Prolog
“Apaaaa?Nggak mungkin, ma! Nggak mungkin aku dijodohin sama si Axel brengsek itu!” bentak Kayla dengan wajah merah padam.
“Kamu itu ribut terus Kayla! Tiap hari mama bolak-balik ke ruang BK. Mama capek, tahu nggak?” teriak Wida, ibunya Kayla.
“Tapi ma, si Axel itu—”
“Udah! Capek bahas dia ma!
Pokoknya kamu nikah sama Axel setelah lulus sekolah! Mama malu sama orang tuanya, mama udah janji!” potong Wida keras.
“Maaaaa! Ini gila!” Kayla menjerit frustasi, masuk ke kamar lalu membanting pintu sekuat tenaga.
~~°°°°°°°°~~
Di sisi lain, Axel baru pulang dari tawuran. Wajahnya babak belur, bibirnya pecah.
“Mau jadi apa kamu, Xel?” ucap ibunya pelan, menahan tangis.
Axel hanya diam, duduk sambil menahan sakit.
“Udah, jadikan saja. Setelah lulus sekolah, kamu nikah sama Kayla. Kita udah janji sama Bu Wida,” ucap Herman, ayah Axel dengan nada tegas.
“Apa?Pah, nggak mungkin!” Axel langsung berdiri kaget.
“Kamu itu brengsek banget, Xel. Kalau nikah, kamu punya tanggung jawab. Paham?!” bentak ayahnya.
“Tapi pah… kenapa harus Kayla sih?” gumam Axel kesal.
“Kenapa? Kayla cantik, kok,” sahut Ami, ibunya Axel mencoba menenangkan.
“Iya sih cantik… tapi… ah, udah capek ngomongin dia!” Axel mendengus, lalu masuk kamar dengan wajah dongkol.
~~°°°°°°°~~
Beberapa menit kemudian, perang dunia pecah di chat.
Kayla: Lo ngomong apa ke bokap lo, hah?! 😡
Axel: Nggak tau. Anjing lo kali yang ngebet sama gue. 🤮
Kayla: Najis! 🤧
Kayla: Besok di sekolah, gue hajar lo, Axel brengsek!!!
Axel: Oke, gue tunggu, Kayla. 🖕🏻
Kayla: NAJIS!!! SIALAAAAAANNNN!!!
Kayla menjerit sambil guling-guling di kasur dengan emosi meledak.
Sementara itu, Axel sibuk mengobati luka-lukanya akibat tawuran… sambil senyum tipis membayangkan betapa ributnya hidup setelah dijodohkan dengan si “Ratu Gelud”.
Chapter 1.
Sore itu suasana sekolah mulai lengang. Beberapa murid masih terlihat sibuk merapikan barang-barang, sementara Kayla bersiap pulang.
“Lo pulang sama siapa, Kay?” tanya Salsa, teman dekat Kayla, sambil menepuk pelan bahunya.
“Sendiri, kenapa?” sahut Kayla dengan nada santai, matanya sibuk merapikan tas.
“Gue ikut ya,” pinta Salsa sambil tersenyum lebar.
Kayla mendongak sebentar, lalu terkekeh kecil. “Boleh, kok Lo ngomong gitu, biasanya juga kita bareng kan?”
Salsa menyisir rambut panjangnya yang agak kusut, lalu menatap Kayla dengan tatapan usil. “Ya kirain aja lo jalan sama siapa gitu…” ucapnya sambil senyum-senyum menggoda.
Kayla memutar bola matanya lalu tertawa geli. “Haha, sama siapa? Gue mah balik sendiri. Semua juga punya motor, Say.”
“Iya juga ya,” balas Salsa santai sambil merapikan rambutnya dengan jari.
Tak lama, dua orang teman lain—Anya dan Laras—datang menghampiri.
“Kay, besok libur. Hangout yuk,” ucap Anya sambil merapikan rambutnya ke belakang telinga.
“Kemana?” tanya Kayla dengan nada malas, masih sibuk dengan tas nya.
“Nonton Say,” sela Laras sambil mengunyah camilan yang dibelinya dari kantin.
“Jam berapa?” Kayla menghela napas, malas tapi tetap mendengar.
“Jam 10 deh. Kita jalan-jalan dulu, hayu Kay,” bujuk Anya dengan mata berbinar.
Kayla menoleh, lalu tersenyum tipis. “Jemput, tapi pake mobil lo, ya.”
