Sudah lewat tengah malam ketika jam di kamar menggetarkan kesunyian. Di sana, terdapat seorang wanita yang masih terdiam duduk di meja rias, mengenakan lingerie merah yang seolah berbisik tentang malam pengantin yang indah.
Lampu kamar yang redup dan dekorasi putih sejuk kontras kesunyian yang menggantung. Sesekali, matanya yang lelah menatap ke dalam cermin, mencari bayangan pengantin pria yang belum juga muncul.
Pernikahan mereka yang sederhana siang tadi kini tinggal kenangan dalam sekejap mata. Wanita berusia dua puluh tahun itu mencoba menguapkan gugup dengan menyesap aroma ruangan, namun hanya kesendirian yang membalas. Setiap detik yang berlalu semakin menambah bobot di kelopak matanya yang berat, tapi harapan masih bercahaya, mencoba menahan lelah dan kantuk, di tengah kesenyapan yang semakin memekakkan.
Sudah larut malam, dan matanya terasa panas serta berat karena berkali-kali ia menguap, gadis bernama Senja itu, masih duduk tegar di tepi tempat tidur. Cahaya lampu kamar yang redup semakin membuat ruangan terasa sepi dan melankolis. Jam dinding sudah menunjukkan pukul dua pagi, dan akhirnya, dengan hati yang berat, ia memutuskan untuk berbaring. Matanya perlahan terpejam, mencoba mencari kenyamanan di antara seprei yang wangi aroma melati dan Kasablanka, namun dalam hatinya, ada harapan yang terus bergumul. Sejenak matanya terbuka lagi, mencari sosok suami yang seharusnya ada di sampingnya, namun yang ada hanyalah guling putih yang dingin, tak berjawab dan tetap tak mampu mengusir kesunyian ruangan itu. Dengan harapan yang semakin menipis ia coba menutup matanya, berharap sang suami tidur di sampingnya.
Entah berapa dia terlelap, hingga cahaya matahari menyinari wajahnya dengan hangat. Seketika, matanya berkedip-kedip, berusaha menyesuaikan diri dengan terangnya sinar itu. Sambil menoleh ke samping, ia merasakan jantungnya berdegup lebih kencang. "Mas Saka , kemana ya? Mengapa dia tidak di sini?" gumamnya lirih, rasa cemas meresap ke dalam benaknya. Dengan kasar, ia mengusap wajahnya, mencoba menghilangkan kekacauan pikiran yang baru muncul. Selimut di sibaknya dengan cepat dan ia bergegas turun dari ranjang, didorong oleh keingintahuannya. Sinar matahari yang menembus gorden putih gading serta aroma bunga yang memenuhi ruangan semakin menyadarkannya.
Dengan langkah gontai, ia membuka pintu balkon, menghirup udara segar dan melakukan peregangan otot untuk beberapa saat. Namun, matanya terhenti pada sosok yang sudah dicarinya sejak malam tadi malam, ternyata sang pengantin pria sedang berenang di kolam.
“Itu Mas Saka?” gumamnya sambil mengucek mata seakan tak percaya.“Mas Saka tidur di mana ya semalam? Apa mungkin dia tidur dikamar, tapi aku tak menyadarinya?”
Ia tak ingin berpikir negatif, meskipun ia heran kenapa suaminya itu tak kembali ke kamar setelah resepsi pernikahan mereka. Maklum saja ia dan Saka terpaksa menikah karena satu insiden. Mungkin R
pria itu malu karena mereka memang baru beberapa kali bertemu dan langsung dinikahkan.
Ia tak mengetahui sifat suaminya, begitupun dengan sang suami yang tak mengetahui sifatnya, perjodohan yang dilakukan secara mendadak itu membuat keduanya terpaksa terikat pernikahan yang tak pernah di inginkan.
