NovelToon NovelToon

Istri Muda Paman

1

"Aaahh, Mas Tama..."

"Ya, Sayang..."

"Kamu begitu perk a sa. Ouchh... yess, Baby!"

Udara malam begitu panas, seolah enggan memberi jeda pada tubuh-tubuh yang sudah basah oleh peluh dan rasa. Di dalam kamar yang hanya diterangi lampu temaram, dua tubuh bersatu dalam ga- i-rah yang tak tertahankan. Seprai putih telah tergulung tak karuan, bantal terlempar ke lantai, dan hanya suara napas berat yang menggema di ruangan itu.

Erina memejamkan mata, tubuhnya bergetar hebat saat Tama menguasainya sepenuhnya. Ia menyambut setiap gelombang yang datang dengan napas tercekat dan de s a h tertahan, merasakan tubuhnya meleleh dalam dekapan pria yang telah menjadi suaminya sejak empat tahun lalu.

"Mas..." bisiknya dengan napas terengah. "Kamu... selalu bisa buat aku lupa segalanya."

Tama menatap wajah istrinya yang bersinar karena peluh dan cahaya lembut lampu tidur. Ia menunduk, mengecup keningnya dengan lembut, lalu menatap matanya dalam-dalam. "Karena kamu milikku, Sayang."

Beberapa menit berlalu, dan keheningan malam hanya diisi oleh suara pendingin ruangan dan detak jam yang menempel di dinding kamar.Erina merebahkan kepalanya di dada Tama, menggambar lingkaran-lingkaran kecil di kulitnya yang panas. Sambil tersenyum lelah, ia berkata, "Kamu masih sehebat empat tahun lalu, Mas."

Tama terkekeh ringan, tangannya membelai rambut Erina. "Dan kamu... masih membuat aku kehilangan kendali."

Mereka tertawa kecil bersama, namun tawa itu segera memudar saat Erina mengangkat kepalanya, menatap suaminya dengan keseriusan yang tak biasa.

"Mas, aku mau bicara sesuatu."

Tama membuka mata, menoleh sedikit. "Katakanlah, Sayang!"

"Aku ingin membawa Kemala ke rumah ini."

Tama mengerutkan kening. "Kemala?"

Erina mengangguk. "Iya. Sejak Kecelakaan sebulan yang lalu yang membuat kedua orang tuanya meninggal, dia sendirian sekarang, Mas. Kasihan dia."

Dan malam yang panas itu berubah dingin seketika-seiring jawaban dingin Tama yang memulai awal dari konflik panjang mereka.

Tama menghela napas berat. Tubuhnya masih setengah telentang di ran jang, tapi matanya kini benar-benar terbuka. "Kamu serius, Rin? Bawa Kemala ke sini? Tapi Kemala sudah dewasa, Rin! Dia pasti bisa hidup sendiri, lagipula disana kan ada pembantu dan Kang Sukardi juga yang rumahnya bersebelahan dengan rumah almarhum, Kemala tidak perlu tinggal disini.""Kemala memang sudah besar, Mas. Tahun ini sudah masuk semester akhir. Tapi dia sedang terpuruk, butuh teman supaya dia tidak kesepian. Kabarnya seminggu lalu dia juga sakit, dia terus mengurung diri. Aku khawatir dengan keadaannya, Mas. Dan kamu tahu sendiri lah, Kardi itu seorang duda. Hidupnya aja gak bener. Dia juga baru keluar dari penjara setelah kasus narkoboy. Kemala akan lebih aman kalau sama kita," tutur Erina.

Wanita itu bersikukuh ingin Kemala bersamanya meskipun Sukardi-adik kandung Subagja, bisa saja menjadi orang tua asuh Kemala. Erina yang merupakan adik dari Indira-ibu kandung Kemala, tentu tak akan membiarkan hal itu terjadi. Erina merasa ia lebih berhak menjadi wali dari Kemala daripada Sukardi.

Erina menyelimuti tubuhnya dengan selimut tipis, duduk menyandarkan punggung pada kepala ranjang. "Aku serius, Mas. Dia nggak punya siapa-siapa lagi. Kasihan Kemala, meskipun usianya sudah 21 tahun, tetap aja dia gadis yang manja. Kemala pasti terpukul karena harus jadi yatim piatu dan kehilangan orang tua secara bersamaan."

Erina berusaha terus meyakinkan suaminya.

Tama bangkit, meraih celana pendeknya lalu mengenakannya pelan. Ia berjalan menuju meja kecil di sisi tempat tidur, menuang segelas air, menenggaknya seteguk. Lalu ia bicara, tenang tapi dingin.

"Kita juga nggak dalam posisi mudah, Rin. Kamu tahu sendiri pengeluaran kita akhir-akhir ini makin membengkak. Café pun nggak seramai dulu. Aku bahkan sedang berpikir untuk menutupnya dan cari usaha lain."Erina menatap suaminya, matanya membara. "Justru itu alasannya. Mala nggak datang ke sini dengan tangan kosong. Dia mewarisi semua harta orang tuanya. Asuransi, tabungan, bahkan aset perkebunan Teh dan peternakan sapi. Meskipun tinggal di kampung, tapi Kang Subagja itu juragan, Mas. Artinya, kita-sebagai wali-punya kuasa atas semua aset itu sebelum kemala lulus kuliah dan melanjutkan usaha perkebunan dan peternakan milik ayahnya."

Tama menoleh cepat. Wajahnya berubah tajam. "Jadi maksud kamu... kita urus dia karena warisan?"

Erina mengangkat bahu pelan. "Kenapa nggak? Aku juga sayang sama Mala. Tapi kalau ada peluang untuk membantu diri kita sendiri sambil membantu dia, kenapa harus ditolak?"

Tama mengusap wajahnya kasar. Ia berjalan ke jendela, membuka tirai sedikit. Malam masih pekat, dan panasnya belum reda, tapi pikirannya kini lebih sesak daripada udara luar.

"Rin... aku nggak suka cara kamu berpikir barusan," katanya pelan. "Sama saja kita memanfaatkan seorang yatim piatu. Dia baru kehilangan orang tuanya."

"Yatim piatu pun dia punya segalanya, Mas. Yang dia butuhkan adalah teman. Dia butuh keluarga yang merawatnya hingga dirinya benar-benar bisa mandiri dan melanjutkan bisnis ayahnya itu!"

Erina bangkit, berjalan mendekat, tubuhnya masih diselimuti kain tipis yang nyaris tak menyembunyikan lekuk apapun. Ia menyentuh bahu suaminya, mencoba melunakkan nada."Aku cuma realistis, Mas. Kamu sendiri selalu bilang kita harus mikir ke depan. Aku bukan cuma mikirin kita. Tapi Mala juga butuh tempat aman, nyaman. Dan siapa lagi kalau bukan kita? Akan Berbahaya jika Kemala bersama Sukardi. Bukan tidak mungkin, Sukardi akan melakukan sesuatu yang buruk. Aku menyayangi Mala, Mas. Dia keponakanku, anak dari Kak Indira."

Tama menatap mata istrinya. Tatapan itu bukan lagi tatapan penuh gairah seperti satu jam lalu. Kini, yang ada hanya keraguan dan kekhawatiran.

"Aku cuma takut kamu jadi orang lain, Rin. Kamu bukan perempuan yang aku nikahi empat tahun lalu kalau kamu mulai melihat anak yatim sebagai 'peluang'."

"Dan entah kenapa aku gak suka jika ada orang lain di dalam rumah kita."

Hening. Keduanya saling pandang, saling membentur argumen dengan tatapan yang makin tajam.

"Aku nggak bilang nggak mau bantu dia," kata Tama akhirnya. "Tapi bukan dengan niat yang salah. Kalau kamu serius, kamu harus pastikan kamu ikhlas. Bukan karena harta."

