Pagi itu, sinar matahari menyinari halaman sekolah SMK yang mulai ramai oleh suara obrolan siswa dan derap langkah sepatu. Di depan gerbang, seorang remaja laki-laki berdiri diam. Tubuhnya tegak, wajahnya bersih dengan senyum yang terlalu tenang—nyaris tak bergerak. Namanya Arga.
Ia mengenakan seragam baru yang masih rapi tanpa lipatan, sepatu mengilap, dan rambut yang disisir ke samping dengan rapi. Ia terlihat seperti murid teladan dari brosur sekolah, tapi entah mengapa, senyumnya terasa… janggal. Terlalu ramah. Terlalu damai untuk suasana sekolah yang katanya penuh masalah.
Arga menarik napas pelan, lalu melangkah masuk ke lingkungan sekolah. Hari ini adalah hari pertamanya setelah pindah, dan ia berniat langsung melapor ke ruang kepala sekolah.
Namun, langkahnya baru beberapa meter ketika sesuatu menghantam kepalanya dari samping.
Sebuah bola menggelinding jatuh ke kakinya.
“Hei, anak baru! Ambilin bola gue!” teriak seseorang dari kejauhan, nadanya seenaknya, tanpa sopan santun sedikit pun.
Arga tidak langsung menjawab. Ia menunduk, mengambil bola itu perlahan, lalu berbalik menghadap ke arah suara. Tiga siswa berdiri di sana, salah satunya terlihat seperti pemimpin kelompok, dengan senyum sinis yang tak ramah.
“Cepetan, dasar culun,” ujar salah satu dari mereka sambil melirik penampilan Arga yang terlalu bersih dan terlalu rapi untuk ukuran sekolah itu.
Arga melangkah tenang mendekati mereka, bola di tangannya. Saat sampai di depan, ia menyerahkan bola itu dengan senyum yang masih tak berubah—ramah, kalem, nyaris membingungkan.
“Nih, bolanya,” ucapnya santai, menatap satu per satu wajah mereka tanpa gentar.
Alih-alih menerima dengan sopan, ketiganya malah tertawa keras. Tawa mengejek yang memecah suasana pagi.
“Lihat deh gayanya! Dasar culun. Lo pasti anak baru, ya?” ejek salah satu dari mereka sambil mengacak-acak rambut Arga dengan kasar.
Kepala Arga terdorong ke kiri dan kanan, tapi dia tetap berdiri tegak. Tidak berkata apa-apa. Tidak marah. Tidak menyingkir. Hanya senyum itu yang masih melekat di wajahnya, seakan tak terganggu sama sekali.
“siapa nama kamu?” tanya remaja itu, nada suaranya kini seperti menantang.
“Kamu siapa namanya?” tanya remaja itu, nada suaranya kini seperti menantang.
Arga mengangkat tangan kanannya, menawarkan jabat tangan seolah-olah mereka bertemu secara wajar.
“Namaku Arga. Aku murid pindahan,” ujarnya tenang, tetap dengan senyum yang sama.
Mereka menatap tangannya, lalu kembali tertawa. Tanpa peringatan, salah satu dari mereka melempar bola itu sekuat tenaga ke arah wajah Arga.
Bola itu menghantam tepat di mukanya. Kepala Arga terdongak ke belakang, pandangannya sempat mengarah ke langit. Tapi dia tidak berkata sepatah kata pun. Tidak mundur. Tidak membalas.
“Nih, kalau mau kenalan sama kita!” seru remaja itu lagi, sebelum melayangkan tinjunya—kali ini, keras dan langsung menghantam perut Arga.
Pukulan demi pukulan menghantam tubuh Arga tanpa henti. Beberapa mengenai bahu, beberapa lainnya tepat di perut dan punggung. Ia akhirnya jatuh tersungkur ke tanah, wajahnya nyaris menyentuh permukaan tanah keras yang berdebu.
Namun ketiga remaja itu tak menunjukkan tanda-tanda puas. Justru seolah merasa semakin berkuasa, mereka semakin menjadi-jadi. Satu dari mereka menginjak punggung Arga dengan keras, yang lain menendang sisi tubuhnya berulang kali.
Arga hanya bisa meringis, mencoba menahan rasa sakit. Ia sesekali mengangkat tangan, berusaha menepis atau melindungi bagian tubuhnya, tapi sia-sia. Gerakan mereka terlalu cepat, terlalu liar. Sepatu-sepatu kotor itu terus menghantam tubuhnya tanpa henti.
Seragamnya yang semula bersih kini kotor, penuh debu dan bekas jejak sepatu. Napasnya tersengal, tapi dari wajahnya... belum ada kemarahan. Ia tetap diam, hanya matanya yang sedikit menyipit, menahan perih.
“Hahaha! Rasain tuh! Dasar anak sialan!” teriak salah satu dari mereka dengan tawa puas, seolah sedang bermain-main dengan boneka.
