NovelToon NovelToon

WHO¿

Prolog

Seseorang tergantung bagaimana cara arah pandangmu. Jika isi pikiranmu penuh keburukan, bisa jadi dia adalah pelaku yang menyamar.

Day one...

Samudra High School, satu nama yang terrekam jelas dipikirannya. Bukan sekedar nama namun bisa jadi disebut neraka, bagi Aletha. Gadis itu memiringkan wajahnya sejenak, menatap sekeliling dipenuhi siswa-siswi yang masuk ke halaman sekolah. Dengan jas biru dongker yang jadi ciri khas sekolahan ini, dia justru mendegus, melirik pada beberapa murid yang menatapnya dengan penuh keanehan. Jas hitam dengan logo yang sama? Masih dengan bentuk, pola, dan tanda almet yang sama pula.

Aletha melangkahkan kakinya, menyusuri halaman sekolah dengan tatapan intimidasi yang tak berhenti. Menuju ruangan yang sudah tidak asing dimatanya, hanya sedikit perubahan tata letak dan orang didalamnya. Pria paruh baya dengan jas merah maroon tersenyum penuh sambutan, memicingkan mata saat nama Aletha Waniwongso melekat disana.

“Oh, saya belum memberitahu kelas kamu ya?”

Aletha terdiam sejenak, menatap papan nama yang entah sudah sejak kapan digantikan sebagai jabatan berlaku. Ruangan penuh interior kemenangan, cat dinding putih yang selalu menyalurkan suasana dingin, dan kemisteriusan. Aroma air laut semerbak menusuk sampai tulang hidung.

“Aletha ya” Mahen Septriyoso dengan status kepala sekolah itu membuka catatan yang sempat dia ambil dilaci. Mencari letak keberadaan nama murid yang dia cari.

“Sebelas Fisika Satu”

Pria itu mendongak, nada dingin yang dia dengar benar-benar menusuk kesunyian. Menimbulkan kecanggungan yang sejak awal gadis itu buat. Tawa yang Mahen mulai bahkan tidak mencairkan suasana. Harum mawar yang dia cium semakin pekat, mengepung ruangannya dengan lihai.

“Kamu sudah tahu, lalu kepentingan seperti apa yang ingin kamu tanyakan sepagi ini, Nona Waniwongso?”

Aletha menghela napas, sejenak melirik name tag-nya sebelum menatap kembali pasang mata penuh tawa yang kosong. Mahen, sejak kapan pria itu ada pada kursi kebohongan ini. Mengisi kemisteriusan yang tidak pernah siapapun bisa bayangkan.

“Kalau hanya diam,”

“Hanya sambutan murid baru, saya rasa Bapak melupakan itu kemarin”

Pria paruh baya itu tersenyum, meletakkan kedua tangannya diatas meja. Jas hitam dengan almamater Samudra High School sesuai permintaannya, maksudnya permintaan konyolnya. Saat warna biru tua jadi identitas sekolahan ini sejak lama, dengan bayaran dua kali lipat, gadis itu mampu merenggut kewarasan dunia.

“Selamat datang, putri Waniwongso”

Gadis itu berdiri, menerima ucapan selamat datang tanpa ekspresi. Daripada bahagia karena telah diterima disekolahan nomor satu di negeri, seperti semua murid disini. Dia justru merasakan beberapa tekanan yang terjadi dari masing-masing mata sejak pendaftarannya. Namun sayangnya, Aletha justru menikmati itu.

“Semoga betah”

“Saya rasa seminggu setelah ini anda akan menyesal”

Mahen menghela napas, menatap punggung Aletha yang mulai menghilang dari arah pandangnya, meninggalkan ruangan dengan jejak aroma mawar khas pemakaman. Jemari mulai memanjakan ketegangan dikepalanya, memijat lembut setelah sadar bahwa menerima siswi seperti Aletha sepertinya bukan keputusan yang tepat, tapi uang dan prestasi? Oh ayolah, tidak ada yang bisa menolak murid sepertinya. Gila prestasi dan penuh ambisi, walaupun sedikit menyeramkan?

Aletha melangkahkan kakinya menyusuri lorong, tak peduli dengan pasang mata yang lagi dan lagi melihat kearahnya. Dari balik jendela kelas, ambang pintu, atau beberapa yang masih ada didaerah taman. Hanya satu yang jadi tujuannya sekarang, kelas sebelas fisika satu. Tempat yang akan jadi permulaan hidupnya yang baru. Samudra High School.