Erina menahan napas, lalu berkata pelan tapi tegas, "Aku akan urus semuanya. Aku akan ajukan surat untuk menjadi wali ke notaris. Tapi aku butuh kamu setuju, Mas. Karena ini rumah kita. Dan dia akan tinggal di sini."

Tama tak menjawab. Ia kembali menatap keluar jendela. Dalam hatinya, badai sudah mulai berkecamuk. Ia tahu, jika ia menuruti Erina kali ini, mungkin akan ada hal-hal lain yang lebih besar menantinya di kemudian hari. Tapi menolak sekarang... hanya akan membuat api itu menyala lebih cepat.

"Besok kita bahas lagi," gumam Tama. "Aku perlu waktu buat mikir."

Erina hanya diam, tapi dari cara matanya memandang, jelas bahwa keputusan sudah ia buat. Dan begitu Kemala menjejakkan kaki di rumah itu, segalanya akan berubah.

Beberapa hari kemudian.

Kemala tiba di depan rumah mereka di suatu sore yang redup. Hujan baru saja reda, menyisakan aroma tanah basah yang menyeruak lembut di udara. Gadis itu turun dari mobil sedan yang dikendarai Mang Asep, ajudan pribadi mendiang ayahnya.

"Mamang pulang aja!"

"Gak apa-apa ini, Neng?" tanya mang Asep ragu.

"Gak apa-apa, Mang. Semuanya kan sudah jelas kemarin. Aku akan tinggal sama Tante Erina. Di rumah, aku inget terus almarhum bapak dan ibu. Semoga disini kehidupanku jauh lebih baik," ucap Kemala dengan kesedihan yang masih melekat di matanya.

"Baik kalau gitu, Neng. Mamang pulang dulu. Kalau butuh apa-apa, kabari saja ya!"

"Iya, Mang. Terima kasih banyak."

Mang Asep kembali masuk ke dalam mobil kemudian

Melaju meninggalkan rumah sederhana milik Erina dan Tama yang terletak di perumahan cluster daerah Bogor kota. Sementara rumah orang tua Kemala sendiri ada di daerah puncak, Bogor. Tak jauh dari perkebunan Teh dan peternakan milik Pak Subagja.

Gadis itu berdiri ragu di depan pagar, mengenakan jaket abu-abu dan membawa satu koper besar serta tas ransel yang menggantung di pundaknya. Rambutnya di kepang dua, khas gadis desa. Meskipun orang tuanya seorang juragan, namun Kemala selalu tampil sederhana.

Dari balik jendela ruang tamu, Tama mmperhatikannya dengan tatapan datar. Sorot mata Kemala membuat dadanya terasa sesak. Bukan karena kebencian, bukan pula karena penolakan-tapi ada sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. Mungkin rasa iba.

"Mas, tolong bukain pintunya. Mala udah sampai,"

kata Erina yang baru selesai dari dapur.

Tama mengangguk tanpa suara. Ia berdiri, berjalan menuju pintu, lalu membuka pagar. Kemala menunduk sopan, senyum tipis menggantung di wajahnya yang pucat.

"Assalamu'alaikum, Om," sapanya lembut.

"Wa'alaikumsalam. Masuk, Mala," jawab Tama.

Langkah Kemala masuk ke dalam rumah itu adalah awal dari cerita baru. Rumah yang dulu terasa lega dan hening kini tiba-tiba terisi oleh keberadaan gadis muda yang membawa serta bayang-bayang masa lalu dan warisan yang terlalu besar untuk usianya.

Erina menyambutnya hangat, langsung memeluk gadis itu seolah mereka sudah sangat dekat. "Akhirnya

Kamu sampai juga, Sayang. Kamu pasti lelah, ya? Sini, duduk dulu. Nanti Tante buatkan minuman hangat."

Kemala tersenyum kecil, tapi tak banyak bicara. Matanya berkeliling menatap ruang tamu yang minimalis, bersih, dan teratur. Ada suasana yang asing namun tak sepenuhnya menakutkan. Rumah itu lebih tenang dari rumahnya yang selalu ramai oleh hiruk pikuk para pekerja.

Tama memperhatikan gerak-gerik keduanya. Dari cara Erina merangkul Kemala, menyuapi kue kecil, mengusap kepalanya dengan lembut terlihat tulus. Tapi entah kenapa, ada sesuatu dalam cara Erina menatap gadis itu yang membuat Tama gelisah. Seperti... kepemilikan. Bukan kasih sayang seorang tante, tapi rencana yang terselubung.

Setelah teh hangat disajikan, Erina berkata riang, "Mala, nanti kamu tidur di kamar belakang, ya. Kita sudah bersihkan. Besok Tante akan urus surat pindahan sekolah. Kamu akan pindah ke universitas Pakuan. Lokasinya nggak jauh dari sini, tempat yang nyaman dan anak-anaknya gaul. Pokoknya kamu bakal betah, Neng. Deket mall elite, banyak cowok ganteng juga," ucap Erina bersemangat.

Kemala mengangguk patuh. Sejujurnya ia sendiri sudah tidak memiliki semangat. Bagaimana tidak, harus kehilangan dua orang yang disayanginya dalam kecelakaan tragis. Dan yang membuatnya makin menyesal, kedua orang tuanya kecelakaan saat akan menjemput Kemala dikampus.

Itulah sebabnya Kemala ingin pindah dari universitas

Lamanya bahkan berkata pada mang Asep bahwa dia tidak mau kuliah lagi. Namun Erina menyayangkan hal itu, dengan sekuat tenaga berusaha membujuk Kemala untuk ikut bersamanya ke daerah kota dan mencari suasana baru supaya bisa melupakan kenangan buruk yang terus menghantui.

"ya, Tante. Terima kasih," ucapnya singkat, wajahnya tak bersemangat.

Tama hanya duduk di sofa, menyandarkan tubuhnya tanpa berkata apa-apa. Ia memperhatikan bagaimana Kemala begitu sopan, begitu tenang... tapi juga begitu pendiam.

Saat malam menjelang, dan Kemala sudah masuk ke kamarnya, Tama dan Erina kembali ke kamar utama. Kali ini, keheningan menyelimuti mereka.

"Masih keberatan?" tanya Erina sambil membersihkan wajah di depan cermin.

Tama duduk di ranjang, matanya menatap kosong.

"Aku cuma... nggak yakin ini keputusan tepat."

"Masih curiga sama aku?" Erina berbalik, menatap suaminya dari balik cermin. "Aku serius ingin jaga Mala. Kamu lihat sendiri bagaimana dia tadi? Dia benar-benar kehilangan semangat hidupnya. Aku yang paling dekat dengan almarhum kakakku. Aku rasa... dia juga ingin Mala sama aku."

Tama tak menjawab. Ia tahu mulut Erina pandai merangkai alasan. Ia juga tahu, tak semua kebaikan berasal dari niat yang bersih.

Namun yang membuatnya lebih resah adalah: sejak

Kemala masuk ke rumah ini, ada sesuatu dalam hatinya yang bergeser. Sesuatu yang belum ia pahami sepenuhnya -entah itu firasat buruk, atau sekadar kekhawatiran seorang pria yang takut segalanya berubah.

"Jangan lupa," ujar Erina sambil berjalan ke arahnya, "kita punya tanggung jawab sekarang. Dan kamu juga harus mulai ikut terlibat. Dia tinggal di rumah kita, Mas. Artinya, dia juga jadi urusan kamu."

Tama menoleh, menatap Erina yang kini berdiri di depannya. Wajahnya tetap cantik, tetap memesona... namun sorot matanya malam ini tampak tajam. Seperti menantang.

"Kita lihat saja nanti, Rin," ucap Tama datar.

