NovelToon NovelToon

Duda Dan Anak Pungutnya

BAB 1

Hujan turun deras malam itu. Seorang pria berjubah hitam berjalan di bawah payung, setengah tubuhnya tetap basah karena angin membawa butiran hujan ke segala arah. Ia terus melangkah menuju rumahnya.

Sesampainya di depan rumah, pria itu—yang bernama Anton—melihat sebuah kotak kecil di depan pintu. Ia berhenti, terkejut.

“Loh… bayi siapa ini?” gumamnya.

Anton menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan tak ada siapa pun di sekitar. Ia kemudian menunduk, membuka sedikit kotak itu, dan mendapati seorang bayi mungil terbaring di dalamnya. Tanpa berpikir panjang, Anton mengangkat kotak itu dan membawanya masuk ke rumah.

Namun, begitu di dalam rumah, kedua orang tua Anton langsung menentang keras keputusannya membawa bayi itu.

“Anton, kamu tidak boleh membawa anak itu masuk ke rumah!” seru ayahnya.

Anton menatap mereka penuh harap. “Papa, Mama… aku tahu ini gila, tapi aku ingin merawatnya. Aku akan membesarkan bayi ini sampai dewasa.”

Namun, kedua orangtuanya tetap tak mau mendengarkan. Mereka justru menuduh Anton telah berbuat hal memalukan.

“Papa sudah membesarkan kamu dengan baik, Anton,” kata sang ayah dengan nada marah. “Tapi ternyata kamu menghamili wanita lain dan tidak bertanggung jawab! Mulai hari ini, kamu keluar dari rumah ini. Bawa semua barangmu, tapi jangan sentuh uang Papa. Kamu sudah bukan anak Papa lagi!”

Anton terdiam. Kata-kata itu menusuk hatinya. Ia ingin menjelaskan bahwa bayi itu bukan anaknya, tapi ia hanya ingin menolong. Namun, tak ada gunanya—orang tuanya sudah menutup telinga.

Dengan perasaan hancur, Anton keluar dari rumah. Ia berjalan tanpa arah, kebingungan hendak ke mana membawa bayi kecil itu. Ia mencoba mendatangi rumah sahabatnya, namun sahabatnya menolak membuka pintu.

Anton benar-benar bingung. Bayi ini masih butuh susu, butuh suntikan kesehatan, butuh perhatian. Ia belum memberi nama untuk bayi itu. Setelah berpikir lama, Anton akhirnya berkata pelan,

“Carol… ya, kamu akan jadi Carol. Nama itu cocok untukmu.”

Anton menatap bayi mungil itu dengan lembut. Ia sadar, dirinya tidak punya apa-apa. Tapi entah mengapa, ada perasaan kuat di dalam dirinya yang membuatnya tak bisa meninggalkan bayi itu. Seolah ada ikatan batin antara mereka.

Ia berpikir, kenapa ada orang tua yang tega membuang bayi sesempurna ini? Bayi yang tak bersalah, yang bahkan belum bisa membuka matanya dengan sempurna.

Apa hati ibunya benar-benar sekeras itu? Tak ada sedikit pun rasa bersalah setelah mengandung selama sembilan bulan?

Anton berjanji pada dirinya sendiri—jika suatu hari ia menjadi orang tua, ia tak akan pernah membiarkan anaknya merasa tak diinginkan.

Tak lama kemudian, Anton menelepon teman gamenya yang tinggal di luar negeri. Temannya bernama Gerald. Mendengar keadaan Anton, Gerald menawarkan tumpangan dan bantuan. Tanpa berpikir panjang, Anton membawa Carol ke luar negeri.

Gerald menjemput Anton di bandara.

“Bro, ini siapa namanya?” tanya Gerald sambil menunjuk bayi kecil di pelukan Anton.

“Carol,” jawab Anton singkat.

“Cantik,” kata Gerald tersenyum. “Tapi… maaf bro, lu udah nikah?”

