"Kamu semakin nikmat, Rissa. Selalu membuat candu." Arya mengerang panjang di atas tubuh yang telah berpeluh itu. Dia melepaskan dirinya lalu mendekap tubuh Rissa.
"Kak Arya, nanti malam mau lagi?" tanya Rissa sambil mengusap pipi Arya.
"Malam ini ada acara penting." Arya semakin mengeratkan dekapannya dan mengecup rambutnya seolah dia enggan menyudahi permainannya. "Aku harus menemani Nadia di acara amal malam ini. Kamu tahu kan, aku akan mencalonkan diri menjadi gubernur akhir tahun ini."
Rissa nampak kesal. Dia akan melepas pelukan Arya, tapi Arya semakin mengeratkan pelukannya dan menciumi pipinya.
"Iya, nanti malam aku akan menemui kamu setelah acara, karena percuma saja Nadia tidak akan pernah memuaskanku di ranjang. Pernikahanku dan Nadia hanyalah sebatas bisnis dan citra publik."
Arya Sentosa sudah hampir lima tahun menikah dengan Nadia Prameswari. Pernikahan mereka tidak berdasarkan cinta namun hanya untuk bisnis. Nadia yang seorang direktur muda di perusahaan Biotek and Holdings, membutuhkan Arya yang saat ini menjadi wakil menteri untuk mempermudah izin penelitian dan berbagai proyek medis yang ditangani perusahaan. Begitu juga dengan Arya, dia membutuhkan citra keluarga sempurna dan juga aliran dana untuk mempersiapkan kampanyenya.
"Mengapa kamu menikahi Kak Nadia kalau sudah tahu dia aseksual? Harusnya kamu menikah saja denganku." Rissa adalah adik tiri Nadia. Dia hanyalah anak dari istri kedua.
Arya tertawa mendengar hal itu. "Rissa, aku masih membutuhkan Nadia. Setelah aku berhasil menjadi gubernur, barulah aku akan menceraikannya dan menikah denganmu. Perusahaan Biotek masih dipegang Nadia. Apa kamu tidak bisa mengambilnya?"
Rissa tersenyum licik. "Tentu saja, aku sudah mempersiapkan sesuatu untuk merebutnya."
"Sempurna! Jika kamu berhasil merebutnya, kita akan menjadi pasangan yang sempurna. Tinggal kita ungkap saja bahwa Nadia adalah wanita tidak normal." Arya kembali mencium bibir Rissa. Ciuman mereka semakin panas, namun terhenti saat ponselnya berbunyi keras.
Arya meraih ponsel itu lalu melepaskan diri dari Rissa. "Ada apa Nadia?"
"Sebentar lagi acara amal akan dimulai. Cepat kamu datang."
"Tunggu 15 menit lagi. Aku akan langsung ke sana." Arya memutuskan panggilan itu lalu kembali menindih Rissa dan menciuminya.
"Euhmm, Kak Arya. Pelan-pelan."
"Rasanya aku tidak bisa berhenti kalau sudah melakukannya sama kamu. Mau lagi dan lagi."
***
Nadia meletakkan ponselnya di meja ruas setelah menghubungi Arya. Dia menatap pantulan dirinya di cermin besar di hadapannya. Riasan wajahnya sempurna, rambutnya ditata dengan presisi, dan gaun biru tua yang membalut tubuhnya memancarkan wibawa seorang perempuan yang nyaris tak tersentuh oleh kelemahan.
"Bu Nadia, apa Pak Arya sudah datang? Acaranya akan segera dimulai," kata asisten pribadi Nadia, Niko. Dia berdiri di dekat Nadia sambil membawa map tebal berwarna hitam. "Saya sudah menyiapkan apa saja yang harus dikatakan di pidato nanti."
Nadia mengambil map itu dan memberi kode pada yang lainnya agar keluar dari ruangan selain Niko. Dia membaca isi pidatonya sepintas lalu mengulas senyum. "Pidato yang sangat menyentuh,” gumamnya datar. “Donasi untuk yayasan yatim piatu, peran sosial, dan citra keluarga harmonis yang sempurna."
