Perkenalkan namaku Innaya Azzahra, usiaku baru 19 tahun. Boleh dikatakan aku masih sangatlah muda. Namun aku sudah memiliki seorang putra kecil yang usianya baru menginjak 1 tahun. Dia sangat tampan. Boleh dikatakan memiliki gen yang cukup baik dari ayahnya. Sebenarnya aku malu untuk mengatakannya....
Tapi inilah hidupku...
Aku hamil diluar nikah. Sebuah kesalahan yang pernah aku sesali dalam hidupku. Namun karena kesalahan inilah aku menemukan arti perjuangan dan pengorbanan. Aku mengerti arti dicintai dengan begitu hebatnya.
Dan aku juga memahami...
BAHWA ORANG MEMILIKI MASA LALU YANG KELAM PUN BERHAK UNTUK BAHAGIA DAN DICINTAI.
Suka atau tidak suka dan mau atau tidak mau. Inilah jalan takdir yang digariskan untukku. Takdir hidup yang harus aku lalui entah berakhir dengan bahagia atau malah sebaliknya...
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
"Nay... lihat pria itu dari tadi menatapmu terus menerus. Dan sepertinya ia ingin kenalan sama kamu.”
“Apaan sih? Jangan mulai ya.. lihat terus belum tentu juga ingin kenalan. Bisa jadi karena hal lain.”
“Karena apa coba? Sudah pasti karena kamu cantik. Lihat saja dirimu tinggi 170 cm, ukuran dada kamu juga tidak kecil – kecil amat. Lumayan bisa bikin baby kenyang.” Ucap sahabatku dengan tawa mesumnya.
Dia adalah Fani sahabatku sedari kami masih duduk di bangku SMA. Tingkahnya memang sedikit konyol dan absurd. Namun karena hal itulah yang membuat hidupku yang monoton menjadi lebih hidup dan berwarna.
“Tuh kan dia mulai berjalan kesini. Habis ini pasti ulurkan tangannya buat ajak kamu kenalan." Fani pun menyenggol lenganku seolah memberi isyarat bahwa pria itu semakin mendekat.
"Kita lanjut kerja saja deh. Daripada nanti kena potong gaji gara - gara kita bermalas - malasan." ucapku dengan nada sedikit pelan.
Saat ini kami berada di sebuah hotel bintang lima yang berada di pusat kota Bandung. Aku dan Fani bekerja paruh waktu disini. Hanya pada saat ada event tertentu kami dipanggil untuk diperbantukan disini.
"Eehhmm .... Permisi bolehkah aku meminta minuman?" ucap pria itu dengan senyum manisnya seraya menunjukkan gelasnya yang sudah kosong tak bersisa.
"Silahkan." ucapku sembari menyodorkan nampan yang berisikan jus jeruk dengan tersenyum ramah.
"Nay... Aku tinggal beres - beres disana dulu ya. Kamu lanjutkan saja yang sebelah sini." ucap Fani sembari berlari kecil meninggalkanku seorang diri bersama pria itu.
"Apa kamu asli daerah sini?" ucap pria itu dengan senyumnya yang ramah.
"Iya.. Aku asli dari Bandung." jawabku seraya tersipu malu.
"Wah kebetulan aku membutuhkan tour guide di Bandung. Apa kamu bersedia menjadi tour guideku selama aku berada disini?" ucap Pria itu dengan tawanya yang renyah.
Aku hanya bisa terdiam tanpa kata. Kulihat dengan detail penampilan pria itu. Terlihat dengan jelas bahwa ia pria baik - baik dan tidak terlihat mencurigakan.
"Oh ya namaku Devan. Lebih lengkapnya Devan Aditya Bagas Wicaksana. Kalau kamu tidak percaya aku bisa menunjukkan kartu pengenalku." ucapnya dengan nada yang penuh keyakinan.
Disodorkannya tangannya yang kekar itu kepadaku. Tanpa menunggu lebih lama lagi, aku pun menyambut uluran tangan itu dengan penuh kehangatan.
"Innaya Azzahra. Panggil saja Naya biar terlihat lebih akrab." ucapku dengan senyum manis.
"Apa kau bekerja disini?" ucap Devan dengan senyumnya yang ramah.
Namun beberapa detik kemudian perbincangan kami terhenti oleh suara pria dengan nadanya yang ketus dan tidak bersahabat.
"Apa kau disini hanya untuk bermalas - malasan? Atau tujuanmu disini memang ingin naik kasta dengan merayu pria - pria kaya?" ucap Pak Santoso yang tak lain adalah atasanku, oang yang mempekerjakan aku sebagai pelayan di hotel ini.