Dan di kamar belakang, Kemala duduk di atas ranjang, menatap bingkai foto orang tuanya yang ia bawa. Dalam diam, ia kembali menangis. Tak ada kata yang terucap, namun tangisan pilu menegaskan bahwa hatinya masih rapuh.

Kemala berharap melalui tantenya yang memiliki wajah yang mirip dengan mendiang ibu kandungnya itu, dirinya bisa menemukan kembali kasih sayang dari sang ibu yang telah meninggalkan dirinya untuk selamanya.

Pagi masih menggeliat malas ketika Erina bersiap ke pasar. Ia mengenakan jaket tipis dan celana longgar, membawa tas belanja dan kunci motor. Matahari bahkan belum sepenuhnya muncul dari balik horizon, tapi semangatnya sudah menyala.

"Mas, aku ke pasar dulu, ya. Sayur-sayuran di kulkas

Udah habis. Jangan lupa sarapan, kopi bikin aja sendiri, air panas ada di termos," ucap Erina dari depan pintu.

Tama hanya mengangguk dari ruang tengah, duduk di sofa dengan tatapan kosong ke layar televisi yang belum menyala. "Hati-hati di jalan."

Pintu tertutup. Sunyi kembali merambat ke seluruh sudut rumah.

Tama bangkit perlahan menuju dapur. Ia mengisi cangkir dengan kopi panas dari termos, menyeruputnya pelan-pelan sambil berdiri dekat jendela. Aroma kopi hitam menyusup tajam ke dalam hidung, membangunkannya lebih dari sekadar kafein. Udara pagi membuat rumah sedikit lebih dingin dari biasanya.

Tiba-tiba, terdengar suara air yang dimatikan dari arah kamar mandi belakang. Tak lama, pintu kamar mandi terbuka perlahan... dan Kemala muncul dari dalam, hanya mengenakan handuk putih yang dililitkan asal di tubuhnya yang masih basah.

Kamar yang Kemala tempati tidak memiliki kamar mandi di dalam sehingga gadis itu harus mandi di kamar mandi yang ada di dapur.

Langkah gadis itu melambat begitu melihat sosok Tama berdiri di dapur, cangkir di tangannya, tatapannya membeku di tempat.

Waktu seakan berhenti.

Tama tidak bergerak, tidak berkedip. Matanya tertancap pada tubuh gadis itu-air masih menetes dari ujung rambut Kemala, menelusuri garis leher hingga ke bahu yang terbuka. Handuk itu terlalu kecil, terlalu tipis,terlalu... mengundang ga i rahnya.

"Ke-Kemala?" suara Tama serak, nyaris tak terdengar.

Kemala mematung, tangan refleks memegang erat ujung handuknya. Napasnya tertahan. Entah karena kaget atau malu.

"Maaf, Om... a-aku kira... Om ikut ke pasar bersama Tante Erina," bisiknya pelan, hampir seperti gumaman. Ia merasa sangat ceroboh karena tidak membawa baju ganti ke kamar mandi.

Tama meneguk ludah. Kopi di tangannya terasa hambar. Dadanya berdegup cepat, matanya masih belum beranjak, seperti dikunci pada pemandangan di depannya. Gadis itu berdiri hanya beberapa langkah darinya, basah, muda, dan tanpa pelindung selain selembar kain.

Tubuh gadis itu terlihat pulen. Tidak kurus tapi juga tidak gemuk, perawakannya sangat ideal. Aura pe ra wan begitu terpancar, membuat pikiran Tama travelling ke mana-mana.

Kata-kata tidak keluar. Yang ada hanya keheningan tebal, seperti kabut yang menyelimuti mereka berdua. Tak ada suara lain, hanya degup jantung yang saling bersahutan-milik Tama, dan juga milik Kemala.

Glek.

Tama menelan salivanya kuat-kuat, sesuatu dibawah sana terbangun. "Shiittt, sial!!! Kenapa harus bangun sih?"

HASRAT LIAR

Malam telah larut. Lampu gantung ruang keluarga menyala redup, menciptakan suasana temaram yang menekan. Dari celah pintu kamar, cahaya temaram itu memantul hingga ke dalam, menyoroti wajah gelisah Tama yang duduk di tepi ranjang sambil mengusap wajahnya berkali-kali.

Pikirannya masih kacau. Bayangan tubuh Kemala yang hanya terbalut handuk putih pagi tadi terus mengganggu benaknya. Kulit gadis itu masih basah, aroma sabun dan shampoo menyeruak begitu mereka tak sengaja berpapasan di dapur. Tama langsung memalingkan wajah saat itu, tapi sekejap pandangan mereka sempat bertemu. Mata Kemala tampak polos dan sedikit terkejut. Tatapan yang juga penuh kesedihan. Namun dibalik itu semua, ada desir aneh yang tiba-tiba hadir, dan itulah yang membuat Tama risau

Tak ingin terlalu larut dalam gelora yang berbahaya yang bisa saja memporak-porandakan perasaannya, Tama dengan tegas meminta Erina untuk mengembalikan lagi Kemala ke rumahnya. Masih banyak yang bersedia untuk merawat gadis itu.

Ia menarik napas panjang. Erina duduk di depan cermin, mengoleskan krim malam di wajahnya dengan tenang.

"Pokoknya aku gak setuju dia ada di rumah kita, Rin!" ucap Tama akhirnya, memecah keheningan.Erina berhenti mengoles krim, memutar tubuh menghadap suaminya. "Lah, kenapa Mas? Susah payah loh aku ngebujuk dia tinggal di sini. Aku juga harus berurusan dengan Sukardi dan saudara Kang Subagja lainnya yang menginginkan hak asuh Kemala. Semua orang menginginkan Kemala karena dia membawa warisan yang besar. Hei, berlian ada di depan kita! Jangan sampai kita sia-siakan, Mas!" ucapnya bersemangat, matanya berbinar penuh ambisi.

Tama menatapnya lelah. Namun ia enggan mengatakan yang sesungguhnya tentang kejadian pagi tadi.

"Tapi, kan, Rin..."

"Udah, gak usah banyak protes. Usaha kafe kamu juga kan lagi anjlok. Kita lagi butuh banyak duit. Kemala bisa jadi ATM berjalan untuk kita. Besok kamu antar dia ke sekolah barunya ya!"

Tama mendengus. "Lah, kenapa harus aku? Kenapa gak kamu aja?"

"Aku ada urusan. Aku mau ke Puncak, ke rumah peninggalan orang tua Kemala di sana. Aku mau nemuin Mang Asep. Ajudan pribadi Kang Subagja itu akan memberikan laporan bulanan hasil perkebunan teh dan peternakan. Meskipun aku belum bisa kuasai semuanya, tapi dengan adanya Kemala di rumah kita, aku bisa minta uang dengan alasan biaya hidup Kemala. Pokoknya, selama gadis itu di sini, hidup kita akan terjamin. Kamu nggak usah pusing-pusing mikirin kafe yang makin sepi itu," jelas Erina sambil tersenyum bangga pada rencana liciknya.Tama hanya bisa menggeleng. Semua kata yang keluar dari mulut Erina terasa menjijikkan malam itu. Begitu mudah wanita itu memanfaatkan keponakannya sendiri demi harta. Tidak ada sedikit pun rasa kasihan atau belas kasih dalam dirinya. Hanya kalkulasi, strategi, dan manipulasi.

"Aku nggak ngerti jalan pikiran kamu, Rin. Bisa-bisanya kamu memanfaatkan keponakanmu sendiri."

"Nggak ada yang dimanfaatin, Mas. Anggap saja Kita orang tua yang harus memberikan yang terbaik serta kenyamanan untuknya di rumah ini. Jika Kak Indira masih hidup, tentu dia tidak akan keberatan putri semata wayangnya itu bersamaku. Aku ini adiknya Indira, dan Kemala sudah aku anggap seperti adik sendiri," jawab Erina mantap.