Anton menggeleng cepat, khawatir Gerald akan salah paham. “Bukan begitu. Dia anak yang dibuang di depan rumah gue. Gue nggak tega, jadi gue rawat dia.”

Gerald menghela napas. “Lu nggak takut orangtuanya nyari nanti?”

Anton menjawab tegas, “Nggak. Karena sekarang dia anak gue. Gue yang akan jaga dia.”

Gerald hanya bisa diam. Akhirnya ia berkata, “Ya udah bro, semangat ya. Jaga Carol baik-baik. Gue yakin dia bakal jadi anak yang hebat. Gue dukung lu selalu.”

Anton merasa bersyukur. Walau hanya teman dari dunia game, Gerald menunjukkan ketulusan luar biasa.

Waktu berlalu. Dengan bantuan Gerald, usaha Anton mulai berkembang. Setelah beberapa tahun, mereka berpisah usaha. Gerald bahkan membelikan gedung untuk Anton agar bisa mandiri. Anton terharu dan berterima kasih atas kepercayaan itu.

Namun, di balik kesuksesannya, Anton tetap merasa rindu pada mamanya. Diam-diam ia masih mengirim uang ke rekening orang tuanya.

Carol tumbuh besar. Karena pekerjaan Anton yang padat, ia jarang punya waktu bersama anaknya. Tapi ia selalu berusaha menyempatkan diri. Ia tahu Carol tumbuh tanpa sosok ibu, maka ia berusaha menjadi dua orang tua sekaligus.

Namun, seiring bertambahnya usia, Carol mulai merasa hampa. Ia sering mendengar bisikan orang-orang bahwa dirinya anak buangan. Itu membuatnya marah dan sedih.

“Kenapa Mama tega membuang aku?” ucapnya suatu malam dengan air mata.

Anton memeluk Carol erat. “Kamu nggak perlu tahu kenapa, Nak. Yang penting, Papa selalu di sini buat kamu. Kamu anak Papa, dan Papa sayang banget sama kamu.”

Carol pun tumbuh menjadi gadis cantik berusia 17 tahun. Banyak pria menyukainya, tapi Anton selalu canggung menghadapinya. Ia takut, suatu hari nanti, Carol tahu bahwa ia bukan ayah kandungnya.

Sore itu, Carol mengetuk pintu ruang kerja ayahnya.

“Masuk,” kata Anton.

Carol masuk dengan gaun indah yang pernah dibelikan Anton. Pria itu terdiam menatapnya—gadis kecilnya kini telah dewasa.

“Papa,” kata Carol pelan, “mau dansa sama Carol?”

Tanpa berpikir panjang, Anton bangkit dan mengulurkan tangan. Mereka berdansa perlahan di tengah ruangan. Anton menatap wajah Carol yang cantik dan anggun, lalu tersenyum penuh rasa haru.

Entah kenapa, saat itu Anton merasa terhanyut oleh keindahan yang tidak hanya lahir dari wajah Carol, tapi dari cinta dan perjuangan yang telah mereka lalui bersama.

Seketika Anton sadar bahwa Carol kini sudah dewasa. Sudah saatnya Carol mencari pria yang layak untuk dirinya.

Anton teringat pada janjinya dulu — ketika Carol berumur tujuh belas tahun, ia akan memberikan kebebasan penuh padanya. Ia tak akan lagi mengatur hidup Carol. Walau terasa berat, Anton tahu waktunya telah tiba.

Namun di sisi lain, ia juga tahu bahwa sebelum melepaskan Carol, ada satu hal penting yang harus ia katakan: kebenaran tentang siapa dirinya.

Anton ingin menjelaskan semuanya, agar Carol tidak semakin larut dalam kebencian yang ia simpan selama ini. Tapi entah mengapa, kata-kata itu sulit sekali keluar dari mulutnya. Ia takut kehilangan Carol, takut wajah lembut itu berubah dingin saat tahu kebenarannya.

“Carol,” ucap Anton pelan, berusaha menenangkan hatinya. “Sampai sini saja ya, Papa ngantuk dan mau tidur. Maaf ya, sayang.”

