Kael Ardhana terbangun dengan napas tersengal, seperti orang yang baru saja tenggelam dan dipaksa kembali ke permukaan. Kepalanya berdenyut keras. Cahaya matahari masuk melalui celah jendela kayu yang sudah usang, menerangi ruangan sempit yang aromanya campur aduk, bau kayu lapis, kertas bekas, dan sedikit lembap khas Jakarta di musim hujan.
Ia mengedarkan pandangan dengan lambat, mencoba memahami. Ini bukan kamar kostnya yang biasa. Dinding cat hijau pudar, kalender robek menggantung miring, dan meja belajar dengan tumpukan buku sketsa yang sudah menguning. Semuanya terasa asing sekaligus sangat familiar, seperti mimpi yang pernah dilupakan namun tiba-tiba muncul kembali dengan detail yang menusuk.
"1991?" gumamnya pelan, suaranya serak dan berat. Matanya terpaku pada kalender dinding yang terbuka di bulan Januari. Angka tahunnya jelas, 1991.
Kael bangkit dari kasur tipis yang pegas-pegasnya sudah miring, lalu berjalan tertatih menuju cermin kecil yang tergantung di dinding. Wajah yang menatap balik padanya adalah wajah yang jauh lebih muda, pipi yang belum kurus, mata yang belum lelah, rambut hitam lebat tanpa uban. Tangannya gemetar ketika menyentuh cermin, lalu turun ke wajahnya sendiri.
"Gila…" bisiknya lirih, setengah tak percaya, setengah tertawa hambar. "Ini beneran terjadi."
Pikirannya berputar cepat. Ia ingat malam itu, malam di ruang editing studionya yang hampir bangkrut, lampu padam mendadak, file corrupt yang menari-nari di layar, dan rasa pusing yang aneh sebelum semuanya gelap. Dan sekarang ia ada di sini. Kembali ke tahun 1991. Usia 18 tahun. Masih seorang anak SMA yang baru lulus dengan mimpi-mimpi besar tentang animasi.
Tapi kali ini berbeda. Kali ini ia punya bekal 18 tahun pengalaman dari masa depan, semua kesalahan, semua keputusan bodoh, semua peluang yang terlewat, dan semua pelajaran pahit yang pernah ia telan. Ia tahu teknologi apa yang akan datang, tren apa yang akan booming, dan yang paling penting ia tahu apa yang tidak boleh dilakukan.
"Kesempatan kedua," gumamnya sambil tersenyum tipis, meskipun ada rasa takut yang menggigit di balik senyuman itu. "Jangan disia-siakan."
Kael keluar dari kamar dan menuruni tangga kayu yang berderit. Rumah kontrakannya kecil, berada di gang sempit di kawasan Tebet. Di luar, suara kota Jakarta tahun 1991 menyambut, deru sepeda motor bebek yang belum secanggih sekarang, klakson angkot yang nyaring, dan teriakan pedagang sayur keliling.
Ia berjalan ke warung kopi di ujung gang, memesan teh manis hangat, lalu duduk di bangku plastik yang goyang. Di sebelahnya, seorang bapak-bapak sedang membaca koran dengan headline yang bicara soal pemilu dan kebijakan ekonomi. Semuanya terasa nyata. Terlalu nyata untuk sebuah mimpi.
"Balik ke tahun 1991 buat apa, sih?" tanya suara di dalam kepalanya, masih skeptis. "Animasi Indonesia tahun segini belum ada apa-apanya. TV masih dikuasai TVRI, swasta baru mulai naik, dan orang-orang masih lebih suka nonton serial Jepang atau kartun Amerika."
Tapi justru itu peluangnya. Kael tahu persis bagaimana industri ini akan berkembang. Ia tahu stasiun TV swasta akan tumbuh pesat di pertengahan 90-an dan mereka akan haus konten lokal. Ia tahu teknologi digital akan masuk, tapi belum sekarang, jadi untuk sementara, ia harus bertarung dengan cara lama, cel animation, frame manual, dan kerja keras yang bikin punggung pegal.
Dan yang paling penting, ia tahu satu hal yang tak pernah ia sadari di kehidupan pertamanya, animasi Indonesia bisa sukses kalau punya identitas sendiri. Bukan meniru Jepang. Bukan meniru Disney. Tapi cerita lokal, humor lokal, visual yang khas Nusantara.
