Amerika – 17 Januari 2025
BRAK
Suara benturan yang terdengar nyaring di sebuah tempat sepi. Mobil putih itu menabrak sebuah batu yang ada di pinggir jurang.
Seorang gadis keluar dari dalam mobil, usianya sekitar 22 tahun, wanita cantik dengan rambut drak brown yang berkilau walaupun agak kusut.
BOOM!
Suara ledekan terdengar begitu dia keluar dari dalam mobil, ia menatap nanar mobil miliknya yang terbakar dengan kepulan asap hitam.
Gadis itu terkapar di pinggir jurang dengan Luka di wajah dan benturan keras pada kepalanya membuat dia hampir kehilangan kesadaran. Namun, dia berusaha menahan dan meminta tolong. Dia juga mengeluarkan sedikit busa pada mulutnya, seperti keracunan sesuatu.
"Siapapun tolong!" suara pelan. Dan nyaris tak terdengar.
DRAP!
DRAP!
DRAP!
Suara langkah kaki yang terdengar mendekat membuat wanita cantik itu mendongak, matanya menyipit karena tak jelas melihat orang yang mendekat itu.
"Siapa di sana?" tanyanya pelan dengan kepala yang berdenyut nyeri.
"Hay, Cassia," panggilan dan suara yang begitu di kenali membuat dia sontak mendongak dengan mata berbinar.
"Dar-Darian," panggilnya pelan dengan suara lirih dan nyaris tak terdengar.
"Iya, ini aku," seorang pria duduk di depan Cassia yang memiliki keadaan buruk dan butuh pertolongan.
"Darian, tolong aku!" minta Cassia wajahnya memohon.
"Tolong? Untuk apa?" tanya Pria bernama Darian itu.
"Darian, aku ini tunanganmu, kenapa bicara seperti itu?" walaupun dalam. Keadaan tak baik, Cassia tetap menatap Darian dengan binar cinta.
"Kenapa kamu bilang?" Darian tersenyum menyeringai,"Kau itu tidak pantas di tolong," jawabnya sinis, dengan tangan yang mencengkram rambut Cassia hingga gadis itu meringis.
"Dar-Darian?" panggilnya dengan suara pelan dan tatapan sendu.
"Iya, akhirnya aku bisa membalas kejahatan mu pada Nafisha, ini adalah balasan yang pantas," ucap Darian dengan senyum bangga dan puas.
"Kenapa?" tanyanya serak dengan wajah penuh tuntutan.
"Kau tak pantas hidup Cassia, karena kau adalah wanita pembawa masalah untuk Nafisha," ujarnya dengan senyum sinis.
Sedangkan Cassia Itzel Gray– menatap sendu tunangannya itu. Dia tak pernah menyangka akan berakhir di tangan pria yang begitu dirinya cintai.
"Aku begitu mencintai kamu Darian, kenapa kamu begitu tega?" Cassia bertanya dengan wajah terlihat penuh luka di tengah cairan merah yang menetes melewati matanya.
"Karena aku membenci mu, selamat tinggal, Cassia!" ucap Darian, dia menepuk pipi Cassia pelan. Dan berbisik,"Mau aku beritahu satu rahasia lainnya?"
Cassia menatap Darian, mata yang hampir tertutup itu berusaha tetap sadar karena ini tahu rahasia lainnya.
Di detik-detik terakhir. Cassia masih mendengar hal menyakitkan lainnya yang membuat Cassia marah dan dendam.
"Keluarga Gray hancur karena kesalahan mu, Cassia! Aku lah yang membuat Gray bangkrut dan membuat kedua orang tuamu pergi, jadi selamat menemui mereka, Cassia! Ini balasan setimpal untuk setiap tetes air mata Nafisha," bisik Darian dengan senyum menyeringai.
DEG!
"Jadi dia?" lirih Cassia dengan suara hilang di ujung tenggorokan.
Cassia menatap Darian terakhir kalinya, dan terlihat mata itu memerah. Tapi Darian tak menyadari karena begitu puas dengan kehancuran Cassia wanita Pengganggu hidupnya selama ini.
'Benarkah ada kehidupan selanjutnya? Jika iya tolong berikan aku sekali lagi kesempatan!' batinnya dengn air mata yang menetes dari sudut matanya.