“Boleh. Lo ikut, Sa?” tanya Anya ke Salsa.
“Hayu aja,” jawab Salsa santai tanpa mikir.
“Ok cusss,” sahut Anya riang sambil duduk di samping Laras.
________________°°°°°°°°°°°°_______________
Sore nya setelah bubar sekolah saat Kayla hendak mengeluarkan motor kesayangannya dari parkiran.
Namun tiba-tiba, suasana tenang itu buyar. Seorang cowok dengan gaya heboh dan grusukan berusaha mengeluarkan motor sport-nya.Gerakannya terburu-buru hingga tanpa sengaja menyenggol motor Kayla.
“Lo hati-hati dong, anying!” bentak Kayla kesal, wajahnya memerah karena motor kesayangannya tersenggol.
Cowok itu, Axel, menoleh dengan wajah songong. “Siapa suruh nyimpen di situ? Gue kan udah bilang ke semua siswa jangan ada yang parkir deket motor gue.”
Kayla melotot. “Ekh,emang lo siapa, bangsat? Anak presiden, lo ngatur murid di sini?” bentaknya makin keras.
Axel mendengus sambil menepuk dada dengan sombong. “Bukan, Gue anak Pak Herman. Bokap gue punya pabrik plastik dekat rumah. Dan lo tau itu, karena kita tetanggaan, tai!”
Kayla tertawa sinis. “Belagu, anjing. Anak si Herman juga,” gerutunya penuh amarah.
Axel berhenti melangkah, lalu menoleh dengan mata membara. “Lo ngomong apa?” suaranya meninggi.
“Lo belagu anying!” teriak Kayla, nadanya menantang.
Axel melangkah makin dekat, wajahnya menegang. “Nggak, gue denger nama bokap gue disebut. Coba sekali lagi!”
“Lo belagu! Cuma anak si Herman! Kenapa hah ? Lo ngga suka hah? Mau apain gue?” balas Kayla, berdiri tegak tanpa rasa takut.
Axel balas dengan nada kasar. “Lo juga songong! Bapak lo si Dimas juga gue tau!”
Kayla menyeringai. “Trus, mau apa? Udah, lo pulang sana. Bawa motor butut lo!” ucapnya, lalu menendang motor Axel hingga oleng.
Axel meledak marah. “Sentuh motor gue, lo mati!”
Kayla bukannya mundur, malah maju dan menendang motor itu sekali lagi hingga benar-benar terjungkal.
“Anjing lo ya!” teriak Axel, lalu langsung menjambak rambut Kayla dengan kasar.
“Aaaakkh, sakit, anjing!” jerit Kayla, tapi cepat-cepat ia menyikut Axel keras hingga cowok itu meringis kesakitan.
“Aawww, sialan lo!” teriak Axel, memegangi perutnya.
Kayla malah tersenyum menyebalkan, seolah puas. Dengan langkah santai, ia meninggalkan Axel yang masih sibuk membangunkan motornya yang tergeletak.
“Cewek sialan!” geram Axel, rahangnya mengeras, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa lagi sore itu.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Malam itu warung sederhana di pinggir jalan dipenuhi tawa dan obrolan anak-anak muda.
Asap rokok menari di udara, sementara gitar tua di tangan Revan mengalun santai mengiringi percakapan.
“Kay, besok kemana?” tanya Revan sambil terus memetik gitarnya tanpa melihat ke arah Kayla. Nada suaranya santai, tapi rasa ingin tahunya jelas terdengar.
“Main,” jawab Kayla singkat sambil menghembuskan asap rokoknya ke udara. Matanya menatap kosong ke arah jalanan gelap.
“Kemana?” Romi menimpali, santai sambil menyesap kopi hitamnya.
Kayla menoleh dengan malas, lalu bersender pada bahu Romi. “Kepo kalian. Mau apa, sih?” tanyanya setengah kesal, tapi sebenarnya hanya menggoda.
“Mau tau aja, Kay. Sewot amat,” ucap Revan sambil tersenyum nakal, jarinya tak berhenti menggesek senar gitar.
Kayla mendengus kecil lalu mengedikkan bahu. “Nongkrong lah,” ujarnya, kali ini matanya menatap bintang-bintang di langit yang cerah.
Tiba-tiba, Axel masuk ke warung untuk membeli rokok. Kehadirannya langsung mencuri perhatian.
Revan yang melihat kesempatan itu langsung bersuara. “Gabung, Xel!” ajaknya dengan senyum lebar.
