NovelToon NovelToon

Gunung Es Suamiku

Panggung sandiwara

Lantai ke-30 menara perkantoran Wijaya Group selalu terasa dingin, bukan karena pendingin ruangan yang berlebihan, melainkan karena atmosfer beku yang diciptakan oleh sang pucuk pimpinan.

​Manager Risa melangkah keluar dari lift pribadinya akses yang diberikan kepadanya bukan sebagai istri, melainkan sebagai Manajer Pengembangan Bisnis dengan langkah mantap. Ia mengenakan blus putih bersih dan rok pensil, rambutnya terikat rapi. Ia tampak profesional, efisien, dan yang paling penting: sendirian.

​Di ujung lorong, tepat di depan pintu ganda kayu mahoni berukir lambang perusahaan, Risa melihatnya.

​Damian Wijaya.

​Sang CEO. Suaminya.

​Pagi itu, Damian berdiri tegak seperti patung marmer di depan kantornya, menerima laporan singkat dari asisten pribadinya, Reno. Jas tailor mode abu-abu gelap membalut tubuh tinggi semampai nya, bingkai kacamata peraknya memantulkan cahaya lampu koridor, dan ekspresinya sedingin malam di puncak Himalaya.

​Mereka berdua berjalan mendekat dua kutub magnet yang seharusnya saling tarik, namun kini justru saling menjauh karena gaya dorong jarak.

Risa berhenti di depan pintu ruangannya, yang letaknya hanya beberapa langkah dari kantor Damian. Asisten Risa, Lia, sudah menunggu dengan sebuah tablet di tangan.

​"Pagi, Manager Risa," sapa Lia dengan suara bersemangat.

​"Pagi, Lia. Jadwal hari ini?" tanya Risa tanpa menoleh, suaranya terdengar profesional dan fokus.

​Tepat saat itu, Damian dan Reno tiba di sebelah mereka. Hanya ada jarak semeter yang memisahkan Risa dan suaminya. Bagi siapapun yang melihat, mereka adalah dua eksekutif yang sibuk dan fokus pada pekerjaan.

​Damian melirik Risa bukan tatapan seorang suami kepada istrinya, melainkan tatapan sekilas seorang atasan yang memastikan karyawannya sudah berada di tempat. Tatapan itu cepat, hampa, dan penuh keengganan.

​"Tuan Damian, rapat direksi pukul sepuluh dimajukan sepuluh menit. Ada revisi dari Tuan Hartono," lapor Reno.

​"Batalkan revisi itu," suara Damian berat, dalam, dan tanpa emosi. "Ikuti jadwal awal."

​Reno mengangguk patuh.

​Lia, yang sejak tadi menunduk menghormati kehadiran CEO, berbisik kepada Risa, "Manager Risa, ini timeline untuk tender Proyek Gamma. Tim sudah menunggu di ruang rapat."

​"Bagus. Beri tahu tim saya masuk sepuluh menit lagi," jawab Risa, lalu ia akhirnya mendongak.

​Matanya bertemu dengan mata Damian. Lima tahun pernikahan, dan mereka masih berinteraksi seperti ini. Dua orang asing yang kebetulan menggunakan koridor yang sama.

​Risa tahu, ini adalah saatnya memainkan sandiwara.

Selamat pagi, Tuan Damian," sapa Risa dengan nada formal dan datar.

​Damian menoleh penuh, sorot matanya yang tajam dan dingin seolah menembus Risa. Ia tidak membuang sedetik pun waktu untuk basa-basi.

​"Pagi, Manager Risa," balas Damian. Ia menggunakan gelar jabatan itu dengan penekanan yang jelas, seolah ingin menegaskan bahwa di kantor ini, Risa hanyalah salah satu karyawannya. "Pastikan laporan profit-loss triwulan sudah saya terima sebelum makan siang."

​Itu bukan permintaan, melainkan perintah—perintah yang tidak akan pernah ia sampaikan kepada istrinya.