Riuh suara terdengar dengan jelas sebelum seseorang masuk begitu saja, menyebar aroma mayat, namun sedikit lebih bisa ditoleransi indra penciuman manusia. Menampilkan tatapan dingin yang membekukan ruangan. Hanya satu yang bisa dia lihat, pecahan kaca jendela pada sudut ruang kelas paling ujung.

“Selamat pagi, anak-anak”

Aletha menoleh saat suara wanita dibelakangnya mulai mengejutkan. Pandangan dingin itu sempat bertemu sebelum wanita ber-name tag Sasmita Yadhiatmo melantun penuh senyum. Menyuruhnya masuk dan mencairkan suasana kelas dengan pelajaran pertama mereka.

“Sebelumnya, mungkin bisa perkenalkan diri dulu”

Aletha justru memilih duduk pada kursi yang kosong, daripada berdiri didepan kelas dengan first impresion yang menarik, untuk teman-teman barunya. Seketika sunyi mengerubungi, hanya suara gesekan antar tas dan buku dari kegiatan Aletha. Gadis itu tidak suka jadi pusat perhatian, Aletha juga tidak suka ada banyak orang mengenalnya, lantas menjadi teman, dan dituntut untuk menjadi teman yang baik.

Dia tidak suka berteman.

“Oke, baiklah kita mulai pelajarannya”

Sasmita tersenyum menatap kehadiran Aletha yang tentu sudah bukan tanda tanya lagi baginya. Pertemuan pertamanya kemarin bersama keluarga Waniwongso justru sudah menjelaskan, secara transparan. Keluarga yang dingin dan tak terduga. Seperti yang tergambar oleh Aletha, gadis tanpa ekspresi yang penuh dengan keyakinan bahwa dunia memang hanya bisa dihadapi bersama dirinya sendiri.

“Hai, boleh kenalan?”

Daripada menjawab, Aletha lebih memilih memasukkan bukunya ke dalam tas, dan meninggalkan tempat duduknya. Saat bel istirahat berbunyi lebih nyaring dari sekolah yang sebelumnya.

“Eh mau kemana! Gue Roona!”

Suara lantang itu dibalas tepukan cukup kencang di pundaknya. Menimbulkan kejutan singkat dari gadis yang baru saja mengaku kalau namanya Roona. Vanus mendegus, menggeleng singkat mendapati sahabatnya justru terlihat sok akrab dari biasanya. Dengan dalih, ‘kan dia murid baru, jadi harus kita temenin’, padahal menurut sepengelihatan Venus. Gadis itu terlihat seperti tidak ingin ditemani.

“Lo ngga takut apa?”

Roona mendongak, menatap punggung murid baru itu tanpa kecurigaan seperti yang dirasakan Venus. Lantas beranjak untuk mensejajarkan tubuhnya dengan Venus. Pandangan mereka bertemu, saling mengintimidasi satu sama lain. Roona yang selalu penuh ambisi untuk bersosialisasi dan Venus yang hidupnya penuh dengan kewaspadaan.

Kalau Maroona selalu mengedepankan berbaur dengan semua orang dimuka bumi ini. Venus tidak, gadis itu memang lahir sebagai manusia yang mudah sekali curiga dengan orang lain. Bahkan untuk membangun kepercayaan dengan Venus pun begitu sulit bagi Maroona.

“Takut gimana?”

“Ya horror aja gitu kelihatannya, lo ngga ngerasa tadi pas dia masuk? Ruangan langsung kerasa banget dark-nya”

“Whatever, yuk ke kantin”

Dan dari pada menelaah manusia, Roona juga lebih suka mengajak sahabatnya makan bakso di kantin. Merangkulnya disepanjang lorong menuju tempat utama anak-anak Samudra High School. Menurut mereka, pelarian paling menyenangkan ya di sana. Karena sudah terlalu muak dengan pelajaran dan tuntutan orang tua demi nilai yang sempurna.

Aletha terdiam. Bersama sepoi angin yang menemaninya siang ini, menyapu anak rambut sampai berantakan. Sisa napas yang dia punya seakan tidak berharga jika digunakan hanya untuk diam. Cairan yang sempat mengering itu sekarang sudah diselimuti keramik, pohon mangga yang jadi saksi bisu sudah sisa badan bawah sampai akar. Gadis itu melangkah, duduk diantara kesunyian beralas badan pohon mangga. Sejenak memejamkan mata untuk mereka ulang adegan yang dia ingat. Atau hanya sekedar skenario yang dia buat-buat.