Carol tersenyum lembut. Ia lalu mendekat dan mengecup pipi papanya. Anton tertegun. Ia tak menyangka Carol akan melakukan hal itu.

Setelah Carol keluar dari ruang kerja, Anton duduk terdiam. Jantungnya berdegup kencang. Ada perasaan aneh yang sulit ia jelaskan — sesuatu yang tidak seharusnya ia rasakan. Ia menunduk, menatap lantai kosong, dan bertanya dalam hati, ada apa dengan aku sebenarnya?

BAB 2

Keesokan paginya, di meja makan, Papa menghindari kontak mata dengan Carol.

Carol bingung, ada apa dengan papanya. Ia mencoba untuk mendekat kepada papanya.

Carol pun pindah tempat duduk, tapi papanya tetap fokus pada handphone sambil makan.

Carol merasa marah pada papanya.

“Pa, Papa kenapa sih? Papa sudah tidak sayang sama Carol, ya?”

“Kamu bicara apa sih? Ya, Papa sayanglah sama kamu. Kenapa juga Papa harus tidak sayang? Kamu kan sayangnya Papa.”

“Terus, kalau aku sayangnya Papa, kenapa Papa menghindari kontak mata sama aku?”

“Itu perasaan kamu saja, Sayang. Papa pergi ke kantor dulu, ya. Nanti kamu pergi sama sopir kamu.”

Carol merasa ada yang aneh dengan papanya. Ia tidak ikut makan dan langsung naik ke mobil Papa.

Papa bingung, ada apa dengan Carol.

“Carol, kamu kenapa sih, Sayang? Papa ada rapat hari ini, rapat penting. Papa tidak bisa antar kamu ke sekolah, maaf ya.”

Carol menangis, karena ia berpikir Papa sudah tidak sayang lagi padanya. Anton bingung harus bagaimana.

Sebenarnya dirinya juga merasa aneh terhadap dirinya sendiri.

Anton hanya takut akan menyakiti Carol, tapi Carol menganggap papanya — alias Anton — ingin menjauh darinya.

“Papa sudah tidak sayang Carol, ya?”

“Sayang, cuma Papa lagi ada rapat, Sayang.”

“Bohong! Pasti bohong! Tidak mungkin kalau Papa sayang Carol, Papa tidak mau menatap mata Carol. Biasanya Papa selalu menatap mata Carol. Papa kenapa sih? Please, Pa, cerita. Carol tidak tahu Papa kenapa.”

Carol merasa kesal pada papanya, lalu keluar dari mobil.

Anton ingin menjelaskan pada Carol, tapi karena Anton terus menunda, Carol jadi salah paham.

Setelah itu, Carol naik mobilnya sendiri sambil menangis, dengan rasa sakit hati dan kecewa pada papanya sendiri.

Anton langsung bilang ke pengawal Carol untuk memberi kue manis atau makanan pedas, karena Carol hanya suka dua hal itu kalau sedang sedih.

Anton juga meminta pengawal itu untuk mengawal Carol 24 jam tanpa ketahuan oleh Carol.

Namun setelah mencoba mengawal Carol, ternyata Carol tidak mau makan.

Anton yang mendengar itu merasa khawatir. Pengawal mencoba memberi makan lewat guru Carol, tapi Carol tetap tidak peduli.

Ia tidak mau makan kalau bukan papanya yang menyuapi.

Tak lama kemudian, pengawal memberi kabar kalau Carol pingsan di sekolah.

Anton yang sedang dalam rapat langsung pergi tanpa berkata apa-apa. Ia tidak peduli dengan rapat itu — yang penting adalah anaknya.

Gerald yang melihat itu hanya menggeleng kepala, tidak menyangka kalau Anton akan melakukan hal seperti itu di tengah rapat.

Sikap tidak profesional Anton membuat para klien jadi malas bekerja sama dengannya. Entah kenapa, Gerald juga merasakan hal yang sama.