​"Tentu, Tuan Damian. Akan saya pastikan," jawab Risa, lagi-lagi dengan sikap membungkuk hormat.

​Damian mengangguk kaku, lalu menggeser tubuhnya sedikit. Ia masuk ke kantor CEO-nya, meninggalkan Risa dengan rasa beku yang selalu ia rasakan setiap pagi.

​Risa menarik napas tipis, yang nyaris tak terdengar. Ia lalu berbalik dan masuk ke ruangannya. Di belakang pintu, ia kembali menjadi Manajer Risa yang efisien.

​Di depan dunia, mereka adalah rekan kerja yang dingin. Di kamar terpisah, mereka adalah suami istri yang tak tersentuh. Sandiwara itu dimulai lagi.

Begitu pintu ruangannya tertutup sempurna, Risa sedikit memejamkan mata. Tarikan napasnya menjadi lebih dalam, mencoba mengisi paru-paru yang terasa kosong. Wajah pucatnya yang sedikit memudar di balik riasan tipis, ternyata tidak terlihat oleh Damian. Suaminya bahkan mungkin tidak menyadari perubahan itu, saking kakunya hubungan mereka.

​Risa sadar, keengganan Damian bukan hanya soal bisnis. Di rumah, mereka memang akan bicara, tetapi yang dibahas hanya berkisar pada bisnis dan pekerjaan. Mereka bahkan tidak punya waktu untuk saling memberikan perhatian, atau sekadar menanyakan kabar.

​Bukan karena tidak ada waktu, tetapi Damian terlalu sibuk memikirkan bagaimana menjalankan perusahaan, sementara Risa selalu dituntut oleh Damian untuk serba bisa sebuah tuntutan tak terucapkan yang berasal dari tuduhan gila harta dan keraguan atas kemampuannya.

Damian ingin melihat Risa bekerja keras, seolah hanya dengan membuktikan diri di kantor, Risa bisa sedikit menebus dosanya (yang hanya ada dalam pikiran Damian).

​Sebenarnya, beban Risa sangatlah berat. Peran balas budi yang ia pikul membuat Risa terkadang mengabaikan segalanya, termasuk kesehatannya yang sedikit menurun akhir-akhir ini. Rasa sakit di bagian perutnya sering datang menusuk, dan ia sering merasa kelelahan yang tak tertahankan, namun ia selalu menutupinya.

​Risa hanya bisa memegang erat prinsipnya: ia akan menjalankan perannya sebagai istri yang kompeten, menepati janji pada mendiang Kakek Wijaya, dan menunggu.

​Menunggu hingga Gunung Es itu mencair. Atau hingga ia sendiri yang habis terkikis kedinginan.

​Lia mengetuk pintu. "Manager Risa, tim sudah siap. Ruang rapat?"

​Risa seketika membuka mata. Wajahnya kembali mengenakan topeng profesionalisme. "Ya, Lia. Kita mulai sekarang."

Ia harus mendapatkan tender itu. Bukan demi kekayaan, tapi demi janji dan demi membuktikan bahwa ia tidak serendah tuduhan suaminya.

Sejauh meja kerja

Lia mendampingi Risa ke ruang rapat kecil yang terhubung langsung dengan ruangan Manajer Risa. Di sana, Candra dan dua anggota tim Pengembangan Bisnis sudah duduk tegang mengelilingi meja, dengan tumpukan berkas dan slide presentasi menyala di layar proyektor.

​Risa masuk, dan semua yang ada di ruangan itu serentak berdiri memberikan salam. Mau bagaimana pun, Risa memang selalu dihargai di kantornya. Ia bahkan menjadi idola dari beberapa divisi yang mengagumi kepintaran dan kecerdikan Risa dalam hal proyek yang dia kerjakan.

​Sebuah pengakuan dan kehormatan yang terasa tidak berguna di mata Damian, suaminya, yang selalu memandang Risa sebelah mata.