Nadia menutup map itu dan memberikannya lagi pada Niko. "Mereka pasti akan bersimpati karena di usia pernikahanku yang ke lima tahun dengan Arya masih belum memiliki keturunan. Bagaimana kita memiliki keturunan kalau tidak pernah melakukannya. Sekarang saja Arya pasti sedang bersenang-senang dengan wanita lain."
Kemudian Nadia berdiri dan menatap Niko yang selalu setia menemaninya sejak dia menjabat sebagai direktur utama. "Siapa wanita yang selalu menemani Arya? Kamu sudah berhasil memasang kamera pengintai."
Niko mengangguk. Dia mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan hasil rekaman saat ini yang sedang berjalan.
Rahang Nadia mengeras saat melihat Arya dan Rissa sedang melakukannya dengan brutal di atas ranjang. Pelukan erat dan erangan keras membuat emosinya memuncak. Bukan karena cemburu tapi karena wanita itu adalah Rissa, adim tirinya yang selama ini bermuka dua di depannya. "Jadi, selama ini mereka bersama?"
Niko hanya mengangguk pelan. "Iya."
Nadia membanting ponsel itu. "Mereka pasti sedang merencanakan sesuatu. Jika waktunya tiba nanti, aku akan membongkar semuanya. Bukan hanya Arya yang akan kehilangan kedudukan tapi juga Rissa. Dia bisa bertahan di perusahaan karena rengekan ibunya pada Papa, tanpa itu dia bukan apa-apa."
Niko mengambil ponsel yang masih tetap menyala meskipun telah dibanting dan menyimpannya kembali di saku jasnya. "Malam ini, mereka akan bersama lagi. Mungkin Anda bisa menjebak mereka."
Nadia duduk di meja rias dan menatap Niko. "Aku masih membutuhkan nama Arya untuk beberapa proyek besar biotek. Meskipun produk kita tidak pernah gagal, tapi masih butuh nama besar agar bisa masuk ke dalam pasar medis dengan mudah karena targetku setahun ke depan harus menaklukkan pasar internasional juga."
Niko hanya mengangguk. Dia akan keluar dari ruangan itu tapi Nadia menahannya.
"Bagaimana dengan chip itu? Apa Profesor Axel sudah selesai membuatnya?" tanya Nadia.
"Tinggal melakukan uji coba. Jika berhasil, apa Anda benar-benar akan menggunakan chip itu? Chip kali ini berbentuk cairan logam nano yang bisa berevolusi dan bereaksi terhadap emosional secara alami tanpa adanya kontrol alat dari luar. Hanya saja, efek samping belum diketahui pastinya."
Nadia berdiri dan mendekati Niko. Dia menyentuh garis tegas di pipinya dan mendekatkan wajahnya untuk menghirup aroma parfum Niko. Asistennya sangat tampan dengan tubuh yang atletis tapi tidak ada hasrat sedikitpun di dirinya meskipun setiap waktu bersama. "Tidak apa-apa. Aku percaya dengan alat buatan Profesor Axel. Aku tidak mungkin menghabiskan seumur hidupku tanpa merasakan hal itu karena aku sangat penasaran bagaimana rasanya. Pilih waktu yang tepat untuk memasukkan chip itu ke dalam kepalaku. Hanya kamu yang bisa menyetujuinya dan jangan katakan pada siapapun."
"Apa ini demi Pak Arya?" tanya Niko penasaran.
Nadia hanya tersenyum penuh arti lalu mundur beberapa langkah. "Bukan, aku sudah tidak suka pria bekas seperti dia." Kemudian Nadia keluar dari ruangan itu dengan langkah yang anggun dan pandangan lurus ke depan.
Niko masih setia mengikuti Nadia di belakangnya. Bukan hanya sebagai asisten, tapi Niko juga bisa menjaga Nadia seperti seorang pengawal.
Mobil hitam berplat khusus berhenti di depan Hotel Grand Aurelia. Karpet merah telah dibentangkan, kamera para jurnalis sudah menunggu di sisi kanan dan kiri. Para tamu penting, donatur, dan pejabat tinggi kementerian sudah memasuki ballroom megah dan menunggu tokoh utama di dalam.