Senja masuk ke kamar mandi. Ia berusaha melupakan kejadian semalam. Setelah menyelesaikan ritual rutinnya dia berhias diri dengan ala kadarnya, berharap bisa menyambut sang suami. Namun,
setelah waktu menujukan pukul sembilan pagi, pria yang ia nantikan belum juga kembali, sementara perutnya juga terasa sangat lapar karena belum sarapan.
Senja kemudian keluar menuju lantai balkon melihat ke arah kolam renang untuk memastikan apakah suaminya masih ada di sana. Akan tetapi tak ada aktivitas apapun di sana. "Kemana perginya mas Saka," gumamnya. Matanya mengedarkan ke segara arah mencari keberadaan suaminya.
Ceklek....saat yang bersamaan terdengar pintu terbuka dan tampaklah pria yang sejak semalam ia cari itu. Dengan langkah cepat wanita itu menghampiri suaminya."Mas, kamu tidur di mana semalam?" tanyanya dengan lembut.
“Memangnya apa urusannya denganmu?!" jawab pria itu dengan ketus tanpa menoleh, sambil membereskan pakaiannya.
Bukan main kagetnya Senja mendengar ucapan pria yang baru semalam jadi suaminya itu.”Bukan urusan ku? Bagaimana kau bilang seperti itu, Mas?” tanyanya dengan kecewa. “Aku ini istrimu, Mas,” desisnya dengan suara parau yang bergetar.
Mendengar ucapan Senja, seketika pria itu membalikkan tubuh menatap wanita yang berdiri dengan jarak satu meter darinya itu. "Aku memang menikahimu! tapi bukan berarti kau bisa mengaturku. kau bereskan saja barangmu, karena kita akan pindah sekarang!” tegasnya lalu kembali membalikan tubuh untuk mengambil baju-bajunya.
“Pindah? lirih Senja kepalanya tergeleng lemah, seperti tak percaya. “Pindah kemana?” tanyanya.
Arsaka memandang tajam ke arah istrinya, urat di lehernya tampak menonjol tanda amarah yang terpendam. Bruk...
Senja mengerjap kaget saat suara pintu lemari yang dibanting pria itu bergema.
"Bisa tidak sih kau jangan cerewet!" teriakan pria itu menggema di kamar. "Sekarang kau bereskan barang-barangmu kalau mau ikut!" bentaknya dengan nada suara yang meninggi. Detik berikutnya, pria itu menarik koper dengan kasar dan mendorongnya ke arahnya yang masih terpaku. "Cepat masukan barang-barangmu ke sini!" perintah Saka dengan nada tegas.
Senja menunduk sambil mengumpulkan pakaiannya semalam. Setiap gerakan tangannya yang gemetar mencerminkan keguncangan hatinya. Bulir-bulir air mata yang membanjiri pipinya, dadanya terasa sesak setiap ia menghela napas. Tak pernah ia bayangkan akan mendapatkan perlakuan kasar di hari pertama mereka menikah. Sambil menghapus air matanya yang tak kunjung berhenti, dia berusaha menguatkan diri, memendam harapan kecil bahwa suatu saat sang suami akan berubah.
Hay... assalamu'alaikum berjumpa lagi dengan author 🥰😘 selamat datang di karya author ya.
Ketika mereka berdua telah siap, Saka berdiri di ambang pintu, sambil memegang kopernya, wajahnya masih menunjukkan ketidaksabaran. "Ingat ya, jika ada yang bertanya kenapa kita pindah, bilang saja kita ingin hidup mandiri! Jangan bicara macam-macam!" ujarnya mengancam, mengacungkan jari telunjuk ke wajah Senja yang pucat.
"Iya Mas!" Senja mengangguk kecil, suaranya nyaris tak terdengar, patuh pada perintah suaminya.
Keduanya kemudian keluar dari kamar berjalan menuruni anak tangga. Koper yang mereka dorong menimbulkan bunyi yang menarik perhatian orang-orang yang ada di rumah itu.
Seorang wanita paruh baya berdiri di depan anak tangga. "Loh, Senja, Saka Kalian mau ke mana membawa koper itu?" tanya Bu Wardah- ibunya Saka dengan bingung.
