NovelToon NovelToon

Kami Yang Tak Dianggap

Bab 1

Sena berjalan menuju kamar mandi sedari tadi ia merasakan kurang enak badan, sehingga membuat ibu muda itu harus bolak-balik ke kamar mandi, mengeluarkan seluruh isi perutnya.

  "Ueeegh ... ueeeegh ....," suara muntahan Sena terdengar hingga ke luar ruangan.

  Sementara itu, Arabella sang anak yang ingin menemui ibunya, karena ingin jalan-jalan seperti biasanya, namun langkahnya terhenti ketika mendengar suara muntahan dari kamar mandi ibunya, ia pun langsung cepat-cepat menyusul. "Mama ...!" teriaknya dengan raut wajah yang panik.

  Anak itu segera masuk ke dalam kamar mandi, memastikan keadaan ibunya sedang baik-baik saja. "Ma ... kenapa?" tanya anaknya itu.

  Sena menoleh sebentar, lalu mengusap mulutnya dengan sedikit air. "Gak tahu Sayang, tiba-tiba saja Mama muntah," sahut Sena.

  Sejenak Sena langsung menghampiri gadis kecilnya itu, tangannya mulai terulur untuk mengusap pelan kepalanya. "Anak baik kenapa cemberut?"

Ara sedikit cemberut sambil merengek. "Ma katanya mau makan di luar?"

Seketika Sena terkejut, sangking sibuk dengan tubuhnya ia sampai lupa dengan janjinya terhadap sang anak. "Ya ampun ... maaf ya Nak Mama lupa."

  "Ya sudah kalau begitu ayo, kita keluar, Ara sudah tidak sabar ingin makan di restaurant seafood kesukaanku," ajak anak itu.

  Sena hanya mengangguk mengiyakan apa yang diminta oleh sang anak. "Baiklah Sayang."

  Lima menit kemudian Sena sudah terlihat rapi dengan pakaian sederhana namun terlihat elegan, wanita cantik itu mulai menuruni anak tangga, meskipun tubuhnya sempat kurang enak badan namun demi putri tercintanya tubuhnya mendadak enakan.

  "Ara cantik ....," ucapnya menggema di ruang tamu. "Jangan manyun terus Nak, kita pergi sekarang," imbuh Sena sambil menghampiri sang putri.

  Sekilas senyum kecil itu mulai muncul kembali. "Ye ... Kita makan ke luar ... Ye ...!" sorak anak itu dengan gembira.

  Ibu dan anak itu mulai bergandeng tangan, melangkah ke luar rumah, dihadapan pintu utamanya, mereka sudah dihadang sebuah mobil yang siap mengantarkan mereka ke tempat tujuan, restaurant seafood.

  Mobil mulai melaju, dengan kecepatan sedang, di pertengahan jalan, entah kenapa perasaan Sena merasa tidak tenang, ada sesuatu yang menggelayut yang sulit untuk di jelaskan, sesekali matanya menatap ke luar jendela, udara yang tadinya terasa sejuk, kini menjadi dingin menusuk di hati.

  "Ya Allah perasaan apa ini, semoga saja tidak terjadi apa-apa di dalam keluarga kami," ucapnya dengan lirih.

  Mobil terus melaju melewati jalanan yang cukup ramai kendaraan bermotor, dan setelah itu mobil menerobos masuk ke area parkir, di sini Sena mulai meraih pegangan pintu, lalu membukanya, di saat ia membuka mobil tatapannya dihadapkan dengan sebuah mobil mewah berwarna hitam. Seketika hatinya mencoles.

  "Ya ampun! Sepertinya ini mobil Mas Dirga." meskipun mencoba untuk berbaik sangka, namun di dalam hatinya seperti ada ganjalan yang harus ia selidiki.

  Langkah kakinya mulai berayun sedikit cepat, sampai-sampai ia tidak menghiraukan sang anak yang begitu kesulitan mengimbanginya. "Ma ... jangan cepat-cepat Kakak aku kesulitan nih," ucap anaknya itu.