​Risa menganggukkan kepala singkat, lalu dia duduk di kepala meja. Dalam sekejap, topeng profesionalnya yang sempurna kembali terpasang, mengubur segala sisa kelelahan dan rasa sakit.

​Namun, banyak orang yang menyadari wajah Manajer mereka saat ini kelihatan pucat dari biasanya. Setelah Risa duduk, semuanya langsung duduk, dan suasana kembali tegang. Dua pasangan suami istri ini memang mempunyai aura dingin yang cukup kuat dan juga tinggi. Bahkan, semua yang ada di ruangan ini juga terlihat tegang; mereka akui tidak pernah melihat sisi lunak dari manajernya ini.

​"Baik, kita mulai," ujar Risa, suaranya tegas tanpa cela. Ia langsung ke inti, tidak membuang waktu. "Proyek Gamma adalah tender kunci triwulan ini. Kita tidak boleh gagal. Candra, tunjukkan revisi akhir yang diminta Tuan Hartono."

​Candra, yang tampak sedikit gentar, segera mengambil kendali. "Revisi Tuan Hartono berkaitan dengan skema investasi jangka menengah, Manajer Risa. Kami sudah melakukan penyesuaian untuk meminimalisir risiko 0,5% lebih lanjut, seperti yang beliau minta."

Risa menyimak, matanya yang tajam menelusuri setiap angka di layar besar yang ada di depan. Baginya, angka dan strategi bisnis adalah medan perang di mana ia bisa membuktikan nilainya, dan yang terpenting, membayar hutang budinya.

​Balas budi pada Kakek Wijaya. Janji itu selalu menjadi penopangnya, bahkan ketika tubuhnya sendiri mulai menolak.

​Ia tahu, jika tender ini berhasil dan hampir semua proyek yang ditanganinya selalu berhasil Damian akan menggunakannya sebagai alasan untuk menuntut lebih. Damian akan melihat keberhasilan ini bukan sebagai bukti dedikasi Risa, melainkan sebagai bukti bahwa Risa "cukup cerdik" untuk melipatgandakan harta yang diincarnya.

​Ini adalah ironi yang memuakkan: semakin ia membuktikan diri, semakin kuat suaminya percaya pada kesalahpahaman itu.

​Risa tiba-tiba merasakan denyutan tajam di perutnya. Rasa sakit yang beberapa hari ini semakin sering datang. Risa memejamkan mata sebentar berharap rasa itu segera hilang. Ia dengan cepat menyesap air putih di depannya. Tangannya yang memegang gelas sedikit gemetar, tapi ia berhasil menyembunyikannya dari tatapan timnya yang fokus ke layar.

​"Skema risiko sudah baik," potong Risa, menarik perhatian tim kembali. "Tapi tambahkan klausul fleksibilitas aset likuid di poin delapan. Saya ingin kita siap jika ada perubahan nilai pasar yang mendadak."

​Candra segera mencatat. Semua tim tahu, insting bisnis Manajer Risa nyaris tanpa cela. Mereka menghormatinya. Ia adalah pahlawan tanpa tanda jasa bagi perusahaan yang dipimpin oleh suaminya sendiri.

​Risa sadar, ia harus berhasil di sini. Bukan hanya karena harga dirinya, tapi karena jika Wijaya Group terpuruk, semua yang diperjuangkan Kakeknya akan hilang. Ini adalah wasiat tak tertulis yang mengikatnya selama lima tahun terakhir.

​Sambil memberikan instruksi terakhir kepada tim, mata Risa tertuju pada dinding ruang rapat. Dinding itu adalah batas, dan di baliknya, hanya beberapa meter jauhnya, Damian sedang duduk di singgasananya, menghitung untung rugi, dan mungkin, merenungkan betapa ia membenci pernikahan ini.

Risa menyelesaikan rapat dengan dingin dan efisien. Ia berjanji akan menyerahkan berkas revisi akhir pada Lia sebelum jam makan siang.

​Rapat akhirnya selesai. "Kalian keluar duluan saja!" ucap Risa dingin.