“Ngapain?”

Aletha membuka matanya, menatap dingin seorang pria yang bersandar pada dinding belakang kelas. Sejak kapan dia ada disana? Sejak kapan pria itu melihat kegilaan pertama Aletha? Sejak kapan ada orang yang berani menguntitnya?

“Sejuk juga ya?”

Bukannya menjawab, gadis itu hanya diam. Masih dengan tatapan yang sama saat sang lawan bicara ingin membentuk percakapan pertama mereka. Bagi Aletha ini hanyalah basa-basi, jadi apa pelu menjawab pembahasan yang tidak pelu?

“Gue Khalil, lo pasti ngga lihat gue sih, cuman kita satu kelas”

“Duduk di bangku kedua dari belakang, dekat jendela barisan meja guru”

Khalil tersenyum. Selain bisa dibilang menyeramkan, gadis itu ternyata lebih pengamat dari yang dia pikir. Khalil hanya menganggapnya sebagai siswi aneh yang suka belajar dan tidak banyak bicara. Tidak mempedulikan sekitarnya dan lebih memilih asik dengan isi kepalannya sendiri, tapi ternyata asumsinya salah.

“Pindahan dari mana?”

Aletha merasa, ini bukan pertanyaan yang perlu dijawab. Hanya saja, pria dengan picing serigala itu tidak mungkin datang hanya untuk menanyakan hal sepele.

“Mau ke kantin nggak?”

“Gue ngga butuh temen”

Dari senyum berubah tertawa. Suasana yang tiba-tiba memanas. Tepat saat tiga pria dengan minuman kaleng di tangan mereka datang. Bersamaan dengan kejut yang sedikit tidak bisa didefinisikan dengan baik. Dua diantara mereka memilih duduk pada bangku yang tak jauh dari kedua mansuia itu berdiri, sementara satu lainnya melempar sekaleng soda untuk Khalil.

“Oke kalau lo mau kita musuhan”

Eden terkekeh, menyesap rokok elektrik yang baru saja dia keluarkan dari saku celananya. Membuat gadis yang tengah bercengkrama dengan Khalil menoleh. Memberikan tatapan dingin yang menusuk dan cukup menimbulkan kecanggungan sesaat.

“Bay the way, kok seragam lo hitam sendiri? Alergi warna ya?”

Khalil hanya diam saat suara Angkasa mendominasi, seketika topik utama memenuhi ruang bebas siang ini. Bersama Aletha si anak baru yang berani membeda dari anak-anak Samudra High School lainnya.

“Lo ngapain kesini?”

Khalil tahu bahwa gadis itu serasa sedang diintimidasi, bersama keempat pria yang seolah-olah mengepungnya. Walau kenyataan apa yang Aletha pikirkan justru sebaliknya. Gadis itu hanya ingin ada pada ketenangan yang tidak ada siapapun disana. Dan Khalil bersama ketiga temannya itu menganggu pikirannya.

“Bukan urusan lo”

“Gue pikir sariawan” celetuk Niko, pria berambut sedikit gondrong dengan pelet merah tua tersembunyi dibalik dominan hitam helai lainnya. Dingin dan egois, Aletha tahu betul gaya bicara yang dia utarakan ke bumi. Seperti tidak takut mati jika kepala sekolah menggunakan gunting untuk membuat kepalanya botak.

Tidak ingin membuang banyak tenaga, gadis itu berbalik, enggan meninggalkan kelompok Khalil tanpa jejak. Namun, pandangannya justru tertuju pada bercak yang seperti tidak ingin hilang pada dinding, yang hampir dia lewati.

“Lo bukan badan intelegen yang lagi menguak khasus di sekolahan ini kan?”

Khalil mendengus, melempar batu kerikil yang baru saja dia ambil di tanah kepada Eden. Menyuruhnya berdiam dan tidak mencari masalah dengan siapapun, termasuk dengan gadis aneh yang jadi murid baru dikelasnya.

“Lo nonton serial Wednesday ngga?”

Khalil melirik pada Angkasa, meletakkan ponsel yang sempat mengganjal di saku celana disebelah duduknya. Lantas kembali fokus dengan ketiga sahabat yang sedang menunggu kelanjutan ucapannya.