  Sena menghentikan langkahnya sejenak. "Maaf ya Nak, Mama sedikit keburu."

  "Pasti Mama sudah tidak sabaran ingin mencicipi seafood terenak di sini," sahut anaknya itu dengan nada polosnya.

  "I-iya Nak," kata Seno berusaha untuk menutupi penasarannya.

  Sambil melangkah pikiran Sena sudah dibuat tidak karuan, pasalnya dua hari yang lalu suaminya itu pit dengan baik-baik ingin tugas ke luar kota, selama satu Minggu, namun penampakan mobil tadi membuat ketenangannya terguncang.

Sesampainya di depan pintu restauran dua pegawai menyambutnya dengan salam hangat dan senyum yang begitu lama, Sena hanya menanggapi dengan anggukan, karena langkahnya yang mulai tergesa.

  "Sayang, kau tunggu sebentar ya, Mama mau ke toilet dulu," pamit Sena, ketika sudah sampai di meja duduk.

  "Iya Ma, pasti Mama mau muntah lagi ya," sahut anaknya itu, karena mengingat tadi mamanya yang sedang muntah-muntah.

  "Iya Sayang," ucap Sena.

  Tanpa menghambat waktu, langka Sena terus berjalan, matanya menyapu ke seluruh ruangan, namun ia tidak menemukan seseorang yang ia cari, hingga pada akhirnya kakinya mulai melangkah ke sudut ruangan yang sedikit jauh dari pengunjung restaurant, dawi situ ia menuangkan sosok lelaki yang diduga mirip suaminya, sedang memeluk wanita dari arah belakang.

  "Astaga! Sepertinya itu Mas Dirga ... apa benar itu dia," ucapnya dengan nada yang bergetar.

  Sejenak ia mulai mengambil langkah meskipun terasa berat, Sena ingin memastikan sendiri apa yang sedang dibicarakan oleh lelaki yang diduga suaminya itu.

"Mas kapan kau nikahin aku," ucap seorang wanita membuat hati Sena terguncang hebat, tangannya langsung mengepal dengan kuat.

  "Sabar Sayang, aku pasti nikahin kamu," sahut Dirga dengan nada yang cukup halus.

  Intonasi nada yang dianggap selama delapan tahun ini untuk dirinya ternyata tidak, suaminya itu juga mengumbar nada yang serupa ke wanita lain.

  "Tapi kan Mas, saat ini aku sedang mengandung anakmu," ucap wanita itu.

  Deg!!!

 Dunia Sena seolah runtuh begitu saja, suami yang selama ini ia anggap setia dan penuh kehangatan, ternyata dibalik itu semua menyimpan sebuah dusta yang tak bisa terlupakan.

  Sena mencoba memberanikan diri, melangkah lebih maju, meskipun air mata sudah membasahi pipinya, pernyataan suaminya ini membuat dunianya hancur seketika.

  "Aku pasti akan menikahi mu, asal anak yang kau kandung itu laki-laki, karena selama ini istriku tidak bisa memberikanku anak laki-laki," imbuh Dirga kembali. Membuat hari wanita dibelakangnya semakin teriris.

  "Anak laki ... laki....," sahut Sena dengan nada yang bergetar.

  Seketika Dirga menengok ke belakang dengan perasaan yang terkejut, ia tidak pernah menyangka kalau istrinya dadi tadi ada dibelakangnya. "Sena ... ke-kenapa kau ada di sini!" ucapnya dengan nada sedikit gugup.

  "Kenapa ... kau bilang kenapa? Aku di sini karena anakmu!" teriak Sena.

  Dirga segera menghampiri membekap mulut Sena, karena dia tidak ingin menimbulkan kericuhan di tempat umum seperti ini. "Sena aku mohon ... tenang jangan kau buat kericuhan di sini Sayang," ucap Dirga.