Dan tepat ketika serangan mereka makin brutal, suara keras menggema dari arah lapangan.
“Hei! Hentikan! Dasar pengecut! Beraninya cuma ganggu anak baru!”
Suaranya lantang, penuh amarah, dan tajam menembus keributan itu. Ketiga remaja itu langsung menoleh. Seorang siswi berlari cepat ke arah mereka, diikuti seorang temannya. Langkah kakinya cepat, rambutnya sedikit terangkat karena angin, dan tatapannya tajam seperti panah.
Wajahnya menunjukkan ketegasan dan kemarahan yang tak bisa dianggap remeh. Ia berdiri tegak di depan mereka, tanpa rasa takut sedikit pun.
“Jangan sok ikut campur, deh. Urus aja diri lo sendiri!” bentak salah satu remaja, menunjuk wajah siswi yang berdiri di hadapan mereka dengan tajam.
Ketegangan meningkat saat siswi itu melangkah lebih dekat, matanya menatap penuh perlawanan. Sementara itu, temannya yang datang bersamanya langsung menghampiri Arga yang masih terduduk di tanah, mencoba mengatur napas.
“Kamu nggak apa-apa?” tanyanya, berjongkok dan mengulurkan tangan dengan nada khawatir.
Arga menoleh pelan, masih menahan nyeri di sisi tubuhnya. Tapi, seperti sebelumnya, senyumnya tidak hilang. Ia mengangguk pelan, lalu bangkit perlahan dibantu oleh siswi tersebut.
Sementara itu, di sisi lain, adu mulut semakin panas.
“Dasar kalian! Nggak punya hati nurani!” bentak siswi yang pertama, suaranya lantang dan tak gentar.
Salah satu dari remaja laki-laki itu mendekat dengan wajah merah padam. “Diam, dasar cewek tomboy! Nggak tahu tempat!”
Bentakan itu rupanya melewati batas. Dengan gerakan cepat, siswi itu langsung maju dan menghantam perut si remaja dengan pukulan keras. Suara benturannya jelas terdengar.
Remaja itu membungkuk spontan, menahan sakit. Tak menyia-nyiakan momen, si siswi langsung menarik kerah bajunya dan mengangkat lututnya sekuat tenaga.
Bugh!
Lututnya menghantam wajah remaja itu dengan keras. Tubuh si pemuda terhuyung ke belakang, hampir terjatuh.
Ketika pukulan dan lutut si siswi mendarat telak di wajah salah satu remaja, dua remaja lainnya langsung bereaksi. Wajah mereka berubah merah, penuh amarah, lalu serempak maju menyerang.
“Kurang ajar! Lo cari mati, ya?!”
Tanpa ragu, keduanya menerjang dari kanan dan kiri.
Tapi gadis itu tidak gentar. Begitu salah satu dari mereka mencoba menangkap lengannya, ia justru memutar badan dengan cepat, lalu menghantamkan sikunya ke dada lawan.
Buk!
Remaja itu terhempas mundur, terbatuk kaget sambil memegangi dada.
Yang satunya lagi mencoba menendang dari belakang, tapi dia membungkuk tepat waktu. Kakinya nyaris menyentuh tanah saat dia meluncur rendah, lalu menyapu kaki lawannya dengan gerakan cepat.
Satu tubuh terjatuh keras ke tanah. Si gadis langsung berdiri lagi, sikapnya waspada dan ringan seperti petarung yang sudah biasa menghadapi banyak lawan.
“Cuma segini doang?” ucapnya sinis, sambil menepiskan debu dari lengannya.
Remaja yang pertama—yang sebelumnya dihantam wajahnya—kini ikut bangkit lagi. Bertiga, mereka mencoba mengepung dari berbagai arah.
Namun siswi itu justru mengambil langkah cepat ke arah yang paling lemah, menyerang lebih dulu sebelum mereka sempat berkoordinasi. Ia menendang lutut salah satu lawan, lalu meninju pipinya dua kali berturut-turut. Yang lainnya mencoba menarik bajunya dari belakang, tapi ia memutar tubuh sambil menjatuhkan siku ke bahu penyerangnya.
Dukk!
Tubuh itu terjengkang ke tanah. Yang tersisa kini ragu untuk maju lagi.
Dari kejauhan, Arga berdiri diam. Wajahnya tak lagi tersenyum seperti sebelumnya. Matanya memperhatikan setiap gerakan gadis itu—gerakan yang tajam, lincah, dan penuh perhitungan.
Tak ada sedikit pun keraguan dalam setiap serangannya.
Arga menatap serius, untuk pertama kalinya dalam hari itu. Ada sesuatu di balik tatapannya—campuran rasa kagum dan ketertarikan yang aneh. Bukan hanya karena kehebatan bertarung gadis itu, tapi karena caranya berdiri… kuat, meski dikeroyok, dan tetap tenang.