Akhir tragis dari Cassia Itzel Gray, gadis cantik yang dulu begitu sempurna sekarang mati mengenaskan di tangan Darian Kanny Parker.
"Selamat tinggal, Cassia!" Darian melemparkan tubuh Cassia ke dalam jurang hingga tubuh rapuh dan tak bernyawa itu terhempas membentur bebatuan tajam yang menghancurkan segalanya.
...****************...
DEGH!
"TIDAK!" suara teriakan terdengar dari sebuah kamar bernuansa biru itu. Seorang gadis cantik berambut drak brown terbangun dengan peluh yang menetes dari dahinya.
BRAK!
"Cassia, ada apa, Nak?" suara lembut yang terdengar khawatir itu mengalihkan atensi Cassia.
Cassia menatap wanita yang sekarang duduk di sampingnya ini, matanya berkaca-kaca dan suaranya tak bisa keluar sepatah katapun.
"Nak, ada apa?" kembali suara itu terdengar menyapa indra pendengaran Cassia yng sejak tadi hanya diam mematung dan tatapan kosong.
"Mami," panggil Cassia akhirnya, dia membuka suara setelah sekian lama terdiam.
"Iya, ini Mami Sayang, kamu kenapa? Apa ada yang sakit?" Margaretha selaku Mami dari Cassia menanyakan hal beruntun karena khawatir mendengar teriakan sang Putri tadi.
Belum sempat Cassia menjawab, dua orang kembali masuk dengan wajah yang juga terlihat panik.
"Mi, ada apa?" suara pria paruh baya menyapa indra pendengaran Cassia, suara yang begitu hangat dan dirinya rindukan.
"Entahlah, Pi, Cassia mendadak diam setelah pingsan di sekolah kemarin," jawab Margaretha.
Pria itu, Thomas Jefferson Gray, terlihat duduk di samping putrinya dengan wajah Khawatir yang terlihat jelas sekali,"Princess, apa kepalamu sakit?" suaranya lembut dan penuh kasih sayang.
"Papi, Mami," panggil Cassia, dia masih belum mengerti situasi saat ini.
"Iya, kami di sini, apa ada yang sakit, sayang?" Thomas kembali mengulang pertanyaan yang sama.
"Apa aku benar-benar sudah meninggal? Aku bisa melihat Papi dan Mami sedang menatap aku penuh cinta, Ya Tuhan apa ini benar?" tanyanya, air matanya menetes dari mata indah berwarna kebiruan itu.
Ketiga orang itu saling tatap, mereka tidak mengerti apa yng di katakan oleh Cassia? Dan itu semakin membuat kedua paruh baya juga satu orang pria tampan itu bertambah Khawatir.
"Dek, apa yang kamu katakan?" suara itu begitu Cassia kenali, dia menoleh dan mendelik saat melihat Kakaknya Vladimir Axelio Gray berdiri di belakangnya dengan wajah datar seperti biasa. Namun, sekarang tampak terlihat begitu khawatir.
"Kakak?" panggil Cassia.
"Iya, ini Kakak, kamu kenapa sih?" tanya Vladimir. Dia ini memang terlihat acuh pada sang adik. Namun, kasih sayangnya tak perlu di ragukan lagi.
"Apakah kita sudah benar-benar di surga?" pertanyaan aneh lainnya membuat Vladimir dan kedua orang tuanya bingung.
"Surga apa sih? Jelas-jelas ini di rumah," jawab Vladimir ketus.
"Loh, kalian bukannya sudah meninggal?" perkataan Cassia membuat Vladimir meradang.
PLETAK!
Dia menjitak kening sang adik dengan keras hingga membuat Cassia kesakitan dan mengaduh.
"Meninggal? Surga? Kau mendoakan kami mati begitu?" ketus Vladimir. Matanya mendelik kesal dengan bibir berdecak pelan.
Cassia masih tidak mengerti situasi, dia melihat pada tangannya. Tak ada luka dan kulitnya masih halus seperti saat remaja dulu. Tunggu! Remaja? Cassia mendelik dengan wajah agak syok.
Dia melihat jam, sekarang menunjukkan pukul delapan pagi waktu setempat."Kak, sekarang tanggal berapa?" tanya Cassia, dia menatap Vladimir.
"Kenapa? Kau mau bicara yang aneh-aneh lagi?" jawabnya ketus.