  Tawa Sena kecil, getir penuh dengan luka. "Kau bilang Sayang, kepadaku, setelah kau memanggil wanita lain dengan sebutan yang sama, bahkan aku tidak tahu sendiri setelah ini apa pantas hubungan kita dibilang suci?"

  Sena menatap Dirga dengan tatapan penuh luka, sementara Dirga merasa terancam dan malu, karena sebagian pengunjung mulai memperhatikan keberadaannya.

  "Sena ini tidak seperti yang kau pikir, kalau salah dengan Sayang."

  "Plaaaaak ....," seketika tamparan keras melayang ke pipi Dirga.

  Semua mata tertuju pada kedua orang itu, sementara Sena sudah sampai di puncak kemarahannya. "Kau pikir aku bodoh Mas, aku mendengar semua perbincangan kamu dengan wanita itu!" teriak Sena semakin menjadi.

  "Dan Kau ... aku tahu kamu selama ini bekerja di kantor suamiku, ternyata ini tujuanmu wanita bangsat! Jika memang suamiku ini menggodamu, kalau kau punya kehormatan ya tolak!" gertak Sena.

  Sementara wanita yang bernama Ika itu hanya menunduk wajahnya pucat karena menjadi sorotan pengunjung restaurant, namun di dalam hatinya menyimpan bara.

Seketika tatapannya mendongak penuh dengan ketidak terimaan, karena mulut pedas dari pengunjung yang mulai merendahkannya. "Aku sudah menolak namun suamimu yang terus memaksa, jadi kesalahan tidak di aku saja, seharusnya kau juga tahu diri, kenapa suamimu sampai berpaling."

  "He! Bangsat, kau menyuruh ku untuk intropeksi diri? Apa gak salah, seharusnya kata-kata itu ditunjukkan untuk dirimu sendiri, yang modal selakangan dihadapan pria beristri!" cetus Sena.

"Rupanya kau tidak sadar juga ya, bukannya kau tadi mendengar sendiri, suamimu menginginkan anak laki-laki dan anak yang aku kandung ini berjenis kelamin laki-laki, jadi siap-siap saja kau ditendang," sahut Ika dengan nada ejekan.

  Sena merasa tersulut amarahnya langkahnya mulai mendekat tanpa pikir panjang tangannya mulai menjambak rambut Ika dengan cukup keras sampai-sampai wanita itu berteriak. "Auuuu sakit ... Mas Dirga tolong aku!" teriak Ika seolah lemah dihadapan Dirga.

"Kau berani menghinaku, berati kau sudah berani menanggung resikonya!" desis Sena.

  "Sena cukup!" bentak Dirga.

  Sena menatap pria itu tanpa melepas tarikannya. "Jika kau melihat gundikmu ini kesakitan seperti ini, maka ketahuilah rasa sakit dihatiku melebihi dari ini," ucap Sena dengan tegas.

  "Lepas Sena itu anak orang!" teriak Dirga lagi.

  "Jika dia anak orang, lalu aku apa? Kau anggap aku apa, kau hancurkan hatiku kau hancurkan kehormatanku dihadapan wanita lain, apa itu tidak sadis, lalu aku membalas rasa sakit hatiku ini, kau anggap kesalahan, egois banget kalian berdua," sahut Seba sambil terus menarik dengan kuat, Tampa peduli teriakan dari Ika.

  Dirga tidak bisa berkutik, namun di sisi lain amarahnya mulai tersulut juga karena banyak pengunjung. "Sena tolong lepaskan dia sedang mengandung anak laki-laki ku anak yang selama ini tidak bisa kau berikan terhadapku."

  Deg!!!!

Seketika tubuh Sena bergetar, ia tidak akan pernah menyangka jika sang suami akan berbicara itu dihadapan gundik dan semua orang, tanpa mereka sadari. Sedari tadi anak kecil berusia 8 tahun itu menyaksikan sendiri pertengkaran kedua orang tuanya.

  "Papa ....," panggilnya dengan penuh luka.

  Bersambung .....