"Astaga... Bapak mengagetkanku saja." ucapku seraya terlonjak kaget mendengarkan suara bassnya di dekat telingaku.
"Kembali bekerja atau aku akan memotong gajimu hari ini." ucap Pak Santoso dengan sorot matanya yang tajam dan penuh ancaman.
"Maaf pak saya permisi." ucapku degan bergegas meninggalkan tempat itu.
"Maaf tuan.. Dia harus bekerja. Kalau tuan ada urusan dengannya, tunggulah setelah ia usai bekerja." ucap Pak Santoso dengan nadanya yang tegas.
Waktu menunjukkan tepat pukul 11 malam. Jalanan sudah mulai sepi. Hiruk pikuk keramaian jalanan pada malam itu pun berangsur hilang meninggalkan kesunyian. Dengan langkah yang teramat sangat lelah aku berjalan menuju halte terdekat di sekitar hotel tersebut.
"Cantik.... pulang bareng kita saja yuk... Tidak ada kendaraan umum yang melintas disini selarut ini. Atau gimana kalau kita bersenang - senang terlebih dahulu?" ucap seorang pria dengan tatapan laparnya.
Tiga orang pria dengan tubuhnya yang tambun dan kepalanya botak menghalangi langkah kakiku. Dengan tubuh bergetar menahan ketakutan, aku mencoba memberanikan diri melawan mereka.
"Maaf... Aku tidak ada urusan dengan kalian. Sebaiknya kalian pergi dari sini atau aku akan berteriak." ucapku dengan bibir yang bergetar ketakutan dan menahan tangis.
"Kami tidak suka perlawanan. Dan sebaiknya kamu menurut saja gadis cantik. Kami akan membuatmu mendesah penuh kenikmatan malam ini."
Perlahan tapi pasti ketiga pria itu berangsur mendekatiku. Dengan langkah letihku aku mencoba berlari sejauh mungkin. Hingga di ujung jalan yang gelap itu aku terjebak pada jalan buntu. Aku pun mencoba berteriak sekeras mungkin.
Namun nihil... Hanya suaraku yang menggema memenuhi jalanan yang gelap gulita itu.
"Tolong.. Tolong.." teriakku dengan suara yang parau.
Hingga beberapa saat kemudian tangan kekar itu berhasil membungkam mulutku. Suaraku menghilang ditelan malam. Malam pahit dan kelam yang akan menghancurkan masa depanku.
Kedua pria itu menahan tanganku. Dan seorang pria lagi berusaha menjamah tubuhku dengan paksa. Tangan yang kasar dan menjijikkan, menggerayangi tubuhku dengan paksa.
"Tenanglah cantik. Aku akan membuatmu mengerang penuh kenikmatan dibawah kungkunganku." ucap pria botak itu dengan suaranya yang serak menahan hasrat dalam dirinya.
Aku hanya bisa menutup kedua mataku, ketakutan tampak terlihat jelas diwajahku. Membayangkan bagaimana ketiga pria itu meniduriku dengan paksa.
Namun beberapa saat kemudian...
Bugh.. Bugh... Bugh...
Suara tinjuan dan hantaman terdengar begitu keras. Tanganku yang semula dipegang dengan erat, perlahan mengendur. Aku memberanikan diri membuka kedua mataku.
Dan ternyata...
Pria itu.. Pria yang tadi mengajakku berkenalan di hotel. Kini dengan membabi buta menghajar ketika preman itu di hadapanku. Badannya yang tinggi dan kekar seolah menjadi kelebihannya menghajar preman itu.
"Brengsek.. siapa kau? berani - beraninya mengganggu kesenanganku."teriak preman itu dengan sudut bibirnya yang robek mengeluarkan darah.
"Tidak penting kau tahu siapa aku. Yang jelas perempuan itu adalah milikku. Aku sudah membookingnya. Dan jangan berharap kalian bisa menjamahnya sebelum diriku." ucap Devan dengan seringai liciknya.
"Jadi kau wanita panggilan? Tau gitu aku akan membawamu ke hotel tadi. Kita bisa bercinta sepuasnya disana. Baiklah bawalah wanita ini. Dan ingat setelah kau selesai hubungi aku. Aku akan bergantian menggilirnya." ucap Pria tambun itu dengan nada remehnya.
Aku hanya bisa menatap Devan dengan tatapan kebingungan. Ia pun bergegas membawaku pergi dari tampat terkutuk itu. Membawaku memasuki mobilnya yang terparkir tidak jauh dari ujung jalan itu.