“Ya itu horror anjir, kaya tuh cewek”

“Bajunya juga beda sendiri, ngga mungkin dia juga lagi nyari monster yang bikin sekolah kita terkutuk kan?”

Untuk pernyataan jika Aletha lebih mirip Wednesday dalam serial yang mereka tonton, itu masih bisa Angkasa terima. Tapi untuk lanjutan opini yang Eden katakan, sepertinya memang hanya ada di serial dan drama televisi saja. Lagian mana ada monster didunia nyata? Bahkan ungkapannya yang spontan tentang kealergian warna pada gadis itu, sepertinya tidak benar-benar ada.

“Ngaco!” timpal Niko.

“Siapa tahu yang lo takutin itu justru ngga beneran kejadian? Kalo emang dia gitu, mau gimana lo pada?”

“Lil, dunia ini luas banget ya buat mengerti wanita. Tapi ngga senggak masuk akal ini juga kalik” senggol Angkasa.

Khalil menghela napas, menatap jejak yang dia yakini masih ada disana walau tampak samar. Kedatangan gadis itu yang tiba-tiba membekukan ruangan, rasa canggung yang terasa lebih dalam dari pada saat kencan pertama, semuanya tampak nyata, semuanya seakan bukan bagian dari dunia nyata bagi Khalil.

“Kamu ngapain disini?”

Aletha menoleh cepat, pada pria berseragam satpam lengkap dengan atributnya. Lantas kembali melihat pada jendela yang cukup usang dibelakang ruang kepala sekolah. Hanya ada jejak sapuan tangan yang seperti sudah tertanda lama dan lupa dibersihkan. Bukannya menjawab, gadis itu justru memberi jeda sambil memiringkan wajahnya sejenak. Berkedip sekali lantas meninggalkan tempat tanpa bicara.

“Dasar anak aneh”

Gumaman itu masih terdengar, bahkan setelah lorong pertama hampir selesai dia jamah. Langkah kaki teratur dengan derap yang tak berubah nada. Aletha hanya bisa merasakan gemuruh murid saat istirahat, suaranya terdengar semakin mengeras.

Sementara, Mahen tersenyum saat mendapati murid barunya baru saja berbelok dari halaman belakang ruang kepala sekolah. Seperti sapaan kecil, supaya tidak ada pagi yang menyeramkan seperti tadi.

Aletha lihat betul bagaimana lugunya kepala sekolah Samudra High School menyapa murid-murid mereka. Seperti tidak pernah terjadi sesuatu atau hal mengenaskan di tempat kebanggannya ini. Suasana yang dia rasa jauh lebih menyedihkan dari film kematian justru jadi suasana yang dia realisasikan untuk kemenangan mutlak.

“Saya baru bicarakan soal konsultasimu bersama Doktor Utomo”

“Itu bukan sesuatu yang bisa kita bicarakan di ruangan terbuka, kepala sekolah Mahen”

Pria itu kembali tersenyum. Menyadari kejanggalan diluar pertemuan pertama mereka kemarin. Bahwa anak ini unik dan penuh teka-teki. Bicara dengannya seperti sedang mempertaruhkan segala harta benda ke perampok yang membobol rumah.

“Bapak hanya ingin menyampaikan apa yang orang tuamu bilang”

“Saya tidak akan lupa, lagian sejak kapan saya absen ke psikiater?”

Mahen mengangguk, mengabaikan Aletha adalah keputusan yang tepat. Gadis aneh yang membuat seisi sekolahan ketakutan dengan aura mayat yang semerbak, bagaimana bisa dia menerima murid sepertinya? Mahen tersenyum simpul, meninggalkan tempat setelah menepuk pundak gadis itu dengan pelan. Mendapat intimidasi sesaat setelah percakapan dingin yang pria paruh baya itu dia akhiri dengan baik.

“Oh hai!”

Suara yang memekikkan gendang telinga. Gadis dengan rambut yang terikat sempurna itu masih setia di tempat terakhir kakinya berpijak. Melirik pada keramaian yang sudah lama sekali tidak dia rasakan, walau selama ini dia sudah cukup nyaman dengan hidupnya. Tarikan napas stabil bersama helaan yang senada masih membuat hening dijumpaan kedua mereka.