Anton tiba di rumah sakit, tepat ketika Carol sedang dirawat. Ia menangis dengan air mata yang bergelimang, merasa kecewa karena tidak pernah punya waktu untuk Carol.

Andaikan waktu bisa diputar kembali, Anton berharap Carol bukan diambil olehnya, tapi oleh keluarga yang lebih baik dari dirinya.

Tangan Carol bergerak saat Anton mengusap kepalanya.

Tidak lama kemudian, Carol mencoba membuka matanya perlahan.

Anton yang melihat itu sangat senang dan ingin segera memanggil dokter, tapi tangan Anton ditahan oleh Carol.

“Kenapa, Sayang? Papa mau panggil dokter buat cek keadaan kamu.”

“Aku mau Papa.”

Anton yang mendengar itu langsung lemas. Ia tidak bisa berkata apa-apa.

Selama ini yang membuat Carol sedih bukanlah keadaan, tapi dirinya sendiri.

Anton bingung, bagaimana agar bisa lepas dari Carol, sementara dirinya sudah berjanji akan melepaskan Carol bila tidak menemukan mama yang tepat untuk Carol.

Anton harus menepati janji itu, agar Carol tidak semakin membencinya.

Setelah itu, Anton melepaskan tangan Carol dengan lembut, lalu memanggil dokter.

Begitu dokter datang dan memeriksa Carol, dokter menatap Anton dengan pandangan aneh.

Anton bingung, ada apa.

Lalu dokter memanggil Anton ke ruangannya.

“Pak Anton.”

“Ya, ada apa, Dok?”

Hati Anton berdegup kencang. Ia merasa seperti akan dimarahi dokter.

Tak lama, ia mencoba bersikap tegas.

“Bapak benar-benar ayah dari pasien itu?”

“Ya, benar. Ada apa memangnya?”

“Kenapa wajah Bapak dan anak Bapak berbeda, ya?”

Anton terdiam, tidak mengerti maksud dokter. Ia kira dokter akan bicara hal wajar, tapi ternyata berbeda.

“Maksud dokter apa sih? Saya jadi tidak paham. Langsung to the point saja, Dok, biar saya mengerti apa yang dokter maksud.”

“Anak Bapak tidak sakit apa-apa. Hanya saja, dia kurang kasih sayang dari Bapak. Memangnya Bapak tidak sayang sama anak Bapak? Anak Bapak cantik, lho. Kalau tidak mau anaknya, kasih saya saja.”

Anton yang mendengar itu merasa dokter itu aneh. Ia langsung keluar dari ruangan dan kembali ke kamar Carol.

“Sayang, bagaimana keadaan kamu? Sudah membaik? Ada yang sakit atau pusing?”

Carol tersenyum, merasa senang karena papanya masih menemaninya.

Ia pikir papanya akan meninggalkannya.

Carol langsung memeluk papanya erat.

Anton kembali merasakan hal yang aneh dalam dirinya.

Ia bingung, kenapa setiap kali didekap oleh Carol, tubuhnya seperti merasakan getaran listrik yang tidak bisa dijelaskan.

“Sayang, kamu kan masih perlu pemulihan. Kamu istirahat dulu, ya. Papa mau bayar rumah sakit kamu sebentar aja, kok. Nanti Papa balik lagi.”

“Baik, Pa.”

Anton keluar dari ruangan Carol untuk mencari udara segar, tapi perasaannya malah makin aneh.

Ia lalu meminta pengawal untuk menjaga Carol.

Anton kembali ke kantor. Baru saja duduk, Gerald langsung menghampiri dan menonjoknya.

Anton yang bingung, langsung membalas tonjokan itu. Mereka berdua saling mencengkram baju.

“Kenapa sih, Bro?! Lu nggak bisa profesional banget! Ini rapat penting! Kenapa lu main pergi aja?! Harusnya lu bisa bedain dong!”

“Anak gue sakit, masa gue tinggal diam aja? Lu gila, ya? Kalau ada apa-apa sama anak gue gimana?! Emang lu bisa tanggung jawab?!”