Tama menyeringai sinis. "Bahkan kamu dan kakakmu saja tidak dekat sejak dulu, Rin. Kamu selalu iri dengan pencapaian Kak Indira. Sekarang sok-sokan peduli pada Kemala. Lucu sekali kamu, Rin."

Alih-alih marah, Erina malah tertawa kecil. Ia bangkit dan melangkah pelan ke ranjang. Ia duduk perlahan di atas tubuh Tama yang kini terbaring, menatap suaminya dengan senyum menggoda. Tangan halusnya menyusuri dada Tama yang hanya mengenakan kaus tipis.

"Sudahlah," bisiknya lembut. "Kita nikmati saja. Kalau banyak uang, kita bisa membeli segalanya. Kemala butuh kasih sayang, kita bisa memberikannya. Kamu cukup diam di rumah, dan kita berikan perhatian pada Kemala supaya gadis itu makin betah di sini. Dia adalah ATM berjalan kita."Tama menatap langit-langit kamar. Erina mulai mencum-bunya, mencoba membakar ga i rah di tubuh suaminya. Namun Tama tetap diam. Tidak ada desa-han, tidak ada rintihan. Hatinya kosong. Pikiran dan has ratnya sudah tidak di situ. Bukan karena jijik pada istrinya. Tapi karena pikirannya masih berkecamuk oleh sesuatu yang jauh lebih kelam- nasib Kemala di rumah ini.

Apa yang dilihatnya tadi pagi, tubuh polos yang baru mandi, rambut basah menjuntai di bahu, kulit putih yang masih memerah karena hangatnya air, semua itu membuat dirinya merasa seperti pria breng-sek. Tapi dia tidak bisa memungkiri, dirinya laki-laki normal. Dan Kemala adalah gadis yang beranjak dewasa.

Tubuhnya semhok, lekuknya sudah terbentuk, dan wajahnya meski masih polos, memiliki daya pikat yang samar tapi menghantui. Hal yang paling membuatnya takut adalah bukan karena Erina ingin menjadikan gadis itu sumber uang, tapi karena ia sendiri, Tama, mungkin tak sanggup menjaga batas.

Erina tidak menyadari badai yang telah ia undang ke dalam rumah mereka. Niatnya memang hanya untuk memanfaatkan Kemala secara materi, tapi Tama... Tama bisa merasakan sesuatu yang mengendap di sudut gelap hatinya.

Saat Erina mulai tertidur di pelukannya, Tama menatap langit-langit kamar dalam keheningan. Ia tak bisa tidur. Bayangan tubuh Kemala kembali muncul. Ia merutuki pikirannya, mengutuk dirinya sendiri karena membayangkan hal seperti itu. Tapi semua itu nyata. Dan ia harus menghadapinya setiap hari mulai sekarang.

Pagi itu matahari belum terlalu tinggi ketika Tama dan Kemala melaju pelan dengan mobil SUV hitam mengilap milik pria itu. Jalanan kota Bogor mulai padat, namun udara masih sejuk, berembus lembut melalui kaca jendela mobil yang sedikit dibuka. Di dalam kendaraan, suasana justru terasa pengap-bukan karena suhu, melainkan karena canggung yang menggantung di antara dua insan yang saling diam itu.

Tama menatap lurus ke jalan, kedua tangannya mencengkeram kemudi dengan kaku. Sesekali, ia melirik lewat kaca spion tengah, memandangi Kemala yang duduk di kursi penumpang belakang. Gadis itu menunduk, memeluk ranselnya. Penampilannya sederhana, dengan celana jeans longgar dan kemeja putih polos yang digulung di bagian lengan.

Kemala menatap ke luar jendela, menghindari sorotan mata pria dewasa yang kini menjadi wali barunya. Wajah bulatnya dihiasi poni tipis dan pipi sedikit chubby-tampak lebih muda dari usianya yang dua puluh satu tahun itu. Mungkin karena efek natural tanpa make up. Matanya sayu, sedikit bengkak karena menangis semalaman saat mengingat kedua orang tuanya. Ada raut lelah dan kehilangan yang membekas jelas di sorot matanya.

"Jangan sedih terus ya. Kamu masih muda, masa depanmu panjang. Kamu pasti bisa bangkit," ucap Tama di tengah perjalanan saat melihat Kemala yang terus diam dengan wajah sendu.

Kemala mengangguk. Dan pagi ini, Kemala hendak memulai kuliah di kampus barunya-Universitas Pakuan. Kampus swasta ternama yang tak jauh dari kompleks perumahan cluster yang menjadi tempat tinggalnya saat ini.

Tama menarik napas panjang, mencoba mencairkan suasana. "Kemala, tadi sempat sarapan?"

Kemala mengangguk pelan. "Sudah, Om. Tadi makan roti sama susu, buatan Tante Erina."

"Oh... bagus, bagus." Tama kembali diam. Otaknya berputar, mencari topik lain.

"Kamu... sudah siap masuk ke kampus barumu?"

Kemala mengangguk lagi. "Iya, Om. Deg-degan, sih."

Tama tersenyum kecil. "Itu wajar. Tapi kamu tenang aja, Unpak itu kampus bagus. Fasilitasnya lengkap, dan banyak mahasiswa pintar juga. Asal kamu bisa menempatkan diri, pasti mudah beradaptasi."

"Semoga..." gumam Kemala lirih, hampir tak terdengar.

Mobil akhirnya berbelok masuk ke area kampus. Bangunan megah dengan desain modern berdiri gagah, dipadu taman hijau rapi dan pepohonan rindang di sekelilingnya. Beberapa mobil mewah tampak terparkir di va dengan halaman, seb pakaian styli

Anda bisa klaim misi baca selama 1 menit

Tama berhenti di depan gedung administrasi. Ia mematikan mesin dan berbalik. "Ayo, Om antar sampai bagian akademik. Nanti kamu langsung ketemu dosen pembimbing juga." Kemala membuka pintu mobil perlahan, lalu turun dengan canggung. Sepatunya bukan sneakers branded seperti mahasiswa kebanyakan. Ia memang tidak terlalu memperhatikan penampilan. Asalkan nyaman, pasti dia pakai. Padahal kalau mau, Kemala bisa membeli barang-barang mewah yang dia inginkan. Rambutnya diikat, wajahnya sedikit lusuh tanpa perawatan, dan kemeja yang sederhana langsung menarik perhatian beberapa mahasiswa yang tengah berkumpul di depan gedung.

Tatapan mereka menilai. Ada yang saling berbisik, ada pula yang menatap dengan alis terangkat, seperti bertanya dalam hati, "Siapa sih cewek kampungan ini?"

Kemala menunduk dalam, mencoba mengabaikan pandangan mereka. Namun ia tak bisa menahan rasa rendah diri yang tiba-tiba menguap dari setiap pori kulitnya. Dunia ini-kampus ini terlalu berbeda dari kehidupannya yang sederhana di desa. Di sini, segala sesuatu terlihat mengkilap, mewah, dan penuh kompetisi sosial.

Tama berjalan mendahului, menuntunnya masuk ke gedung administrasi. Di dalam, ruangan ber-AC itu tampak steril dan profesional. Mahasiswa yang datang dilayani oleh staf dengan komputer dan sistem modern.

Semuanya tampak teratur.

Tama menyapa salah satu petugas dengan ramah. "Pagi, Bu. Saya Tama. Ini keponakan saya, Kemala. Pindahan dari Universitas B. Kami sudah buat janji sebelumnya."

"Oh iya, Pak Tama. Silakan duduk dulu, nanti kami proses datanya. Untuk jurusan Manajemen, ya?"