"Harus mulai dari mana?" gumamnya sambil menatap cangkir tehnya. "Modal nol. Koneksi nol. Cuma punya otak yang udah keburu tua."
Tapi Kael tersenyum. Ia punya satu hal yang tak ternilai, tahu ke mana harus melangkah.
Sore harinya, Kael berjalan menuju rumah temannya, Dimas, anak SMA satu angkatan dengannya yang jago gambar. Dimas tinggal tidak jauh, di kawasan yang sama, di rumah petak dengan halaman sempit yang penuh pot tanaman.
"Kael? Jarang-jarang lu dateng," sapa Dimas ketika membuka pintu, kaget tapi senang. Rambutnya acak-acakan, tangannya penuh noda tinta spidol. "Ada perlu apa?"
"Gue mau ngajak lu bikin sesuatu," jawab Kael sambil masuk, langsung duduk di lantai ruang tamu yang beralaskan tikar pandan. "Sesuatu yang gila, tapi bisa jadi keren."
Dimas mengernyit, lalu duduk di sebelahnya sambil menyilangkan tangan. "Lu abis nonton film apa, sih? Kok tiba-tiba semangat gini?"
Kael tertawa kecil. "Gak nonton apa-apa. Gue cuma… kepikiran. Lu kan jago gambar, gue juga lumayan bisa bikin storyboard. Gimana kalau kita bikin animasi sendiri?"
Dimas melongo. "Animasi? Maksud lu kayak kartun gitu?"
"Iya. Tapi bukan kartun sembarangan. Kita bikin cerita lokal. Cerita anak Indonesia, buat anak Indonesia." Kael berbicara dengan nada serius yang jarang ia pakai, matanya berbinar dengan keyakinan yang terasa menular. "Gue yakin, orang-orang akan suka. Apalagi kalau kita bisa masuk TV."
"TV?" Dimas menggaruk kepala, bingung dan ragu. "Kael, lu sadar kan kita bukan siapa-siapa? Stasiun TV mana yang mau nerima karya anak baru lulus SMA?"
"Makanya kita mulai dari kecil dulu. Bikin segmen pendek, lima menit aja. Tunjukin ke stasiun lokal. Kalau bagus, pasti ada yang tertarik." Kael mengeluarkan buku sketsa usang dari tasnya, membuka halaman pertama yang masih kosong. "Gue udah punya ide cerita. Tentang bocah yang kehilangan kucing di pasar malam."
Dimas menatap buku itu, lalu menatap Kael dengan tatapan setengah percaya setengah ragu. "Lu serius?"
"Serius banget."
Hening sejenak. Angin sore bertiup pelan, membawa aroma tanah basah dari halaman. Di kejauhan, terdengar suara anak-anak main bola.
Akhirnya, Dimas tersenyum tipis, senyum yang setengah pasrah, setengah penasaran. "Ya udah. Gue ikut. Tapi kalau gagal, lu yang traktir bakso seminggu."
Kael tertawa lega, lalu mengulurkan tangan. "Deal."
Mereka berjabat tangan, dan saat itulah tanpa sadar mereka baru saja meletakkan batu pertama dari apa yang kelak akan menjadi kerajaan animasi terbesar di Nusantara.
Malam harinya, Kael kembali ke kamarnya dan mulai menuliskan rencana. Ia duduk di meja belajar yang miring, menyalakan lampu minyak karena listrik sedang padam, dan membuka buku catatan lama.
Halaman pertama ia tulis dengan tulisan tangan yang rapi namun tegas.
"RENCANA BESAR: ANIMASI NUSANTARA"
Di bawahnya, ia menuliskan poin-poin.
1. Bikin tim kecil dulu. Cari orang yang punya semangat, bukan yang punya uang.
2. Produksi segmen pendek 5 menit, cerita lokal, visual sederhana tapi menyentuh.
3. Cari stasiun TV lokal yang mau kasih slot. Jangan ngarep bayaran besar dulu.
4. Bangun identitas visual yang beda. Jangan tiru Jepang atau Amerika.
Sabar. Ini maraton, bukan sprint.