"Masuklah.. Aku akan membawamu pergi dari sini." ucap Devan seraya mengitari mobilnya dan duduk di kursi kemudi.
"Ap.. Apa maksudmu tadi? Aku bukan wanita jalang yang menjual tubuhku ke pria hidung belang. Aku disini cuman niat bekerja, bukan menjual diri." ucapku dengan isak tangis.
"Tunggu... Jangan salah paham. Aku berkata seperti itu karena membohongi mereka agar kita bisa segera kabur . Karena tidak mungkin aku bisa menghajar mereka lebih lama lagi. Lihat tanganku sampai lecet seperti ini. Sepertinya ini kawasan mereka. Jadi lebih baik kita pergi sekarang. Sebelum mereka semakin curiga." ucap Devan dengan penuh pertimbangan.
Aku pun lekas mengangguk setuju dengab ucapan Devan. "Dimana rumahmu? Aku akan mengantarkanmu pulang. Ini sudah hampir dini hari. Tidak baik seorang wanita berjalan sendirian." ucapnya dengab tersenyum tulus.
Sebuah senyum yang tidak pernah aku dapatkan dari pria manapun. Karena pada dasarnya setiap pria yang ingin berkenalan denganku, ia hanya berminat dengan tubuhku. Dan Devan adalah pria pertama yang sangat menghargaiku sebagai seorang wanita.
Jalanan yang lenggang di malam itu seolah menjadi saksi pertemuanku dengan Devan. Hawa dingin AC yang menyerang seolah menusuk lapisan kulit terdalam tubuhku. Perlahan tubuhku menggigil kedinginan.
Devan yang melihatku menggigil seperti itu dengan segera tangannya terulur mengambilkan jaket yang ada di kursi belakang.
"Pakailah.. Aku belum siap melihatmu berubah menjadi pinguin di mobilku." ucapnya seraya menahan tawa.
Aku pun hanya bisa tersenyum kikuk dengan perhatian kecil dari Devan. Devan... sosok pria yang sangat humble, tampan dan dewasa. Ia mampu menarik perhatianku yang selama ini selalu berfikir negatif tentang para kaum pria.
Hingga beberapa saat kemudian, mobil Devan berhenti tepat di halaman depan rumahku. Rumah kecil dan minimalis namun dipenuhi dengan kenangan masa kecilku. Rumah yang membesarkanku dengan penuh cinta dan kasih sayang.
"Berhenti disini saja. Terima kasih sudah mau menyelamatkanku dari para preman tadi hingga mengantarkanku pulang." ucapku seraya tersenyum penuh kelembutan.
Devan hanya menganggukkan kepalanya perlahan. "Oh ya.. Tawaranku yang tadi masih berlaku. Aku di Bandung masih satu minggu lagi. Aku harap kamu mau menjadi tour guideku selama aku berada disini. Dan tentu saja tidak gratis. Aku akan membayarmu."
"Baiklah... Aku akan mengabarimu esok hari. Aku masuk duluan. Ini nomor teleponku." aku pun memberikan secarik kertas kepada Devan.
"Baiklah.. Aku akan pergi setelah kamu masuk ke dalam rumah."
Aku pun turun dari mobil Devan dan perlahan masuk ke dalam rumah. "Jam berapa ini Naya? Kenapa baru pulang?" Tanya ibuku dengan nada cemasnya.
Aku hanya bisa menarik nafas panjang sebelum menceritakan hal yang terjadi kepadaku malam ini. Ku tarik tangan ibuku dengan perlahan seraya membawanya menuju sofa yang berada di sudut ruangan itu.
"Maafkan Naya bu, sudah membuat ibu cemas menunggu kedatanganku. Tadi sempat ada beberapa preman yang mengganggu. Tapi itu semua sudah selesai. Aku sudah pulang dengan selamat. Sekarang lebih baik ibu beristirahat. Jaga kesehatan ibu."
"Lebih baik kamu keluar kerja Nay, cari pekerjaan yang lain. Pekerjaan yang tidak pulang sampai larut begini. Setiap malam rasanya ibu selalu jantungan menunggu kepulanganmu." ucap Dewi dengan tatapan sendunya.
Aku pun menggenggam erat jemari tangan ibuku memberikan keyakinan bahwa semuanya akan baik - baik saja. Ku tatap lekat wajah ibuku yang pucat sembari tersenyum hangat kepadanya.