Assalamualaikum Kakak ... Selamat pagi aku datang lagi dengan cerita baruku, semoga saja kalian suka ya.

Bab 2

Dirga membeku di saat suara kecil itu mulai memanggil namanya, Ara mulai melangkah maju, menghampiri ayahnya dengan penuh harap. "Papa kenapa? Kenapa Tante itu rambutnya dijambak sama Mama."

  Dirga terdiam namun tatapannya tajam seolah memberi isyarat kepada istrinya untuk segera melepas jambakannya itu.

Di saat mendengar kata-kata sang anak akhirnya Sena mulai melepas dan menghempaskan rambut Ika begitu saja. "Urusan kita belum selesai," bisik Sena.

Sena langsung melangkah menghampiri putrinya. "Sayang, ayo kita pergi dari sini."

  "Gak mau," tolak Ara dengan cepat.

  "Sayang, kita bisa cari tempat lain," sahut Sena.

  "Aku mau Papa .... aku mau makan bersama dengan Papa," ucap anak itu lalu mulai mendekat ke arah papanya.

  Anak kecil itu mulai melangkah mendekati papanya, tangannya mulai terulur meraih lengan ayahnya, namun secara persamaan tangan wanita itu juga meraih lengan Dirga. "Papa, temani aku makan," ucap putrinya itu dengan sedikit rengekan.

Mendengar anak Dirga merengek, Ika tidak tinggal diam. "Mas, tolong aku perutku sakit kepala ku pusing itu semua gara-gara istrimu yang brutal itu," ucap Ika dengan nada yang seolah dibuat lema.

 Ika sengaja berbuat seperti itu untuk mengalihkan perhatian Dirga dari sang anak.

  "Enggak aku pingin Papa yang temani aku makan, ayo Pa, temani aku makan," pinta Ara.

  Jujur saja saat ini Arga sangat dilema, di sisi lain rengekan sang anak yang membuat harinya sedikit iba namun di sisi lain seorang wanita yang mengandung anaknya sedang merengek kesakitan juga.

  "Sayang bentar ya, untuk saat ini Papa gak bisa menemani Ara dulu, Ara bisa makan sama Mama," ucap Dirga sambil menatap Ara penuh harap.

  Ara mendengus, tangan kecilnya langsung dilipat diatas dada. "Papa sudah tidak sayang lagi ya sama, Ara?" tanya anak itu dengan nada polosnya.

  "Enggak Sayang, tapi Tante Ika saat ini lagi butuh pertolongan Papa," jelas Dirga dengan hari yang bimbang.

  "Ara juga ingin makan sama Papa, kan Papa jarang temani Ara," sahut Ara.

  Dirga semakin terancam namun Ika mulai mengambil tindakan. "Sayang, tolong kali ini saja biarkan Papa mu temani Tante, soalnya di dalam perut Tante juga ada adiknya Ara ...."

  "Jaga mulutmu itu!" gertak Sena dengan nada yang meninggi.

Dirga mulai mendekat ke arah anaknya itu sebisa mungkin ia menjelaskan agar Ara paham. "Sayang," ucap Dirga sambil hendak memeluk sang putri, namun tangan kecil itu langsung menepisnya.

"Papa jahat ....," ucapnya tertahan. "Aku tidak mau Papa punya adek lagi, apa lagi dari Tante itu," imbuhnya dengan air mata yang sudah menetes membasahi pipi.

"Sayang, dengarkan Papa dulu, maksud Tante Ika tidak begitu, dia sangking bercanda, maafkan Tante Ika ya," sahut Dirga dengan alibinya.

"Ya sudah kalau memang dia berbohong tinggalkan saja, Papa makan saja sama aku dan Mama," mohon anaknya itu.

"Nggak bisa Sayang, untuk hari ini kerjaan Papa banyak, jadi gak bisa ditinggal," jelas Dirga, sebisa mungkin dia harus membuat sang anak percaya.