"Nggak ke mana-mana kok, Ma. Kami ingin tinggal di rumah kami sendiri," kata Saka.
"Oh! jadi kamu sudah punya rumah sendiri ?" tanya Bu Wardah dengan kaget sekaligus bahagia
"Hehe iya,Ma," Ini juga mendadak belinya berhubungan pernikahan kami juga mendadak," jawab Saka memberi alasan.
"Oh ya sudah! kalau begitu tidak apa-apa. Nanti kapan-kapan mama dan papa bakalan main ke rumah kalian," kata Bu Wardah.
"Kalau begitu Kami pergi dulu ya Ma." pasangan suami istri yang baru menikah itu mencium punggung tangan wanita paruh baya itu. Kemudian mereka berdua mendorong koper tersebut berjalan menuju teras..
Pak Wijaya menatap punggung sepasang pasutri itu yang telah menjauh. "Lho Saka dan Senja ke mana itu, Ma?" tanyanya.
"Katanya Mereka mau pindah ke rumah baru mereka, maklum sajalah Pa, mereka kan pengantin baru jadi pengennya berduaan aja , biar nggak ada yang gangguin, kalau di sini kan nggak bisa berduaan setiap saat," kata Bu Wardah sambil mengedipkan matanya.
“Iya juga ya,” guman pak Wijaya dengan bola mata yang berbinar. “ Si Saka awalnya saja gak mau di nikahkan, nyatanya setelah menikah malah lengket seperti prangko," Imbuhnya lagi
“Iya dong, kan sudah merasakan indahnya surga dunia. Semoga setelah mereka pindah rumah mereka bisa secepatnya memberikan kita momongan dan Saka bisa melupakan mantan kekasihnya itu,” kata bu Wardah dengan penuh harap.
“Semoga saja,” jawab Pak Wijaya.
***
Sepanjang perjalanan kedua suami istri Itu tampak seperti orang asing. Masing-masing mereka larut dalam pikirannya. Saka fokus menyetir sementara Senja masih tak mengerti mengapa mereka pindah begitu cepat.
Sekitar setengah jam perjalanan mereka pun sampai di sebuah komplek perumahan sederhana dengan type 60. Sebuah rumah yang sangat sederhana untuk orang sekelas Saka yang notabene pewaris salah satu pengusaha sukses di negri ini.
Senja merasa asing di permukiman yang begitu sepi dan sunyi. Rumah yang baru saja selesai dibangun itu masih mengeluarkan bau cat yang menyengat. Ia mengernyit, bertanya-tanya mengapa mereka terburu-buru memilih tinggal di sini, ketika banyak pilihan apartemen yang lebih aman dan nyaman sementara. Namun, suaranya terkunci di tenggorokan, tak mampu mengekspresikan keberatan yang mendalam. Di depan pintu, Ridho yang membawa koper besar mereka, mendorongnya hingga berada tepat di ambang pintu. Dengan gerakan tangkas, ia memasukkan kunci dan memutar doorknob, membuka pintu ke dalam rumah yang walaupun baru, telah diisi dengan furniture yang lengkap.
Senja mengikuti, masuk ke dalam rumah, mata mereka segera tertuju pada dua kamar yang saling berhadapan di dalam koridor yang sunyi itu.
"Kamu tidur di kamar itu!" Tunjuknya. Lalu ia menuju kamar lainnya.
Senja terkesiap, "Loh, Mas, jadi kita nggak sekamar?" tanyanya dengan nada terkejut setengah protes.
Saka menoleh, lalu tersenyum miring. "Kamu cepetan berkaca, dari atas sampai bawah, lalu kamu pikirkan, pantas gak perempuan seperti kamu, tidur sekamar dengan ku?!"
Kata kata pria itu mengalir lancar tanpa tersendat sedikitpun, sementara Senja yang mendengarnya merasa sesak seketika, dadanya seperti tertimpa batu besar yang membuatnya kesulitan untuk bernapas. Namun apa daya, ia terpaksa melangkah memasuki kamar tersebut.