Sudah 1 bulan ini ibuku sakit - sakitan. Aku bekerja mati - matian untuk menghidupi keluargaku. Membiayai adikku yang baru saja duduk di bangku SMA. Sedangkan ayahku.. Jangan ditanyakan lagi kemana ia pergi. Sudah beberapa minggu ini ia tidak pulang. Alasannya sibuk proyek di luar kota. Padahal yang aku tahu, ia sibuk mengurusi gundiknya yang lain.
Namun aku hanya bisa bungkam di depan ibuku. Aku tidak mau beliau kepikiran dan hal itu bisa berdampak mengganggu kesehatannya.
"Kakak baru pulang?" tanya Embun dengan suaranya yang serak khas bangun tidurnya.
Dia adalah Embun Kinara. Satu - satunya saudara yang aku punya dan saat ini ia duduk di bangku SMA.
"Iya dek. Besok kamu jadi bayar uang sekolah?" tanyaku dengan nada yang datar.
"Iya kak.. Besok aku ujian. Sebelum masuk kelas aku harus melunasi tunggakan pembayarannya kak."
Aku pun meraih tas slingbag yang berada di atas meja. Ku ambil uang berwarna merah beberapa lembar. "Bayar satu bulan dulu aja ya dek. Sisanya mau dipakai kakak beli obat untuk ibu."
"Baiklah kak. Yang penting ada cicilan pembayaran dulu. Kakak sudah makan? Apa mau aku buatkan sesuatu?"
"Ndak usah dek, kakak langsung istirahat saja. Badan kakak capek."
"Maafin ibu ya nak... Ibu belum bisa membahagiakan kalian berdua. seharusnya gadis seusiamu kuliah untuk masa depan kamu. Dan embun menjadi tanggung jawab ibu. Namun sekarang.. Untuk makan dan kebutuhan sehari - hari saja ibu mengandalkanmu." Ucap Dewi dengan suaranya yang bergetar menahan tangis.
"Ibu jangan berkata seperti itu. Semua ini sudah jalannya takdir kita bu. Kita pasrahkan semuanya kepada sang Pencipta. Mau bagaimanapun usaha kita kalau memang bukan jalan takdir kita, semuanya akan tetap sama bu. Ibu jangan berpikir terlalu jauh. Sekarang lebih baik kita beristirahat." ucapku seraya menggandeng ibu dan embun untuk segera beristirahat.
**
Dor...
Dor...
Dor....
Tepat pukul 5 pagi. Suara pintu digedor dengan begitu keras. Dengan langkah lemahnya Dewi berjalan menuju ke ruang tamu. Dilihatnya sepintas dari jendela, suaminya telah pulang dengan keadaan yang sangat berantakan.
Ceklek...
Pintu dibuka oleh Dewi. Dengan tangan kasar dan kekarnya, Sigit mendorong pintu itu dengan begitu keras hingga membentur tubuh ringkih Dewi.
Dia adalah Sigit Jamal Hamdan, suami dari Dewi Prameswari. Ayah kandung dari Innaya dan Embun. Sosok pria yang berhati dingin dan penuh dengan manipulasi.
"Aww..." ringis Dewi dengan suaranya yang menahan kesakitan.
"Cepat katakan dimana kau menyimpan sertifikat rumah ini?" teriaknya dengan suaranya yang menggelegar memenuhi ruangan itu.
"Buat apa mas? Itu adalah hak anak - anak. Sampai kapan pun aku tidak akan pernah menyerahkannya kepadamu." Ucap Dewi dengan suaranya yang bergetar menahan tangis.
"Jadi kau lebih memilihku mengambilnya dengan paksa daripada menyerahkannya secara baik - baik?" ucap Sigit dengan sorot matanya yang tajam dan penuh intimidasi.
Dengan cepat Sigit menaiki tangga dan menuju ke lantai 2 tempat kamar mereka. Dibongkarnya seluruh isi kamar Dewi tapi nihil. Ia tidak menemukan apa yang dia cari di dalam sana.
Naya yang mendengar keributan dari luar kamar bergegas menuju keluar dari kamarnya. Dilihatnya sang ayah sudah memporak porandakan seluruh isi kamar ibunya.
"Ayah? Apa maksud ayah membongkar semua isi kamar ibu?" tanya Naya dengan nadanya yang ketus.
"Diam kau jalang kecil.. Aku tidak punya urusan denganmu. Lebih baik kau menyingkir dari hadapanku." ucap Sigit dengan nada penuh emosi.
"Apa maksud ayah berkata seperti itu?" ucapku dengan menahan emosi. Aku tidak pernah menyangka kata - kata seperti itu diucapkan dengan begitu lantang oleh seorang ayah kepada anaknya.
