NovelToon NovelToon

Perjalanan Menjadi Dewa Terkuat

CHAPTER 1

Kesadaran adalah lautan api yang membentang melintasi galaksi. Ia mengingat gemuruh bintang saat dilahirkan, keheningan agung saat ia menata takdir tujuh dunia, dan dinginnya pengkhianatan yang menusuk jantung dewa miliknya.

Namun, tubuh ini adalah setetes embun di ujung daun. Rapuh, terbatas, dan menyedihkan.

Kesadarannya, jiwa dari Tian Feng sang Dewa Langit, kini terperangkap di dalam sangkar daging seorang bayi. Dunia di sekelilingnya adalah kabut buram dari bentuk dan warna, dan satu-satunya bahasa yang bisa ia gunakan adalah tangisan tak berdaya yang membakar harga dirinya.

Ia, yang pernah memerintahkan legiun surgawi dengan satu pikiran, kini tak mampu bahkan untuk sekadar mengangkat kepalanya sendiri. Ia, yang meminum nektar abadi dari Sungai Bintang, kini bergantung pada air susu hangat dari seorang wanita fana yang ia sebut 'ibu'.

Ini bukan kehidupan. Ini adalah penghinaan.

Setiap hari adalah siklus penderitaan yang sama. Rasa lapar yang melilit, kantuk yang tak tertahankan, dan ketidakmampuan total untuk berkomunikasi. Jiwanya meraung, mengguncang fondasi semesta di dalam pikirannya, tetapi di dunia luar, yang terdengar hanyalah rengekan lemah seorang anak.

Desa ini bernama Batu Angin. Nama yang cocok. Angin di sini bertiup tanpa henti, membawa serta debu kuning dari pegunungan tandus di Wilayah Barat. Angin itu mengikis bebatuan dan juga harapan. Tian Feng bisa merasakannya dari balik dinding kayu tipis gubuk mereka aura kemiskinan dan perjuangan yang pekat.

Pria yang menjadi ayahnya, Jian, adalah seorang pemburu monster tingkat rendah. Setiap pagi, ia pergi dengan punggung tegap membawa busur usang, dan setiap senja, ia kembali dengan luka baru dan terkadang seekor Kelinci Bertanduk atau Babi Hutan Berduri. Wanita yang menjadi ibunya, Mei Li, adalah seorang pengumpul herbal. Tangannya kasar, tetapi sentuhannya saat membedung tubuh kecilnya selalu lembut.

Mereka menamainya Tian Feng. Nama yang ironis. 'Feng' yang berarti 'puncak'. Puncak apa yang bisa dicapai oleh tubuh yang bahkan tidak memiliki satu pun jejak akar Dou Qi?

Hari itu adalah hari penentuan. Sesuai tradisi desa, saat seorang anak mencapai usia satu tahun, Tetua Desa akan datang untuk memeriksa potensinya. Seluruh penduduk Desa Batu Angin berkumpul di depan gubuk kecil mereka. Wajah-wajah mereka keras, penuh rasa ingin tahu dan sedikit cemoohan.

Tetua Wu, seorang lelaki tua yang telah mencapai tingkat Dou Zhe Bintang 5 puncak kekuatan di desa menyedihkan ini meletakkan telapak tangannya yang keriput di dada kecil Tian Feng. Aliran Dou Qi yang hangat dan keruh mencoba masuk, mencari resonansi, mencari percikan potensi sekecil apa pun.

Tian Feng merasakan energi rendahan itu menyentuh jiwanya. Rasanya seperti seekor semut mencoba menggoyangkan gunung. Di dalam benaknya, ia tertawa. Tawa dingin dan arogan seorang dewa. Kau mencari percikan api di tengah matahari, pak tua?

Namun, tubuhnya tidak merespons. Daging dan tulang ini hampa. Tidak ada akar Dou, tidak ada meridian yang terbuka. Kosong.

Tetua Wu menarik tangannya perlahan. Ia menatap Jian dan Mei Li dengan tatapan kasihan, lalu menggelengkan kepalanya.

"Tidak ada apa-apa," suaranya serak, terbawa oleh angin. "Sepenuhnya fana. Meridiannya tersumbat, tulangnya rapuh. Anak ini... tidak akan pernah bisa berkultivasi."

Dunia kecil di sekitar Tian Feng menjadi sunyi. Bisikan-bisikan mulai terdengar, seperti desis ular di padang pasir.