Seolah... dia tak butuh diselamatkan oleh siapa pun.
“Dasar pria lemah,” ucap Keysha sambil menepuk-nepuk kedua telapak tangannya, seolah menghilangkan debu usai menyelesaikan pekerjaan ringan.
Ketiga remaja pria itu kini meringkuk tak berdaya di atas tanah. Satu memegangi perutnya sambil meringis, satu lagi memegangi pipinya yang tampak memerah, dan yang terakhir hanya bisa terduduk lemas sambil menunduk. Tak satu pun dari mereka sanggup bangkit, nyali mereka runtuh bersama rasa sakit yang menghajar tubuh.
“Lain kali, kalau mau jadi lelaki, jadi yang benar. Di sekolah ini banyak siswa keras kepala, jangan sok jago kalau ujung-ujungnya tumbang,” ucap Keysha, melangkah mendekati Arga.
Arga, yang sejak tadi masih berdiri dengan napas tersengal, menatap sambil tersenyum. Meski wajahnya sedikit lebam, dia tetap menunjukkan ekspresi penuh rasa terima kasih.
“Makasih... karena udah nolong aku,” ucapnya sopan, suara pelan tapi tulus.
Keysha berhenti tepat di hadapan Arga. Wajahnya tegas, namun sorot matanya hangat. Dia mengulurkan tangan dengan percaya diri.
“Keysha,” katanya singkat, mengenalkan diri tanpa basa-basi, tapi tetap dengan senyuman tipis.
“Arga,” jawab Arga sambil menyambut tangan itu. Dia sedikit menunduk, memberi gestur hormat kecil.
Tak hanya dirinya, Keysha juga menunjuk gadis lain yang sejak tadi berdiri tenang di samping Arga.
“Kenalin juga, dia temanku. Namanya Kinan,” ucap Keysha.
Arga dan Kinan pun saling berjabat tangan. Kinan hanya tersenyum sopan, tak banyak bicara, namun terlihat ramah.
“Udah ya, kami pergi dulu. Lain kali, jaga diri baik-baik. Jangan sampai nyusahin orang lain kalau bisa dihindari,” ucap Keysha sambil berbalik, lalu melangkah pergi bersama Kinan.
Arga menatap kepergian mereka dengan sorot mata yang dalam. Sosok Keysha baru saja meninggalkan kesan kuat dalam pikirannya—tegas, cepat, dan jauh lebih tangguh dari perkiraan siapa pun.
“Terima kasih... atas bantuannya,” ucap Arga pelan, menunduk penuh hormat, meski Keysha sudah menjauh.
Setelah Keysha dan Kinan benar-benar menghilang di tikungan lorong sekolah, Arga menghela napas panjang. Ada perasaan campur aduk dalam dadanya—antara lega karena selamat, malu karena tak berdaya, dan takjub pada sosok gadis bernama Keysha.
Meski pakaian seragamnya sudah kotor dengan noda tanah dan sedikit sobekan di bagian siku, dan wajahnya memar di sisi kiri, Arga tetap melangkah pelan menuju ruang kepala sekolah. Sepatu kanannya bahkan sudah lepas bagian solnya sedikit akibat tendangan tadi, tapi ia tak peduli. Langkah kakinya tetap mantap, walau sempat terseret sedikit karena sakit di betis.
Beberapa siswa yang ia lewati di lorong hanya melirik sebentar lalu kembali dengan urusannya masing-masing. Ada yang berbisik, ada yang pura-pura tidak melihat. Tapi Arga tak menghiraukan itu semua.
Setibanya di depan pintu bertuliskan "KEPALA SEKOLAH", ia berhenti sejenak. Menata napas. Menarik kerah bajunya agar terlihat sedikit lebih rapi, meski usahanya nyaris sia-sia.
Dengan ketukan ringan, ia membuka pintu dan masuk.
Di dalam ruangan yang tenang dan beraroma kayu tua, duduk seorang pria paruh baya dengan kacamata bundar di balik meja besar berlapis kaca. Tatapannya langsung tertuju pada Arga.
“silakan duduk,” ucap kepala sekolah itu datar, namun penuh makna.
Arga mengangguk pelan, lalu melangkah masuk tanpa berkata apa-apa. Meski tubuhnya lelah, pikirannya justru mulai bekerja lebih tajam dari sebelumnya. Ada banyak hal yang harus ia jelaskan. Dan mungkin... ini bukan pertama atau terakhir kalinya ia menghadapi hari seperti ini.
Kepala sekolah memandangi Arga dari atas hingga ke ujung sepatu. Tatapannya tajam namun tenang, seolah sedang membaca setiap luka, setiap noda, dan setiap cerita yang tersembunyi di balik seragam kotor itu.
“Apakah kamu mendapatkan gangguan dari siswa lain?” tanyanya dengan suara datar namun cukup tegas.