"Apa kau kira ayah tidak tahu. Semalam kau dimobil dengan seorang pria. Perempuan baik - baik seperti apa yang dini hari berduaan di dalam mobil pria asing kalau bukan seorang jalang?" ucap Sigit dengan tatapan tajamnya.
Ibu dan Embun menyusulku ke dalam kamar itu. "Nak..sudah. Sebaiknya kamu keluar dari sini. Biar ibu yang berbicara dengan ayahmu." ucap Dewi dengan nada memelasnya.
Aku dan Embun hanya bisa mengangguk pasrah. Meninggalkan ibu berduaan dengan ayah di kamar itu dengan berat hati.
"Mas... hentikan. Jangan seperti ini. Rumah ini satu - satunya harta peninggalan kita untuk anak - anak. Kita sudah tidak punya hak lagi atas rumah ini."
"Apa kau tahu.. Usahaku sedang tidak baik - baik saja. Dan aku membutuhkan surat itu untuk jaminan hutang ke bank sebagai tambahan modal." ucap Sigit dengan nadanya yang frustasi.
"Terus kita harus tinggal dimana mas kalau surat itu dijadikan jaminan hutang ke bank?" ucap Dewi dengan sudut matanya yang berair.
"Untuk sementara tinggallah dirumah orang tuamu dulu. Bukankah rumah orang tuamu besar? Dan sudah lama kan kau tidak mengunjungi orang tuamu? Mungkin ini waktu yang tepat berkunjung kesana." ucap Sigit dengan seringai liciknya.
"Tapi mas... Sejak aku memilih menikah denganmu bahkan aku tidak pernah menginjakkan kaki ke rumah orang tuaku. Apa kata keluargaku melihatmu memboyong kami kesana? Aku malu mas....." isak tangis Dewi pecah memenuhi kamar tersebut.
Perlahan Sigit mendekat dan memeluk Dewi dengan penuh kehangatan. Pelukan yang selama ini sangat Dewi rindukan. Pelukan yang mampu meruntuhkan benteng pertahanannya dari Sigit.
"Siang nanti aku akan mengantarkan kalian kesana. Kau juga pasti sangat merindukan kedua orang tuamu." ucap Sigit dengan penuh kelembutan, yang tanpa Dewi ketahui sejuta rencana jahat terbesit di otaknya.
Ceklek..
Pintu kamar perlahan terbuka lebar. Dewi dan Sigit keluar dari dalam kamar dengan tatapan yang sulit diartikan. Aku hanya bisa menghela nafas panjang, menyaksikan ibuku yang dengan gampangnya sudah berbaikan dengan ayahku.
Apa seperti ini kehidupan pernikahan? Apakah hanya dengan bujukan dan rayuan setiap wanita akan luluh begitu saja?
Entahlah..... Aku sendiri belum menemukan jawaban yang tepat atas pertanyaan itu. Karena pada dasarnya aku sendiri juga belum pernah merasakan cinta. Jangankan untuk jatuh cinta... Terkadang untuk mandi pun aku tidak sempat karena saking banyaknya freelance yang aku jalani untuk melanjutkan hidup. Beruntunglah aku dikarunia kecantikan yang luar biasa dari gen ibuku. Hingga belum mandi pun aku masih cantik alami.
"Naya.. Embun.. Kalian berkemaslah. Packing baju kalian. Karena nanti siang kita akan pindah ke rumah kakek dan nenek." ucap Dewi dengan senyumnya yang hangat.
**
Sementara itu....
Cuaca yang mendung tampak menyelimuti siang ini. Suasana rumah besar itu tampak begitu sepi. Beberapa orang dengan pakaian serba hitam tampak keluar masuk dari rumah itu. Di halaman depan rumah tampak karangan bunga yang begitu besar dan berjejer rapi di sepanjang jalan utama.
Perlahan mobil Sigit berhenti di ujung jalan tersebut. "Mas... Kenapa banyak sekali karangan bunga di rumah orang tuaku? Apa yang terjadi? Dan siapa yang meninggal?" ucap ibuku dengan nada paniknya. Sudut matanya berair menahan emosinya yang sedang tidak baik - baik saja.
"Kalian turunlah disini. Aku akan mencari tempat parkir." ucap Sigit dengan nada perintahnya.
Tanpa rasa curiga aku, Embun dan juga ibuku bergegas turun sembari membawa tas dan koper kami. Dengan setengah berlari ibuku mencoba memasuki rumah itu.
Tepat di halaman depan tampak foto seorang wanita yang begitu cantik meski sudah termakan usia. Karangan bunga tampak menghias sudut foto tersebut.