Pintu mobil terbuka, dan dari sana, Nadia Prameswari melangkah turun dengan anggun. Gaun biru tua yang membalut tubuhnya tampak berkilau lembut di bawah cahaya lampu. Senyumnya tenang dan auranya sangat berwibawa.
Dia melangkah masuk ke ballroom, diiringi Niko yang berjalan satu meter di belakangnya. Kilatan kamera segera menyambut kedatangannya.
“Bu Nadia, senyum ke kanan sedikit!”
“Cantik sekali malam ini, Bu!”
“Mengapa Anda tidak datang bersama Pak Arya?”
Nadia menanggapinya dengan senyum profesional. Setiap lengkung bibirnya telah terlatih sempurna.
Dari jauh, pembawa acara sudah bersiap di podium. Para tamu mulai memperhatikan bahwa Arya belum juga datang. Bisik-bisik kecil mulai terdengar, beberapa wartawan bahkan saling menatap curiga.
Namun, tepat ketika jam menunjukkan pukul tujuh lewat lima belas, pintu utama ballroom terbuka.
Arya muncul dengan senyum lebar dan karisma khasnya. Di tangannya, dia membawa sebuket bunga mawar putih. Dia berjalan menembus kerumunan wartawan yang langsung berebut mengambil gambar.
Arya berhenti di depan Nadia. Cahaya kamera menyorot wajah mereka berdua. Dia menyerahkan bunga itu, lalu menarik Nadia ke dalam pelukannya.
"Sayang, maaf aku terlambat. Ada rapat mendadak di kantor partai.”
Nadia tersenyum bahagia sambil mencium bunga itu. "Terima kasih tapi kamu belum terlambat." Di depan kamera, mereka selalu berakting mesra dan seolah mereka adalah pasangan idaman. Begitulah mereka menarik simpati dari publik, dengan keharmonisan dan kesuksesan.
Arya tertawa kecil, lalu mendekat dan mengecup keningnya.
Kilatan kamera serentak meledak. Para tamu bersorak lembut, beberapa bahkan bertepuk tangan.
"Mereka benar-benar pasangan yang serasi."
Setelah adegan manis itu, mereka berjalan berdampingan menuju meja utama. Musik lembut mengalun, pelayan berdasi hitam menyajikan sampanye dan makanan ringan. Nadia duduk dengan anggun di kursinya, sementara Arya berbincang ringan dengan beberapa pejabat dan wartawan.
“Saudara-saudara sekalian,” suara pembawa acara bergema. “Kita sambut malam amal tahunan Biotek and Holdings, yang akan menyalurkan seluruh donasi malam ini untuk yayasan anak yatim dan penelitian penyakit langka.”
Tepuk tangan bergemuruh. Kamera televisi fokus pada wajah Nadia dan Arya yang kini berjalan berdampingan ke panggung.
Setelah berdiri di atas panggung, Nadia membuka map pidato yang sebelumnya diberikan Niko.
“Selamat malam. Terima kasih kepada semua pihak yang telah hadir malam ini. Kita tidak hanya merayakan kepedulian sosial, tapi juga masa depan yang lebih baik bagi mereka yang membutuhkan.” Setiap kata keluar sempurna, terukur dan elegan.
Arya berdiri di sebelahnya dan tersenyum menatap para tamu yang mendukung sepenuhnya. "Terima kasih atas dukungan dari para donatur, pejabat negara, dan tokoh masyarakat. Berkat kalian semua, acara amal tahunan ini terus berjalan dan semakin berkembang dengan jangkauan yang luas. Semoga tahun depan kita bisa menjangkau ke seluruh pelosok negeri."
Nadia tersenyum lalu melanjutkan pidato Arya. Begitulah, mereka selalu terlihat kompak saat di depan publik.
Dia menatap ke arah para donatur dan pejabat yang duduk di barisan depan, lalu membuka lembar berikutnya dari map pidato.
“Selain dukungan terhadap yayasan anak yatim, Biotek and Holdings juga dengan bangga mengumumkan beberapa proyek penelitian baru,” ucap Nadia dengan suara penuh percaya diri.