"Iya, semester 6," jawab Tama.

Klaim

Kemala menunggu sambil duduk di kursi pojok, tangannya menggenggam tas erat-erat. Matanya menyapu ruangan, berusaha tenang. Tapi perasaannya berkecamuk. Ia merasa seperti ikan kecil yang dilempar ke kolam penuh hiu. Semua orang di sini tampak percaya diri, modis, dan bersinar berbanding terbalik dengan dirinya.

Tak lama kemudian, Tama keluar membawa map berisi jadwal dan ID mahasiswa sementara. "Mala, ayo. Om antar ke fakultas sekalian kenalan sama dosen wali kamu."

Kemala mengangguk lemah. Ia melangkah mengikuti Tama, lagi-lagi setengah langkah di belakang. Sepanjang jalan, ia menatap ubin lantai, menghindari kontak mata siapa pun. Di lorong fakultas, mahasiswa lalu-lalang, sebagian besar mengobrol dengan gaya santai sambil tertawa. Tak sedikit yang melirik Kemala, lalu saling bisik-bisik, membanding-bandingkan tanpa suara.

"Kamu nanti kelas di lantai dua, ruang 204. Dosennya namanya Bu Marissa. Senior, beliau dulu juga merupakan dosen Om juga. Kelihatannya jutek, tapi ramah kok," jelas Tama saat mereka tiba di depan kelas.

Kemala menatap pintu ruangan itu. "Makasih, Om..."

Tama tersenyum menenangkan. "Kalau ada apa-apa, jangan ragu cerita sama Om atau Tante, ya."

Gadis itu mengangguk lagi, kali ini memberanikan diri menatap wajah pria itu sejenak. "Iya, Om..."

Saat Tama melangkah pergi, Kemala berdiri sejenak di depan pintu kelas, menghela napas panjang. Ia tahu ini

Awal dari hidup barunya. Dunia asing yang menantang, tapi juga bisa menjadi harapan baru- "Semoga di kampus baru ini, aku bisa melupakan kesedihanku dan kenyataan pahit ini. Aku harus bangkit, ya harus!"

Langit malam itu tampak kelabu dan gelap pekat. Hujan turun deras sejak petang, disertai petir yang menyambar-nyambar, membuat suasana rumah terasa mencekam. Di dalam rumah yang cukup luas itu, hanya ada dua sosok yang sama-sama canggung: Tama dan Kemala.

Erina belum juga pulang sejak siang tadi. Katanya ia sedang ke Puncak, bertemu Mang Asep-orang kepercayaan almarhum ayah Kemala-untuk membicarakan kelanjutan hak waris, dan segala urusan keuangan Kemala yang kini dititipkan pada mereka. Sinyal di sana payah, sehingga ponsel Erina pun sulit dihubungi.

Di ruang tengah, Tama duduk gelisah. Remote TV ada di tangannya, namun layar televisi hanya menampilkan tayangan berita yang sama berulang-ulang. Matanya tidak fokus. Pikiran pria berusia hampir empat puluh itu terus melayang ke dapur, tempat Kemala sedang memasak mie instan.

Sebelumnya, Tama sudah membelikan pizza untuk gadis itu, berharap bisa sedikit mencairkan suasana. Tapi yang ada malah sebaliknya.

Kemala tampak kikuk saat melihat makanan itu. Ia menatap pizza kotak besar di meja makan dengan ekspresi bingung. Dengan hati-hati, ia memegang sepotong dan mencoba menggigitnya, namun wajahnya langsung mengernyit.

"Om, ini rasanya aneh. Kejunya lengket banget... kayak... plastik," gumamnya pelan.

Klaim

Tama yang sedang menuangkan minuman tercekat mendengarnya. Ia hanya bisa tersenyum kaku. "Itu mozzarella, Mala. Keju yang memang meleleh gitu kalau panas."

"Oooh..." Kemala mengangguk, tapi tidak menyentuhnya lagi. "Hehe... Maklum di kampung nggak ada, Om. Aku gak biasa makan makanan itu," ujar Kemala apa adanya.

"Kamu itu begitu rendah diri, Mala. Padahal kamu bisa beli apa aja yang kamu mau. Kamu juga bisa bergaul dengan teman dengan status sosial tinggi. Tapi kamu memilih menjadi gadis sederhana. Kamu bahkan bisa masuk universitas Indonesia, tapi malah pilih disini karena alesan gak mau tinggalin kota Bogor."

Kemala tersenyum malu. "Sebenarnya bukan karena gak mau, Om. Tapi karena gak pede aja. Kalau masuk UI, takut otakku gak nyampe," ujarnya.

Tama terkekeh, senang melihat Kemala tersenyum seperti itu.

Setelah itu, ia berlalu ke dapur. Entah karena sungkan, atau karena memang benar-benar lapar, Kemala akhirnya merebus mie instan sendiri. Ia lebih nyaman dengan makanan sederhana yang bisa ia masak sendiri.

Tama memandangi jam dinding. Sudah hampir pukul sembilan malam. "Aaahh, Erina kapan pulang sih? Ck, mana hujan, gluduk lagi," des4hnya pelan, menggerutu. Matanya memandang keluar jendela, di mana kilatan petir menyapu langit dengan terang menyilaukan.

Klaim

Tama berdiri, hendak melangkah ke arah dapur. Tapi kakinya urung melangkah. Ia ragu.

"Kalau aku ke sana, nanti kelihatan kepo... Atau malah bikin dia makin canggung..." batinnya berkecamuk.

Akhirnya, ia memilih masuk ke kamarnya dan merebahkan diri. Suara hujan semakin keras menghantam atap. Petir terdengar kian dekat. Hatinya makin tak tenang. Ia menggenggam ponselnya, mencoba lagi menelepon Erina. Masih tidak tersambung. Bahkan pesan singkat pun centangnya hanya satu.

Tama menghela napas berat. Baru saja ia memejamkan mata, tiba-tiba...

"BRUKKK!!"

Seketika itu juga listrik padam. Rumah jadi gelap gulita.

Dan beberapa detik kemudian...

Terdengar jeritan dari arah dapur. Suara Kemala.

Dengan cepat, Tama bangkit. Ia mengaktifkan senter dari ponselnya dan berlari menuju dapur. Jantungnya berdebar panik. Kilatan petir di luar membuat cahaya sesekali masuk dari jendela, namun tak cukup membantu penerangan.

"Kemala?!"

Ia menemukan gadis itu berdiri di dekat kompor, tubuhnya gemetar, tangan masih memegang panci kecil berisi mie yang baru saja matang. Air matanya meleleh, dan wajahnya pucat pasi.

"Kemala, kenapa? Kamu baik-baik saja?" tanya Tama, mendekatinya cepat. Ia menyorot wajah gadis itu dengan senter, cemas setengah mati.

"Aku takut, Om... Aku takut..." suara Kemala bergetar, lirih namun menusuk hati. Matanya yang basah memancarkan kepanikan seperti anak kecil yang tersesat.

Sebelum Tama sempat berkata lagi, gadis itu langsung menghambur ke pelukannya. Tangannya melingkar erat di pinggang Tama, wajahnya menunduk dan tertimbun di dada pria itu. Ia tergugu dalam isakan yang pelan tapi nyata. Tubuhnya menggigil, bukan karena dingin, tapi karena benar-benar ketakutan.

Deg.

Tama mematung. Nafasnya tercekat. Pelukan itu terasa aneh. Lagi-lagi Tama merasakan desiran halus yang membuat jantungnya berdebar tidak karuan.