Maroona Jovianca dan Vanus Indris S. Dua gadis dengan aroma tubuh yang sama, saat terakhir kali pertemuannya beberapa menit lalu. Dan Aletha, gadis bau mayat yang membuat Roona obses ingin menjadikannya teman.

“Kita satu kelas loh”

“Udah tahu, duduk di barisan tengah meja ketiga dari depan”

Roona menatap kejut, tentu dengan ekspresi berlebihannya, dan Venus yang hanya menatap tidak percaya saja, karena yang dia sangka aneh justru malah mengamati.

“Kita bakal jadi team kalo lo mau!”

“Nggak tertarik”

Venus hanya diam, menatap sahabatnya yang tengah berusaha mendekati orang yang katanya butuh ditemani itu. Percobaan kedua dengan kegagalan yang sama, ditinggalkan. Aletha melangkah menjauh dengan aura dinginnya, meninggalkan hawa yang cukup membuat mereka berdua merinding.

“Dia kaya dukun ngga sih?”

Venus hanya tertawa, mengajak Roona kembali fokus dengan tujuannya. Koprasi sekolah untuk mencari buku tulis dan pena. Mengabaikan pertemanan yang kedengarannya mustahil terjadi antara mereka dan Aletha.

Disebrang, Aletha bisa lihat dengan jelas bagaimana ricuhnya Khalil dan teman-temannya yang entah sejak kapan berpindah tempat. Mengukir tawa untuk menemani rumput hijau dan pepohonan yang rindang. Membuat cemburu pada siswi yang melihat mereka lebih memilih bicara dengan angin, lantas menjadikan mereka terkesima secara bersamaan saat senyuman manis tampil pada masing-masing wajah. Terkecuali Aletha yang tidak peduli sama sekali. Seperti nisan yang diberi warna, seperti tanah kuburan yang baru saja di taburi bunga. Patut ditangisi, terlebih guyonan yang kata mereka seru justru adalah yang paling bisa Aletha rutuki.

Hanya satu fungsinya disini, mendapatkan keadilan. Selebihnya bukan tanggung jawabnya lagi.

To Be Continue...

Satu

Sedikit pergerakan merubah sudut pandang seseorang. Saat kamu tertawa, menunjukkan kesedihan, atau diam? Tidak ada yang benar-benar peduli, jika dia memang tidak peduli.

Hanya ada suara air yang mengalir pada kolam buatan di taman samping ruang makan. Sisanya sentuhan piring dan sendok yang menggema tidak sengaja. Pembahasan masuk akal apa yang akan jadi topiknya? Padahal semua yang dia lakukan sekarang tampak sebuah kepalsuan yang disengaja.

“Bagaimana sekolahmu?”

“Ada beberapa bagian yang masih terlihat dengan jelas”

Avram menghela napas, meletakkan sendok yang baru saja digunakan untuk menyuap makanan ke mulut. Menatap Aletha dengan penuh pertimbangan yang sebenarnya tidak perlu. Sementara gadis itu justru fokus pada makannya, menyisihkan sayuran hijau yang bercampur dengan wortel dan kembang kol.

“Bukan itu pembahasan yang ingin Mamah tanyakan padamu” tegur Avram.

Sementara Kasandra tersenyum, menegak segelas air putih yang tinggal setengah sebelum menatap bagaimana putrinya makan. Masih sama dan tidak akan berubah. Dengan pakaian hitam rapih dan cara duduk yang tegap, mengingatkan dengan dirinya ketika muda.

“Siapa namamu?”

Aletha menoleh pada sumber suara lembut yang kembali meraup kesunyian. Tak peduli Avram menggeleng karena drama yang anaknya sendiri ciptakan, seperti sudah tidak masuk akal.

“Aletha Waniwongso, anakku”

“Katakan saja yang perlu”

Kasandra menelungkupkan sendok yang ada dipiringnya, sebelum mengangkat kedua tangan untuk menyangga dagu tajam miliknya.

“Mau buat tindak kriminal apa lagi, sayang?”

“Menjijikkan, sepertinya aku tidak hidup saat itu”

“Semuanya sudah terjadi dan jadi masa lalu, seperti bagaimana kamu meludahi hidupmu kala itu, jadi stop bertidak kamu adalah badan intel atas kasus,”

“Kasus bunuh diri yang dia lakukan sendiri?”