“Bro, itu cuma anak pungut. Apa yang lu harapin dari anak pungut?”

Anton yang mendengar itu langsung naik pitam. Darahnya mendidih. Ia menonjok Gerald hingga wajah Gerald hampir lebam.

Anton tidak menyangka dirinya bisa melakukan hal seperti itu.

Akhirnya ia pergi meninggalkan kantor dan memutuskan untuk keluar negeri selama satu bulan.

Selama sebulan itu, Anton hanya tahu kabar Carol dari jauh, sementara Carol tidak tahu kabar papanya sama sekali.

Carol sempat mencari Om Gerald, tapi Gerald hanya diam.

Ia tidak bisa menjawab apa-apa, karena semua perkelahian itu bermula darinya.

“Maafin Om, Carol. Om nggak tahu kalau Papa kamu sampai menghilang begitu. Semua ini salah Om. Om minta maaf, ya.”

Carol merasa mungkin ini bukan salah Gerald. Mungkin Papanya memang sedang punya masalah yang tidak bisa ia ceritakan.

Akhirnya Carol memilih pulang ke rumah, daripada terus memikirkan Papanya yang entah di mana.

Tak lama kemudian, Carol mendapat telepon dari Papanya.

“Hai, Carol. Kamu di mana?”

“Papa ke mana? Kok Papa nggak ada kabar? Papa ada masalah apa, Pa? Papa nggak mau cerita sama aku? Ada apa, Pa?”

“Papa nggak apa-apa kok, lagi liburan aja. Papa butuh healing. Oh ya, uang jajan kamu kurang ya? Nanti Papa transfer, ya, Sayang.”

“Papa! Papa kenapa sih?! Yang aku butuh itu Papa, bukan uang! Emang menurut Papa aku cari Papa selalu karena uang, ya?!”

Anton terdiam mendengar perkataan Carol.

Apakah dirinya sudah menyakiti perasaan Carol? Tapi kalau tidak begini, Carol tidak akan bisa lepas dari dirinya.

Anton berharap Carol bisa benar-benar lepas darinya, agar ia tidak terus merasa terbebani.

Ia menutup telepon itu tanpa bertanya apa pun lagi.

Di sisi lain, Anton berpikir: apakah dirinya salah sudah membesarkan anak yang bukan anaknya sendiri, sampai dimusuhi oleh orang tuanya sendiri?

Anton juga belum menemukan wanita yang benar-benar bisa mencintai Carol seperti anak sendiri.

Lantas, ia harus bagaimana terhadap Carol?

Anton ingin terus bersama Carol, tapi jika ia tidak bisa menemukan “mama” yang tepat untuk Carol, maka sebagai orang tua, ia merasa sudah gagal.

BAB 3

Anton sendiri bingung harus bersikap seperti apa kepada Carol. Dirinya merasa aneh setiap kali melihat Carol.

Anton takut jika Carol tidak terbiasa dengan kehadirannya. Ia berjanji akan mencari wanita yang cocok untuk dirinya agar tetap bisa tinggal bersama Carol tanpa menimbulkan salah paham.

Carol sedih saat papanya melakukan hal itu. Ia tidak menyangka papanya akan mematikan telepon begitu saja tanpa berkata apa pun. Padahal Carol berharap papanya menjelaskan apa yang sebenarnya ingin dibicarakan, tapi ia tidak mendapat penjelasan apa pun.

Carol merasa lelah dan kecewa terhadap papanya. Mungkin kehilangan papanya seperti ini membuat Carol sadar bahwa dirinya sudah tidak diinginkan lagi oleh sang papa.

---

Satu bulan berlalu.

Papanya, Anton, akhirnya pulang ke rumah. Rumah terasa sepi. Ia menaruh barang-barangnya di kamar, lalu berdiri di depan kamar Carol. Anton berharap Carol membukakan pintu, tapi tidak ada jawaban. Karena itu, Anton langsung menerobos masuk ke kamar Carol.