​Mereka sebenarnya menyadari keadaan Risa yang terlihat kurang baik, akan tetapi mereka tentunya tidak berani menegur. Lia yang notabene adalah asisten Risa saja tidak ada keberanian menanyakan hal yang bersifat pribadi. Mereka tahu, Manajer Risa adalah profesional sejati yang tidak suka dicampuri urusan pribadinya.

​"Baik, Manager Risa!" jawab semua tim kompak, lalu keluar dari ruang meeting karena Risa hanya diam dan saat ini dia sedang menahan sakit.

​Setelah merasa sedikit baikan, Risa kembali ke ruang kerjanya. Ia langsung menyandarkan punggung ke kursi, merasakan kelelahan yang luar biasa, bukan hanya dari pekerjaan, tapi dari sandiwara lima tahun itu.

​"Hah..." Ucap Risa dengan napas lelah. Ia mengeluarkan dua butir obat penghilang nyeri dari saku jasnya dan menelannya tanpa air.

​Glek.

​"Hanya sedikit lagi," bisiknya pada dirinya sendiri, suaranya nyaris hilang. "Aku harus bertahan untuk kakek."

​Risa tidak yakin akan bertahan lama atau tidak. Risa menyadari jika dirinya selama lima tahun ini juga sudah merasakan cinta yang hampir merekah untuk Damian. Akan tetapi, Risa terkadang merasakan cinta itu mati saat Damian mengatakan hal-hal yang cukup tidak enak didengar, atau saat melihat mata dinginnya yang penuh tuduhan. Cinta itu ibarat bunga yang terus-menerus disiram air es.

Damian berjalan masuk ke kantor pribadinya setelah interaksi dinginnya dengan Manager Risa di koridor. Kantornya luas, didominasi warna monokrom, dan dilapisi dinding kaca tebal yang menghadap ke pemandangan kota Jakarta yang sesak. Itu adalah ruang yang sempurna untuk seorang pria yang menyukai keteraturan, kendali, dan kesendirian.

​Ia melemparkan dirinya ke kursi CEO chair yang mahal. Alih-alih langsung fokus pada laporan yang dibawakan Reno, pikirannya justru kembali pada sapaan formal Risa tadi.

​"Selamat pagi, Tuan Damian."

​Kata-kata itu, diucapkan dengan nada datar dan hormat, selalu terasa seperti batu dingin yang dilemparkan ke dirinya. Itu adalah pengingat konstan bahwa Risa memainkan peran ini dengan sempurna: peran sebagai karyawan yang ambisius, yang secara kebetulan menikahinya demi mendapatkan akses ke tahta perusahaan.

​"Tuan Damian," suara Reno, asistennya, memecah keheningan. "Laporan triwulan dari Manajer Risa akan masuk sebelum makan siang. Saya pastikan itu."

​"Aku tidak meragukannya," potong Damian dingin. "Dia selalu efisien dalam hal yang menguntungkan dirinya."

​Reno hanya menunduk, tidak berani berkomentar. Semua orang tahu hubungan dingin antara CEO dan Manajer Pengembangan Bisnis, namun tidak ada yang tahu bahwa mereka adalah suami istri.

​Damian mengambil tablet di mejanya, bukan untuk bekerja, tapi untuk melihat berita keuangan. Namun, matanya kembali jatuh pada citra Risa.

​Lima tahun. Lima tahun ia mempertahankan benteng kemarahan dan kesalahpahaman ini. Ia masih ingat hari di mana Kakeknya, yang sangat ia hormati, mengancam akan mencabut seluruh warisan jika ia tidak menikahi gadis panti asuhan yang telah dibiayai pendidikannya itu.

​Dia dijodohkan denganmu agar dia bisa hidup enak, Damian. Dia hanya mengincar Wijaya Group.