Ia tahu seharusnya ia segera melepaskan diri. Ia tahu, ini tidak pantas. Tapi tubuhnya justru kaku, tak bisa bergerak. Ia bisa mencium aroma shampo yang masih menempel di rambut gadis itu. Ia bisa merasakan detak jantung Kemala yang berdegup kencang. Wanita itu benar-benar sangat ketakutan.

"Mala..." bisik Tama pelan. Suaranya serak. Ia mengangkat satu tangan, ragu-ragu, namun akhirnya memegang punggung Kemala, mencoba menenangkannya. "Sudah... tenang ya. Gak ada apa-apa kok."

"Aku takut, Om. Aku sendirian. Aku enggak biasa di tempat gelap gini. Aku takut," ucapnya dengan pelukan yang semakin erat. Pelukan yang tanpa disadari telah membangunkan lagi sesuatu milik Tama dibawah sana.

Tama menelan ludahnya susah payah. Keningnya berkeringat, tangannya mengusap punggung gadis itu.

Akal sehat telah mengalahkan segalanya. Dan entah, apakah malam ini ia akan berhasil lolos dari sebuah godaan yang disebabkan pikiran nakalnya?

'Tahan Tama, plis tahan. Jangan sampai has-rat li4rmu merusak gadis kampung ini. Duh, gimana nih. Tapi momennya pas sekali, aargghh aku benci pikiran nakal ini!'

SUARA DI KAMAR TANTE

Lampu kembali menyala, Kemala yang menyadari jika dirinya kini terlalu dekat, bahkan tak berjarak dengan Tama.

"Ma-maafkan aku, Om. A-aku gak bermaksud..."

"Gak apa-apa, Mala. Sudah nyala lagi, kamu jangan takut ya!" ucap Tama seraya memalingkan wajahnya, menyembunyikan rona merah akibat rasa gugup dan juga menahan sesuatu yang bergejolak dalam dirinya. Bahkan juniornya masih berdiri tegak gara-gara pelukan erat gadis itu.

"Kalau gitu Om ke kamar dulu. Kalau ada apa-apa, panggil saja! Mie nya dihabiskan, tuh sudah mekar," ucap Tama. Ia pun bergegas menuju kamar, tanpa menoleh lagi pada Kemala yang merasa gugup dan salah tingkah.

Di dalam kamarnya, Tama langsung membuka cela na. Rasanya begitu sesak.

"Huffhh, akhirnya kau bebas juga," ucap Tama seraya mengelus ular piton yang masih berdiri tegak itu.

Wajah pria itu memerah. Antara kesal dan malu, semoga saja Kemala tidak menyadari hal ini.

"Aarghh, sial! Erina kemana sih? Lama banget gak pulang-pulang? Gak tahu apa suaminya tersiksa seperti ini?"

Dengan kesal, ia pun masuk ke dalam kamar mandi di kamarnya. Tama meraih sabun kemudian mulai bermain dengan benda yang sengaja ia lubangi itu.

"Aaahhh..." lirih Tama, suaranya terdengar begitu menikmati. Ia memejamkan mata, membayangkan wajah Kemala yang polos namun sangat menggoda.

Langkah kaki Kemala terdengar pelan dan ragu saat memasuki gerbang kampus Universitas Pakuan, Bogor. Matahari pagi menyinari blouse putih dan celana bahan gelap yang membentuk penampilannya yang sederhana. Rambut hitam panjangnya hanya diikat seadanya, tanpa aksesoris mencolok seperti kebanyakan mahasiswi lainnya. Ia menggenggam erat tali ranselnya, menunduk sepanjang jalan menuju gedung Fakultas Management ekonomi dan bisnis.

Hari kedua, dan rasanya masih sama canggungnya dengan kemarin. Gedung-gedung tinggi yang modern, papan digital pengumuman yang silih berganti, hingga mahasiswa-mahasiswi yang lalu-lalang dengan outfit stylish, laptop mahal, earphone wireless, dan tumbler bermerek. Ini dunia yang jauh dari kampung tempat Kemala dibesarkan.

Meski ia anak juragan kebun teh dan peternakan di kampung, hidupnya selalu bersahaja. Di sana, ia terbiasa mengenakan sandal jepit saat ke warung dan nongkrong bareng teman-temannya yang mayoritas berasal dari keluarga sederhana.

Saat ia masuk ke ruang kelas Manajemen Sumber Daya Manusia B, percakapan riuh langsung mereda.

Beberapa pasang mata menoleh ke arahnya. Kemala pura-pura tidak melihat dan mempercepat langkahnya menuju kursi kosong di barisan dekat jendela, berharap bisa larut dalam suara lalu lintas atau semilir angin pagi.

Tapi harapan itu buyar saat dua mahasiswa berjalan mendekat.

"Eh, Lo anak pindahan itu ya?" tanya salah satu dari mereka dengan rambut disasak dan kemeja oversize.

Namanya Reno, dan senyum genitnya langsung bikin risih.

"Gaya Lo kampungan banget, tapi mukanya manis juga.

Nama Lo siapa?"

"Kiwww... jangan mau sama dia, mending ngobrol sama gue aja," timpal yang satunya, Adit, memakai jaket varsity meski suasana kelas cukup panas. Ia tertawa kecil, menunjuk Reno sambil nyengir.

Kemala menunduk, tak tahu harus membalas apa.

Wajahnya memerah. Bukan karena tersipu, tapi karena malu dan canggung bercampur jadi satu. Ia hanya ingin tenang, belajar, lalu pulang.

Beberapa mahasiswa lain mulai menoleh, sebagian ikut menyahut, tertawa, dan menggodanya.

"Halah, kampung banget! Rambut panjang polos, diiket doang. Diwarnain dikit dong, biar cocok sama vibes kampus kita!" cibir yang lain, dengan suara setengah bercanda tapi menusuk.

"Eh, lo punya pacar gak sih? Mukanya tuh tipe-tipe yang bisa bikin cowok susah move on. Kayak kembang desa gitu," goda yang lainnya. Dan candaan itu berhasil membuat seisi kelas tertawa. Kemala makin menunduk, tangannya saling menggenggam di pangkuan. Ia ingin menghilang dari dunia ini.

"BRAK!!"

Suara gebrakan keras di atas meja memecah suasana. Semua terdiam. Bahkan Kemala tersentak dan menoleh.

Di depannya berdiri seorang mahasiswi dengan rambut pendek berantakan dan hoodie yang hanya dililitkan di pinggang. Wajahnya tajam, dengan tatapan menusuk. Di belakangnya berdiri dua mahasiswi lain, satu berkacamata dan satu lagi dengan rambut lurus panjang yang tampak rapi.

"Serius? Lo gangguin cewek baru? Dasar gak punya otak," ucap gadis itu tajam. Suaranya dingin tapi membungkus amarah.

Reno melotot. "Yola lagi. Sok heroik banget sih lo!"

"Karena lo kebanyakan nonton TikTok misoginis!"

balas Yola sengit, mengepalkan tinjunya ke arah Reno.

"Mau gua viralin lo, ha?!"

Suasana makin tegang, sampai Adit buru-buru menarik Reno. "Udah, bro. Gak usah bikin ribut. Ntar kena laporan ke prodi."

Reno akhirnya mundur, meski masih melirik sinis.

Teman-temannya pun bubar perlahan, meninggalkan Kemala yang masih terpaku di tempat.

Yola berbalik, menatap Kemala dengan sorot yang tetap tajam namun kini lebih bersahabat. "Gue benci cowok yang suka nyari muka pakai cara murahan. Lo gak salah, ngerti?" Kemala mengangguk kecil. "Makasih... ehm..."

"Yola. Gue Yola. Ini Kiren," katanya sambil menunjuk gadis berkacamata. "Dan itu Sintya."

Kiren mengangguk sopan. Sintya tersenyum kecil. Mereka jauh dari bayangan Kemala soal mahasiswa kota yang angkuh dan sok eksklusif.