Anton kaget melihat Carol sedang bermesraan dengan seorang pria di kamarnya. Ia langsung menarik pria itu dan menonjoknya. Carol menangis karena papanya memukul pria tersebut. Anton yang kehilangan kesabaran akhirnya meninggalkan mereka begitu saja.

Anton masuk ke kamarnya sendiri, tapi ia merasa tidak betah di rumah. Akhirnya, ia keluar untuk mencari udara segar.

Sementara itu, Carol bingung bagaimana harus menjelaskan semuanya agar papanya mengerti. Ia mendengar suara motor papanya menyala. Carol ingin mengejar, tapi papanya keburu pergi, masih dipenuhi amarah.

Carol berniat meminta maaf nanti saat papanya pulang.

Anton yang sedang motoran ke arena balap hanya ingin menghilangkan penatnya. Tak lama kemudian, handphone-nya berdering.

“Halo bro, kenapa?” tanya Anton.

“Anak lu nyariin lu. Lu di mana?” ujar Gerald.

“Gua udah pulang, oke? Makasih ya.”

“Ya bro, sama-sama. Gua minta maaf soal kejadian kemarin. Gua harap bisa bantu walau nggak banyak.”

Anton hanya diam. Ia tahu bukan salah Gerald, tapi salah dirinya sendiri yang tidak bisa memutuskan dengan benar.

Kejadian tadi membuat Anton sadar betapa dewasa Carol sekarang. Pasti Carol bisa menjaga dirinya sendiri tanpa pengawasan Anton.

Dirinya saja berani bertemu dengan laki-laki. Lantas, apa hak Anton untuk melarang Carol dekat dengan pria itu? Ia berpikir, dirinya hanya papa Carol, bukan pacarnya. Jadi reaksinya tadi terlalu berlebihan, dan mungkin malah membuat Carol takut.

Anton akhirnya pulang ke rumah. Carol menyambutnya dengan hangat, tapi Anton tidak memedulikannya sama sekali.

“Pa, ayo makan,” ujar Carol pelan.

Anton hanya diam dan pergi. Ia melangkah ke atas, tapi Carol menahan tangannya.

Anton menghempas tangan Carol tanpa berkata apa-apa.

“Pa, Carol minta maaf sama Papa. Kalau Carol ada salah, tolong maafin Carol,” ucapnya dengan suara bergetar.

Anton tetap diam, tidak peduli dengan ucapan itu. Baginya, semua ini hanya akan berlalu seiring waktu.

Tiba-tiba handphone Anton berbunyi. Carol yang melihat itu semakin yakin, papanya benar-benar membencinya karena membawa pria masuk ke kamar.

Padahal Carol sudah dewasa. Ia merasa tidak seharusnya papanya marah. Seharusnya papanya menjelaskan mana yang salah, bukan malah mengamuk.

---

Keesokan paginya, Anton pergi tanpa sarapan bersama Carol. Carol pun tahu kenapa papanya masih marah.

Anton menatap pengawal Carol dan memberi isyarat dengan matanya.

“Jagain dia. Kalau ada apa-apa, kasih tahu saya. Hari ini saya pulang malam karena ada rapat penting.”

“Baik, Pak Anton,” jawab sang pengawal.

Anton masuk ke mobil tanpa menoleh ke belakang. Meski lapar, sekretarisnya sudah menyiapkan roti dan kopi di dalam mobil.

Terkadang, terbesit di pikirannya tentang Carol. Apakah anak itu sudah makan atau belum? Kadang Anton merasa kasihan pada Carol. Ia berusaha menjadi papa yang baik, tapi rasanya sulit sekali.

Tak lama, pengawal Carol mengirim laporan. Anton membuka foto Carol yang sedang makan. Melihat itu, Anton tersenyum. Ia merasa tenang karena Carol sudah makan. Setidaknya, itu membuatnya sedikit lega.

---

Sesampainya di kantor, Gerald menghampirinya.

“Bro,” sapa Gerald.