Manik dingin itu merujuk pada tajam mata elang dihadapannya. Menyalurkan kebencian pada kemarahan yang sudah redam.

“Kita bicarakan hal lain saja, bagaimana konsultasimu bersama Dokter Utomo?”

Aletha menghela napas, kembali menyantap makan malam tanpa peduli kedua orang tuanya ternyata sudah menyelesaikannya lebih dulu. Konsultasi dengan psikiater adalah hal bodoh yang lagi dan lagi dia lakukan. Semasa hidupnya, bertemu dengan Dokter Utomo tidak masuk dalam daftar perjalanan hidupnya.

“Seperti biasa, dia bilang aku sudah gila”

Kasandra tersenyum, dia yakin anaknya hanya melebih-lebihkan atas penyampaian yang Dokter Utomo katakan padanya. Aletha memang seperti itu, sejak usianya menginjak tiga tahun dan mulai melakukan hal-hal bodoh. Tentu sebagian besar merugikan orang disekitarnya, pernyataan bahwa dia sudah gila adalah yang sering dia dengar. Bahkan setelah berulang kali berganti psikiater saja, anggapan tentang penyakit mental yang mereka sampaikan masih di terima bahwa dia hidup sebagai gadis yang gila, bagi Aletha.

“Gangguan mental itu bukan aib”

“Sudah berapa kali dokter mengatakan hal itu? Lagi pula saya hanya akan buang-buang waktu kalau hanya itu yang ingin dokter katakan”

Dokter Utomo tahu betul bagaimana cara interaksi Aletha jauh berbeda dengan anak pengidap gangguan mental lainnya. Seperti sesi konsultasi yang ada setiap minggu hanyalah waktu yang sia-sia. Ungkapan yang Dokter berikan hanya sebatas bualan.

Antisocial Personality Disorder atau gangguan kepribadian antisosial bukan hal yang remeh dan Aletha selalu menunjukkan segala gejalanya setiap kali menceritakan apa yang dia rasakan. Pola perilaku konsisten mengabaikan perasaan orang lain, seringkali tidak menunjukkan penyesalan atau rasa bersalah atas tindakan bodohnya, dan memanipulasi atau bersikap kejam pada orang lain.

Dokter menggeser gelas yang ada dihadapannya, membuat gadis itu semakin bosan dengan kegiatannya sore ini. Dia hanya butuh pulang dan merencanakan apa yang ingin terlaksana esok hari.

“Sedikit pergerakan merubah sudut pandang seseorang”

“Dokter sedang tidak membicarakan pergeseran gelas itu kan?”

“Apa rekam jejak itu masih jelas?”

Aletha mengerjab. Memikirkan rencana terbaik untuk bisa dunia lihat bahwa tindakan yang dia ambil adalah keputusan emas, walau sebenarnya dia juga tidak butuh validasi. Tapi baginya memecahkan masalah dengan caranya sendiri dan gagal, jauh lebih mengesakan dari pada diam.

“Dia menatapku seperti aku sudah gila,”

“Bukan gila, dia hanya sudah tahu kamu butuh bantuan”

Avram menghela napas, lagi dan lagi. Tak habis pikir dengan anak ajaib yang lahir dikeluarganya. Selalu menciptakan pertanyaan atau pernyataan yang tidak pantas di anak seusianya.

“Dengan mengintimidasi? Aku pikir keputusan dia masuk ke sana adalah hal bagus yang bisa aku ikuti, aku yakin setelah ini aku yang akan dibunuh, atau seminggu setelahnya mereka akan menyesal”

“Mamah tidak tahu serial apa yang baru saja kamu tonton, tapi sudah cukup!”

Aletha dan Avram terdiam pada rahang yang mengeras dan picingan mata satu sama lain saling beradu. Hanya ada ketegangan dibalik ketegangan.

“Lakukan apa yang ingin kamu lakukan, tapi kamu harus tahu kalau Mamah dan Papah sudah tidak ingin membantumu”

Aletha sejenak diam, beranjak dari tempat duduknya untuk meninggalkan Avram dan Kasandra. Wanita paruh baya itu memijat pelipisnya, menghadapi anak perempuan seperti Aletha bukanlah hal yang dia bayangkan sebelumnya. Seperti bercermin dengan dirinya dimasa lalu, namun kali ini lebih parah. Seperti kaca yang pecah karena benturan kerikil dengan kecepatan tinggi. Di tambalpun akan tetap terlihat kerusakannya dan serpihan yang hilang juga tidak akan ditemukan dengan lengkap.