Kemala menyodorkan tangannya, pelan. "Aku... Kemala."

Yola menyambutnya dengan mantap. "Mahasiswa pindahan ya?"

"Iya... dari Cipanas. Aku pindah karena sekarang tinggal sama Tanteku di perumahan A," ujarnya menunduk malu.

"Gak usah malu. Gua juga dulu dari pinggiran Cileungsi, gak punya siapa-siapa. Tapi sekarang? Setidaknya gua punya nyali," ucap Yola, setengah bercanda.

"Kamu hebat...," lirih Kemala.

Yola nyengir. "Gak juga. Cuma gak pengin diinjak. Di kampus ini banyak yang cuma jago branding doang. Kalau lo diem, mereka bakal nginjak terus."

Kemala tersenyum kecil untuk pertama kalinya sejak kemarin. "Makasih, Yola..."

"Nanti pas break, duduk bareng kita aja, ya? Lo butuh support system."

"Dan mental kuat," timpal Kiren.

"Tenang. Hari ini mereka ngomongin lo, besok

Mereka lupa," kata Sintya sambil mengipas wajahnya santai.

Hari itu, suasana kelas terasa lebih ringan. Meskipun masih ada lirikan aneh dari beberapa mahasiswa, Kemala merasa tidak sendirian lagi. Ia punya tiga orang teman baru yang mungkin terlihat urakan, tapi nyata dan tulus.

Saat jam istirahat tiba, Yola menggandeng tangan Kemala keluar kelas.

"Ayo, gua ajak ke kantin paling enak dan paling murah se-kampus. Lo harus nyobain pecel lele sambel ijo-nya," ujar Yola semangat.

Kemala tertawa kecil. Untuk pertama kalinya sejak datang ke kota ini, ia merasa bisa bernapas lebih lega.

Ternyata, tidak semua orang kota itu dingin dan arogan.

Langit mulai meredup. Halaman kampus yang tadinya ramai kini mulai lengang. Beberapa mahasiswa masih duduk di taman atau menunggu jemputan. Di antara mereka, Kemala berdiri canggung di pinggir jalan kampus, memeluk ransel di dada. Penampilannya tetap sederhana, kontras dengan teman-teman seangkatannya yang tampil seperti selebgram.

Kiren melirik ke arah jalan dan mengerutkan kening. Sebuah mobil SUV hitam berhenti di depan gerbang utama. Seorang pria turun dari kemudi-tinggi, berkulit bersih, potongan rambut fade modern, mengenakan kemeja hitam yang digulung rapi hingga siku, memperlihatkan lengan berurat.

"Kiwww... gaya lo kayak anak kost hemat, tapi

Dijemput cogan," bisik Kiren geli.

Kemala merona. "Itu... Om aku."

Kiren mengangkat alis, hendak bertanya lebih lanjut, tapi Kemala buru-buru melambaikan tangan dan berjalan cepat

Tama menyambutnya dengan senyum. "Udah makan?"

Kemala menggeleng pelan. "Belum, Om..."

"Makan di café aja, yuk. Sekalian Om mau mampir ke sana cek operasional."

"Gak usah repot-repot, Om..."

"Bukan repot. Sekalian jalan. Yuk."

Kemala hanya mengangguk, pasrah. Di dalam hatinya, ia masih canggung. Tapi entah kenapa, sosok Tama yang tenang membuatnya merasa sedikit lebih aman.

Perjalanan menuju café hanya memakan waktu sekitar dua puluh menit. D'Lux Café berdiri di sebuah sudut kota Bogor yang cukup strategis, meski suasananya tampak sepi saat mereka tiba. Beberapa kendaraan terparkir di depan, namun suasana dalam café terlihat lengang.

Tama membuka pintu, dan aroma kopi langsung menyambut hidung Kemala. Café itu tak terlalu besar, namun interiornya nyaman bernuansa kayu hangat dengan sentuhan lampu gantung industrial yang mempermanis suasana.

"Ini Kemala," ucap Tama begitu mereka masuk. Dua

Perempuan yang sedang mengelap meja dan satu perempuan muda yang berdiri di balik meja kasir menoleh. "Keponakan Erina. Mulai hari ini, dia akan sering mampir ke sini, jadi tolong bantu kalau dia butuh apa-apa!"

Mbak Yanti, perempuan dewasa itu langsung tersenyum ramah. "Wah, cantik ya. Mirip Mbak Erina waktu muda."

"Halo, Kemala. Aku Anis. Ini Kiki," sahut salah satu perempuan muda, menyodorkan tangan.

Kemala hanya tersenyum sopan dan menunduk, menjabat tangan mereka satu per satu dengan gerakan kikuk. Dunia ini benar-benar berbeda dari kesehariannya di kampung.

Setelah memperkenalkan staf dapur-Idoy dan Wandi, Tama lalu meminta Idoy menyiapkan masakan spesial untuk Kemala.

"Masakan spesial? Wah, aku jadi gak enak," gumam Kemala pelan.

"Biasa aja. kamu harus sering kemari dan cobain semua menu di sini," jawab Tama santai sambil menarik kursi untuknya.

Obrolan di antara mereka berjalan pelan. Kemala sesekali menjawab dengan anggukan atau jawaban pendek. Tama memperhatikan raut wajah keponakannya itu. Ada keengganan, sekaligus kerapuhan, yang terpancar dari setiap lirikan mata Kemala.

"Betah di kampus baru?" tanya Tama sembari menyeruput air mineral. Kemala menunduk. "Masih... belajar menyesuaikan diri, Om."

"Ada yang usil?"

Kemala menggeleng pelan, meski dalam hatinya ia mengingat jelas godaan dari Reno dan kawan-kawan tadi siang. Ia enggan membuat keributan.

Beberapa menit kemudian, Idoy datang membawa sepiring nasi steak lada hitam dan semangkuk sup krim jagung.

"Wah... banyak sekali, Om," ucap Kemala terbelalak.

"Biar kenyang," jawab Tama sambil tersenyum tipis.

Ia sendiri hanya memesan secangkir kopi hitam.

Selama beberapa menit, hanya suara sendok dan garpu yang terdengar. Kemala makan perlahan, berusaha tidak tampak rakus meski perutnya sudah keroncongan sejak jam pelajaran terakhir tadi. Selain karena harus jaga image, ia juga kurang berselera dengan menu yang disajikan itu.

Ya, meskipun orang tuanya banyak uang, namun Kemala tak biasa makan makanan dengan menu ke barat-baratan itu.

'Nympe rumah, aku harus bikin mie instan nih yang super pedes,' gumamnya.

Setelah makan hampir selesai, barulah Tama kembali angkat bicara.

"Erina mungkin akan sedikit sibuk karena harus bolak-balik ke Puncak. Ngurusin surat-surat hak asuhmu, katanya. Jadi mungkin beberapa hari ini, Om yang bakal antar jemput kamu sekolah. Nggak papa, ya?"

Kemala tertegun sejenak sebelum mengangguk pelan. "Iya, Om. Maaf ya kalau malah nyusahin..."

"Enggak kok, Mala. Erina senang banget kamu tinggal sama kita. Dia udah nganggep kamu kayak adiknya sendiri."

Kemala tersenyum, meski terasa sedikit pahit di ujung lidahnya. Sejak kematian orang tuanya satu bulan yang lalu akibat kecelakaan, hidupnya terasa seperti perahu hanyut di tengah samudra. Ia rapuh dan terpuruk setiap kali mengingat itu.

"Kalau butuh apa-apa, jangan sungkan. Ngerti?" ujar tama lagi, kali ini suaranya lebih lembut.