Anton hanya diam sambil menghela napas.

“Bro, waktu lu hilang, anak lu nyariin lu ke gua,” ujar Gerald.

Anton terkejut. Ia langsung mencengkeram kerah baju Gerald dengan tatapan tajam.

“Lu bilang apa ke anak gua?”

“Tenang, bro. Gua nggak bilang aneh-aneh. Dia cuma nanya lu ke mana, nggak ada yang spesifik.”

Anton terdiam dan melepaskan pegangan tangannya. Gerald hanya menghela napas. Ia merasa kasihan melihat hubungan Anton dan Carol yang begitu renggang.

Anton merenung. Mungkin Carol melakukan itu karena kesepian atau bosan. Ia tidak seharusnya marah. Seharusnya, ia mencoba mengerti dan mendukung pilihan Carol.

Anton berencana untuk membeli makanan kesukaan Carol sepulang kerja nanti.

---

Jam delapan malam, Anton baru pulang. Ia tidak sadar waktu sudah larut. Sampai di rumah, Anton melihat Carol, tapi tidak berani menyapa. Ia sadar telah membuat hati Carol terluka.

“Pa, aku pergi ya, sama teman,” kata Carol.

“Ya.”

Saat Anton hendak pergi dari hadapan Carol, gadis itu menatapnya.

“Aku ke bar, Pa, sama teman.”

Anton berhenti. Ia berbalik dan menatap Carol dengan bingung.

“Teman yang mana ngajak ke bar?”

“Papa nggak kenal siapa dia, jadi percuma kalau aku kasih tahu,” jawab Carol dingin.

Anton ingin marah, ingin melarang, tapi ia berusaha menahan diri. Ia ingin mencoba membebaskan Carol, meski hatinya ragu.

Ia mengusap kepala Carol pelan. “Ya udah, hati-hati. Mau Papa antar?”

“Papa nggak marah aku ke bar?”

Anton tidak menjawab. Ia tahu, dirinya tidak punya hak untuk mengekang.

“Pa, jawab dong. Papa sayang aku nggak, sih? Masa aku ke bar aja Papa nggak marah? Aku salah apa sampai Papa tega hukum aku kayak gini?”

Anton terdiam. Ia sendiri bingung kenapa begitu sulit baginya untuk menegur Carol. Padahal dari kecil, dialah yang paling menjaga gadis itu. Sekarang, ia justru takut membuat Carol sakit hati.

“Kalau Papa suruh kamu jangan pergi, apa kamu nggak akan pergi?” tanyanya perlahan.

Carol diam. Anton tersenyum tipis, senyum yang terasa pahit.

“Ya udah, kamu pergi sama pengawal kamu, ya. Papa capek, besok mau kerja. Jangan pulang malam-malam.”

Carol tiba-tiba memeluk papanya dari belakang. Anton terkejut.

“Kamu ngapain sih, Carol? Lepasin Papa,” katanya.

“Aku nggak mau. Aku nggak mau Papa nggak sayang aku lagi. Aku ngelakuin ini biar Papa sayang, tapi kenapa Papa malah cuek?”

“Karena Papa tahu, Papa nggak pantas marahin kamu. Kamu udah gede. Masa iya mau dimarahin terus?”

“Gak apa-apa asal Papa yang marahin, bukan orang lain,” ucap Carol lirih.

Anton menatap Carol lama. “Oh ya, pria waktu itu siapa? Pacar kamu?”

“Bukan. Dia cuma teman. Kami waktu itu lagi main drama romantis. Tapi Papa pasti udah mikir yang aneh-aneh, ya? Aku beneran nggak ada apa-apa sama dia, Pa.”

Mendengar itu, Anton terdiam. Ia merasa tidak tega. Ingin memeluk Carol, tapi takut gadis itu salah paham. Ia hanya mengusap kepala Carol tanpa berkata apa pun, lalu pergi meninggalkannya.

Carol menatap kepergian papanya dengan kecewa. Ia berharap lebih dari sekadar usapan di kepala.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!