"Kasihan sekali Jian dan Mei Li."

"Setelah menunggu begitu lama, mereka mendapatkan sampah."

"Di Wilayah Barat yang kejam ini, hidup tanpa kekuatan sama saja dengan menunggu mati."

Tian Feng melihat wajah ibunya yang memucat dan ayahnya yang mengepalkan tangan begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Mereka tidak mengatakan apa-apa, hanya membawa Tian Feng masuk kembali ke dalam gubuk, menutup pintu untuk meredam cemoohan dunia.

Malam itu, di dalam kegelapan yang hanya diterangi oleh lampu minyak kecil, Tian Feng merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan selama ribuan tahun masa kehidupannya yang agung: keputusasaan yang nyata.

Pengkhianatan sahabatnya telah menghancurkan tubuh dewanya. Kehendak Langit telah membuangnya ke dunia fana. Dan kini, takdir memberinya sangkar paling buruk dari semua sangkar: tubuh yang tak berguna.

Apakah ini hukuman terakhir untukku? pikirnya. Menjadi saksi bisu atas kehidupanku sendiri yang perlahan membusuk?

Ia menatap tangannya yang mungil, mengepalkannya dengan susah payah. Di kehidupan lampau, satu kepalan tangan ini bisa meremukkan bintang. Kini, ia bahkan tak bisa menggenggam sebutir pasir.

Tiba-tiba, ia mengingat sebuah kalimat yang terukir di Gerbang Abadi sebelum ia naik ke takhta dewa

“Langit tidak jatuh untuk menghancurkan, melainkan untuk menguji mereka yang ingin naik ke atasnya.”

Selama ini, ia mengira kalimat itu ditujukan untuk para penantang yang ingin menjadi dewa. Ia tidak pernah berpikir bahwa kalimat itu juga berlaku untuk dewa yang jatuh.

Ini bukan hukuman. Ini adalah ujian.

Ujian terberat yang pernah ada. Ujian untuk melihat apakah jiwa yang pernah menguasai langit bisa belajar merangkak dari lumpur.

Di tengah keheningan, ia mendengar isak tangis tertahan dari ibunya. Ayahnya memeluknya erat. "Tidak apa-apa, Mei Li," bisik Jian. "Tidak peduli apa kata mereka. Dia tetap putra kita."

Kehangatan yang sederhana. Kepedulian tanpa syarat. Sesuatu yang langka di dunianya yang dulu, dunia yang penuh dengan ambisi dan kekuasaan.

Untuk pertama kalinya, lautan api di dalam kesadaran Tian Feng merasakan setetes embun yang menenangkan.

Aku jatuh, bisiknya dalam hati. Tetapi aku belum hancur.

Aku akan menanggung penghinaan ini. Aku akan merangkak di lumpur ini. Aku akan menggunakan tubuh fana ini untuk menempa kembali kehendak yang bahkan para dewa pun akan takuti.

Kalian semua yang menertawakanku hari ini... suatu saat nanti, kalian bahkan tidak akan layak untuk bersujud di hadapan bayanganku.

Di dalam buaiannya, bayi Tian Feng berhenti menangis. Matanya terbuka dalam kegelapan, memancarkan kilau kuno yang seharusnya tidak dimiliki oleh seorang anak.

Perjalanannya dimulai bukan dengan langkah pertama, melainkan dengan sebuah sumpah yang diucapkan dalam keheningan jiwanya.

...SISTEM KULTIVASI...

...Semua tingkat memiliki bintang 1–9 (Awal–Menengah–Puncak)...

...1. Dou Zhi Qi...

...2. Dou Zhe...

...3. Dou Shi...

...4. Dou Ling...

...5. Dou Wang...

...6.Dou Zong...

...7. Dou Zun...

...8. Ban Sheng...

...9. Dou Sheng...

...10. Dou Di...

...( TINGKATAN MONSTER )...

...Monster Tingkat 1 - Dou Zhe...

...Monster Tingkat 2 - Dou Shi...

...Monster Tingkat 3 - Da Doushi...

...Monster Tingkat 4 - Dou Ling...

...Monster Tingkat 5 - Dou King...

...Monster Tingkat 6 - Dou Huang...

...Monster Tingkat 7 - Dou Zong...

...Monster Tingkat 8 - Dou Zun...

...Monster Tingkat 9 - Dou Sheng...

...Monster Tingkat 10 - Dou Di...

...( TINGKATAN TEKNIK )...