“Pertama, program NeuroCell Regeneration, sebuah terobosan dalam bidang rekayasa jaringan yang kami kembangkan bersama tim riset luar negeri untuk memperbaiki kerusakan saraf akibat kecelakaan dan penyakit degeneratif.”
Beberapa tamu tampak terkesima, membisikkan kekaguman di antara mereka.
Nadia tersenyum tipis sebelum melanjutkan, “Kedua, proyek VitaGene, yakni pengembangan serum berbasis DNA yang mampu mempercepat proses penyembuhan luka dalam. Dan ketiga, Project Aurora, sebuah inisiatif sosial Biotek untuk menyediakan akses terapi medis modern bagi masyarakat di daerah terpencil.”
Tepuk tangan kembali terdengar bergemuruh
Arya melangkah maju setengah langkah, mengambil alih mikrofon dengan pesona politisinya yang khas.
“Visi kami jelas,” katanya sambil menyapu pandangan ke seluruh ballroom. “Kami ingin Indonesia menjadi negara yang tidak hanya kuat secara ekonomi, tapi juga maju dalam teknologi kesehatan. Dan tentu saja, semua ini tidak akan mungkin tanpa dukungan dari pihak-pihak yang peduli terhadap masa depan bangsa.”
Kata-katanya mengalir seperti pidato kampanye yang dibungkus dalam balutan amal. Para jurnalis segera menulis cepat, sementara kamera menyorot pasangan yang tampak sempurna itu, sang pengusaha cerdas dan sang politisi karismatik.
Setelah pidato berakhir, Arya menggandeng tangan Nadia dengan lembut dan menuntunnya menuruni tangga panggung.
Para tamu berdiri memberikan tepuk tangan penghormatan.
Di bawah panggung, Niko sudah menunggu.
Tanpa banyak bicara, Nadia menyerahkan buket bunga putih yang tadi diberikan Arya kepadanya.
“Suruh Rissa ke perusahaan sekarang. Terserah kamu memberi alasan apa. Aku dan Arya juga akan ke sana,” bisiknya di telinga Niko.
Niko menganggukkan kepalanya dengan hormat lalu keluar dari ballroom itu.
Arya masih sibuk berjabat tangan dengan para pejabat kementerian dan pengusaha besar. Nadia kembali mendekat dan mendampinginya, menampilkan senyum terbaiknya setiap kali kamera mengarah pada mereka.
Tawa kecil dan sentuhan lembut di lengan Arya, semuanya tampak alami di mata publik.
***
"Kita ke perusahaan sebentar. Ada sesuatu yang harus aku kerjakan," kata Nadia setelah masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi penumpang bersama Arya.
Arya menghela napas panjang dan menoleh ke belakang. Beberapa mobil yang searah masih mengikuti mereka. "Apa tidak bisa kamu lakukan besok? Aku masih ada urusan!"
Niko yang sedang mengemudi hanya fokus dengan jalanan meski dia bisa mendengar semuanya.
"Tidak bisa. Memang kamu mau kemana? Apa tidak pulang malam ini?" tanya Nadia. Meskipun dia tahu yang sebenarnya.
"Sudah aku bilang, aku ada urusan penting. Lagian ngapain setiap hari tidur sama kamu. Percuma juga kamu tidak ingin melakukannya."
Nadia tersenyum miring. Dia memiringkan tubuhnya dan menatap Arya. Dia usap bahu Arya lalu merapikan dasinya. "Memangnya kalau aku bisa melakukannya, kamu akan betah tinggal di rumah?"
Arya membalas senyuman licik Nadia lalu menggenggam tangan Nadia. "Tentu saja. Aku akan membatalkan semua acaraku sekarang jika kamu mau melakukannya malam ini."
Niko yang mendengar hal itu semakin mengeratkan genggaman tangannya pada pengemudi. "Bu Nadia, Rissa sudah menunggu di kantor."
"Kamu sudah menyuruhnya untuk merekap barang kan? Suruh selesaikan malam ini karena besok sisa pesanan harus di kirim," kata Nadia sambil tersenyum puas melihat ekspresi Arya.
"Rissa ada di kantor?" tanya Arya.
"Iya, nanti kamu tunggu saja di ruangannya karena aku masih ada perlu sama Profesor Axel."