Sementara Avrem tetap berusaha tenang. Sudah bukan hal yang patut ditakuti atau dipusingkan jika hal bodoh terus Aletha lakukan. Namun kali ini, rasanya keputusan untuk kembali datang pada ranah ini akan membuatnya dalam masalah lebih besar dari sebelumnya.

Aletha terdiam, menatap gelap malam dari pintu kaca balkonnya. Sesekali mengintai pejalan kaki yang berkeliaran atau beberapa motor dan mobil yang masih beroperasi. Langkah yang dia ambil saat ini bukanlah yang menurutnya salah, bukan cuman sekedar tantangan seperti yang sempat ada dalam angannya saat umur lima tahun. Justru pembuktian agar semua orang membuka mata bahwa dunia itu tidak cuman tidak ramah untuk orang dewasa, juga untuk anak kecil bahkan anak yang mengaku dewasa padahal jiwanya menolak untuk tumbuh.

“Seperti pedang yang tertusuk pada langit-langit mulut Basilisk, akan jauh lebih kejam penghakiman yang kalian dapat”

Aletha menghela napas, mengusap wajahnya lantas menyapu rambutnya lebih bertenaga. Menumpahkan emosi pada erangan kekesalan yang menghantuinya selama ini. Gadis itu murka, tapi tidak bisa marah. Dia hancur tapi tidak benar-benar lebur. Dia kesal tapi rasanya percumanh jika alam semesta harus tahu dan menganggapnya semakin gila.

“Kamu dibebaskan”

Gadis itu mendongak, menatap seorang penjaga cell membuka pintu jeruji besi dengan kunci yang selalu tergelantung pada ikat pinggangnya. Menatap nanar pada sang petugas, Aletha hanya baru bisa bernapas sedikit lebih lega, saat justru semua udara diraup kekuasaan.

“Tidak ada bukti yang valid tentang pembunuhan yang kamu lakukan”

Aletha menatap kedua orang tuanya yang sudah bersimbah air mata. Sesak yang kali ini terasa jauh lebih menyiksa dari saat kematian Kakaknya atau saat pendakwaan yang tiba-tiba. Aletha bisa lihat bagaimana Kasandra berlari memeluknya dengan erat, lantas bersaut dengan Avrem.

“Maafkan kita, sayang”

Aletha hanya diam. Lagi pula, apa yang perlu dimaafkan saat jurstu dirinyalah yang memulai untuk ada pada situasi yang tidak mereka setujui?

“Sayang”

Aletha berbalik, menyaksikan Kasandra yang baru memulai duduk pada meja belajar milik anak perempuannya. Menatap sebuah laptop yang masih menyala bertengger disana dan coretan teori gila yang anaknya sendiri ciptakan. Melihat semua yang tertempel didinding, baginya bukan sebuah keseriusan untuk percaya. Bahwa anaknya yang baru ingin memasuki umur tujuh belas tahun meniptakan teroi-teori gila.

Kasandra menelan ludahnya susah payah, kembali menoleh pada Aletha yang sudah lebih dulu kembali pada pandangan awal.

“Apa yang kamu mau?”

“Keadilan”

“Bicara soal keadilan, dunia nggak akan bisa kasih kamu itu. Berapa kali Mamah dan Papah harus bilang sama kamu?”

“Berapa kali juga aku harus minta kalian untuk nggak ketemuin aku lagi sama Dokter Utomo?”

Kasandra sejenak diam. Mengabaikan bagaimana benang merah yang tersusun sempurna pada papan tulis. Menghapus semua kebodohan yang kian lama terlihat nyata.

“Listen! Kamu nggak gila atau apapun yang orang lain bilang tentang kamu, kamu cuman beda. Lihat semua yang ada disini”

Aletha masih diam di tempatnya. Tak peduli dengan Kasandra yang menunjuk semua ‘kejeniusan’ yang ada diruangan ini. Ruangan dingin dengan funitur yang Avrem bilang, lebih horror dari serial drama pembunuh berantai yang dulu sempat mereka tonton bersama. Kepingan puzzle yang tersusun rapih, hanya masih belum lengkap saja.