...Tingkat Huang ( Kuning )...

...Tingkat Xuan ( Hitam )...

...Tingkat Di ( Bumi )...

...Tingkat Tian ( Surga )...

CHAPTER 2

Lima tahun berlalu dalam sekejap mata bagi jiwa yang terbiasa menghitung zaman. Bagi tubuh fana Tian Feng, lima tahun adalah sebuah perjuangan tanpa akhir.

Ia tumbuh menjadi seorang anak laki-laki berusia enam tahun yang kurus dan pendiam. Wajahnya pucat, tetapi matanya menyimpan kedalaman yang membuat orang dewasa sekalipun merasa tidak nyaman. Ia bisa berbicara, tetapi ia memilih untuk lebih banyak diam. Keheningan adalah satu-satunya jubah keagungan yang tersisa dari kehidupan masa lalunya.

Di mata penduduk Desa Batu Angin, Tian Feng adalah sebuah keanehan. Anak yang dikutuk. Seorang "fana total" yang menjadi aib bagi orang tuanya yang pekerja keras. Anak-anak lain akan melemparkan kerikil ke arahnya sambil berteriak, "Sampah! Sampah!"

Tian Feng tidak pernah membalas. Ia tidak pernah menangis. Ia hanya akan menatap mereka dengan mata dinginnya, seolah sedang mengamati serangga yang bodoh. Dalam hatinya, ia mencatat setiap wajah, setiap penghinaan. Kesabarannya ditempa dalam api keabadian; ia bisa menunggu.

Konflik pertama yang berarti datang pada suatu sore yang terik. Di lapangan desa, Li Shen, putra kepala desa yang kini berusia delapan tahun, sedang pamer. Tubuhnya yang lebih besar dari anak-anak sebayanya dibalut pakaian sutra yang kontras dengan kain kasar anak-anak lain.

"Haaa!" Li Shen berteriak, meninju udara. Gumpalan Dou Qi kuning pucat yang nyaris tak terlihat keluar dari tinjunya, menciptakan pusaran debu kecil di tanah.

Anak-anak lain bersorak kagum.

"Wow, Li Shen-ge! Itu Dou Zhi Qi tingkat tiga!"

"Kamu jenius nomor satu di desa kita!"

Li Shen menyeringai bangga, dadanya membusung. Matanya kemudian menyapu kerumunan dan berhenti pada sosok kurus Tian Feng yang berdiri diam di dekat pohon tua.

"Hei, sampah!" panggil Li Shen, senyumnya berubah menjadi ejekan. "Kemari kau."

Tian Feng tidak bergerak. Mengabaikannya adalah cara terbaik untuk menghindari masalah.

Melihat dirinya diabaikan, Li Shen merasa terhina. Ia berjalan menghampiri Tian Feng, diikuti oleh para pengikut kecilnya. "Apa kau tuli? Aku memanggilmu, dasar fana tidak berguna!"

Ia mendorong bahu Tian Feng. Dorongan itu tidak kuat, tetapi tubuh Tian Feng yang lemah langsung kehilangan keseimbangan dan jatuh terduduk di tanah yang keras.

Debu menempel di pakaiannya yang sudah usang.

Analisis Tian Feng berjalan secepat kilat di dalam benaknya. 'Postur kuda-kuda yang buruk. Aliran Dou Qi terbuang percuma hanya untuk pertunjukan. Dorongan tadi menggunakan kekuatan fisik murni. Lemah.'

"Lihat!" Li Shen tertawa terbahak-bahak. "Dia bahkan tidak bisa berdiri dengan benar! Bagaimana bisa Paman Jian dan Bibi Mei melahirkan sesuatu yang begitu rapuh?"

Tian Feng perlahan bangkit, menepuk-nepuk debu dari celananya. Matanya yang tenang menatap lurus ke arah Li Shen. Tidak ada rasa takut. Tidak ada amarah. Hanya kekosongan yang dingin.

Di kehidupan lampau, tatapan seperti ini bisa membuat dewa-dewa lain gemetar. Bagi Li Shen, itu hanya membuatnya semakin marah. Merasa ditantang, ia mengumpulkan Dou Qi lagi di tangannya dan hendak mendorong Tian Feng sekali lagi.

"Cukup, Li Shen!"

Suara ayahnya, Jian, terdengar dalam dan tegas. Ia baru saja kembali dari perbatasan hutan, membawa seekor landak berbisa di punggungnya. Tatapannya tajam, membuat Li Shen dan anak-anak lain mundur ketakutan.