Arya tak menyahutinya lagi, tapi Nadia bisa membaca apa yang ada di pikiran Arya saat ini.
“Niko, kamu ikut denganku ke laboratorium,” kata Nadia tanpa menoleh.
Niko yang berjalan di belakangnya langsung menjawab, “Baik, Bu.”
Di belakang mereka, langkah Arya terhenti di tengah koridor. Tatapan matanya mengikuti punggung Nadia hingga menghilang di ujung lorong. Namun bukan untuk menyusul, dia justru berbalik menuju sayap lain gedung, ke arah ruang kerja Rissa. Bibirnya melengkung sinis.
Nadia dan Niko masuk ke dalam lift. Begitu pintu lift tertutup, keheningan menyeruak di antara mereka berdua. Hanya suara mesin lift yang berdengung lembut, menaikkan mereka menuju lantai tujuh, area penelitian rahasia yang tidak pernah tercantum dalam peta resmi perusahaan.
“Acara amal itu berjalan sesuai rencana,” katanya pelan. “Dan sekarang saatnya memastikan proyek kita siap."
Pintu lift terbuka, menyingkap koridor putih steril dengan lampu yang memantul di setiap permukaan. Di ujung lorong, terpasang pintu baja besar bertanda RESTRICTED AREA.
Nadia menatap sensor retina, lalu menempelkan telapak tangannya. Mesin mengeluarkan bunyi lembut sebelum berkata, Access granted.
Pintu itu terbuka perlahan, memperlihatkan ruangan laboratorium dengan alat-alat berteknologi tinggi.
“Selamat malam, Bu Nadia,” sapa Profesor Axel tanpa menoleh dari layar hologram di depannya. “Saya baru saja menonton siaran langsung acara amal tadi. Saya akui, citra perusahaan Anda benar-benar sempurna. Amal, politik, dan pencitraan, kolaborasi yang brilian.”
Nadia hanya tersenyum samar. “Citra yang bagus itu sangat penting, Prof. Dunia percaya pada kebaikan yang mereka lihat, bukan kebenaran yang mereka abaikan.”
Kemudian Nadia melihat beberapa alat medis yang siap untuk dilakukan uji coba. "Segera kamu buat proposal uji coba. Seperti yang aku sebutkan tadi, alat-alat ini akan segera launching. Dengan nama Arya, izin produksi kita pasti akan didahulukan."
"Baik, Bu Nadia."
Nadia berjalan pelan, lalu berhenti di depan meja kaca tempat berbagai tabung kecil berisi cairan keperakan berpendar lembut.
Di dalamnya, serpihan logam mikro mengambang, bergerak seperti partikel hidup.
“Bagaimana perkembangan proyek Biochip?” tanyanya datar.
Profesor Axel mendekat, menyerahkan tablet digital berisi laporan. “Prosesnya hampir selesai. Cairan nano liquid ini sudah berhasil menstimulasi area limbik pada percobaan mamalia. Dengan injeksi yang tepat ke pembuluh darah otak, chip bisa mengaktifkan sinaps yang selama ini tidak aktif, termasuk area yang mengatur dorongan emosi dan sek sual.”
Nadia menatap tablet itu sejenak lalu memberikannya pada Niko. “Jadi... secara teori, biochip ini bisa membangunkan kembali sistem saraf yang tidak berfungsi?”
“Bukan sekadar membangunkan. Dia bisa memprogram ulang emosi manusia. Memberi rasa, di mana sebelumnya tak ada rasa apa-apa.”
Nadia menatap tabung di depannya dengan mata tajam, seolah melihat refleksi masa depannya di balik permukaan cairan logam itu. “Apa ada efek samping?”
Axel menghela napas. “Secara biologis hampir tidak ada. Tapi secara emosional penerimanya bisa menjadi sangat impulsif, kehilangan kendali sesaat, bahkan ... hiperaktif secara afektif dan biochip ini akan menyebar dalam sistem saraf dan tidak bisa diambil lagi. Setelah beberapa bulan, biochip ini akan benar-benar menyatu dengan otak.”
Nadia tersenyum tipis. “Kedengarannya menarik.”