"Vladimir, jangan bicara ketus seperti itu!" teguran datang dari Thomas. Dia kesal pada anak laki-lakinya itu.
Vladimir hanya memutar bola matanya malas, dia enggan menjawab pertanyaan Cassia dan itu membuat Cassia si gadis cantik itu mencibik kesal.
"Nak, sekarang tangga 17 Januari 2020," jawaban di dapat dari Margaretha.
DEGH!
"2020?" gumamnya pelan dan nyaris seperti bisikan.
Meja makan keluarga Gray.
"Makan yang banyak! Biar kamu cepat sehat," Margaretha meletakkan sepotong sandwich ke dalam piring putrinya.
"Mi, Terima kasih!" ucap Cassia.
Margaretha mematung ini adalah pertama kalinya Cassia mengucapkan Terima kasih.
Margaretha memandang Cassia dengan tatapan teduh dan akhirnya wanita paruh baya itu mengangguk pelan."Sama-sama, ayo makan lagi!"
Cassia dengan semangat mengangguk, dia menikmati setiap suapan yang terasa begitu enak. Dulu dia tak pernah makan dan hidup tenang, karena selama ini hidupnya hanya habis untuk menyenangkan Darian.
"Darian? Sial kenapa aku malah memikirkan dia?" gerutunya. Dia benci pria itu, pria yang sudah membuat dia meninggal dan kehilangan seluruh keluarganya. Akan dia balas semua itu dengan rasa yang lebih menyakitkan.
Sedangkan Vladimir menatap aneh sang adik, ini adalah pertama kalinya dia melihat adiknya begitu tenang. Padahal biasanya gadis itu akan heboh dan buru-buru pergi ke sekolah hanya demi bertemu Darian.
Sekarang hari sabtu, dan Cassia tak pergi ke manapun. Sebab dia harus mencerna semua kejadian buruk ini, dirinya benar-benar tak menyangka akan kembali hidup di 5 tahun sebelum semuanya hancur berantakan.
"Kamu tak pergi?" pertanyaan dari Vladimir membuat Cassia menoleh cepat.
"Pergi? Kemana?" tanya Cassia, dia menatap sang Kakak yang sudah rapi.
"Biasanya kamu selalu pergi ke rumah Darian untuk mengajak pria itu pergi walaupun di tolak!" ucapnya tanpa perasaan dan itu membuat Cassia mendelik kesal.
"Aku tidak akan melakukannya lagi," jawaban dari Cassia membuat Vladimir sontak menoleh.
"Tumben?" Vladimir menaikan sebelah alisnya seolah tak menyangka dengan jawaban sang adik.
Cassia tak menanggapi, dia justru kembali sibuk dengan ponselnya karena ia sibuk berbalas pesan dengan para sahabatnya.
"Kau membuat masalah lagi?" pertanyaan Vladimir membuat gerakan tangan Cassia terhenti.
"Masalah apa? Aku hanya malas keluar rumah, apa itu jadi masalah?" ujar Cassia dengan wajah acuh.
"Kau yakin hanya itu? Apa ini masih ada hubungannya dengan Nafisha?"
"Nafisha? Kenapa kamu membawa nama wanita itu? Menyebalkan!" gerutu Cassia.
"Iya aku hanya menebak," kata Vladimir,"Kau istirahat saja! Jika butuh apapun segera hubungi aku!" setelah itu Vladimir berlalu meninggalkan Cassia di ruang tamu.
"Nafisha dan Darian, mereka harus membayar semuanya!" genggaman pada ponsel itu mengerat. Dengan wajah penuh kemarahan.
Cassia tahu dia mendapatkan kesempatan baru, mungkin Tuhan sayang dan kasihan padanya karena melihat bagaimana dia mati menderita dan mati mengenaskan di tangan Darian.
Maka dari itu Cassia tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini dan akan dia balas semua rasa sakit di masalalu dengan rasa yang lebih menyakitkan lagi hingga dewa kematian takut untuk melihat semuanya.
...****************...
Usai sarapan bersama keluarga lengkapnya, Cassia melangkah perlahan menuju balkon kamarnya. Angin pagi menyapa lembut wajahnya yang masih kusut, membawa sejuk sekaligus kekalutan yang sulit dia jelaskan.