"Dewi... Untuk apa kau kembali kesini?Apa kau sudah menyesali semua kesalahanmu? Atau kau kesini hanya ingin melihat kematian ibumu?" ucap seorang pria dengan suaranya yang menggelegar.
Pria itu adalah Danu Subroto. Suami dari Ayu Dewi Prameswari. Dan mereka adalah orang tua kandung dari Dewi Prameswari. Yang secara tak langsung mereka adalah kakek dan nenek dari Naya dan Embun.
"Dewi... Untuk apa kau kembali kesini?Apa kau sudah menyadari dan menyesali semua kesalahanmu? Atau kau kesini hanya ingin melihat kematian ibumu?" ucap seorang pria dengan suaranya yang menggelegar. Pria dengan wajahnya yang berkharisma dan penuh ketegasan meski usianya sudah tergolong senja.
Pria itu adalah Danu Subroto. Suami dari Ayu Dewi Prameswari. Dan mereka adalah orang tua kandung dari Dewi Prameswari. Yang secara tak langsung mereka adalah kakek dan nenek dari Naya dan Embun.
"Ayah.... Apa yang terjadi dengan ibu? Ini semua tidak benar kan? Ini semua pasti mimpi." ucap Ibuku dengan suara tangisnya yang sendu.
"Sudah puas kau melihat kematian ibumu? Bahkan disaat terakhir istriku meregang nyawanya, ia tetap memanggil namamu. Dasar anak durhaka. Sebegitu cintanya kau dengan suami busukmu itu hingga kau tega meninggalkan kami?"
Ibuku hanya bisa menangis tersedu dalam diamnya. Dipeluknya foto sang nenek dengan begitu erat. Seolah menyalurkan sesak dan emosinya di dalam dada.
Sebuah penyesalan yang akan ibuku rasakan entah sampai kapan.
"Maafkan aku ayah. Aku menyesali semuanya." ucap Ibuku dengan suara tangisnya yang terdengar pilu.
"Apa dengan aku memaafkanmu bisa mengembalikan ibumu di sisiku? Apa dengan rasa menyesalmu bisa memutar semua waktu yang terlewat itu kembali?" ucap kakekku dengan suaranya yang bergetar menahan tangis.
"Kakek...maafkan ibuku. Aku tahu ini semua salah. Tapi aku mohon jangan hakimi ibuku dengan kesalahannya. Semuanya sudah berlalu. Biarkan ibuku menebus semuanya. Beri waktu untuk ibuku membuktikannya." ucapku seraya bersimpuh di bawah kakinya.
"Kau... Sampai kapanpun aku tidak pernah mempunyai cucu sepertimu. Aku tidak pernah merestui hubungan orang tua kalian. Jadi jangan pernah berharap aku akan menganggapmu sebagai keluarga Subroto." ucap kakek seraya meninggalkan kami bertiga di ruangan itu. Ruangan yang menjadi saksi bisu penolakan kakekku dengan kehadiran kami.
Aku dan embun berjalan mendatangi ibuku. Kuraih tubuh ringkih itu ke dalam pelukanku. " Ibu jangan sedih lagi. Nanti sakit ibu kambuh. Ibu harus tetap kuat demi kita."
Dua tahun belakangan ini, ibuku sering mengeluhkan dadanya yang sering sakit. Aku sudah mencoba membawanya pergi ke puskesmas. Dan hasilnya.. aku harus merujuk ibuku ke rumah sakit besar di pusat kota. Namun kembali lagi ke permasalahan awal, aku tidak mempunyai uang untuk membawa ibuku menjalani pemeriksaan lebih lanjut.
"Ibu tidak menyangka setelah sekian lama ibu kembali ke rumah ini dengan situasi yang begitu berbeda. Bagaimana pun caranya ibu harus mendapatkan maaf dari kakekmu." ucap ibuku dengan nada sendu.
"Kak dimana ayah? Kenapa ayah belum kemari sampai sekarang?" ucap Embun yang memecah keheningan di ruangan itu.
"Ayah memang seperti itu. Sekarang lebih baik kita coba bantu ibu membujuk kakek untuk memaafkan dan menerima kita." ucapku dengan penuh keyakinan.
Hujan deras disertai angin dan petir sore ini seolah menjadi cucaca terburuk sepanjang hidupku. Pengalaman pertemuanku dengan keluarga dari ibuku cukup menambahkan kenangan buruk dalam ingatanku. Keluarga beaar yang aku kira bisa menjadi tempatku bernaung kini seolah pintunya tertutup rapat akan kehadiranku.