Tuduhan itu berasal dari kesalahpahaman yang berakar pada keserakahan kerabatnya, namun Damian menerimanya sebagai kebenaran mutlak. Bagaimana mungkin gadis dari panti asuhan itu menolak pernikahan dengan seorang CEO kaya jika bukan karena harta?

​Sikap profesional Risa di kantor justru semakin memperkuat kecurigaan Damian.

Keberhasilan Risa memenangkan tender, kemampuannya dalam negosiasi, dan keahliannya membaca pasar semua itu bagi Damian adalah bukti dari kecerdasan licik Risa untuk memuluskan jalannya menuju kekuasaan.

​Ia tidak pernah melihatnya sebagai dedikasi. Ia melihatnya sebagai upaya penjarahan yang cerdas.

​Damian menghela napas kasar. Ia meraih cangkir kopinya, isinya sudah mendingin, sama seperti perasaannya. Ia tidak peduli Risa bekerja keras; ia hanya peduli bahwa Risa tidak boleh mendapatkan kepuasan dari peran yang diincarnya. Inilah mengapa ia selalu menuntut dan memperlakukannya seolah Risa hanyalah pion yang bisa ia ganti kapan saja.

​Ia harus membuat Risa menyadari bahwa dia hanya pajangan yang dibeli kakeknya, tidak lebih.

​"Reno," panggil Damian, matanya kembali tajam dan fokus. "Jadwalkan rapat strategis. Aku ingin membahas Proyek Gamma hari ini. Aku akan memeriksa semua laporan Manajer Risa secara pribadi. Pastikan tidak ada celah."

​Perintah itu adalah janji tak terucapkan: Damian akan mencari kekurangan Risa. Bukan karena dia khawatir perusahaan akan rugi, tapi karena dia ingin mencari alasan untuk menunjukkan bahwa Risa tidak sempurna, dan dengan demikian, tidak layak berada di sisinya.

​Ia tidak sadar, bahwa di balik dinding tipis yang memisahkan mereka, Risa sedang menelan obat pereda nyeri demi menjaga perusahaan yang begitu ia benci untuk dipertahankan.

Pukulan Ganda

Pukul dua siang, lantai ke-30 terasa lebih dingin dari biasanya. Manager Risa memasuki ruang rapat utama. Ia sudah menyerahkan berkas revisi Proyek Gamma yang diminta Damian, tetapi ia tahu dipanggilnya rapat strategis mendadak ini pasti bukan sekadar formalitas. Itu adalah ujian.

​Di meja panjang, Damian sudah duduk di posisi kepala. Di sisinya ada Reno, dan di seberangnya ada beberapa manajer senior dari divisi Keuangan dan Operasional, termasuk Risa.

​Tatapan Risa lurus, fokus, dan tanpa emosi. Wajahnya yang sedikit pucat disembunyikan di balik postur tubuh yang sempurna.

Bahkan tadi Risa belum sempat makan siang karena dia lebih memilih waktu makan siangnya digunakan untuk sekedar memejamkan mata karena tubuhnya bener-bener tidak bisa di ajak kompromi

Akan tetapi di ruangan ini seperti biasa Risa harus tetap terlihat sehat karena dia takut jika Damian bilang jika Risa sedang cari perhatian

​Rapat dimulai. Damian langsung menunjuk slide Proyek Gamma yang telah Risa susun.

​"Laporan Manager Risa ini menunjukkan potensi keuntungan yang tinggi. Tapi, seperti biasa, potensi risiko juga sama tingginya," ujar Damian, suaranya menguasai ruangan.

​Ia menggunakan nada yang tidak memuji, melainkan skeptis seolah ia sedang membahas laporan seorang mahasiswa, bukan manajer andalan perusahaan.

​"Manager Risa," lanjut Damian, sorot matanya yang tajam tertuju langsung pada Risa.

 "Dalam skema investasi jangka menengah ini, Anda hanya meminimalisir risiko 0,5% dari potensi kerugian terburuk. Menurut saya, angka itu terlalu optimis. Atau apakah karena Anda sudah terbiasa hidup dengan risiko besar, sehingga angka ini terasa aman bagi Anda?"