Arga tidak menjawab panjang. Ia hanya tersenyum tipis dan mengangguk pelan—cukup untuk memberi konfirmasi, tapi tidak membuka pintu untuk pertanyaan lanjutan.
Kepala sekolah menarik napas panjang.
Tatapannya mengendur, seakan sudah terlalu sering melihat hal serupa terjadi di sekolah itu.
Wajahnya mencerminkan kelelahan, bukan hanya sebagai seorang pemimpin sekolah, tapi juga sebagai saksi bisu dari ketidakadilan yang terlalu sering diabaikan.
Tanpa membahas lebih jauh kejadian barusan, ia membungkuk sedikit, membuka map berwarna biru tua, dan mulai membaca berkas-berkas perpindahan Arga. Nama, asal sekolah, nilai, dan alasan pindah—semua diperiksa dengan cepat namun cermat.
Setelah semua dokumen dibahas dan penempatan kelas ditentukan, kepala sekolah menutup map itu dan menatap Arga sekali lagi.
“Hari ini... lebih baik kamu pulang dulu. Bersihkan dirimu, istirahat. Besok pagi langsung menuju kelasmu yang baru,” ucapnya dengan nada lembut, seolah memberi izin yang lebih dari sekadar formalitas—seolah mengerti bahwa hari ini terlalu berat untuk dimulai dengan belajar.
“Iya, Pak,” jawab Arga singkat, suaranya datar tapi penuh rasa hormat.
Ia berdiri perlahan, menyentuh sedikit bagian perutnya yang masih terasa nyeri, lalu melangkah keluar dari ruangan itu dengan tenang.
Lorong sekolah terasa sunyi. Matahari siang mulai masuk lewat jendela panjang, membentuk bayangan tubuh Arga yang perlahan menjauh. Tak ada kata-kata, tak ada suara—hanya langkah kaki yang menyimpan beban dan cerita.
Sesampainya di depan gerbang sekolah, Arga berdiri tegak memandangi jalanan yang perlahan mulai ramai oleh kendaraan. Matanya kosong menatap ke depan, sementara tangan kanannya terangkat pelan, melambai singkat ketika sebuah angkutan umum tampak mendekat.
Mobil tua itu berhenti dengan bunyi rem yang berderit, dan Arga naik tanpa berkata banyak. Ia duduk di pojok bangku panjang, menyandarkan kepala ke kaca jendela yang buram.
Sepanjang perjalanan, Arga hanya diam. Wajahnya datar, tanpa senyum, tanpa kerut marah, seolah semua ekspresi telah dicuci habis oleh hari yang begitu panjang dan dingin. Pandangannya menembus kaca jendela, menatap samar pepohonan dan toko-toko kecil yang berlalu dalam keheningan batin.
Sesampainya di depan rumah, ia mengetuk sisi atap mobil dan berkata pelan, “Makasih, Pak.”
Ia turun dan melangkah menuju sebuah rumah sederhana di ujung jalan komplek. Rumah itu tidak besar, tapi terlihat hangat—ada tanaman gantung di teras, dan suara televisi samar dari dalam rumah.
Langkah Arga pelan tapi mantap. Bajunya masih kotor, bercak debu dan sedikit sobek di bagian pundak. Wajahnya memar di sisi kanan, bekas pukulan masih baru dan menyakitkan. Tapi ia tak mengeluh. Hanya diam.
Pintu rumah terbuka dari dalam. Seorang pria dewasa keluar sambil merapikan jaketnya.
“Ma, aku pergi dulu ya!” serunya sambil berjalan ke luar.
Itu Bagas—paman Arga. Tubuhnya tinggi, wajahnya bersih, dan sorot matanya tegas namun hangat.
Begitu ia menoleh ke arah gerbang, langkahnya langsung terhenti. Ia melihat keponakannya berdiri dengan pakaian kotor dan wajah penuh luka.
Langkah Bagas tertahan, pandangannya menyapu Arga dari kepala hingga kaki.
“Arga?” tanyanya pelan, nada suaranya berubah.
Arga hanya menatapnya sekilas, kemudian menunduk tanpa berkata apa pun.
"Ada apa ini? Kenapa pakaianmu bisa seperti itu?" suara Bagas terdengar tajam, menahan amarah yang hampir meledak.
Arga menunduk, tak sanggup menatap mata pamannya. Senyum kecil yang tadi sempat terukir pun lenyap seketika, seolah tersapu angin.
"Dasar... anak dan ayah sama saja," geram Bagas sembari melangkah mendekat.
Tanpa banyak basa-basi, tangan kanannya terangkat tinggi, lalu dengan keras mendarat di pipi Arga.
"Plak!"
Suara tamparan itu menggema di depan rumah. Kepala Arga terpaksa menoleh akibat kerasnya hantaman. Ia refleks memegang pipinya, namun hanya senyum tipis yang muncul di sudut bibirnya.