Pikiran Cassia berputar tak henti, mencoba mencerna kenyataan yang nyaris mustahil dia benar-benar mengulang waktu. Seperti kisah dalam novel yang dulu hanya dia baca tanpa pernah membayangkan bisa mengalaminya sendiri.
Di balik kebingungan itu, ada secercah bahagia yang berani muncul kesempatan untuk kembali bersama keluarga tercinta, dan yang lebih membara, kesempatan untuk mengenal lagi sosok pria yang pernah membuat hatinya bergetar.
Namun, di dalam benaknya, pertanyaan bergelayut tanpa henti, apakah takdir kali ini akan berjalan berbeda? Ataukah cerita lama akan terulang kembali dengan luka yang sama?
Cassia menghela napas, menatap cakrawala yang mulai merekah di ufuk timur, sementara angin pagi terus membelai lembut wajahnya, seakan menyampaikan bisikan harapan sekaligus peringatan yang tak bisa ia abaikan.
Dax namanya menggema dalam setiap sudut ingatan Cassia, seperti luka lama yang belum sembuh. “ kamu sedang apa sekarang, Dax?” lirihnya dengan suara bergetar, “Bodohnya aku… aku tak pernah balas cintamu, padahal kamu begitu mencintaiku, sampai akhirnya kau pergi… pergi dengan cara yang paling tragis.”
Kenangan itu menusuk hati Cassia, membelah jiwa yang tersekat oleh penyesalan. Dulu, Dax teman masa kecil yang selalu setia memberi cintanya tanpa syarat.
Namun, buta dan kehilangan arah, Cassia malah memilih pria yang membawa kehancuran pada dirinya dan keluarganya. Kini, semua itu hanyalah puing yang tertinggal di antara reruntuhan masa lalu, menyisakan sesak dan derita yang tak terperi.
Dalam kesunyian, Cassia terperangkap dalam penyesalan, menyesali hati yang pernah menolak cinta tulus di depannya.
"Darian! Nafisha! Aku tidak akan pernah membiarkan kalian hidup damai, tidak di kehidupan ini! Kalian harus membayar dengan mahal, atas semua yang sudah kalian lakukan padaku!" Cassia menggeram penuh amarah, matanya menatap tajam keluar balkon, menelan badai pikirannya yang mengamuk seperti gelombang dahsyat di lautan jiwa.
"Jadi, ini benar... aku terlahir kembali?" Suaranya bergetar, haru membuncah hingga menghangatkan hati yang sempat dingin dan terluka.
"Terima kasih, Tuhan. Ini kesempatan keduaku kesempatan untuk membalikkan semuanya." Dia menghela napas panjang, matanya berkilat penuh tekad. "Sekarang, waktunya merencanakan balas dendam yang sempurna. Mereka akan tahu, betapa dalamnya sakit yang pernah kutanggung."
Cassia melangkah masuk ke kamar dengan langkah mantap, matanya menatap ke meja belajarnya. Ia duduk perlahan, membiarkan potongan-potongan luka masa lalu berhamburan di benaknya kenangan tragis yang mengoyak hatinya tanpa ampun.
Dalam kesunyian yang menusuk, ia merangkai serpihan-serpihan itu menjadi satu gambaran besar rencana membalas takdir yang kejam, tekad membungkam bayang-bayang kelam agar ia tak pernah lagi terjerat dalam penderitaan yang sama.
Setiap hela napasnya menggetarkan jiwa, bak janji bisu bahwa kali ini, dia takkan membiarkan sejarah kelam itu terulang kembali.
...****************...
Sore harinya
"Ma, aku keluar nongkrong di rumah teman, jangan tunggu aku makan malam. Aku makan bareng mereka," ucap Cassia sambil menatap ibunya yang duduk tenang di ruang tamu.
Margaretha tersenyum lembut, penuh kasih, menatap putrinya yang mulai tumbuh mandiri. "Iya sayang, hati-hati, jangan pulang larut malam."
Cassia mengangguk tegas, suara dan tatapannya penuh keyakinan, seolah memberi janji tanpa kata, "Siap, Ma."
Malam itu, ruang tamu yang hangat berubah menjadi saksi bisu di mana harapan dan kecemasan bertaut dalam diam. Margaretha menatap pintu keluar, berharap perlindungan sang malam untuk putrinya yang perlahan menjauh.
Setelah itu ia keluar dari rumah Cassia melangkah ringan menuju garasi tempat motor sport kesayangannya terparkir hadiah ulang tahun ke-17 dari ayah yang selalu percaya padanya.