Ara menatap sang ayah penuh dengan luka, entah apa yang tengah dirasakan saat ini di dalam hatinya. "Kalau begitu sampai kapanpun Ara tidak mau makan bersama dengan Papa," ucap anaknya itu terdengar seperti ancaman.

Dirga sedikit terkejut, hatinya mulai merasa iba, namun segera ia menepis, dan hal yang dilakukan oleh arah merupakan gertakan semata saja.

"Nak ....," belum sempat Dirga memanggil gadis kecilnya itu sudah melangkah pergi dengan perasaan yang penuh luka.

Sena mulai mendekat ke arah Dirga. "Tega ya Mas demi wanita ini kamu mengorbankan perasaan anak perempuanmu sendiri," desis Sena, lalu mulai menyusul anaknya.

Sena segera berlari, menyusul Ara yang terlalu cepat berlari. "Sayang tunggu Mama!"

Di depan mobilnya anak itu langsung membuka pintu mobilnya lalu menutupnya dengan begitu keras, gadis kecil itu merasa kecewa atas sikap dang ayah yang sudah menolaknya.

"Hiks ... Hiks ... Hiks ....," tangis Ara pecah.

Dan tidak lama kemudian ibunya menyusul, Sena begitu hancur melihat sang anak yang begitu terpukul karena penolakan suaminya sendiri, namun dihadapan Ara ia harus terlihat tegar.

"Sayang, sabar ya? Besok pasti Papa bisa temani kamu makan Nak," ucap Sena sambil mendekap tubuh kecil itu.

"Papa jahat Ma, Papa jahat ...," teriak sang anak penuh dengan luka.

"Papamu mungkin hanya sibuk Nak," sahut Sena, mencoba untuk meredam emosi anaknya.

"Nggak Ma? Papa jahat, dan kalau sampe besok pagi Papa gak ada pulang, berarti Papa sudah gak sayang lagi sama Ara," pikir anak itu sendiri.

"Sabar ya Nak." hanya kata-kata itu yang mampu ia keluarkan.

Mobil melaju ke arah pulang, Sena masih mendekap tubuh sang anak mencoba menjadi rumah yang ternyaman, meskipun harinya sendiri tengah porak poranda mengetahui perselingkuhan suaminya.

'Ya Allah aku masih belum menyangka, kalau Mas Dirga akan Setega itu mengkhianati pernikahan kami, aku sudah tidak bisa lagi mempertahankan aku menyerah Tuhan ....,' ucapnya di dalam hati.

Belum sempat ia meratapi lukanya, namun disaat ia mendengar tangis sang anak hatinya tambah teriris. "Tuhan kenapa kau memberikan Lika tang sangat bertubi-tubi."

Mobil berhenti di depan pintu utama, Sena mulai membukakan pintu untuk sang anak, Ara langsung keluar dengan raut wajah yang murung, langkah kaki kecil itu langsung berlari ke kamarnya begitu saja, dengan isak tangis yang masih terdengar.

Sementara Sena melihatnya penuh dengan Iba sebagai seorang ibu ia berusaha untuk menjadi tameng, namun usahanya itu tidak bisa menghapus luka yang di derita oleh sang anak. Wanita itu mulai melangkah dan berhenti di depan pintu kamar anaknya.

"Sayang? Boleh ibu masuk."

Tidak ada jawaban namun Sena mencoba untuk masuk karena pintu tidak di kunci, ketika masuk Sena langsung dihadapkan dengan pemandangan yang menurutnya sangat memilukan, ia melihat sendiri sang anak yang sedang duduk meringkuk memeluk lututnya.

"Nak ... jangan murung seperti ini ya, Mama gak bisa lihat Ara sedih," ucap Sena, sambil mengelus pelan pundak sang anak.

Ara tetap dengan posisinya, hati anak kecil itu sudah ditumbuhi dengan luka yang cukup besar, bahkan kata-kata dari Ika tadi terus menerus menghantui pikirannya.

'Aku tidak mau punya adik dari Tante itu,' gumamnya di dalam hati.