“Prosedur ini belum pernah diuji pada manusia,” tambah Axel hati-hati.
“Aku akan menjadi yang pertama,” jawab Nadia tegas. Nada suaranya tidak memberi ruang untuk debat. "Jangan beritahu siapapun. Hanya aku, kamu, dan Niko saja yang tahu proyek ini."
Profesor Axel mengangguk, kemudian dia kembali bekerja.
Niko memandangnya ragu. “Apa Anda yakin ingin melakukannya sendiri? Tanpa uji klinis lebih lanjut?”
“Aku sudah lelah menjadi manusia yang mati di dalam tubuh yang hidup. Aku ingin tahu rasanya memiliki ha srat seperti orang lain."
“Apa ini semua demi Pak Arya?”
Nadia menatap Niko dan tersenyum tipis. “Sudah aku bilang, aku tidak ingin pria bekas orang lain. Apa kamu tidak mengerti maksudku?"
Niko hanya terdiam tidak menjawab pertanyaan itu. Dia tidak mau salah menerka.
Nadia semakin mendekat pada Niko, jarak mereka hanya sejengkal. “Kamu yang akan memutuskan kapan prosedur ini dilakukan. Aku percayakan semuanya padamu.”
“Kenapa saya?” tanya Niko semakin ragu.
“Karena aku percaya kamu," jawab Nadia tanpa keraguan sedikit pun.
Niko terdiam. Hanya matanya yang menatap Nadia lama.
Lalu Nadia melangkah menjauh, menatap jam di pergelangan tangannya. “Kita tunggu di sini tiga puluh menit lagi. Aku ingin tahu apa yang sedang dilakukan Arya dan Rissa di bawah sana.”
***
Rissa mendengus pelan sambil memutar kursinya, menatap layar komputer dengan wajah kesal.
Rissa mengetik cepat, matanya terasa berat. “Dia selalu bertindak seenaknya. Lihat saja, aku pasti akan dapatkan perusahaan ini!"
Arya berdiri di belakangnya, memegang cangkir kopi yang baru diseduh dari dispenser ruangan. Dia meletakkannya di meja Rissa lalu mencondongkan tubuh dan menatap layar yang sama untuk melihat pekerjaan Rissa yang hampir selesai.
“Sabar. Kalau sudah waktunya nanti, kita akan singkirkan Nadia." Arya kembali berdiri dan mengunci pintu ruang kerja Rissa. Dia juga menutup tirai jendela ruangan itu.
Langkah kakinya mendekat lagi, dan kali ini napas hangatnya menyentuh kulit leher Rissa. “Aku temani sampai selesai,” katanya serak, sebelum bibirnya menyentuh lembut sisi leher Rissa.
“Ini di perusahaan, Kak Arya. Bagaimana kalau Kak Nadia tahu?” Rissa menghindar saat Arya akan menyentuh lehernya lagi.
Arya tidak berhenti. Tangannya bergerak pelan di sepanjang bahu Rissa, lalu turun ke pinggangnya. “Kalau Nadia sudah masuk lab, dia nggak akan keluar cepat. Kamu tahu sendiri, dia bisa berjam-jam di sana.”
Rissa menggigit bibir bawahnya, menatap layar komputer dan melanjutkan pekerjaannya yang tinggal sedikit. Namun, sentuhan Arya di tubuhnya membuatnya tidak bisa fokus.
Napas Rissa tercekat. Ruangan itu hanya diterangi cahaya layar dan lampu meja semakin menambah sensasi di tubuhnya.
Arya duduk di belakang Rissa. Kedua tangannya menyusup di balik blus Rissa. "Apa sudah selesai?"
"Kurang sedikit," jawab Rissa dengan napas yang mulai berat. Sentuhan Arya benar-benar membuatnya terpancing.
"Cepat selesaikan, lalu kita bermain sebelum Nadia turun." Arya mendekat dan menghembuskan napas hangatnya di telinga Rissa dengan kedua tangan yang semakin bergerak aktif menyentuh titik sensitif Rissa.
"Shits! Adrenalinku semakin terpacu di sini. Aku tidak bisa menahannya lagi."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!