"Masuk! Ganti baju, dan ingat—cari uang. Jangan jadi beban!" ucap Bagas dingin tanpa menoleh lagi. Ia berjalan pergi sambil menyenggol bahu Arga.
Arga tetap berdiri sejenak, menarik napas dalam, lalu melangkah perlahan masuk ke rumah. Tidak ada kemarahan, tidak ada tangisan. Hanya langkah tenang dari seseorang yang sudah terlalu sering menerima luka tanpa perlawanan.
Namun ujian belum selesai.
Begitu melewati pintu ruang tamu, seorang perempuan berdiri dengan kedua tangan menyilang di dada. Tatapannya tajam, menyapu tubuh Arga dari kepala hingga kaki.
"Baru kemarin dikasih baju, sekarang sudah robek dan kotor begitu! Dari mana aku cari uang lagi, hah?" bentaknya lantang. Dialah istri Bagas, bibi Arga.
Arga tetap diam. Ia hanya berjalan pelan melewati ruang tamu menuju kamarnya, tanpa mengucap sepatah kata pun. Wajahnya datar, seperti sudah kebal terhadap hinaan maupun makian.
"Dan hari ini kamu gak usah makan! Awas aja kalau ketahuan nyentuh dapur!" bentak sang bibi lagi, suaranya melengking menusuk telinga.
Tapi Arga tak mengeluh. Ia terus melangkah. Hanya suara derit lantai yang menemani perjalanannya menuju kamar kecil di ujung rumah.
Setelah pintu kamar tertutup, Arga mulai melangkah pelan mendekati kasur usangnya. Ia duduk di tepi kasur yang berbunyi lirih, menatap sekeliling ruangan kecil yang selama ini menjadi tempat ia berlindung. Namun menyebutnya “tempat tidur” pun rasanya terlalu mewah—karena kamar itu lebih mirip gudang tua. Di sudut-sudut ruangan, bertumpuk kardus bekas, koper rusak, dan barang-barang tak terpakai yang berdebu.
“Hah… capek juga,” gumamnya pelan sambil menarik napas panjang, lalu perlahan berdiri lagi.
Dengan gerakan lambat, Arga mulai melepaskan seragamnya yang kusut dan penuh noda. Sepatunya yang robek di bagian depan juga ikut dilepas dan ditaruh di samping pintu. Ketika seragamnya benar-benar terlepas, terlihat jelas kondisi tubuhnya yang jauh dari normal. Dari bahu, dada, hingga perut, hampir seluruh bagian tubuhnya dipenuhi bekas luka—ada yang seperti bekas jahitan lama, ada juga yang masih tampak baru. Hanya bagian lengan hingga telapak tangan saja yang tampak utuh tanpa cacat.
Ia berdiri di depan cermin kecil yang menggantung miring di dinding, menatap bayangannya sendiri dengan senyum yang entah menyiratkan kepasrahan atau justru tekad. Tangannya kemudian meraih sebuah kaleng cat kosong yang diletakkan di atas tumpukan dus.
“Lumayan... cuma segini hari ini,” bisiknya, masih menatap tubuhnya sendiri di cermin.
Ia mengangkat kaleng itu hingga sejajar dengan dada, menatapnya lama seperti berbicara dengan benda mati tersebut.
“Semoga aku tetap kuat nahan semua ini... soalnya kalau nggak...” ucapnya lirih, suaranya mulai berubah dingin dan berat.
Kalimatnya menggantung, dan seketika tangannya meremas kaleng logam itu begitu kuat. Suara ringsek terdengar tajam saat logam yang cukup tebal itu hancur dalam genggamannya, berubah menjadi lempengan tak berbentuk. Suatu hal yang jelas tak bisa dilakukan oleh orang biasa tanpa kekuatan yang luar biasa.
Tangannya gemetar ringan setelah itu, tapi senyumnya kembali mengembang—tipis, penuh rahasia dan kepedihan yang ditelan sendiri.
Di saat Arga masih fokus menatap kaleng tersebut, pintu kamarnya tiba-tiba terbuka perlahan. Suara langkah kaki terdengar masuk perlahan, mengendap.
"Ar, kamu nggak apa-apa kan hari ini?" tanya seorang gadis remaja yang berdiri di ambang pintu.
Itu Rindi, sepupunya yang seumuran dengannya. Rambutnya diikat ke belakang dan wajahnya tampak masih sedikit pucat—baru saja pulih dari demam, itulah sebabnya ia tak masuk sekolah hari ini, meski sebenarnya ia satu sekolah dan satu kelas dengan Arga.
Arga menoleh, menyembunyikan sedikit ekspresi lelahnya dengan senyum tipis. Ia menurunkan kaleng lalu menaruhnya pelan di atas meja usang di samping cermin.
"Nggak, Ndi. Cuma dapat 'upacara penyambutan' aja di sekolah," jawabnya santai.