Kayla menatap Axel sekilas, lalu bergumam sinis sambil ngemil keripik. “Mana level dia gabung sama kita.”
Axel hanya melirik sekilas, lalu menegaskan dengan nada ketus.
“Ngga. Gue mau trek-trekan,” ucapnya, kemudian berbalik pergi.
“Sombong dia,” kata Romi sambil terkekeh, menatap punggung Axel yang menjauh.
Kayla tertawa keras, mengibaskan tangannya di udara. “Anak yang punya pabrik, anying. Jangan dilawan,” ucapnya, disambut tawa gengnya.
Kayla lalu menoleh ke Romi. “Mi, lo kuliah ngga nanti?” tanyanya santai, sambil menyalakan rokok baru.
Romi menghela napas. “Ngga tau,mumet gue. Ngelamar aja gitu ke pabrik bokap nya si Axel,” jawabnya dengan tawa geli.
Kayla langsung bergidik, wajahnya penuh ekspresi jijik. “Anjir! Dari sekian banyak pabrik di sini, lo milih pabrik si Axel? Najis!”
Romi dan Revan tertawa terbahak-bahak. Revan menepuk lututnya sambil berkata, “Haha, emang kenapa, Kay?”
Kayla melipat tangan di dada, wajahnya penuh amarah terpendam. “Kesel gue sama dia belagu banget.”
“Emang,dari dulu kan gitu” jawab Revan singkat,lalu kembali bernyanyi dengan gitar tuanya, seolah tak ada yang serius.
Kayla berdiri, meregangkan tubuhnya.“Dah, akh.Gue balik.Ngantuk.”
“Bye, Kayla!” sahut Romi dan Revan bersamaan, masih dengan nada bercanda.
Kayla hanya melambaikan tangan tanpa menoleh lagi.
Di sisi lain kota, Axel sudah bersiap di jalanan gelap untuk balapan liar.Deru motor terdengar meraung-raung, memenuhi udara malam. Beberapa anak muda berteriak memberi semangat.
“Lo pasti menang, Xel!” teriak David, temannya, dengan semangat berapi-api.
“Pasti,” jawab Axel penuh percaya diri, senyumnya lebar.
Ia menarik gas motornya keras-keras. Dalam hitungan detik, motor sport itu melaju kencang, meninggalkan lawannya jauh di belakang.Axel mengangkat kedua tangannya sebentar saat garis akhir dilalui.
“Kereeen! Si Axel menang terus!” seru Niko, temannya yang lain, sambil tertawa kecil.
“Iya dong!” Axel tersenyum puas, wajahnya penuh kebanggaan.
Namun kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Sirene polisi meraung, mendekat dari arah lain.
“RAZIA! LARI!” teriak seseorang.
Semua peserta balap liar panik, gas motor langsung diputar habis.
Jalanan sepi mendadak riuh dengan suara knalpot. Axel ikut mencoba kabur, tapi motornya tiba-tiba sulit distarter.
“Sialan!” umpatnya, berkali-kali memutar kunci.
Tak ada waktu lagi. Polisi terlanjur datang, dan Axel pun tertangkap di tempat.
Beberapa jam kemudian, orang tua Axel dipanggil ke kantor polisi.Wajah Pak Herman terlihat penuh malu, sementara Bu Ami hanya menghela napas panjang.
“Duh, ngerepotin mulu,” ucap Pak Herman, menepuk dahinya sambil tersenyum kikuk ke arah Dimas, ayah Kayla, yang kebetulan polisi yang menangkap Axel.
“Gak apa-apa, Pak Herman. Masih muda, biasa lah,” ucap Dimas ramah, mencoba mencairkan suasana.
“Ya sudah, saya pamit ya,” kata Herman dengan wajah lelah.
“Om, saya pamit,” ucap Axel pelan sambil menyalami tangan Dimas dengan sopan.
“Udah, Axel. Jangan balapan liar lagi,” pesan Dimas sambil mengusap rambut Axel.
“Iya om, nanti ngga lagi,” jawab Axel, mencoba tersenyum.
Dimas terkekeh kecil. “Lah, ngomong gitu dari sebulan yang lalu.”
Axel mengangguk buru-buru. “Iya, nanti nggak om. Kalau udah lulus, janji.”
“Ya sudah, hati-hati,” ucap Dimas, tetap tersenyum ramah.