Kael menatap catatannya, lalu tersenyum pahit. Di kehidupan sebelumnya, ia terlalu terburu-buru. Ia ingin sukses instan, ingin diakui cepat, dan akhirnya malah jatuh lebih keras. Kali ini, ia akan melakukannya dengan cara yang benar.
Ia menutup buku catatan, memadamkan lampu, lalu berbaring di kasur tipis sambil menatap langit-langit kayu yang retak. Pikirannya melayang jauh, membayangkan hari-hari ke depan yang akan penuh tantangan, kegagalan kecil, dan mungkin kalau beruntung sedikit keajaiban.
"Ayo, Kael," bisiknya pada diri sendiri, suaranya penuh tekad meskipun tubuhnya lelah. "Kali ini, jangan sampai gagal lagi."
Dan dengan harapan itu, ia tertidur, tidur yang lebih nyenyak daripada tidur manapun dalam 18 tahun terakhir.
Pagi datang dengan suara ayam berkokok dan bau nasi goreng dari warung sebelah. Kael bangun dengan perasaan aneh, campuran antara semangat dan keraguan. Ia menatap tangannya yang masih muda, lalu tersenyum kecil. "Beneran terjadi, ya," gumamnya sambil menggeleng pelan, masih setengah tak percaya.
Setelah mandi dengan air dingin dari bak mandi semen dan sarapan seadanya, nasi sisa tadi malam dengan telor ceplok, Kael bergegas ke rumah Dimas. Kali ini ia membawa tas penuh sketsa kasar dan catatan-catatan yang ia buat semalam. Kepalanya penuh ide, tapi ia tahu harus realistis. Modal nol, teknologi minim, tapi semangat melimpah.
"Dimas! Buka!" teriaknya sambil mengetuk pintu kayu yang cat hijaunya sudah mengelupas.
Pintu terbuka, dan Dimas muncul dengan wajah kusut, mata setengah terpejam, rambut berdiri seperti sarang burung. "Jam segini? Kael, gue baru tidur jam tiga tadi malem."
"Bangun, dong. Kita punya kerjaan." Kael menyeringai, lalu masuk tanpa permisi, langsung duduk di lantai ruang tamu yang beralaskan tikar anyaman.
Dimas menguap lebar, lalu ikut duduk sambil menggaruk kepala. "Lu tuh kayak kerasukan, Kael. Kemaren ngomong bikin animasi, sekarang udah nongol pagi-pagi buta. Emang lu udah punya rencana?"
"Udah." Kael mengeluarkan buku sketsanya, membuka halaman pertama yang sudah penuh coretan. "Gue udah bikin outline cerita. Judulnya 'Kucing di Pasar Malam'. Ceritanya simpel, bocah kecil kehilangan kucingnya di pasar malam, terus dia cari sambil ketemu tokoh-tokoh lucu, tukang bakso, penjual mainan, sama nenek penjual kembang gula. Endingnya, dia nemu kucingnya lagi di kandang ayam."
Dimas menatap sketsa-sketsa kasar itu, gambar bocah dengan topi, kucing belang tiga, dan suasana pasar malam dengan lampu bohlam yang berjajar. Gaya gambarnya sederhana, tapi ada kehangatan di sana. "Lumayan sih. Tapi… Kael, ini kan cuma cerita. Gimana caranya bikin jadi animasi?"
"Cara lama. Cel animation." Kael menjawab dengan nada yakin, meskipun ia tahu betapa melelahkannya metode itu. "Kita gambar frame per frame di kertas, terus kita foto pake kamera biasa. Nanti kita susun jadi video. Sederhana, tapi efektif."
Dimas mengernyit. "Itu butuh berapa banyak gambar?"
"Kalau durasi lima menit, dengan frame rate 12 per detik, yang paling hemat kita butuh sekitar 3600 frame. Tapi karena kita bisa pake teknik hold buat adegan diam, bisa turun jadi sekitar 2000-an gambar."
"Dua ribu?!" Dimas melongo. "Kael, itu gila. Cuma berdua, kita bisa mati duluan."
Kael tertawa kecil, lalu menepuk bahu Dimas dengan mantap. "Makanya kita cari bantuan. Lu punya temen lain yang jago gambar, kan? Ajak aja. Kasih tau ini proyek gila tapi seru."