Rindi mengangguk kecil. "Iya, di sekolah memang begitu… murid baru sering digituin. Aku juga dulu gitu."
Rindi mendekat perlahan, memperhatikan wajah Arga yang lebam serta bekas luka baru di pipi kanannya. Meski Arga mencoba tersenyum, Rindi bisa melihat jelas ada sesuatu yang dia sembunyikan.
“Wajahmu…” bisik Rindi lirih sambil duduk di sisi kasur usang itu. Tangannya hendak menyentuh pipi Arga namun ia urungkan, seperti takut malah membuat Arga merasa semakin terluka.
“Udah biasa, Ndi. Malah aku lebih takut kamu nanti sakit lagi kalau terus mikirin aku,” jawab Arga, merendah sambil tertawa kecil.
Senyumnya seperti perisai yang menutupi semua luka dalam dirinya.
Rindi menarik napas dalam, menunduk, lalu menggenggam erat ujung baju. "Kalau mereka di rumah terus kayak gini… aku takut kamu lama-lama—"
“Aku enggak apa-apa.” Potong Arga cepat, namun lembut. Ia berdiri, mengenakan kaos lusuhnya lalu berjalan mendekat ke arah Rindi. “Selama kamu sehat dan bisa senyum kayak sekarang, aku kuat. Beneran.”
Rindi mendongak, mata mereka bertemu dalam keheningan yang sarat makna. Tak ada kalimat panjang, hanya tatapan yang saling menyampaikan kepedulian yang dalam.
Namun suasana sunyi itu tiba-tiba terpecah oleh suara bentakan dari luar kamar.
“RINDI! Cepat bantu Ibu masak, jangan ngumpet di kamar terus!”
Rindi tersentak, buru-buru berdiri.
“Aku pergi dulu ya, Ar. Kalau butuh apa-apa… ketuk aja kamarku.” Ucap Rindi setengah berbisik sebelum berlari keluar.
Setelah pintu tertutup, Arga kembali duduk di depan cermin. Wajahnya kembali datar. Ia menatap bekas tangannya yang tadi meremukkan kaleng logam.
"Kalau suatu hari nanti semua ini meledak... semoga aku masih bisa ingat cara tersenyum," bisik Arga pelan.
Tangannya mengepal, namun kali ini bukan karena amarah, tapi karena tekad yang mulai tumbuh dalam diam.
Setelah beberapa detik termenung di tepi kasur, Arga akhirnya bangkit. Ia kenakan pakaian seadanya—celana panjang kusam dan kaus oblong lusuh—lalu melangkah keluar kamar dengan kepala sedikit tertunduk.
“Ingat! Kalau pulang harus bawa uang,” bentak istrinya Bagas dari dalam dapur. Suaranya tajam, seakan memotong udara pagi.
Di dapur, Rindi hanya bisa menatap Arga dengan raut prihatin. Ia ingin berkata sesuatu, tapi lidahnya terasa berat. Ia tahu, Arga tak punya pilihan selain pergi. Tatapannya lemas, tak berdaya, tapi jelas menunjukkan simpati pada sepupunya yang harus keluar rumah dengan tekanan seperti itu.
Arga tak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan, lalu tersenyum tipis—senyum yang lebih terasa seperti tameng daripada ketulusan.
Setelah itu, tanpa kata-kata, ia membuka pintu dan melangkah keluar. Kakinya terus berjalan, menelusuri jalanan menuju tempat yang sudah biasa ia datangi setiap hari.
Tak butuh waktu lama. Setelah beberapa menit berjalan, Arga tiba di pasar. Tempat ini sudah seperti rumah kedua baginya—bukan karena kenyamanan, tapi karena satu-satunya tempat di mana ia bisa mencari penghasilan.
Di pasar, Arga sudah dikenal. Ia sering dipanggil oleh para pedagang yang butuh bantuan mengangkat barang.
“Arga! Sini bantuin Ibu, cepat!” panggil seorang pedagang sembako dari kiosnya.
“Siap, Buk,” jawab Arga cepat, dengan langkah sigap dan wajah yang tampak lebih cerah. Setidaknya ada yang memanggil, ada yang butuh tenaganya.
Di mata para pedagang, Arga dikenal ramah dan rajin. Ia jarang menolak pekerjaan, dan tak pernah terlihat mengeluh. Banyak dari mereka lebih memilih menyewa jasa Arga ketimbang kuli lain karena satu alasan: Arga tak pernah menawar harga. Ia selalu terima berapa pun yang diberikan.
Namun, justru karena itu, Arga mulai memancing amarah dari kuli-kuli lain.
“Lihat tuh, semua kerjaan diambil dia. Anak muda tapi enggak tahu cara berbagi,” gerutu seorang pria, menatap Arga dari kejauhan.
Sebenarnya Arga tak berniat mengambil semua pekerjaan. Ia pernah mencoba mengajak yang lain bekerja bersamanya, tapi mereka sering menolak. Mereka keberatan karena upah yang ia terima terlalu kecil, dan mereka tak mau disamakan.