Namun setibanya di rumah, wajah ramah ayahnya hilang. Pak Herman langsung memarahi Axel habis-habisan.
“Motor disita!”bentaknya dengan nada tegas.
“Pah, jangan pah! Please!”pinta Axel sambil menunduk memohon.
Bu Ami hanya menggeleng, lalu menghela napas panjang.“Masuk kamar dulu, biar papa kamu tenang,” ucapnya lirih, sambil menggerutu kecil.
Axel hanya bisa menunduk. Dengan wajah muram, ia masuk ke kamar malam itu, pintu ditutup dengan keras.
Keesokan harinya, Kayla dan gengnya berjalan santai di sebuah mall besar di pusat kota.
Tawa mereka bergema di antara lorong-lorong toko. Kantong belanja sudah menumpuk di tangan mereka, dan setelah puas belanja serta menonton film, mereka naik ke rooftop café yang dihiasi lampu gantung cantik.
Sore itu angin sepoi-sepoi menemani mereka.
“Kay, kuliah dimana?” tanya Anya, sambil menyeruput es kopi susunya.
Kayla menghembuskan asap rokok ke udara, duduk dengan santai. “Ngga tau gue. Males belajar.”
“Yee, tapi bokap lo nyuruh lo belajar, kan?” ucap Laras, mengernyit sambil memainkan sedotan plastik.
“Iya sih. Dia suruh gue jadi dokter. Kalau ngga, ya kuliah hukum. Akh, males gue. Pengen kerja aja,” balas Kayla dengan nada santai, wajahnya seolah tak peduli.
Salsa yang duduk di samping Kayla menepuk meja. “Cape kerja kali, apalagi cuma lulusan SMA.”
Kayla mendengus sambil mengangkat bahu. “Iya juga sih. Paling ke pabrik kalo lulusan SMA.”
Salsa tersenyum manis. “Semangat dong, Kay. Ikut gue aja kuliah perhotelan, biar ngga terlalu pusing.”
Kayla tersenyum kecil, menatap jauh ke pemandangan kota yang berkilauan. “Iya, gimana nanti aja. Masih lama, kan.”
Laras tiba-tiba nyengir. “Lo kemarin kenapa sama si Axel?” tanyanya sambil terkekeh, jelas penasaran.
Kayla langsung tertawa keras, menyandarkan tubuh ke kursi.
“Sialan tuh orang. Emang gila. Masa dia nyenggol motor gue. Gue tendang aja motor dia sampe terguling.”
Anya sampai menepuk dahinya sambil ngakak. “Gila lo ya! Parah! Orang-orang pada takut sama si Axel, lo malah ngajak berantem mulu. Heran gue.”
“Nyebelin anying. Masa ngomong gini: siapa suruh naro motor di sini. Padahal semua udah tau kalo motor gue ngga boleh ada yang deketan parkirnya. Lah, emang dia siapa? Bukan anak pemilik sekolah ini juga,” ucap Kayla penuh kesal.
Salsa mendekat, berbisik dramatis. “Parah emang tuh bocah. Kabarnya kemarin dia ketangkep balapan liar.”
“Anjir, sumpah?!” Laras terkejut, matanya membulat.
“Mampus, sukurin!” Kayla tertawa puas, wajahnya penuh kemenangan.
Salsa menatap Kayla dengan ekspresi serius. “Lah, yang nangkep bokap lo. Lolos lagi pasti. Secara bokap lo kan sama bokapnya bestie.”
Kayla menghentikan tawanya, wajahnya berubah masam. “Ekh, iya ya… Anjir lah. Gimana cara supaya dia itu kena batunya. Sumpah, gue eneuk liat dia.”
“Iya, berandalan banget. Meresahkan,” ucap Anya sambil mengaduk minumannya.
Hari Minggu pagi, Kayla mengenakan pakaian olahraga dan berlari kecil di area lapangan bersama Revan.
Matahari baru naik, udara masih segar.
“Si Romi mana, ngga ikut?” tanya Kayla sambil mengatur napas.
“Belum bangun dia,” jawab Revan, ngos-ngosan tapi tetap menjaga ritme larinya.
“Jajan yuk. Udah berapa keliling. Cape, anjir,” Kayla mengeluh sambil menepuk perutnya.
“Ya ayok, bebas gue mah,” ucap Revan sambil nyengir.
Mereka pun duduk di rerumputan hijau, membeli cilok hangat dari pedagang yang lewat. Asap kuahnya mengepul di udara pagi.