Dimas diam sejenak, berpikir. Lalu ia mengangguk pelan. "Ada sih. Rani. Anak satu sekolah, jago banget gambar background. Terus ada Budi, dia jago bikin efek suara dari barang-barang aneh. Tapi… mereka mau gak ya?"
"Ajak dulu aja. Bilang ini buat portfolio. Kalau jadi, kita bisa pamer karya sendiri. Siapa tau bisa masuk TV."
Dimas menatap Kael dengan tatapan skeptis tapi penasaran. "Lu yakin banget sih, Kael. Kayak udah pernah lakuin ini sebelumnya."
Kael hanya tersenyum, senyum tipis yang menyimpan rahasia. "Ya… bisa dibilang begitu."
Siang harinya, mereka berkumpul di garasi kecil di belakang rumah Dimas. Garasi itu lebih seperti gudang, sempit, penuh kardus bekas, dan atapnya bocor di satu sudut. Tapi buat Kael, ini sempurna. Ini adalah studio mereka.
Rani datang dengan tas penuh pensil warna dan kertas gambar. Gadis itu pendiam, rambutnya dikuncir kuda, matanya tajam dan selalu mengamati detail. "Jadi, kita beneran mau bikin kartun?" tanyanya sambil menatap sketsa Kael.
"Bukan kartun sembarangan. Animasi lokal." Kael menjawab dengan nada serius yang membuatnya terdengar lebih tua dari usianya. "Kita mau bikin sesuatu yang belum pernah ada di Indonesia. Cerita kita sendiri, gaya kita sendiri."
Budi, anak laki-laki dengan kacamata tebal dan senyum lebar, tertawa kecil. "Gue sih ikut aja. Tapi gue gak bisa gambar, ya. Gue cuma bisa bikin suara-suara aneh."
"Itu yang gue butuhin," jawab Kael sambil tersenyum. "Sound design penting banget. Lu bisa bikin suara langkah kaki pake sendok, suara pintu buka-tutup pake kardus, suara kucing pake… ya terserah lu deh. Pokoknya kreatif aja."
Budi mengangguk antusias. "Oke, gue jago itu."
Mereka berempat duduk melingkar di lantai garasi yang dingin, dengan bau tanah lembap dan cahaya matahari yang menerobos celah-celah atap seng. Kael membuka buku sketsanya, lalu mulai menjelaskan visinya.
"Gue pengen animasi kita punya ciri khas. Gak perlu mewah, tapi harus hangat. Warna-warna natural, karakter yang gampang diinget, dan cerita yang bikin orang senyum. Kita gak perlu jadi Disney atau Studio Ghibli. Kita cuma perlu jadi diri kita sendiri."
Rani mengangguk pelan, jari-jarinya sudah mulai menggambar sketsa kasar untuk background pasar malam. "Gue suka ide ini. Tapi… kita punya modal berapa?"
Kael terdiam. Lalu ia tertawa hambar. "Nol. Kita mulai dari nol."
Hening sejenak. Budi menggaruk kepala, Dimas menatap langit-langit, dan Rani mengernyit.
"Tapi," lanjut Kael dengan nada optimis yang entah dari mana datangnya, "kita punya yang lebih penting dari modal. Kita punya waktu dan semangat. Kita bisa pake kertas bekas, pensil murah, dan kamera pinjaman. Yang penting kita mulai."
Dimas tersenyum tipis. "Lu emang gila, Kael. Tapi gue suka."
Rani dan Budi saling pandang, lalu mengangguk. "Ya udah. Kita coba."
Dan dengan keputusan itu, Studio Animasi Nusantara, nama yang belum mereka tentukan tapi sudah terasa di udara lahir di garasi sempit dengan empat anak muda yang punya mimpi terlalu besar untuk ukuran kantong mereka.
Hari-hari pertama adalah kekacauan yang menyenangkan. Mereka belajar sambil jalan, mencoba-coba teknik yang Kael ingat dari kehidupan sebelumnya, teknik yang seharusnya belum ada di Indonesia tahun 1991.
Dimas dan Rani menggambar frame demi frame dengan sabar, meskipun tangan mereka pegal dan mata mereka perih. Budi berkeliling mencari benda-benda yang bisa dijadikan efek suara, sendok, panci, plastik kresek, bahkan daun kering.