​Pertanyaan itu menusuk dua kali lipat. Secara profesional, itu meragukan keahliannya. Secara personal, itu adalah sindiran brutal tentang masa lalu Risa yang tinggal di panti asuhan, yang bagi Damian, adalah "risiko besar" yang selalu dihindarinya.

Semua manajer lain terdiam, merasakan ketegangan yang merayap. Mereka tahu bahwa komentar Damian tidak adil, tetapi tak ada yang berani membantah CEO.

​Risa menanggapi dengan tenang, tanpa membiarkan emosinya terlihat. Bukan hanya soal emosi tapi kepala pusing Risa saat ini jujur saja sedikit menganggu nya.

​"Tuan Damian, skema risiko telah didasarkan pada perhitungan data pasar lima tahun terakhir," jawab Risa, suaranya tetap profesional. "Tambahan 0,5% yang diminta Tuan Hartono sudah kami penuhi. Jika risiko harus dikurangi lebih dari itu, kita harus mengorbankan potensi keuntungan 15% yang sudah kita targetkan. Saya tidak melihat adanya manfaat untuk mengorbankan keuntungan perusahaan hanya demi ketenangan pribadi."

​Risa menekan kata "ketenangan pribadi", mengembalikannya pada Damian. Risa tahu, Damian ingin dia mencari alasan untuk gagal, tetapi Risa tidak akan memberikannya.

​"Ketenangan pribadi, atau kepastian aset?" balas Damian tajam. "Saya hanya ingin memastikan bahwa perusahaan tidak akan bangkrut karena rencana agresif yang didorong oleh ambisi seseorang. Anda harus ingat, Manager Risa, Wijaya Group dibangun di atas prinsip kehati-hatian, bukan keberanian yang membabi buta."

​Keberanian yang membabi buta... Risa tahu Damian tidak hanya membahas strategi bisnis. Dia membahas keputusan Kakeknya untuk menikahkannya, dan ambisi yang Damian yakini Risa miliki.

Risa membiarkan rasa sakit di perutnya membakar sedikit, serta kepala yang berdenyut menggunakannya sebagai bahan bakar untuk mempertahankan diri.

​"Tuan Damian, saya menghargai prinsip kehati-hatian perusahaan. Itulah sebabnya saya menambahkan klausul fleksibilitas aset likuid di Poin Delapan," Risa menjelaskan dengan fasih. "Klausul itu menjamin jika terjadi penurunan nilai pasar, kita bisa mengamankan 40% dari investasi awal kita dalam waktu 72 jam. Itu adalah jaring pengaman yang paling kokoh yang bisa kita berikan, tanpa mengurangi keuntungan yang bisa kita peroleh."

​Penjelasan Risa detail, logis, dan tidak terbantahkan. Bahkan Damian pun harus mengakui, secara profesional, Risa memang cemerlang.

​Damian menatap Risa lama. Matanya menyiratkan kekecewaan karena tidak menemukan celah fatal.

​"Baiklah, saya akan memeriksanya lebih lanjut malam ini," putus Damian, mengakhiri perdebatan itu dengan tiba-tiba. "Rapat selesai. Manager Risa, tunggu sebentar."

​Semua manajer bergegas meninggalkan ruangan, merasa lega. Risa tetap duduk, menunggu perintah suami yang adalah bosnya.

​Damian menunggu sampai ruangan benar-benar kosong. Ia bangkit, melipat kedua tangan di dada, dan berdiri di depan Risa.

​"Laporan itu harus sempurna, Risa," Damian berbisik, kini menggunakan nama depannya, meski suaranya tetap beku. "Jangan berpikir karena Anda bisa mendapatkan proyek itu, Anda bisa bersantai. Dan ingat, satu kesalahan, dan ini bukan hanya tentang posisi Anda. Ini tentang perjanjian kita."

Ancaman itu jelas: perceraian.