Arga sendiri tak pernah mempermasalahkan soal bayaran. Yang penting, hari ini ia bisa pulang membawa sesuatu.
di sore hari, saat tubuh Arga mulai terasa lelah dan pikirannya hanya ingin segera pulang, langkahnya terhenti di lorong sempit pasar. Di depan, enam pria dewasa sudah berdiri berjajar, menghadangnya. Mereka tampak menunggu, pandangan mereka tajam, penuh amarah yang ditahan.
“Lumayan tuh,” ucap salah satu dari mereka sambil melirik uang di tangan Arga.
Arga menghentikan langkah. Ia berhenti menghitung uang, lalu menatap keenam orang itu dengan tenang.
“Ya, lumayan. Untuk hari ini mungkin cukup buat beli seragam sekolah dan sepiring nasi di rumah,” jawab Arga pelan, tetap tersenyum.
Namun, senyum ramah Arga tak sedikit pun mengubah ekspresi mereka. Tak ada simpati di mata orang-orang itu. Hanya kekesalan.
“Jangan sombong. Kalau kamu ikut aturan kami, kamu bisa dapat lebih dari itu,” hardik salah satu pria, nadanya tinggi, menahan emosi.
Arga memasukkan semua uang ke dalam saku celananya. Pandangannya tenang, tapi jelas ada rasa letih yang tertahan. Ia menatap mereka satu per satu dengan wajah datar, lalu tersenyum kecil.
“Aku enggak mau ribut. Tapi mulai besok, kamu harus berhenti kerja di pasar ini. Kalau masih mau kerja, ikut aturan kami,” bentak pria lainnya, kali ini lebih keras.
Keenam pria itu mulai melangkah mendekat. Tangan mereka terkepal, tubuh mereka tegang. Udara di lorong itu terasa berat. Suasana berubah menjadi ancaman yang nyata.
Arga tetap berdiri di tempat. Suaranya tenang, meski dadanya mulai sesak.
“Kalian terlalu mahal pasang ongkos. Jadi lebih baik kerja seperti saya—meski kecil, tapi rezeki lancar,” katanya, berusaha membuat mereka berpikir.
Tapi kata-kata Arga justru menambah bara. Ego mereka tersulut. Bagi mereka, dinasihati oleh remaja seperti Arga adalah bentuk penghinaan.
Tak satu pun dari mereka berniat mendengar. Yang mereka inginkan hanya satu: membuat Arga berhenti mengambil "lapak" yang selama ini mereka anggap milik mereka.
“Jadi gimana, masih mau menurut atau pergi?” bentak salah satu dari mereka, suaranya penuh ancaman.
Arga hanya tersenyum tipis, menatap mereka semua tanpa ragu. Meski di hadapan enam orang yang tampak marah, tak ada rasa takut di matanya.
Salah satu pria yang lebih besar badannya maju, wajahnya merah karena amarah.
“Kurang ajar! Sini, biar aku kasih pengertian supaya kamu paham,” bentaknya, lalu melayangkan pukulan keras ke wajah Arga.
Pukulan itu membuat Arga terhuyung mundur, tetapi ia berusaha keras untuk tetap berdiri. Ia tidak melawan, hanya diam. Tubuhnya terasa kaku, namun matanya tetap menatap mereka dengan tenang.
“Bangsat!” seru salah satu pria lainnya dengan kemarahan yang tak terbendung, diikuti oleh seruan-seruan kasar dari yang lain. Mereka mulai mendekat, tangan mereka terkepal, siap menghajar Arga habis-habisan.
Dalam sekejap, Arga sudah terjatuh ke lantai. Pukulan demi pukulan datang bertubi-tubi. Arga hanya bisa diam, mencoba melindungi wajahnya agar tak semakin parah. Tubuhnya lelah, rasanya hampir tak mampu bertahan lagi.
Namun, saat keputusasaan mulai menyelimuti dirinya dan pikirannya mulai tergoda untuk membalas, terdengar suara langkah berat dari arah belakang.
Suara sepatu yang menapak keras menggema di lorong pasar, mengguncang ketegangan yang sudah mencapai puncaknya. Semua orang berhenti sejenak, menoleh ke arah sumber suara. Arga yang terkulai di lantai merasa ada harapan baru.
Langkah itu semakin mendekat. Seorang pria muncul dari balik bayangan, mengenakan setelan hitam yang kontras dengan suasana pasar yang biasa. Di tangan kirinya, ada pisau lipat berkilau tajam yang memantulkan cahaya remang.
Suasana mendadak hening. Semua orang terdiam, tak ada yang berani bergerak. Hanya suara detak jantung Arga yang terdengar, mencampur dengan degupan yang semakin cepat.