"Hmph! Aku hanya bermain-main dengan si sampah!" gerutu Li Shen sebelum berlari pergi.

Jian tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya berjongkok, membersihkan sisa debu dari pipi putranya. "Kau baik-baik saja?"

Tian Feng mengangguk.

Malam itu, setelah makan malam yang hening, Jian mengajak Tian Feng ke halaman belakang gubuk mereka. Bulan sabit menggantung di langit yang kelam.

"Ayah tidak bisa mengajarimu cara mengolah Dou Qi," kata Jian pelan, suaranya berat oleh rasa bersalah. "Tubuh Ayah sendiri hanya mencapai Dou Zhe Bintang 2 seumur hidup. Tapi Ayah bisa mengajarimu cara bertahan hidup."

Ia menunjuk ke hutan di kejauhan. "Dunia ini kejam, Feng'er. Kekuatan bukan hanya tentang Dou Qi. Kekuatan adalah kemauan untuk tidak menyerah. Kekuatan ada di sini," katanya sambil menunjuk kepalanya, "dan di sini," ia menunjuk ke dadanya. "Otak untuk berpikir, dan hati untuk menanggung beban."

Selama beberapa jam berikutnya, Jian mengajari Tian Feng cara membaca jejak binatang, cara membedakan arah angin, dan cara mengidentifikasi titik lemah pada monster tingkat rendah. Pengetahuan fana, tetapi praktis.

Tian Feng, dengan kesadaran dewa nya, menyerap semuanya seperti air deras. Ia menyadari sebuah kebenaran. Selama ini, ia hanya pasrah menunggu keajaiban terjadi, mengandalkan sisa-sisa kebanggaan dewanya. Ayahnya benar. Jika takdir tidak memberinya kekuatan, ia harus menemukannya sendiri.

Hari-hari berikutnya, penduduk desa melihat perubahan pada Tian Feng. Ia tidak lagi hanya diam di sudut. Ia mulai menjelajahi setiap jengkal wilayah Desa Batu Angin. Ia berjalan menyusuri sungai yang kering, memanjat bebatuan di kaki gunung, dan menyelinap ke dalam hutan terlarang tempat monster paling sering muncul.

Ia tidak mencari masalah. Ia mencari sesuatu.

Jiwanya yang agung, meskipun terkurung, masih memiliki kepekaan yang tak tertandingi. Ia menggunakan kepekaan ini bukan untuk merasakan Dou Qi di udara—yang mana terasa sangat tipis di wilayah miskin ini tetapi untuk merasakan Sesuatu. Sesuatu yang tidak pada tempatnya. Sesuatu yang energinya berbeda dari yang lain.

Ia mengamati aliran air, pola bebatuan, dan cara lumut tumbuh. Ia menggunakan pengetahuan dewa nya untuk menganalisis dunia di sekitarnya. Ia memperlakukan Desa Batu Angin seperti sebuah formasi alam raksasa yang harus ia pecahkan.

Anak-anak lain menertawakannya, menyebutnya "Si Bodoh yang suka bicara dengan batu."

Mereka tidak tahu, salah satu dari batu-batu itu, suatu hari nanti, akan benar-benar menjawabnya.

Sore itu, saat sedang mengikuti aliran sungai kecil hingga ke hulu, matanya menangkap sesuatu. Di antara ribuan kerikil abu-abu biasa yang terhampar di dasar sungai, ada satu batu seukuran kepalan tangan.

Batu itu berwarna hitam pekat. Hitam yang seolah menelan cahaya. Tidak ada yang istimewa dari bentuknya, tetapi jiwa Tian Feng merasakan getaran yang sangat samar darinya. Getaran yang begitu kuno, begitu tersembunyi, seolah sedang tertidur lelap.

Dengan jantung yang untuk pertama kalinya berdebar karena antisipasi, bukan karena penghinaan, Tian Feng melangkah masuk ke dalam air yang dingin dan memungut batu hitam itu.

Langit tidak akan memberinya jalan.

Maka, ia akan menggalinya sendiri dari perut bumi ini.

CHAPTER 3

Rasa dingin dari batu hitam itu merambat ke telapak tangan Tian Feng. Beratnya terasa nyata, sebuah jangkar kuat di dunia yang telah merenggut segalanya darinya. Di bawah cahaya matahari sore, permukaannya yang hitam pekat tidak memantulkan apa pun, seolah ia menelan semua cahaya yang menyentuhnya.