Sementara Sena mencoba untuk memotret keadaan anaknya agar Dirga tahu, karena biar bagaimanapun Dirga adalah ayahnya. foto sudah terkirim, namun tidak ada tanggapan dari Dirga meskipun sudah centang dua.

"Kalau memang kau sengaja tidak menghiraukan Ara, maka jangan salahkan aku jika nanti anakmu akan membencimu," ucap Sena, sambil menatap ruangan ini yang penuh dengan kehampaan.

Bersambung ....

Bab 3

Malam harinya, Ara masih mengurung diri dari kamarnya, ibunya sedari tadi sudah membujuk, namun tidak ada tanggapan sama sekali. Anak kecil itu begitu kekeh menginginkan keberadaan sang ayah, hanya saja perasaan itu diabaikan begitu saja.

  Sorot matanya dasi tadi memandangi jam dinding yang terus berputar dan berdetak, dari pukul enam sore sampai pukul sembilan malam, namun belum ada tanda-tanda papanya pulang.

  Anak itu meremas dadanya, memendam lukanya sendiri, dengan emosi yang membara di dalam hatinya. Mungkin orang dewasa akan menganggap ini hal yang biasa tanpa berpikir betapa sakitnya hati si kecil yang terabaikan.

"Aku benci Papa benci Papa ....," ucapnya dengan nada yang memburuh.

  Tubuh kecil itu hanya menatap nanar ruangan sekitar dengan tatapan sendu, tatapan seorang anak yang sedang menunggu kedatangan ayahnya.

 ☘️☘️☘️☘️

 Sementara di tempat lain di sebuah apartemen mewah, Dirga dan Ika sedang menikmati malam panjangnya tidak peduli dengan perasaan dua wanita yang saat ini tengah terluka karenanya. Mereka asyik dan hanyut dengan malam panasnya.

  "Sayang, sudah ya, malam ini aku harus pulang," ucap Dirga.

  Ika langsung beringsut di dada Dirga. "Mas, kau tahu sendiri kan, jika anak kita ini tidak mau jauh-jauh dari kamu, tolong Mas ngertiin dia," sahut Ika dengan nada manjanya.

  "Tapi Sayang ...," ucapan Dirga langsung terpotong, oleh muntahan Ika.

  "Ueeegh ... ueeeegh ....," Ika langsung beranjak dari ranjangnya.

  Saat ini Ika masuk ke dalam kamar mandi langsung menjalankan aksinya seolah-olah sedang muntah begitu berat. "Mas jika kamu ingin pulang pulanglah," ucapnya dengan nada yang sengaja dibuat lemah.

  Dirga yang diluar kamar merasa tidak tega mendengar ucapan wanita yang saat ini sedang mengandung anaknya itu dan menganggap rengekan Ara hanya sebagai hal yang biasa dilakukan anak kecil pada umunya.

  "Ya sudah Sayang, besok pagi saja aku pulang," ucap Dirga.

  Seketika senyuman licik terpancar dari dalam kamar mandi sana, Ika menyeringai di dalam pantulan cermin itu. "Yes akhirnya aku berhasil."

  ☘️☘️☘️☘️

Pagi harinya sinar mentari mulai masuk menyelinap lewat tirai jendela tipis di kamar Ara, suasana kamar Ara masih sunyi, sama seperti semalam, hanya terdengar Dengkuran halus dari mulut kecil itu.

  Tidak lama kemudian langkah kaki Sena masuk ke kamar sang anak, dengan senyum simpul Sena mulai mendekat sambil membangunkan tidur anaknya.

  "Sayang, sudah pagi ayo bangun," ucap Sena.

  Ara hanya menyahuti dengan berdehem singkat sebelum mengerjapkan matanya, dan yang ia tangkap di ruangan kamarnya hanya sosok ibunya saja. "Ma? Papa mana."

Pertanyaan anak itu membuat Seba bingung, dan tidak tahu harus menjawab apa, padahal tadi malam ia sudah mengirimkan foto anaknya.