“Jangan coba-coba melepaskan harimau yang sedang bersembunyi dalam kerangkeng,” ucap pria itu dengan nada dingin.
Langkahnya mantap, suara sepatunya masih menggema di lorong. Saat ia semakin dekat, wajahnya mulai terlihat jelas. Ia berdiri tegak, satu matanya tajam menatap ke depan, sementara mata satunya lagi tampak rusak—bekas luka dalam membentang dari pelipis hingga ke pipi. Bekas pertarungan yang tak butuh penjelasan.
Mereka yang tadi mengeroyok Arga mulai saling pandang. Ada keraguan kecil, tapi salah satu dari mereka maju satu langkah.
“Maksud kamu apa? Jangan kira kami takut cuma karena tampangmu seram,” katanya dengan nada menantang.
Di lantai, Arga malah tertawa kecil. Ia merebahkan tubuhnya dengan santai. Satu kakinya diangkat, kedua tangannya dilipat di belakang kepala, seolah-olah ia sedang tiduran di tepi pantai, bukan di tengah lorong pasar setelah dipukuli.
“Aku bisa urus mereka sendiri. Kalau boleh jujur, satu lawan enam pun sebenarnya bisa selesai dalam hitungan detik,” ucap Arga santai, dengan senyum menyebar di wajah memar.
Pria itu tak membalas. Ia hanya mengangkat pisau lipat yang tadi ia genggam, lalu mengarahkannya ke kerumunan pria yang masih berdiri di sekitar Arga. Pisau itu berkilau dingin di bawah cahaya lampu lorong.
“Sini. Kalau kalian butuh lawan, aku siap,” katanya tegas. Ia melangkah maju, tubuhnya tegap, dan setiap langkahnya menunjukkan bahwa ia bukan orang sembarangan.
Udara di lorong itu kembali terasa berat. Ketegangan melonjak, kali ini bukan karena jumlah orang, tapi karena kehadiran satu orang yang tampak jauh lebih berbahaya daripada yang lain.
“Bangsat! Jangan harap bisa keluar dari sini dengan selamat!” teriak salah satu pria dengan suara lantang, merasa paling kuat di antara mereka.
Pria berjubah hitam itu tidak membalas. Ia hanya terus melangkah mendekat, tenang namun penuh tekanan. Saat lawannya menerjang maju dengan kecepatan penuh, tangan terkepal siap memukul, pria itu bereaksi cepat.
Dalam satu gerakan sigap, ia menunduk menghindari pukulan, lalu langsung menyodokkan pisau ke arah perut pria tersebut. Suara tusukan terdengar jelas—cepat, dalam, dan tanpa ragu. Lawannya terhenti di tempat, tubuhnya gemetar.
“Hanya segini?” ucap pria itu datar, sebelum menarik kembali pisaunya dengan satu sentakan.
Korban ambruk seketika, tubuhnya jatuh ke lantai dengan darah mulai mengalir dari perut. Sisa pria-pria lainnya terdiam beberapa detik, syok melihat apa yang baru saja terjadi. Wajah mereka pucat.
Tanpa aba-aba, mereka langsung panik dan berbalik. Dalam hitungan detik, semuanya kabur, berlari tanpa menoleh sedikit pun. Langkah mereka terdengar berderap, kacau, berdesakan keluar dari lorong pasar yang sempit.
“Mau ke mana kalian? Aku belum puas,” ucap pria itu pelan, tapi jelas. Darah menetes dari ujung pisaunya, menetes ke lantai satu per satu, seolah menjadi penutup dari peringatan yang tak perlu diulang.
Karena tak ada lagi yang tersisa untuk dilawan, pria itu perlahan menurunkan pisaunya.
Langkahnya kini mengarah pada Arga yang masih berbaring santai di lantai, seolah baru saja menyaksikan pertunjukan yang biasa.
Ia berhenti tepat di depan Arga. Matanya yang hanya satu terlihat dingin dan penuh tekanan, sementara luka lama di wajahnya semakin menambah kesan mengintimidasi.
“Apakah kamu tidak apa-apa?” tanyanya singkat, suaranya dalam dan datar. Tegas, tapi bukan tanpa perhatian.
Arga menarik napas panjang sebelum bangkit. Ia berdiri perlahan, merenggangkan tubuhnya yang masih penuh memar, lalu menatap pria itu.
Senyumnya sempat muncul sesaat. Namun seketika berubah menjadi sorot tajam yang tak biasa. Bibirnya menyunggingkan tawa—tapi bukan tawa biasa. Tawa itu terdengar pelan, kasar, dan perlahan berubah menjadi tawa dingin yang menggetarkan lorong yang kini sepi.
Wajah Arga tak lagi terlihat seperti remaja biasa. Di balik memar dan luka, ada sesuatu yang berbeda. Tatapannya kini menyeramkan. Seolah tadi hanyalah permulaan dari sesuatu yang lebih gelap yang selama ini ia sembunyikan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!