Suara langkah kaki tampak menggema memenuhi ruangan besar itu. Dengan langkah tegapnya sang kakek menghampiri kami yang terduduk di lantai yang
dingin itu.
"Kenapa kalian masih disini? Sebegitu inginkah kalian menjadi bagian dari keluarga Subroto?" ucap sang kakek dengan nada ketusnya.
"Ayah.... Maafkan semua kesalahanku. Aku begitu mencintai Mas Sigit. Aku tidak bisa hidup tanpanya. " ucap Dewi dengan suara tangisnya yang pecah.
"Kau menyuruh orang tuamu untuk mengerti keadaanmu. Tapi apa kau mau mengerti perasaan kami? Kamu adalah anak semata wayang kami. Kami selalu memprioritaskan semua kebutuhanmu. Kami hanya ingin yang terbaik untukmu." ucap Kakek Danu dengan sudut matanya yang berair menahan tangis.
"Aku tau yah... Aku salah. Maafkan aku." ucap Dewi dengan sudut mata yang basah.
"Sekarang panggil suamimu untuk menghadapku. Ada banyak hal yang harus aku bicarakan dengannya." ucap sang kakek dengan nada penuh ketegasan.
Dewi hanya mampu tertunduk malu. Tidak berani menatap wajah ayahnya.
"Ayah pergi entah kemana kek. Tadi pamitnya mau parkir mobil diujung jalan. Tapi sampai sekarang ia belum kembali." ucapku dengan wajah tertunduk malu.
Di saat kakek sudah mulai membuka hatinya untuk menerima kami namun karena kepergian ayahku, kakek kembali murka. Dulu ayahku memang seorang yang baik, penyayang dan penuh cinta. Namun semenjak perusahaan diambil alih oleh ayah, perlahan sikap ayah berubah dengan begitu cepat. Sikapnya berubah 180⁰.
"Aku sudah menduga ayah kalian akan kabur begitu saja. Pria pengecut seperti itu yang kamu pilih dalam hidupmu?" ucap kakek Danu dengan penuh penekanan.
Kakek beringsut mendekatimu dan Embun. Dipeluknya tubuh kami dengan penuh kehangatan. Kehangatan yang selalu aku rindukan sejak kecil. Kehangatan yang mampu mengubah pandanganku terhadap seorang pria.
"Kalian beristirahatlah di kamar. Biarkan Bik Siti yang membantu membawa barang - barang kalian." ucap kakek seraya mengambil koper milik mereka dan menyerahkannya kepada Bik Siti.
"Dewi.. Kemarilah Nak... Mendekatlah kepada ayah." ucap Danu seraya menepuk sofa di sampingnya yang kosong.
Danu pun mengambil sesuatu dari dalam sakunya. Sebuah kotak kecil berwarna maroon. Perlahan ia berikan kotak tersebut kepada putrinya.
"Ambillah nak.... Kotak ini adalah milik ibumu. Sebelum ia menghembuskan nafas terakhirnya ia berpesan kepadaku untuk menyerahkan ini kepadamu." ucap Danu dengan matanya yang berkaca - kaca.
Dibukanya kotak kecil itu perlahan. Sebuah cincin warna silver dengan liontin berwarna putih di tengahnya. Sangat indah. Perlahan air mata itu tak mampu dibendung. Secara paksa menerobos matanya untuk keluar dengan begitu saja.
"Ini.." suara Dewi tertahan. Lidahnya kelu tak mampu untuk berucap. Sebuah cincin yang menjadi impiannya sejak kecil di hari pernikahannya kini terpampang nyata dihadapannya.
"Itu adalah cincin yang dipesan oleh ibumu khusus untuk hari pernikahanmu. Awalnya kami sudah bersiap untuk datang ke acara pernikahanmu. Namun sesuatu telah terjadi pada hari itu. Kami mengalami kecelakaan dan ibumu mengalami koma."
Air mata Danu pun berlinang dengan begitu derasnya. Hatinya tak kuasa menahan sakit yang ia rasakan. Tangis Dewi pun semakin pilu. Ia tidak menyangka dihari kebahagiaannya ibunya mengalami tragedi itu.
"Baru 2 minggu yang lalu ibumu sadar dari komanya. Namun keadaannya semakin memburuk dan hanya sanggup bertahan hingga kemarin."
Perlahan Danu memeluk Dewi dengan begitu erat. Sebuah pelukan yang sangat ia rindukan.
"Maaf... Maafkan aku yah... Ibu... Maafkan Dewi."