Tangan Senja mulai bergetar ketika melangkah, belum sempat mencerna semua yang terjadi, langkahnya terhenti saat melihat sebuah cermin besar.
Seperti terhipnotis, wanita itu berjalan melangkah melepaskan genggaman kopernya. Lalu ia berhenti di depan kaca besar yang ada di hadapannya. Cermin itu memantulkan bayangan dirinya dari atas kepala hingga ujung kaki.
Tak terasa air matanya menetes, jatuh satu per satu di hadapan cermin yang memantulkan sosoknya sendiri. Wajah pucat, mata sembab, dan rambut yang tergerai berantakan seolah menjadi saksi betapa rapuh hatinya saat itu. Dalam pantulan itu, ia kembali mendengar gema ucapan Saka, ucapan yang seperti menusuk tanpa ampun.
Pandangan Senja merayap ke penampilannya yang sederhana, gaun lusuh, kulit kusam tanpa riasan, kontras dengan bayangan pria tampan yang semalam menjadi suaminya. “Iya, Mas Saka benar…” bisiknya lirih, sebelum suaranya pecah. “Aku memang gak pantas mendampinginya.”
Isaknya makin keras. Ia menunduk, menahan sesak yang menggunung di dada. Dengan lemas, Senja bersandar di depan cermin, membiarkan dinginnya kaca menempel di kulit wajahnya yang basah air mata. “Aku dan dia seperti bumi dan langit,” ujarnya getir. Sekali lagi ia menangis.
Kenangan pernikahan mereka semalam masih berputar di benaknya, membuka kesadaran akan sikap acuh sang suami yang sekarang ia tahu bukan tanda malu, tapi kebencian.
Tubuhnya kembali gemetar, wajahnya basah oleh air mata. Mimpi untuk mendapatkan cinta dari suaminya kini musnah. Hidup yang keras menanti tanpa pelukan kasih sayang. Pada sudut kamar yang sepi, ia terduduk meringkuk, memeluk lututnya sementara isak tangis meledak, membenamkan wajahnya dalam cengkeraman lengan yang erat. “Hiks… Ya Tuhan, kemana lagi aku harus lari?” desahnya dalam kegetiran. Ia membiarkan air mata mengalir, mengurai sedikit beban di dadanya, sambil perlahan mengakrabi realita pahit yang harus ia hadapi.
Setelah berjam-jam menangis, wanita itu akhirnya mengangkat kepalanya. Matanya yang merah dan bengkak mengamati ruangan sepi. Pupus sudah harapannya untuk meraih kebahagiaan rumah tangga yang ia impikan. Dengan jari telunjuk Ia mengusap air mata yang masih tergantung di kelopak matanya. Lelah, ia menarik napas panjang, menelan segala kekecewaan dan rasa sakit."Tak apa," bisiknya pada dirinya sendiri, mencoba mengumpulkan pecahan semangat yang berkeping di setiap sudut jiwanya. "Kau sudah terbiasa dengan rasa diabaikan, dibenci, dihina, bahkan ditusuk dari belakang. Tapi, tetaplah kuat bagai batu karang yang di hempas ombak," ujarnya sambil mengusap dadanya.
Di tengah keheningan yang menyesakkan dada itu, tiba-tiba suara dering telepon membuyarkan lamunannya. Refleks, dia meraih telepon dari tas hitamnya. Melihat nama seseorang di layar membuat jantungnya semakin berdebar-debar. “Halo, Tante!” jawabnya, suaranya terdengar parau.
“Hallo Senja , Sayang. Bagaimana dengan malam pertamamu?” tanya suara seberang telpon dengan nada yang mengejek.
Mendengar pertanyaan itu, hatinya yang sempat tenang sejenak kembali terasa perih. Nada suaranya bergelombang, tertahan di kerongkongan, seakan bertempur dengan kata-kata yang ingin keluar. "Ada apa Tante menelpon?" tanyanya, berusaha tegar layaknya seorang prajurit yang tidak ingin menyerah di medan perang.