“Van, si Salsa nanyain lo,” kata Kayla sambil mengunyah cilok.
Revan mengernyit. “Lah, dia rumahnya deket. Masa nanyain gue?”
Kayla menepuk bahunya dengan jahil. “Naksir lo, Van. Gebet aja. Cakep tuh.”
Revan langsung terdiam, matanya menerawang kosong.
“Kenapa lo, Van?” tanya Kayla heran.
Revan menghela napas panjang. “Gue ngga akan pacaran dulu, Kay. Mau fokus sekolah dulu. Takut gue kalo pacaran.”
Kayla menaikkan alisnya. “Lah, takut kenapa?”
Revan tersenyum kecil, wajahnya tulus. “Takut kalo gue ngga bisa jajanin pacar gue. Gue aja jajan ditraktir lo mulu. Ntar kalo gue udah kerja, baru deh gue bisa pacaran.”
Kayla hanya mendengus, lalu tersenyum tipis. “Ouh gitu ya. Hmm, ya udah. Nanti gue bilangin.”
Revan kaget, matanya membesar. “Ekh, jangan! Malu, anjir!”
Kayla ngakak sambil menepuk lututnya. “Haha, iya iya deh, Van. Panik amat lo.”
Senin siang, suasana sekolah heboh. Axel tidak masuk, kabarnya ia marah besar karena motor sportnya masih disita ayahnya.
Kayla sedang istirahat bersama gengnya ketika tiba-tiba byur! segelas jus jeruk disiramkan ke tubuhnya.
“Anjing! Apa-apaan ini?!” teriak Kayla berdiri, wajahnya penuh emosi.
Seorang cewek, Maira, berdiri di hadapannya dengan wajah merah padam. “Lo sering chatan, kan, sama Putra?!”
Kayla menyeka bajunya yang basah, menatap Maira dengan tatapan dingin. “Lah, emang kenapa? Salah?”
“Salah, anjing! Dia pacar gue! Dasar lonte!” bentak Maira penuh emosi.
Kayla langsung maju, matanya berkilat. “Lo bilang apa?!”
“Lonte!” ucap Maira lagi dengan nada penuh tekanan.
Kayla hilang kesabaran. Tangannya langsung menjambak rambut Maira kasar. “Jaga bacot lo, anjing!” teriaknya sambil menepuk mulut Maira keras-keras.
“Kay, udah Kay! Jangan gelut lagi!” Anya mencoba memisahkan mereka.
“Alah, kasih pelajaran aja biar tau rasa,” ucap Laras santai, malah mendukung.
Maira melawan. Ia memukul Kayla keras di bahu. Kayla membalas dengan tinju telak ke wajahnya.
Baku hantam pun pecah. Suasana kantin gaduh, siswa-siswa berkerumun, bersorak dan menjerit.
Putra datang berlari, kaget melihat kekacauan. “Ini kenapa?!” tanyanya panik.
Kayla yang wajahnya babak belur menunjuk ke arah Maira. “Cewek lo tuh, anjing! Tiba-tiba nyiram gue pake jus!”
Maira menangis sambil berteriak. “Lo gatel, brengsek! Ganggu pacar orang!”
Kayla terengah-engah, tapi masih bisa membalas. “Lah, yang duluan chat siapa? Baca dulu pesan, tai lo!”
Putra menoleh ke Maira dengan wajah kecewa. “Udah-udah! Gue yang chat dia. Kenapa, May?”
Maira terkejut, air matanya semakin deras. “Lo kenapa sih, Put? Gue masih pacar lo, loh!”
Putra menggeleng, suaranya dingin. “Kita udah putus, May. Jadi lupain gue.” Ia meraih tangan Kayla, membantu gadis itu berdiri.
“Mampus lo!” ucap Kayla sinis, menatap tajam ke arah Maira.
Putra membawa Kayla ke UKS.
Dengan hati-hati, ia membersihkan luka di wajah Kayla, ekspresinya penuh perhatian.
Tak lama, Anya muncul di pintu. “Kay, dipanggil BK,” ucapnya sambil tersenyum kaku.
Kayla menghela napas panjang, wajahnya penuh kekesalan.
“Udah, gue bantu,” kata Putra, meraih tangan Kayla, menemaninya berjalan ke ruang BK.
Di sana Kayla menjelaskan semua kejadian. Tapi tetap saja, pihak sekolah memanggil orang tuanya.