Kemala kembali mengangguk, tidak berani menatap pria di hadapannya itu terlalu lama. Ada sesuatu dalam sorot mata Tama yang membuatnya gelisah, meskipun pria itu selalu bicara dengan nada tenang dan perhatian. Ia tahu, hubungan mereka bukan darah langsung-Tama hanya suami dari tante kandungnya. Tapi tetap saja, perhatian Tama akhir-akhir ini terasa... berlebihan.

Yang tidak Kemala tahu, adalah bahwa Tama sendiri sedang berjuang dengan pikirannya. Ia yang awalnya menolak keinginan Erina untuk mengasuh Kemala, kini tak punya banyak pilihan. Ekonominya sedang kritis. Investasinya di bisnis digital gagal, utang mulai menumpuk, dan café ini pun merugi setiap bulan.

Malam itu, saat Erina menyodorkan berkas surat warisan dari orang tua Kemala, ia terpaksa menyerah.

"Kita nggak akan bisa ambil warisannya, Mas," kata

Erina lembut, sambil menyesap teh hangat di beranda rumah mereka. "kekuatan hukum atas warisan itu sangat kuat. Kemala adalah ahli waris satu-satunya. Tapi kalau Kemala tinggal sama kita, kita kan bisa bantu kelola. Peternakan dan perkebunan itu bisa kasih pemasukan. Lagi pula, dia nggak punya siapa-siapa lagi..."

"Jadi maksud kamu...?"

"Anggap saja dia ATM berjalan," lanjut Erina tanpa ragu.

Ucapan itu membuat hati Tama bergeremat, ia tentu tak suka dengan sikap istrinya yang culas. Tapi pria itu tahu, kondisi keuangan mereka sudah di ambang kehancuran. Jika mau selamat, satu-satunya jalan adalah membuat Kemala betah.

"Jangan memanfaatkannya berlebihan. Kita harusnya mensupport dan menyayanginya dengan tulus. Kemala sekarang yatim piatu, dia butuh kita, keluarganya!" tegas Tama malam itu.

"Iya tenang aja. Aku tahu kok. Mana mungkin aku memanfaatkannya berlebihan. Dia anak dari kakakku, tentu aku sangat menyayanginya," ucap Erina penuh intrik. Tapi sebenarnya dalam hatinya sedang menyusun rencana. Meskipun tidak bisa secara instan, namun Erina akan membuat Kemala betah bersamanya lalu secara perlahan, menguasai aset-aset milik gadis itu.

Malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Lampu teras masih menyala remang, menyoroti sosok Tama yang berdiri dengan jaket telah rapi membungkus tubuhnya. Satu koper kecil berada di tangan kanannya. Di depannya, Erina mengantar dengan wajah datar tapi penuh perhitungan.

"Ibu sakit, Mas harus pulang kampung, Dek!" ujar Tama terburu-buru sambil mengecek ponselnya yang baru saja berdering beberapa menit lalu.

"Oh yaudah, Mas. Berangkat aja. Salam ya untuk ibu

dan semua yang ada di sana. Maaf aku nggak bisa ikut, kasihan Kemala kalau ditinggal," jawab Erina, pura-pura menyayangkan, padahal sorot matanya justru tampak lega.

Tama mengangguk. Ia terlihat ragu, seperti

menimbang sesuatu. Namun keadaan membuatnya tidak

punya banyak pilihan.

Erina masuk ke dalam kamar, lalu keluar lagi sambil membawa segepok uang yang dibungkus amplop cokelat.

"Ini, Mas."

Tama mengerutkan dahi. "A-apa ini?"

"Ini uang sepuluh juta. Kamu bawa ya buat jaga-jaga,"

ucap Erina ringan seolah memberi uang jajan.

Tama memicingkan mata, curiga. "Dari mana kamu

dapat uang sebanyak ini?"

Erina tersenyum kecil, seolah sudah menyiapkan jawaban sedari tadi. "Dari siapa lagi kalau bukan dari Kemala, Mas. Mang Asep tadi sudah mencairkan seratus juta untuk kebutuhan Kemala selama di sini. Katanya kalau ada keperluan lain, tinggal bilang aja. Asal jelas pengeluaran dan pemasukannya."

Nada bicara Erina begitu enteng, seperti tidak sedang membicarakan anak yatim piatu yang baru beberapa hari tinggal di rumah mereka. Dan dari caranya menatap uang itu, terlihat jelas ia tidak berniat menggunakannya semata-mata untuk kebutuhan Kemala.

"Kamu benar-benar memanfaatkannya, Dek. Kita tidak seharusnya seperti ini..." ucap Tama pelan, nadanya menurun, kecewa.

Udahlah, Mas," sela Erina cepat. "Kita butuh uang.

" Kamu juga butuh uang. Ibumu sakit, pasti butuh biaya. Sudahlah, cepat berangkat! Jangan lupa beli oleh-oleh dulu di jalan buat ibu dan keluargamu di sana."

Tama diam. Ia ingin membantah, ingin mengatakan bahwa ini salah, bahwa uang milik anak yatim bukan untuk diselewengkan seperti ini. Tapi akhirnya ia hanya mengangguk dan mengambil amplop itu. Ada banyak hal yang lebih mendesak sekarang, dan Erina tahu itu. Perempuan itu selalu tahu cara membuat Tama tak bisa berkata apa-apa.

Malam itu, Tama pamit untuk pulang ke kampung halamannya dan akan menginap selama 2 hari. Ia mengecup kening istrinya yang berdiri di ambang pintu, namun matanya tertuju pada ruang tamu. Tidak ia lihat Kemala di sana, mungkin gadis itu sudah tidur, pikirnya.

Tak lama, suara mobil terdengar dari luar. Tama pergi. Rumah itu kembali senyap, menyisakan Erina yang berdiri di depan pintu dengan senyum samar.

Jam menunjukkan pukul dua dini hari ketika Kemala

Terbangun dari tidurnya. Dahaganya terasa mengganjal di tenggorokan. Ia bangkit pelan, tidak ingin menimbulkan suara. Rambutnya berantakan, dan langkah kakinya masih limbung menuju dapur.

Kemala mengambil segelas air putih dari dispenser.

Saat hendak kembali ke kamarnya, ia melewati kamar Om dan tantenya. Langkahnya tiba-tiba terhenti saat telinganya menangkap sesuatu.

"Ah... ouchh, enak sayang."

Kemala terdiam. Matanya membulat. Ia

menghentikan langkahnya tepat di depan pintu kamar itu. Hatinya berdebar keras. Bukan karena takut, tapi karena rasa aneh yang tiba-tiba memenuhi dadanya.

Ia dengar lagi. Suara era ngan pelan, samar... lalu semakin keras. Kemala membeku.

Keringat dingin mulai merembes dari pelipisnya. Ia memang gadis kampung, namun ia cukup dewasa untuk mengetahui apa yang sedang terjadi di dalam sana. Kemala mengigit bibir bawahnya, bukannya buru-buru kembali ke kamarnya, ia malah mematung kemudian menempelkan telinganya di depan pintu kamar itu. Ia menguping, seolah ingin larut dalam suasana panas yang terjadi di dalam sana.

Namun semakin jelas terdengar, tiba-tiba Kemala menyadari sesuatu. Suara itu-suara pria itu... bukan suara Om Tama Ia yakin betul. Kemala menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan napas. Suara itu sangat dekat, sangat nyata. Ia tidak salah dengar. Ia kembali menempelkan telinganya ke pintu, berusaha menahan emosi yang bergejolak. Tapi justru di situlah suara itu makin jelas.

"Ah... Enak banget, Honey. GO ya nganmu benar-benar nikmat!"

Deg.

Itu bukan suara Om Tama. Bahkan sangat jauh dari suara pria yang ia dengar saat mengajaknya ngobrol di cafe siang tadi.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!