Di sisi lain telepon, suara wanita itu terdengar tajam, menusuk langsung ke telinganya "Kau kira setelah menikah dengan orang kaya, aku akan takut padamu?" bentaknya, seperti ingin menantang.
Napas Senja tercekat, dada bergerak naik turun mengikuti emosi yang memuncak.
"Ingat, ya Senja," lanjut wanita itu, suaranya melengking tinggi, "kamu masih punya hutang seratus juta yang harus dibayar!" ujarnya dengan penuh penekanan. "Jangan karena sudah berubah status, kamu lupa daratan."
"Seratus juta?" Senja meremas erat teleponnya, berjuang menahan amarah dan ketidakadilan yang kembali menghujam dadanya. "tapi bukannya aku sudah membayarnya dengan gajiku...."kata-katanya terputus karena langsung disambar oleh lawan bicaranya.
“Hey sadar diri!" teriak wanita di sambungan telepon itu. "Kau itu baru kerja sebulan, itu juga anakku yang memberimu pekerjaan!" sarkasnya dengan suara lantang. "Dan kau tahu, karena kau! dia mendapatkan teguran dari bosnya! Uang gaji pertama mu itu di bayarkan kompensasi atas pekerjaanmu yang amburadul," omelnya. "Enak saja kau.. Mau potong hutangmu!” Protes wanita itu,”harusnya kau ganti rugi pada Della. Kasih dia sepuluh juta, karena dia juga kau bisa menikahi orang kaya itu kan?”
Senja hanya bisa meneteskan air mata mendengar tuntutan dari tantenya itu, akhirnya dia tahu siapa yang menjebaknya, hingga pernikahan itu terjadi. Tapi sudahlah, nasi sudah jadi bubur, lagi pula ia sudah terbiasa dengan sikap kasar dari tantenya itu.
"Iya Tante, Aku... " kata katanya terputus dan langsung di sambar oleh wanita di ujung telpon.
“Jangan banyak basa basi! Jadi kapan kau akan bayar, Hah?!”
Seketika Senja kembali tersentak kaget.“Hiks, saat ini aku belum punya uang, Tante!” jawabannya dengan suara yang terisak.
“Apa?! Tidak punya uang?!” teriakan menggema di seberang telepon membuat telinga wanita malang itu terasa panas. Refleks ia menjauhkan androidnya jauh dari daun telinga.
“Kau bilang tidak punya uang?! Hey! Kau baru saja menjadi istri seorang jutawan! Bagaimana mungkin kau bilang kau tidak punya uang?!”
Senja menggigil menangis pilu, kenyataan yang di hadapi tak semanis dengan pandangan orang.
“Hiks, tapi aku serius tante! Aku tidak punya uang! tolong berikan aku waktu, aku janji akan membayarnya, "pintanya dengan nada mengiba, berharap mendapatkan pengertian.
Wanita itu mendengus di sebrang telpon. “Pokoknya aku tidak mau tahu! Kau bayar hutangmu atau aku akan menagihnya kepada suamimu dan keluar… “
“Jangan tante!” potong Senja dengan cepat suaranya bergetar hebat.” Iya aku akan membayarnya, tapi jangan beritahu keluarga suamiku,” pintanya setengah menangis.
“Baiklah, aku beri kau waktu seminggu untuk melunasi… “
“Apa?” Senja kembali memotong. “Itu tak mungkin tante! Bagaimana aku bisa membayarnya dalam waktu seminggu?” ucapnya dengan nada setengah menangis.
“Eh, kau tinggal minta saja pada suami mu! Bilang jika kau berhutang untuk membayar biaya pengobatan ibumu sebelum dia meninggal.”
Senja kembali menangis ketika mendengar wanita itu mengingatkan tentang almarhum ibunya yang sudah berpulang ke Rahmatullah.