Jeans ketat dipadu kaos sederhana, sepatu boots kukuh, dan jaket kulit hitam menempel di tubuhnya, seolah menjadi tameng menghadang badai perasaannya.
Mesin meraung saat ia menyalakannya, dan dengan napas yang memburu, Cassia melesat ke jalan, meninggalkan jejak asap serta segala beban yang menggerayangi hatinya.
Beberapa menit kemudian, motor Cassia berhenti di depan sebuah rumah megah berlantai dua, dindingnya bercat putih dipadu warna mocca yang hangat.
Di halaman, deretan motor dan mobil terparkir rapat, tanda jelas bahwa para sahabat serta seniornya sudah berkumpul di dalam. sebuah reuni yang akan segera mengguncang hatinya dengan gelombang kenangan dan rahasia yang lama terkubur.
Tanpa ragu, Cassia melompat turun dari motor. Matanya menatap rumah itu sekejap, lalu senyum tipis menghias bibirnya—senyum yang penuh tekad dan luka tersembunyi.
Dia menarik napas dalam, berusaha menenangkan badai yang berkecamuk dalam hati dan pikirannya. Karena sebentar lagi, dia harus menghadapi dua sosok yang paling dia benci mereka yang bisa merobek jiwa dan meruntuhkan segala harapannya.
Namun, kali ini, Cassia bertekad tak akan membiarkan amarah menguasainya.
...****************...
"Hai semua!" Cassia menyapa dengan suara cerah begitu mendorong pintu rumah sahabatnya.
Namun, di balik senyum itu, matanya menyimpan ribuan pertanyaan yang belum terucap. Apa yang menanti di balik pintu itu? Gugup dan harap bercampur menjadi satu dalam detik-detik yang menggantung.
Orang-orang di ruangan itu serentak menoleh saat suara itu terdengar, mata mereka tertuju pada sosok Cassia yang baru melangkah masuk.
Di antara kerumunan, salah satu sahabat karib sekaligus tuan rumah, Roselia Fredericka bergegas menghampiri dengan langkah tergesa-gesa.
Tanpa pikir panjang, dia merangkul Cassia erat, seolah takut kehadirannya hanyalah mimpi yang segera menghilang. “Cassia... akhirnya kamu datang juga! are you oke?” Suara Rose bergetar, penuh kekhawatiran yang terpendam lama.
Bola matanya yang hijau bersinar menatap dalam, mencoba mencari jawaban dari wajah Cassia yang sedikit pucat.
Cassia menghela napas, matanya menyiratkan perjuangan yang tak terlihat. “ I'm oke, Rose. Kamu lihat sendiri, kan?” Jawabnya dengan suara pelan, tapi tegar seolah berkata tanpa perlu banyak kata bahwa badai di dalam dirinya belum sepenuhnya usai, namun ia memilih berdiri di sini, menantang segala keraguan yang sempat membelenggunya.
Di sudut ruang itu, Darian dan Nafisha berdiri membeku, mata mereka tertuju tajam pada Cassia. Tatapan dingin itu seperti duri yang menusuk kulit, membakar setiap helai pikirannya.
Cassia bisa merasakan gelombang kebencian yang tersembunyi di balik mata mereka bukan hanya kebencian biasa, tapi kebencian yang mengancam untuk meledak kapan saja. Dia hanya melirik sekilas, tahu bahwa di balik diam mereka, perang diam tengah berkecamuk.
Rose menarik Cassia dengan lembut namun tegas, membawanya bergabung dengan kerumunan yang sudah menunggu. Ia mendudukkan Cassia di sisi dekat dirinya dan sahabat-sahabat lainnya, menciptakan sebuah lingkaran yang seolah ingin menghalau kesendirian.
Namun, Cassia tetap diam, berbeda dari kebiasaannya yang selalu mencari-cari perhatian Darian dengan menempel erat padanya.
Darian menyipitkan mata, mengernyit bingung. Ada sesuatu yang aneh, sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya menghimpit dadanya.
Sebuah kegelisahan yang tanpa sadar mulai merayapi pikirannya, walau ia berusaha keras menepisnya, menganggapnya hanyalah bayangan sesat yang tidak perlu dipikirkan lagi.