Dengan pengetahuannya sebagai dewa, ia tahu benda ini bukanlah batu biasa. Ada semacam segel kuno yang tertidur di dalamnya, sangat lemah dan tersembunyi, mustahil dideteksi oleh kultivator biasa. Jiwanya bisa merasakannya, seperti sebuah bisikan di tengah badai.

Selama berhari-hari, batu itu menjadi rahasia terbesarnya. Siang hari, ia menyembunyikannya di bawah lantai kayu gubuknya. Malam hari, saat bulan bersinar, ia akan duduk memegangnya, mencoba menyalurkan sisa-sisa energi spiritualnya yang lemah ke dalamnya. Namun, batu itu tetap diam, seperti kuburan yang beku.

Ia butuh pemicu, pikir Tian Feng frustrasi. Sebuah kunci untuk membuka segel.

Kunci itu datang tanpa disengaja.

Suatu sore, ia kembali memanjat bebatuan di hulu sungai, tempat di mana ia pertama kali menemukan batu itu. Ia ingin mencari petunjuk lain, mungkin ada batu serupa di sekitarnya. Sambil menggenggam erat batu hitam di tangan kanannya, ia mencoba mencapai pijakan yang lebih tinggi.

Tiba-tiba, kerikil di bawah kakinya longsor. Tubuhnya yang ringan dan lemah tergelincir. Refleksnya yang ditempa dalam ribuan pertempuran surgawi berteriak di dalam benaknya, tetapi tubuhnya yang berusia enam tahun tidak mampu merespons. Ia jatuh terguling beberapa meter ke bawah.

"KRAK!"

Ia mendarat dengan canggung. Tangan kirinya tergores tajam tepi batu lain, mengalirkan darah merah segar. Namun, bukan rasa sakit itu yang menarik perhatiannya. Dalam kejatuhannya, ia secara naluriah melindungi batu hitam itu dengan memeluknya ke dada. Darah dari tangannya yang terluka kini menetes, membasahi permukaan batu yang dingin.

Sesuatu terjadi.

Darah itu tidak mengalir di permukaan. Sebaliknya, ia diserap oleh batu hitam itu dalam sekejap, seolah batu itu adalah tanah kering yang haus.

Wuuussshhh…

Getaran hebat menjalari lengan Tian Feng. Batu yang tadinya dingin kini terasa panas membara. Asap hitam tipis mulai mengepul darinya, membawa aroma zaman kuno yang telah lama terlupakan.

Sebelum Tian Feng bisa bereaksi, kesadarannya ditarik dengan kekuatan dahsyat. Dunia di sekelilingnya lenyap, digantikan oleh kegelapan tak berujung. Ia tidak lagi berada di tubuh fisiknya, melainkan melayang sebagai gumpalan jiwa yang tembus pandang di dalam ruang hampa yang luas.

Di tengah kegelapan itu, sebuah suara serak dan kuno menggema, penuh dengan kelelahan dan keterkejutan.

"...Darah... Kehidupan... Siapa... siapa yang membangunkanku dari tidur panjang ini?"

Dari kedalaman kegelapan, partikel-partikel cahaya redup mulai berkumpul, perlahan membentuk sosok seorang lelaki tua transparan. Ia mengenakan jubah alkemis yang megah namun compang-camping. Wajahnya penuh keriput, janggutnya panjang dan putih, tetapi matanya memancarkan kecerdasan dan kekuatan yang lapuk oleh waktu.

Sosok roh itu menatap gumpalan jiwa Tian Feng. Awalnya ia tampak bingung, seolah hanya melihat seorang anak kecil. Namun, saat tatapannya menembus lebih dalam, matanya melebar karena tak percaya.

"Ini... ini mustahil..." bisik roh itu, suaranya bergetar. "Jiwa seekor naga langit... terperangkap di dalam cangkang seekor semut? Aura yang begitu agung dan purba... namun tersegel di dalam tubuh fana yang bahkan tidak memiliki akar Dou? Siapa kau sebenarnya, Nak?"

Tian Feng tetap tenang. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, ia bisa berkomunikasi dengan bebas, jiwa ke jiwa. Namun, ia tidak akan mengungkapkan identitasnya.

"Siapa dirimu yang lebih penting," balas Tian Feng, suaranya terdengar jauh lebih dewasa dari penampilan jiwanya. "Dan tempat apa ini?"