“Kenapa kau menangis, hah? Jangan pikir dengan air mata buaya mu itu aku bisa kasihan terhadapmu, pokoknya aku tidak mau tahu, aku beri waktu selama sebulan kau harus membayar lunas! Jika tidak, akan aku tagih suami dan keluarganya agar mereka malu punya menantu seperti mu!” pungkas wanita itu sambil menutup sambungan teleponnya.
Benda pipih yang ia genggam terjatuh, tangan yang gemetar tak mampu mempertahankannya.
Hiks… sekali lagi tubuh mungilnya terguncang dengan air mata yang mengalir deras.Kedua kaki jenjang itu seperti tak sanggup menahan tubuhnya hingga berlutut. "Ya Tuhan!bagaimana aku bisa dapatkan uang sebanyak itu selama sebulan, hiks.’ rasa frustasi membuatnya bersujud lalu kembali menangis mengenang nasibnya yang malang. Senja yang tadinya tegar, kembali rapuh, dalam keputusasaan dia menangis sejadi-jadinya meluapkan emosi dan kesedihannya.
Tiba-tiba terdengar pintu diketuk membuatnya berhenti menangis untuk memastikan telinganya tak salah dengar..
Tok...tok..kali ini suara itu terdengar lebih kencang dan lebih mendesak. Ia pun buru-buru bangkit dan menghapus air matanya, berusaha melupakan beban berat yang kini melekat di pundaknya.
kreak pintu berderit..sang suami berdiri di depannya dengan pakaian yang rapi, wangi dan terlihat begitu tampan, berbeda dengan dirinya yang kacau dan berantakan.
Seperti tak peduli dengan keadaan istrinya, Saka tak bertanya apapun tentang wajah Sang istri yang sembab. Ia lantas mengeluarkan sekebat uang dengan pecahan seratus ribu. “Ini uang lima juta untuk kamu selama sebulan,” ujarnya sambil menyodorkan uang tersebut.
Senja terdiam terpaku terkejut dengan situasi itu.
“Ayo ambil!” desak Saka lagi ketika melihat sang istri tak bereaksi. Dengan kasar dia meraih tangan Senja lalu meletakkan setumpuk uang itu di telapak tangannya. “Ini ambil! Tidak perlu malu-malu,” bentaknya dengan emosi.
Senja yang termenung seketika mengalihkan pandangannya pada pria itu
“Aku tahu kau butuh uang ini, ya memang tak seberapa,” ujar Saka remeh. "Tapi setidaknya itu lebih banyak dari gajimu sebelumnya, kan?”
Senja terdiam memandangi setumpuk uang itu, tatapannya seperti kosong. Sementara Saka menyandarkan punggungnya di pintu sambil melipat kedua tangannya, matanya menatap gadis yang ada di hadapannya. “Oh ya, tapi itu tak gratis ya," Ujarnya dengan nada mengejek. "Tugasmu bersihkan rumah ini, ruangan ku, setiap hari aku ingin kau mengganti sprei, selimut, harus wangi dan bersih, kamar mandi juga, harus selalu bersih, bla bla.. "
Entah apa yang di bicarakan oleh Saka, karena seketika pikiran Senja melayang entah kemana. "Jadi ia berikan uang ini untuk gajiku, bukan nafkah untuk ku?"
Bruak... Senja tersentak kaget, lamunannya buyar, pandangan tertuju pada Saka, dan bunyi kasar tadi ternyata tendangan suaminya pada pintu. Lalu perhatian tertuju pada Saka yang wajahnya memerah, seperti menahan amarah.
"Kau dengar tidak!" teriaknya dengan lantang, seperti sengaja ingin memecahkan gendang telinga Senja.
"I.. iya, Mas! aku dengar, kok," Jawabnya gugup.
"Bagus!" Ujar Saka, sambil tersenyum menyeringai. Lalu ia pergi meninggalkan Senja dengan luka baru yang lebih dalam lagi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!