Di sudut lain, mata penuh cinta itu tak berani lebih dekat. Seseorang menatap Cassia dengan lembut tapi terbatas, seolah takut kehadirannya akan mengusik keseimbangan yang rapuh itu. Jarak terasa menjadi benteng antara kerinduan dan keberanian, membuat tatapan itu menjadi penuh kerinduan yang tersimpan rapat dalam diam.
...****************...
"Hay Zhela," Cassia menyapa temannya yang duduk diam di sofa.
"Hay, kau baik-baik saja, kan?" Arzhela bertanya dengan nada suara cukup Khawatir, sebab kemarin dia melihat sendiri bagaimana Cassia pingsan.
"Seperti yang kamu lihat, maaf sudah membuat kalian semua khawatir," ucapnya, dia menatap sendu kedua temannya.
"Cas, ini bukan salahmu." Zhela menjawab, dia lalu melirik sekilas dan kembali melanjutkan ucapannya,"Tapi salah seseorang yang duduk tenang dan tak tahu malu," sindiran itu halus. Namun, menusuk bagi orang yang di maksud Arzhela.
Sedangkan orang yang di maksud Arzhela hanya bisa meremat pelan ujung baju yang di kenakan malam ini, dia menatap dengan sendu seolah hatinya benar-benar tersakiti."Darian!" panggilnya dengan suara parau.
Darian, pria itu menoleh dan saat dia akan membela gadis di sampingnya itu. Tapi belum sempat dirinya bersuara, Rose menginterupsi sindiran Arzhela tadi.
"Zhel, jangan bicara apapun!" tegur Rose, gadis cantik bermata sedikit kehijauan itu tak ingin ada keributan.
"Memangnya apa yang aku katakan?" jawabnya acuh. Dia kembali mengambil ponselnya dan men-scroll akun media sosialnya dengan tenang.
Arzhela Viorie Haven adalah seorang Selebgram, dia cantik dan berbakat, bahkan gadis cantik 17 tahun itu sudah pernah menjadi seorang model, dan beberapa waktu lalu dirinya juga sempat di tawari bermain film bertema remaja. Namun, dia enggan sebab menurutnya itu akan sangat merepotkan di tengah kesibukannya di sekolah.
"Mau minum?" suara Rose kembali memecah keheningan di tengah gemuruh kemarahan yang tak terlihat.
"Boleh, apa kamu punya jus jeruk?" Cassia haus, apalagi kemarahan yang dirinya pendam membuat tenggorokannya terasa kering.
"Ada, akan aku ambil. Sebentar ya!" Rose bangun, dia berjalan menuju dapur dan meminta bantuan pelayan di rumahnya untuk membuat minuman bagi semua Teman-temannya.
"Zhel," tepuk Cassia, dia mendekat pada Arzhela yang begitu sibuk.
"Iya, kamu butuh sesuatu?" Arzhela meletakkan ponsel mahalnya di meja, dan tatapannya beralih pada Cassia yang tampak sekali khawatir dan seperti menyimpan sesuatu.
"Kemana Ara? Tumben dia tidak datang?" Cassia menanyakan salah satu sahabatnya yang lain.
"Dia ada acara keluarga," jawabnya lembut.
"Oh, aku pikir dia sedang sakit."
Arzhela menggeleng, dia melanjutkan obrolan ringan dengan Cassia dan melupakan beberapa pesan yang masuk kedalam ponsel mahalnya itu.
Sedangkan di sudut lain, tatapan seseorang yang pernah putus pada sosok Cassia yang sejak tadi tampak berbeda, pria itu merasa ada sesuatu yang coba Cassia sembunyikan di tengah kerumunan banyak orang.
"Jangan menatapnya seperti itu, Dax!" tepukan sekaligus teguran pada sosok pria tampan bernetra hitam itu membuat dia segera menoleh.
Tak ada jawaban, ataupun suara yang keluar dari bibir sedikit tebal bervolume itu. Pria itu tenang dan nyaris tak bisa dia tebak.
Orang yang menepuk tadi meringis, Giovano menatap Dax dengan wajah malu dan agak takut juga ngeri, sebab pria tampan bernetra hitam pekat itu memang sulit sekali di ajak bercanda.
"Aku hanya memberitahu!" ujarnya pelan dan nyaris tak terdengar bahkan hanya seperti sebuah bisikah di tengah kesunyian.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!