Kael sendiri mengatur semuanya, dari jadwal produksi, pembagian tugas, sampai teknik sederhana untuk membuat animasi terasa lebih hidup. Ia mengajari mereka tentang timing, tentang spacing, tentang cara membuat karakter terasa punya berat dan emosi.
"Lu belajar ini dari mana sih, Kael?" tanya Rani suatu sore, sambil menatap Kael dengan tatapan curiga tapi kagum. "Kayaknya lu tau banget soal animasi."
Kael hanya tersenyum sambil terus menggambar. "Banyak baca. Banyak nonton. Banyak… nyoba."
Itu setengah bohong, tapi mereka tidak perlu tahu yang sebenarnya. Belum.
Minggu ketiga, mereka berhasil menyelesaikan 200 frame pertama, sekitar 15 detik animasi kasar. Kael memutar hasilnya di proyektor slide yang ia pinjam dari sekolah, dan mereka berempat menontonnya dengan napas tertahan.
Layar putih menampilkan bocah kecil berjalan di pasar malam, matanya mencari-cari, lalu ia memanggil, "Ucing! Ucing!" Suaranya yang diisi oleh Budi dengan nada polos terdengar pas. Musik latar sederhana dari keyboard mainan Dimas menambah suasana.
Ketika layar menjadi gelap, hening melanda garasi itu.
Lalu Dimas tertawa, tawa lepas yang penuh lega. "Gila. Kita beneran bikin animasi."
Rani tersenyum lebar, matanya berkaca-kaca. "Ini bagus, Kael. Beneran bagus."
Budi melompat-lompat kegirangan. "Gue mau tunjukin ini ke tetangga! Mereka pasti kaget!"
Kael hanya diam, menatap layar yang sudah padam. Dadanya terasa hangat, perasaan yang sudah lama tidak ia rasakan. Ini baru awal. Masih jauh dari sempurna. Tapi ini adalah bukti bahwa mereka bisa melakukannya.
"Ayo lanjut," katanya pelan, tapi tegas. "Kita belum selesai."
Dan malam itu, mereka bekerja hingga subuh, menggambar, mengatur frame, merekam suara, dan tertawa di tengah kelelahan. Garasi kecil itu penuh dengan cahaya lampu minyak, aroma kopi murah, dan mimpi-mimpi yang terlalu besar untuk ruangan sekecil itu.
Tapi entah bagaimana, mimpi-mimpi itu terasa sangat, sangat nyata.
Bulan pertama hampir berlalu, dan animasi lima menit mereka masih jauh dari selesai. Tapi yang mengejutkan Kael adalah bukan lambatnya progress, melainkan betapa cepat mereka belajar.
Dimas, yang awalnya cuma bisa gambar karakter statis, sekarang mulai paham konsep squash and stretch. Rani mengembangkan gaya background yang unik, perpaduan antara realisme dan sentuhan naif yang justru membuat suasana pasar malam terasa hidup. Budi? Anak itu genius dalam hal sound design. Ia bisa membuat suara derap kaki dengan mengetuk-ngetuk sendok di atas meja kayu, atau suara angin malam dengan meniup botol plastik bekas.
Tapi tantangan terbesar bukan soal teknik, melainkan konsistensi.
"Kael, gue capek," keluh Dimas suatu malam, tangannya gemetar setelah menggambar frame kesepuluh dalam satu jam. "Ini gak akan selesai-selesai."
Kael yang sedang menyusun storyboard, mendongak dan menatap Dimas dengan tatapan tenang. "Emang. Gak akan selesai kalau lu berhenti sekarang."
Dimas menatapnya dengan tatapan lelah dan sedikit kesal. "Lu gampang banget ngomong, Kael. Lu yang ngatur jadwal, tapi kita yang gambar sampe tangan pegel."
Kael terdiam sejenak. Ia tahu perasaan ini. Di kehidupan sebelumnya, banyak tim yang ia pimpin akhirnya bubar karena ia terlalu keras dan tidak peka terhadap kelelahan orang lain. Kali ini, ia harus lebih bijak.