* * *
Angin malam berhembus dengan begitu kencang. Suara rintik hujan masih terdengar sayup dari balkon kamar Naya.
Drttt.. Drttt..
Suara getaran ponsel di atas nakas terdengar begitu nyaring memenuhi kamar itu. Sebuah kamar dengan ranjang yang begitu empuk dilengkapi sebuah lemari yang minimalis.
"Halo... Naya... Kenapa rumahmu gelap? Apa kamu tidak ada dirumah?" cecarnya dengan nada paniknya.
"Maaf siapa kamu? Apa kamu tidak salah sambung?" ucapku dengan nada bingungnya.
"Ini nomer innaya azzahra kan? Ini aku Devan." ucapnya dengan nada yang sok kenal.
"Astaga... Maaf aku tidak ada dirumah saat ini. Aku ada dirumah kakekku." ucapku dengan nada terkejut.
"Gimana tawaranku kemarin? Aku menunggu jawabanmu. Kamu masih minat kan jadi tour guide ku?" tanyanya dengan nada penuh semangat.
Aku terdiam sesaat. Memikirkan jawaban apa yang harus aku katakan kepada Devan. Hingga selang beberapa menit kemudian...
"Baiklah. Kita bertemu di halte dekat hotel kemarin." ucapku dengan penuh keyakinan.
Sebuah keputusan yang aku ambil dengan terburu - buru. Keputusan yang akan merubah garis takdirku. Entah itu membawa kebaikan atau keburukan.
Malam yang begitu hangat. Seluruh keluarga berkumpul bersama di meja makan. Suara denting sendok beradu dengan garpu seolah menjadi alunan musik di ruangan itu. Kakek Danu duduk di meja kebesarannya. Penuh wibawa dan ketegasan.
"Embun.... mulai besok kamu sekolah diantar oleh sopir saja. Dan Naya... mulai bulan depan kamu wajib kuliah. Karena kedepannya kalian adalah pewaris keluarga Subroto. Biar nanti segala keperluan kalian diurus oleh asistenku." ucap sang kakek dengan suaranya yang tegas tanpa bantahan.
Dewi tersenyum penuh kehangatan. Ia merasa sudah selayaknya putrinya menikmati semua fasilitas dari Kakeknya. Mungkin ini jawaban dari semua doa - doanya.
* * *
Pagi yang begitu indah. Hamparan langit dengan warnanya yang biru membentang dengan begitu luasnya. Sinar mentari dengan kehangatannya membiaskan sisa - sisa embun yang ada.
Dengan berbalutkan celana jeans dan kaos oblongnya. Naya tampak kelihatan cantik. Rambutnya yang panjang ia cepol dengan asal memperlihatkan lehernya yang putih dan mulus.
"Nak... Kamu mau kemana pagi - pagi berpakaian seperti itu? Apa hari ini ada acara?" ucap Dewi dengan tatapan penuh selidik.
"Aku akan jadi tour guide di daerah sekitaran Bandung bu. Paling agak sorean nanti aku pulang." ucapku seraya membawa tas ranselku di pundak.
"Baiklah... Ibu tidak akan melarangmu. Nikmati harimu nak. Jangan lupa aktifkan selalu ponselmu."
"Sampaikan salamku buat kakek ya bu. Maaf aku tidak bisa menemani ibu dan semuanya sarapan." Ucapku dengan nada penuh kelembutan.
Aku pun bergegas keluar dari rumah itu. Dan menunggu taksi online yang sudah aku pesan. Hingga tak lama kemudian taksi online ku pun datang dan aku segera menuju ke tempat pertemuanku dengan Devan.
"Kau sudah lama menunggu?" tanya Devan dengan wajahnya yang rupawan.
Lamunanku buyar seketika. "Ha? Ehmm... Baru .. Baru 30 menit yang lalu aku sampai." ucapku dengan nada gugup.
"Maafkan aku yang sudah membuatmu menunggu. Ayo kita berangkat." ucapnya dengan penuh semangat.
Devan pun membukakan pintu mobilnya. Alunan musik yang begitu melow seolah membawa suasana yang romantis. Dengan memakai kemeja dan celana jeansnya menambah ketampanan pria yang berada di kursi kemudi saat ini.
Perlahan kedua mataku mulai berat hingga beberapa detik kemudian aku terhanyut ke alam mimpi. Mimpi yang begitu indah. Hingga hampir satu jam kemudian aku merasa tanganku ada yang menyentuh.
"Nay...kita sudah sampai. Ayo turun... " ucapnya seraya tersenyum manis kepadaku.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!