Roh tua itu tertawa, tawa yang terdengar seperti dedaunan kering yang bergesekan. "Aku? Orang-orang pernah memanggilku Yao Ling, Sang Penyuling Langit. Seorang Dou Zun rendahan yang hidup seribu tahun yang lalu. Tempat ini adalah sisa-sisa lautan kesadaranku, penjaraku selama seribu tahun terakhir."

Yao Ling. Seorang Dou Zun! Di Wilayah Barat yang terpencil ini, seorang Dou Wang saja sudah dianggap sebagai legenda. Seorang Dou Zun adalah eksistensi yang setara dengan dewa.

"Kau memiliki jiwa yang luar biasa, Nak," lanjut Yao Ling, matanya yang tajam mengamati Tian Feng. "Tapi tubuhmu adalah sampah terburuk yang pernah kulihat. Sebuah keadaan yang menarik. Takdir macam apa yang bisa menciptakan lelucon sebrutal ini?"

"Takdir adalah musuh yang harus dikalahkan," jawab Tian Feng dingin.

Jawaban itu mengejutkan Yao Ling. Ia menatap Tian Feng lama, lalu menghela napas. "Kau dan aku, kita berdua adalah tahanan takdir. Aku terperangkap di batu ini, jiwaku perlahan memudar. Kau terperangkap di tubuh itu, potensimu terkunci rapat."

Ia berhenti sejenak, seolah sedang mempertimbangkan sesuatu. "Mungkin... ini bukan lelucon. Mungkin ini adalah kesempatan."

"Kesempatan?" tanya Tian Feng.

"Aku bisa merasakan kekuatan hidup dalam darahmu. Darahmu bisa memberiku makan, menopang jiwaku agar tidak lenyap. Sebagai imbalannya..." Yao Ling tersenyum licik. "Aku memiliki pengetahuan. Aku tahu seratus teknik kultivasi. Termasuk satu teknik terlarang yang mungkin bisa mengubah nasibmu."

Ini adalah momen yang ditunggu-tunggu oleh Tian Feng.

"Teknik apa itu?"

"Namanya Teknik Penempaan Tulang Naga Abadi," jelas Yao Ling. "Ini bukan teknik untuk mereka yang memiliki bakat, melainkan untuk mereka yang tidak memiliki apa-apa. Teknik ini tidak mengandalkan meridian, tetapi menggunakan Dou Qi dari alam untuk menghancurkan dan menempa kembali tulangmu, inci demi inci. Prosesnya adalah neraka di dunia. Sembilan dari sepuluh orang mati karena rasa sakit. Tapi jika kau berhasil... kau akan membangun fondasi yang bahkan para jenius pun akan iri."

Menghancurkan dan membangun kembali. Sama seperti kehidupannya saat ini.

"Aku setuju," kata Tian Feng tanpa ragu.

Yao Ling tertegun oleh ketegasan itu. "Kau bahkan tidak berpikir dua kali? Rasa sakitnya bisa membuat jiwa terkuat pun hancur."

Di mata jiwa Tian Feng, Yao Ling melihat kilatan cahaya keemasan yang agung. "Rasa sakit?" balas Tian Feng. "Kau tidak tahu apa-apa tentang rasa sakit yang sebenarnya."

Yao Ling terdiam. Ia sadar, anak di hadapannya bukanlah anak biasa.

"Baiklah," kata Yao Ling akhirnya. "Kesepakatan tercapai."

Tiba-tiba, kesadaran Tian Feng ditarik kembali. Kegelapan di sekelilingnya pecah, dan ia kembali menemukan dirinya di tepi sungai. Matahari hampir terbenam, mewarnai langit dengan warna oranye dan ungu.

Ia melihat telapak tangannya. Batu hitam itu telah lenyap. Sebagai gantinya, ada sebuah tato kecil berbentuk api hitam di tengah telapak tangannya, terasa hangat saat disentuh.

Dan di dalam benaknya, untaian informasi yang rumit dan mendalam mulai mengalir—bab pertama dari Teknik Penempaan Tulang Naga Abadi.

Ia menatap cakrawala, mengepalkan tangannya yang kini memiliki tanda baru. Luka di tangan kirinya sudah berhenti berdarah. Untuk pertama kalinya dalam enam tahun kehidupan fananya yang menyedihkan, satu kata bergema di dalam lautan jiwanya yang luas.

Harapan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!