Saat keluar, Kayla menendang kerikil dengan kesal. “Akh, brengsek.”
“Sorry ya…” Putra menunduk, merasa bersalah.
“Ngga tau, akh. Gue lagi bete,” balas Kayla ketus, lalu masuk ke kelasnya dengan langkah berat.
Malam itu rumah Kayla berdenyut dengan ketegangan yang tak kasat mata. Di ruang tamu, lampu hangat memantul di wajah Bu Wida yang lelah. Ia menggeleng pelan sambil menatap putrinya yang baru duduk di sofa.
"Ya ampun, kamu Kayla berulah lagi," gerutu ibunya, ujung suaranya penuh kekhawatiran sekaligus penat.
Kayla menyikut bahu, nada suaranya datar tapi membela diri. "Dia yang mulai, mah. Kesel juga aku." Matanya masih menyimpan bara kemarahan dari bentrokan kemarin.
Bu Wida menghela napas panjang, bibirnya menegang. "Jadi mamah harus ke BK lagi besok? Cape, mamah tuh, Kay. Kamu bertingkah banget." Suaranya mengeras, tapi lebih karena lelah daripada marah sungguhan.
Kayla mendelik tajam, melipat tangan di dada. "Ya Kayla di hajar masa diam aja sih gimana, mamah ini." Nada protesnya penuh kebanggaan yang konyol - keras kepala yang tak mau dibungkam.
Bu Wida memutar matanya lalu berdiri. "Ya udah, awas kalo kejadian lagi, cape mamah. Akh, udah jangan sekolah, nikah aja - pusing mikirin kamu." Ucapannya ketus ketika ia melangkah masuk kamar, menutup pintu dengan suara yang menahan amarah.
Kayla menahan senyum sinis ketika pintu tertutup. "Yee, tiap kali gini nyuruh nikah mulu. Gak pengen gitu anaknya sukses?" gumamnya, separuh kesal, separuh mengejek nasihat ibunya. Ia kemudian masuk ke kamarnya, menampar pintu perlahan sebelum duduk di kasur, merasakan sakit badan yang masih baru.
°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°
Keesokan paginya Kayla menyelinap masuk kelas dengan langkah lamban.
Wajahnya lebam; bekas pukulan menghitam di sekitar matanya, lehernya kaku, lengan dan tubuhnya penuh memar. Ia duduk, menepuk pelan pipinya, menahan rasa sakit.
"Aduh, anjir badan gue sakit banget," keluhnya lirih, suaranya tipis saat ia menutup mata sejenak.
Anya yang duduk di depannya menatap prihatin. "Parah banget kemaren lo kelahi," katanya sambil mencondongkan badan.
Kayla menelungkup di meja, suara napasnya berat. "Lemes banget," bisiknya.
Salsa mengernyit, heran melihat Kayla hadir padahal jelas sakit. "Kenapa lo masuk kalo sakit?" tanyanya.
"Males di rumah. Orang tua gue ngomel-ngomel mulu," Kayla jawab singkat, menutup wajahnya dengan lengan seperti mencari kenyamanan yang tak ada.
Salsa cuma tersenyum sinis, paham betul siapa Kayla: keras kepala, bikin ulah, tapi tak mau dikekang.
°°°°°°°°°°°°°°
Saat pelajaran kedua selesai, seorang guru menghampiri meja Kayla. Wajah guru itu tegas namun sopan ketika menyerahkan selembar kertas.
"Kayla, nitip surat buat orang tua Axel. Dia dua hari nggak masuk tanpa keterangan," kata guru itu sambil menaruh surat di hadapan Kayla.
Kayla mengangguk malas, menerima surat itu seperti menerima beban ringan. "Iya, Pak," jawabnya datar.
°°°°°°°°°°°°°°°
Sore hari, langkah Kayla berat ketika ia melangkah memasuki rumah besar keluarga Axel. Koridor berkilau, pot tanaman rapi, tapi udara di dalam terasa dijaga.
Bu Ami menyambutnya dengan senyum hangat yang kebingungan melihat wajah Kayla.
"Ekh, Kayla, ada apa?" sapa Bu Ami ramah, suaranya penuh kepedulian.
Kayla menahan napas, menyodorkan surat dengan senyum tipis yang menyembunyikan gugup. "Ini, Bu. Surat dari guru BK. Axel dua hari nggak masuk katanya."