"Gue tau lu capek. Kita semua capek." Kael meletakkan pensilnya, lalu duduk di sebelah Dimas sambil menatap garasi yang gelap di luar. "Tapi ini bukan cuma soal gambar. Ini soal mimpi, Mas. Lu pengen diinget sebagai orang yang nyoba, atau orang yang nyerah di tengah jalan?"
Dimas terdiam. Lalu ia tertawa kecil, suara lelah tapi masih ada semangat di dalamnya. "Lu selalu aja bisa bikin gue semangat lagi."
"Karena gue percaya sama lu. Sama kita semua." Kael tersenyum tulus, lalu menepuk punggung Dimas pelan. "Besok kita istirahat. Kita pergi jalan-jalan, makan bakso, terus balik lagi kerja. Gimana?"
Dimas mengangguk. "Deal."
Keesokan harinya, mereka berempat pergi ke pasar malam Tebet, tempat yang menjadi inspirasi cerita animasi mereka. Kael sengaja mengajak mereka ke sana bukan cuma untuk refreshing, tapi untuk merasakan suasana yang ingin mereka tuangkan dalam animasi.
Lampu-lampu bohlam warna-warni berjejer di sepanjang gang sempit. Bau gorengan, sate, dan kembang gula bercampur dengan aroma tanah basah setelah hujan sore. Anak-anak berlarian, pedagang berteriak menawarkan dagangan, dan musik dangdut mengalun dari warung kaset.
"Ini dia," gumam Kael sambil tersenyum, matanya memindai setiap sudut. "Ini yang harus kita tangkap. Bukan cuma visualnya, tapi rasanya."
Rani mengeluarkan buku sketsa kecilnya, mulai menggambar cepat sudut lampu, pedagang sate, anak kecil yang sedang makan gulali. "Gue ngerti maksud lu, Kael. Kita harus bikin penonton ngerasain pasar malam ini, bukan cuma ngeliatnya."
"Tepat." Kael menunjuk ke arah seorang nenek yang menjual kembang gula. "Lihat nenek itu. Senyumnya tulus banget. Kita bisa bikin karakter kayak dia, hangat, ramah, bikin penonton pengen peluk."
Budi mengangguk sambil merekam suara-suara pasar dengan tape recorder murah yang ia pinjam dari tetangga. "Gue dapet ide. Suara pedagang ini bisa kita pake buat background ambience. Biar kerasa rame."
Mereka menghabiskan malam itu di pasar malam, makan bakso, minum es teh manis, dan tertawa lepas. Untuk sejenak, mereka lupa tentang deadline, tentang frame yang belum selesai, tentang keraguan-keraguan. Mereka hanya menikmati momen itu, momen yang kelak akan menjadi kenangan paling berharga dalam perjalanan mereka.
Kembali ke garasi, semangat mereka pulih. Frame demi frame mulai tergambar dengan lebih cepat. Kael mulai menerapkan sistem kerja yang lebih efisien, ia membagi tugas berdasarkan kekuatan masing-masing. Dimas fokus pada karakter utama, Rani pada background, Budi pada sound design, dan Kael sendiri mengurus storyboard, timing, dan editing kasar.
Tapi ada satu masalah yang belum terpecahkan, musik.
"Kita butuh musik yang pas," kata Kael suatu sore, sambil mendengarkan demo kasar animasi mereka. "Musik keyboard lu bagus, Mas, tapi kurang… penuh perasaan. Kurang nusantara."
Dimas mengernyit. "Terus gimana? Kita gak punya duit buat nyewa musisi."
Kael berpikir sejenak. Lalu ia teringat sesuatu atau lebih tepatnya, seseorang. "Gue punya kenalan. Anak kuliahan, jurusan musik tradisional. Dia jago mainin angklung sama gamelan. Mungkin dia mau bantuin."
"Lu yakin?" tanya Rani, skeptis tapi penasaran.
"Gak ada salahnya nyoba."
Namanya Arman, mahasiswa ISI yang eksentrik, rambutnya gondrong, dan selalu bawa angklung kemana-mana. Ketika Kael menjelaskan proyeknya, Arman tertawa keras.
"Lu mau bikin animasi pake musik tradisional? Kael, orang-orang bakal mikir ini aneh."
