakan jam tangan, lalu menatap istrinya dengan senyum samar. “Aku hanya butuh sedikit waktu. Sekarang aku harus ke kantor. Ada beberapa hal yang harus ku selesaikan hari ini.”

Sekar menatapnya tak percaya. “Mas, kamu baru saja pingsan. Tidak bisakah kamu istirahat dulu hari ini?”

Bayu menatapnya sejenak, lalu menepuk lembut punggung tangan Sekar. “Jangan khawatir. Aku janji tidak akan memaksakan diri.”

Sekar ingin menahan, tapi tatapan mata Bayu tak memberi ruang untuk perdebatan. Ia hanya bisa mengangguk, meski hatinya menjerit.

Bayu kemudian beranjak, mengenakan jas kerjanya seperti biasa, seolah tidak pernah terjadi apa pun. Sebelum melangkah keluar kamar, ia sempat menoleh dan berkata,

“Jangan terlalu khawatir, Sekar. Aku akan pulang lebih awal.”

Namun, seperti biasanya, Bayu pergi tanpa kecupan, tanpa pelukan. Hanya suara langkah dan pintu mobil yang menutup perlahan, meninggalkan kesunyian di rumah besar itu.

Sekar menatap dari balik jendela, melihat mobil Bayu menjauh di jalanan kompleks yang teduh. Dalam diam, rasa khawatirnya berbaur dengan keputusasaan yang perlahan tumbuh.

...

Setelah Bayu benar-benar pergi, Sekar menarik napas panjang dan mencoba menenangkan pikirannya. Tapi rasa resah tak juga hilang. Di antara kekhawatirannya terhadap Bayu, muncul satu niat yang sudah ia pikirkan sejak kemarin — menemui Tante Susan.

Tante Susan adalah satu-satunya keluarga yang tersisa dari pihak ibunya. Wanita paruh baya dengan penampilan elegan dan tutur bicara yang selalu terdengar seperti perintah. Ia memiliki butik besar di kawasan kota, tempat para sosialita sering berbelanja. Tapi di balik penampilannya yang berkelas, Sekar tahu, sang tante menyimpan sisi yang dingin dan perhitungan.

Dialah orang yang mempertemukan Sekar dengan Bayu bukan karena kasih sayang, tapi karena alasan praktis: Susan lelah menanggung keponakannya sendiri.

Sekar masih ingat ucapan tantenya dulu:

“Kau sudah cukup umur, Sekar. Aku tidak bisa terus menanggungmu. Bayu pria baik, dan dia butuh istri yang tahu diri. Kau seharusnya berterima kasih.”

Sejak itu, hidup Sekar berubah dari gadis sederhana yang tinggal di rumah tantenya, menjadi istri seorang pria mapan yang nyaris tak ia kenal.

Namun kini, beberapa minggu setelah pernikahannya, Susan kembali menghubunginya.

Suaranya di telepon terdengar manis, tapi Sekar tahu nada itu penuh maksud.

“Datanglah ke butik tante besok. Tante ingin bicara soal sesuatu yang penting.”

Dan kini, dengan perasaan campur aduk, Sekar bersiap berangkat.

Di dalam hati, ia sudah menebak arah pembicaraan itu uang.

Susan selalu punya alasan untuk meminta, entah itu “modal tambahan butik”, “biaya pengiriman bahan”, atau “investasi kecil untuk masa depan”.

Sekar tahu ia tidak punya keberanian menolak, tapi juga tidak tahu bagaimana memintanya dari Bayu.

Bayu memang tidak pernah membentaknya, tapi ketegasan dan sikap dingin pria itu cukup membuat Sekar takut untuk menyinggung hal-hal yang berhubungan dengan uang.

“Kalau Mas tahu aku minta uang untuk Tante…” gumam Sekar pada dirinya sendiri di depan cermin, “dia pasti kecewa.”

Namun, di sisi lain, ia tahu jika ia tidak memenuhi permintaan Susan, maka wanita itu tidak akan berhenti menekannya seperti dulu, dengan kata-kata yang selalu membuat Sekar merasa bersalah karena “berutang budi.”

Dengan langkah berat, Sekar mengenakan gamis sederhana berwarna pastel dan kerudung yang senada. Ia mengambil tas kecil, lalu memandangi pintu rumah sekali lagi sebelum keluar.

Di dalam hatinya, ada dua rasa yang bergulat: ketakutan pada Bayu, dan ketakutan yang lebih besar lagi pada tantenya.

Mobil keluarga yang biasanya menjemputnya sudah menunggu di depan. Sekar masuk perlahan, dan ketika mobil melaju ke arah butik Susan, pandangannya kosong menatap jalanan kota yang ramai.

Ia tidak tahu bahwa hari itu akan menjadi awal dari serangkaian kejadian yang perlahan membuka sisi lain dari masa lalunya dan masa lalu Bayu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!