​Saat menatap Risa dari dekat, Damian sedikit tersentak. Ia melihat samar-samar ada kantung gelap di bawah mata Risa, dan wajah istrinya memang terlihat lebih pucat dari biasanya. Sekilas, rasa bersalah menusuknya, menyalahkan dirinya sendiri atas tekanan kerja yang baru saja ia berikan.

​Namun, rasa bersalah itu hilang seketika, terhapus oleh ingatan yang lebih pahit—ingatan tentang mantan kekasihnya, wanita yang seharusnya ia nikahi jika saja Kakeknya tidak memaksanya menikahi Risa.

​Wanita ini hanya pura-pura lelah. Dia selalu berhasil mendapatkan apa yang dia mau.

​"Saya mengerti, Tuan Damian. Perjanjian itu adalah hal terakhir yang saya langgar," jawab Risa, anggukan pelannya disertai rasa lelah luar biasa membebani bahunya.

​Damian tidak puas hanya dengan ancaman perceraian. Ia ingin memastikan Risa merasakan tekanan total. Ia ingin Risa menyerah, sehingga ia bisa terbebas tanpa harus melanggar wasiat kakeknya sendiri.

​"Bagus kalau Anda mengingat perjanjian itu," Damian melangkah mendekat, suaranya merendah menjadi bisikan tajam yang hanya bisa didengar Risa. "Dan karena Anda begitu kompeten, saya punya tugas tambahan."

Risa mendongak. Di matanya tidak ada ketakutan, hanya kelelahan yang disamarkan oleh tekad.

​"Saya akan menyerahkan negosiasi tahap kedua Proyek Gamma sepenuhnya kepada Anda. Ini melibatkan pertemuan pribadi dengan perwakilan klien di luar jam kantor. Anda harus memastikan tidak ada hambatan sama sekali," perintah Damian, memberikan penekanan khusus pada kata 'hambatan'.

​Risa merasakan jantungnya berdebar. Pertemuan di luar jam kantor. Ini bisa menjadi jebakan lain. "Bukankah biasanya negosiasi sebesar ini ditangani oleh tim Hukum dan Operasional, Tuan Damian?"

​"Tidak kali ini. Saya ingin tangan Anda sendiri yang mengurusnya," balas Damian, senyum sinis tersungging di bibirnya. "Anggap ini sebagai uji coba loyalitas Anda yang sesungguhnya kepada perusahaan. Atau Anda khawatir... takut tidak bisa melakukannya karena Anda hanya wanita dari panti asuhan yang beruntung?"

​Pukulan telak itu berhasil menghantam Risa. Sindiran tentang panti asuhan adalah senjata favorit Damian untuk melukai dan merendahkannya. Pusing di kepalanya semakin menjadi.

​"Saya akan melakukannya, Tuan Damian," balas Risa, menahan getaran suaranya. Ia bangkit berdiri, menjaga jarak aman antara mereka.

​Damian menyipitkan mata, puas melihat reaksi yang samar itu. "Bagus. Laporkan semua hasilnya hanya kepada saya. Dan jangan berharap saya akan menjemput Anda jika pertemuan itu selesai larut malam. Ingat, kita adalah rekan kerja di kantor, dan orang asing yang berbagi alamat di rumah."

​Tanpa menunggu balasan, Damian berbalik dan keluar dari ruang rapat, meninggalkan Risa dalam keheningan yang menyesakkan, di tengah dinginnya AC dan bayang-bayang ancaman perceraian.

​Risa hanya bisa bersandar pada meja. Ia tahu, Damian baru saja melemparkan sebuah bom waktu di pangkuannya. Tugas negosiasi di luar jam kantor itu bukan hanya ujian bisnis—itu adalah ujian fisik dan emosional yang mungkin tidak bisa ia tangani dalam kondisi kesehatannya saat ini.

Konflik memanas. Risa kini memiliki tugas tambahan yang berat dan ancaman perceraian yang nyata, diperparah oleh sindiran pribadinya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!