 "Nak Papa belum pulang," sahut Sena dengan tatapan sedikit bingung.

  "Kenapa Papa tidak memilih aku, kenapa Ma?" desak anaknya itu.

  "Sayang, bukannya Papa tidak memilih hanya saja dia lagi banyak pekerjaan," sahut Sena, mencoba untuk menutupi hal buruk suaminya dari sang anak.

 Ara menatap ruangan sekeliling seolah enggan melakukan aktifitas, tujuan hatinya hanya satu, ayahnya namun apalah daya anak sekecil dia bisa apa.

  "Nak jangan manyun gitu ya, lebih baik arah mandi dulu sama Bibi, setelah itu Mama antar Ara ke sekolah ya," ucap Sena yang hanya diangguki oleh anaknya.

  Setelah membangunkan anaknya Sena langsung kembali ke dalam kamar, di dalam kamar ia meratapi kesedihan, luka yang masih menganga namun ia sadar kalau dirinya tidak boleh larut dalam kesedihan ini, ada Ara, malaikat kecil yang harus ia jaga.

  Sena mulai meraih handphone untuk menghubungi seorang sahabat yang memang berprofesi sebagai pengacara, dengan mantap tangannya menekan nomor Siska.

   Beberapa detik kemudian, telepon susah diangkat. "Halo Sis, pagi ini kamu sibuk gak?" tanya Sena dengan nada sedikit gugup.

  "Kebetulan banget hari ini aku senggang Sen," sahut Siska dari seberang sana.

  "Ya sudah nanti aku ajak ketemuan mau gak?" ungkap Sena.

  "Mau banget, bukannya akhir-akhir ini kita sudah jarang keluar bareng," sahut Siska.

  "Ok setelah ngantar Ara sekolah kita ketemuan ya," ajak Sena.

  "Kamu atur sendiri deh waktunya, aku ngikut saja," sahut Siska, terdengar semangat.

  "Kita ketemu nanti di kafe biasa," ucap Sena sambil mengakhiri teleponnya.

Sekesai menelpon Sena menarik nafas panjangnya matanya mulai terpejam, ia benar-benar sudah yakin dengan keputusan yang akan diambilnya. Sejenak matanya terbuka, foto pengantin yang masih terpajang delapan tahun lalu, nampak begitu indah, terlihat jelas senyum manis yang terukir penuh cinta, namun harus berakhir karena sebuah pengkhianatan.

"Delapan tahun waktu yang tidak mudah, kita pernah mengalami suka dukanya bersama, aku adalah istri yang menemanimu mulai dari nol, masih ingat ketika aku mengandung anak kita, betapa sibuknya aku membantumu mencarikan klien kesana kemari, sekarang kau sudah sukses, tapi sayang tujuanmu sekarang bukan aku lagi," ucap Sena sambil menatap foto pengantin itu.

Sebisa mungkin Sena harus siap menghadapi semua, di dalam kamus hidupnya perselingkuhan tidak bisa termaafkan, hal yang paling buruk bagi dirinya di saat suami sudah mulai merendahkan kehormatan dirinya dihadapan orang lain, apalagi sudah jelas Dirga sudah berucap 'Sena tidak bisa memberikannya anak perempuan'.

Sena masih masih menatap foto itu tanpa sadar air mata jatuh, namun dengan cepat tangannya mulai mengusap, dan dengan langkah yang bersamaan, pintu kamarnya terketuk.

"Ibu ... Mbak Ara sudah menunggu di depan," ujar Bi Asih lirih.

Sena segera menyudahi kesedihannya, air matanya terlalu berharga untuk menangisi pria yang sudah tidak menghargai cinta dan ketulusannya. "Iya Bi," ucapnya lalu meraih tas dan juga handphone-nya.

Langkah Ki Seba segera keluar dari kamar menuruni anak tangga sedikit berlari, karena ia tidak mau anaknya terlambat, sesampainya di ruang tamu ia sudah melihat sang anak yang sudah rapih dengan seragam sekolah.