"Justru itu yang gue mau. Aneh, tapi beda." Kael menatap Arman dengan tatapan serius yang membuatnya berhenti tertawa. "Gue gak mau bikin animasi yang kedengerannya kayak Disney atau Jepang. Gue mau bikin sesuatu yang kedengerannya kayak… Indonesia."
Arman terdiam, lalu tersenyum tipis. "Lu gila. Tapi gue suka gila-gilaan lu. Oke, gue bantuin. Gratis. Anggap aja investasi buat portfolio gue juga."
Dan dengan itu, mereka punya satu bagian penting lagi dari puzzle yang sedang mereka susun.
Minggu keenam. Animasi hampir selesai. Total frame sudah mencapai 1800-an, durasi sekitar empat setengah menit. Kael memutar draft final mereka di proyektor, kali ini dengan musik angklung buatan Arman yang lembut tapi penuh karakter.
Layar menampilkan bocah kecil berlari-lari di pasar malam, bertanya pada pedagang, melewati lampu-lampu warna-warni, hingga akhirnya menemukan kucingnya yang tertidur di kandang ayam. Adegan terakhir adalah close-up wajah bocah yang tersenyum lega, lalu ia memeluk kucingnya erat.
Musik angklung menutup dengan nada yang hangat dan menenangkan.
Ketika layar menjadi gelap, tidak ada yang bicara. Hanya suara jangkrik malam di luar garasi.
Lalu Rani mulai menangis, tangis haru yang ia coba sembunyikan dengan menutupi wajahnya. "Ini… ini bagus banget."
Dimas tersenyum lebar, matanya juga berkaca-kaca meskipun ia berusaha keras untuk tidak menunjukkannya. "Gila, Kael. Kita beneran berhasil bikin ini."
Budi melompat dari kursinya, memeluk Kael dengan antusias sampai hampir menjatuhkan proyektor. "Kita harus tunjukin ini ke orang banyak! Ke TV! Ke siapa aja yang mau nonton!"
Arman yang duduk di pojok garasi sambil memeluk angklungnya, mengangguk puas. "Musiknya pas banget sama ceritanya. Kalian emang punya visi yang jelas."
Kael hanya diam, menatap layar yang sudah padam dengan perasaan campur aduk. Ada bangga, ada lega, tapi juga ada ketakutan, ketakutan bahwa ini semua masih belum cukup. Bahwa dunia luar tidak akan menerima karya mereka. Bahwa mimpi ini akan hancur sebelum sempat terbang.
Tapi ia menggelengkan kepala pelan, mengusir pikiran negatif itu. "Kita belum selesai," katanya dengan nada tenang tapi tegas, suaranya memecah keheningan yang mulai terasa berat. "Sekarang kita harus cari cara buat nunjukin ini ke dunia. Kita harus cari stasiun TV yang mau kasih kita kesempatan."
"Caranya gimana?" tanya Rani sambil menyeka air matanya, mencoba kembali fokus meskipun emosinya masih bergejolak.
Kael tersenyum, senyum tipis yang menyimpan strategi yang sudah ia rancang sejak awal. "Kita datangi satu-satu. Mulai dari stasiun lokal. Kita bawa kaset VHS ini, tunjukin karya kita, dan minta slot walau cuma lima menit pun gak papa."
"Kalau ditolak?" tanya Dimas, nada suaranya menunjukkan kekhawatiran yang ia coba sembunyikan.
"Ya kita coba lagi. Dan lagi. Sampe ada yang mau." Kael berdiri, menatap teman-temannya satu per satu dengan tatapan yang penuh keyakinan, keyakinan yang entah dari mana datangnya, tapi terasa begitu kuat. "Ini baru permulaan. Perjalanan kita masih panjang. Tapi gue yakin, yakin banget kalau kita bisa bikin Indonesia punya industri animasi yang layak dibanggakan."
Mereka berempat, lima, kalau dihitung Arman, saling menatap. Lalu satu per satu, mereka mengangguk. Tidak ada lagi keraguan. Hanya ada tekad yang mengeras seperti batu.
"Ayo kita lakukan," gumam Dimas sambil tersenyum, tangannya yang masih pegal diangkat untuk tos bersama yang lain.
Dan malam itu, di garasi kecil yang sudah menjadi saksi bisu dari perjuangan mereka, mimpi itu terasa lebih nyata dari sebelumnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!