Mata Bu Ami melotot sedikit. "Apa? Tapi Axel pergi kok, diantar papa-nya," jawabnya, kaget dan bingung.
Kayla menekan sudut bibir, pura-pura santai. "Ya nggak masuk, Bu. Bolos." Senyumnya jadi lebih licik, seolah sedang menabur garam di luka yang tak tampak.
Bu Ami tertawa kecil, setengah cemas. "Astaghfirullah, si Axel memang... Makasih ya, Kayla. Mau masuk dulu?" ucapnya, ramah.
"Nggak, Bu. Langsung pulang aja," Kayla buru-buru menjawab, matanya melirik ke arah yang mungkin menampilkan Axel.
Ia takut berpapasan; ia tak mau suasana meledak di lorong mewah itu.
°°°°°°°°°°°°°°°
Keesokan harinya Axel kembali ke sekolah. Hari itu, ia tampak seperti badai kecil yang mendekat - murka, dingin, dan penuh dendam.
Ketika Kayla melangkah keluar gerbang setelah pulang sekolah, suara motornya dihentikan oleh sekelompok cowok yang menutup jalan.
"Turun lo," suara Axel memerintah, dingin dan ketus.
Kayla menatap balik, napasnya tenang tapi ada bara di mata. "Mau apa lo?" tanyanya datar.
Axel melangkah maju, memegang erat surat yang dilempar ke arah Kayla. "Lo kasih surat ke ibu gue," suaranya bergetar kesal. "Lo ngapain masukin surat sekolah ke rumah gue?"
Kayla mengangkat bahu, wajahnya menantang. "Lah, gue disuruh guru. Ya gue kasih lah. Ngapain disimpen di rumah gue?" jawabnya, nada penuh ejekan.
Axel mampir di depan Kayla, napasnya mendesak. "Lihat aja, gue bakar rumah lo!" ia mengancam, suaranya tajam.
Kayla tak terintimidasi, malah menyeringai. "Bakar aja. Nggak takut. Gue bakal bakar pabrik bapak lo juga," jawabnya, suaranya dingin seperti pisau. Ia melipat tangan di dada, menahan amarah yang terkontrol.
Axel mencibir, senyum sinis di bibirnya. "Lu parah, anjing jadi cewek," ejeknya, mencoba merendahkan.
Kayla menatapnya lurus, suaranya dingin dan menantang. "Parah gimana? Gue harus takut sama lo? Najis, emang lo tuhan?" Ia menutup kata-katanya dengan tawa kecil yang sinis, lalu melangkah mendekat, wajahnya amat tenang - luka-luka fisik tak memadamkan api di dadanya.
Axel mengancam lagi, matanya menyala. "Kalo bukan cewek gue, gue hajar lo."
Kayla menatap balik, datar. "Hajar aja. Gue nggak takut." Kata-katanya tajam, tapi tenang seperti batu besar.
Temen-temen Axel tertawa, menunjuk wajah Kayla yang lebam.
"Muka lo udah bonyok gitu, dasar tukang cari masalah," ejek David, suara mereka penuh kemenangan sementara Axel duduk di atas amarahnya sendiri.
Kayla hanya tersenyum tenang, seolah menyimpan sesuatu yang lebih berbahaya daripada pukulan. "Emang lo nggak? Kalo bukan karena ayah gue, lo udah masuk penjara berapa kali coba," ucap Kayla, bariton suaranya menempelukan kenyataan yang tak bisa dipatahkan.
Axel terdiam - kata-kata itu menusuk tajam sebab ia tahu, terima kasih pada ayah Kayla-lah ia sering lolos dari jerat hukum.
Kayla menatapnya dingin, dan sebelum suasana bisa pecah, ia melangkah mundur perlahan, meninggalkan Axel yang masih membeku.
"Kenapa diam? Ngga berani ya?" teriaknya saat Kayla menjauh.
Kayla menoleh sekali, senyum meremehkan di bibirnya. "Gue tunggu pembakaran rumah gue soal-nya. Gue udah siapin granat buat ancurin pabrik lo," ucapnya lugas, seolah melemparkan sebuah bom kata yang membuat udara seketika beku.
Axel hanya bisa menendang kerikil, berkata setengah melontar, setengah marah: "Cewek anjing."
Kayla melangkah pergi dengan langkah tegap, darahnya mendidih, tapi wajahnya tetap dingin.
Di dadanya ada tekad-bukan cengeng, bukan penakut-yang siap bayar apa pun demi harga diri.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!