"Sayang, maaf ya Mama sedikit terlambat," ucap Sena.

"Gak apa-apa. Ma, sarapan dulu ya," ucap anak perempuannya itu.

Sejenak Sena mulai tersentuh dengan perhatian kecil sang anak. "Mama gak sarapan Nak, karena mau bertemu dengan Tante Siska," sahut Sena dengan lembut.

"Oh begitu, aku hanya takut Mama gak sarapan terus sakit, jangan sakit-sakit ya Ma."

"Gak akan Sayang, Mama selalu kuat untuk anak Mama," sahut Sena segera.

Tanpa membuang waktu, kedua ibu dan anak itu mulai menaiki mobil, di sini Ara masih terlihat murung namun tidak sempurna tadi malam, bahkan anaknya itu masih bisa memberinya perhatian kecil.

"Ma, apa Papa nanti pulang?" tanya anak itu tiba-tiba.

"Mungkin nanti sore, ditunggu saja ya," sahut Sena, dengan senyum getir, karena besar kemungkinan suaminya itu tidak akan pulang.

"Ya sudah," sahut Ara singkat.

Tidak terasa mobil sudah berhenti di depan pagar sekolah, Ara pun dengan sigap meraih tangan ibunya. "Ma Ara sekolah dulu ya," pamit anaknya itu.

"Iya, semoga harimu baik-baik saja," sahut Ara sambil mencium kedua pipi anaknya.

Ara keluar dari mobil, sementara Sena memastikan sang anak masuk ke pintu gerbang baru ia melajukan mobilnya. Tanpa ada yang tahu, sedari tadi Ika sudah menanti di halaman sekolah Ara, entah dengan cara apa wanita itu bisa memasuki sekolah Ara.

"Ara ....," panggil Ika di saat Ara baru sampai dihalaman sekolah.

Ara menoleh heran, ingatannya masih tahan dengan sosok yang berdiri mengenakan dress pendek itu. "Mau apa," sahut Ara sinis.

Ika tersenyum licik, sambil mendekat ke arahnya. "Anak kecil jangan lagi kau ganggu papamu ya, karena saat ini papamu sedang bahagia dengan Tante Ika."

Ara menatap Ika tajam, tangan mungilnya refleks mengepal dengan kuat. "Itu Papa aku, Tante gak boleh ambil papaku," sahut Ara dengan berani.

Ika tertawa kecil. "Oh tidak sekarang papaku bukan hanya milik Ara saja, tapi milik dedek bayi yang ada di dalam perut Tante," bisik Ika. "Ara harus tahu, dari dulu Papa gak suka anak perempuan, dan anak Tante ini merupakan anak laki-laki, anak yang ditunggu-tunggu oleh papamu," imbuh Ika.

Amarah anak itu memuncak mendengar kata-kata menyakitkan dari orang dewasa dihadapannya, mata arah memerah, seolah ingin membalaskan perbuatan orang dewasa itu.

"Tidak! Tante bohong Tante jahat ... Papa tidak mungkin berbuat seperti itu!" teriak Ara sekencang-kencangnya.

Melihat Ara yang histeris security langsung menghampiri. "Ara kenapa?" kata security itu.

"Tante itu jahat, dia ambil Papa Ara, dan dia bilang kalau sekarang Papa Ara sudah gak sayang Ara lagi," adu Ara dengan tangisan yang sudah tidak terbendung lagi.

Security itu langsung ambil tindakan. "Bukannya tadi Mbak bilang Tantenya Ara," ucap security itu dengan nada tegas.

"Bukan dia bukan Tante Ara dia wanita yang mau rebut Papa dari Mama," sahut Ara segera.

Security itu langsung geram, segera ia menahan Ika untuk diperiksa lebih lanjut lagi. Sementara Ara masih menangis hatinya terlalu hancur mendengar ucapan pahit dari wanita yang menjadi selingkuhan papanya.

Be**rsambung** ....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!