“Ini semua sempurna, kamu luar biasa”

“Lebih baik Mamah pergi dari pada ngasih aku motivasi yang nggak penting” kali ini Aletha berbalik, membereskan semua kertas yang berserakan dilantai. Menjadikannya pada satu kotak yang memang dia sengaja untuk menampung segala ide gilanya. Pandangan mereka saling temu, menyalurkan sihir yang entah dipercaya semua orang atau tidak. Bahwa kenyataannya, Aletha yang sekarang adalah Kasandra dimasa lalu. Tatapan dingin dan penuh kemisteriusan, rasa sakit yang tidak pernah bisa terungkap dengan sembarangan, senyum yang harus dunia tahu tidak ada yang bisa membuat itu.

Aletha adalah Kasandra dengan versi yang lebih, jenius.

“Baiklah”

To Be Continue...

Dua

Saat kamu merasa ada yang mengganjal,

sesuatu sekecil apapun akan membuatmu penasaran.

Day two...

Percakapan yang terus berulang setiap malam dan tatapan intimidasi pada setiap sudut sekolah. Mungkin, selain menerima hidup seperti ini, Aletha juga harus terbiasa dunia melihatnya dengan kaca mata mereka. Pemikiran yang tidak logic, ucapan yang dingin dan menyeramkan, bagaimana caranya menolak, atau cara dia bahagia.

Tepat dihalaman belakang kelas, saat semua siswa-siswi mempersiapkan diri untuk mata pelajaran pertama mereka. Gadis itu justru menggunakan indra pengelihatan dan penciumannya untuk kejadian yang sudah lebih dari dua tahun berlalu. Bercak yang dia yakini adalah cairan merah yang mengering terasa lebih jelas sekarang, saat tidak ada yang membuntutinya, atau sengaja membuntutinya.

“Lo intel beneran ya?”

Aletha berbalik, manik tajam yang sama seperti terakhir kali mereka bertatapan. Khalil bisa rasakan, suasana jauh lebih dingin dibanding tubuhnya pertama kali keluar rumah. Rasanya saat bertemu Aletha hawa berubah jauh lebih menegangkan. Bukan cuman seperti mayat hidup yang berkeliaran, tapi psikopat yang menyamar sebagai kurir pengantar ayam goreng.

“Gue ngga tahu kenapa ini jadi spot favorite lo”

Gadis itu hanya diam. Tak peduli sepasang mata sedang mengintimidasinya untuk yang kesekian kali atau entahlah. Rasanya ini seperti hal lumrah karena sepanjang hidupnya, Aletha memang menganggap tatapan itu adalah tatapan yang wajar. Karena dia tidak suka jika tidak dikucilkan. Saat dirinya dianggap sebagai teman, justru itu adalah yang paling membuatnya kecewa.

“Aletha Waniwongso, seneng akhirnya bisa tahu nama lo”

Aletha menghela napas. Selain sok tahu, sepertinya Khalil adalah penguntit yang handal. Pria dengan tubuh kekar dan tatapan tajam seperti elang. Aura yang berkarisma bagi sebagian orang, termasuk para gadis yang menyukainya.

“Gue ngga suka diikutin”

“Kebetulan gue bukan penguntit, lagi nyelidikin sesuatu?”

“Kalau bukan kenapa nebak?”

Khalil tersenyum, menatap bercak coklat yang teksturnya masih terasa jika disentuh. Kejadian yang tidak dia ketahui betul kapan terjadi. Tapi dia yakini terjadi di tempat ini. Sama seperti yang sedang gadis ini usahakan untuk terungkap.

“Gue ngga tahu persis, tapi kalau gue bisa bilang mungkin bakal jadi clue buat lo”

Suara bel masuk memecah ketegangan pagi ini. Gadis itu melangkah lebih dulu dengan gaya jalan yang sudah dia tentukan, sesuai irama. Sementara Khalil hanya diam, merasa harga dirinya seakan terinjak karena diperlakukan demikian.

Khalil Gibran Muhammad, pria yang jadi most wanted di Samudra High School. Selain pintar akademik dan menang beberapa lomba olimpiade sains nasional, dia juga bergabung pada pasikbra sekolah dan juga pernah menang sebagai danton terbaik. Handal dalam bidang olahraga yang tidak mungkin tidak ada yang tidak kagum, dengan kehadirannya yang sempurna disini.

Kecuali setelah Aletha datang, spotlight merujuk pada gadis misterius yang menjadi highlight berita sekolah. Dengan gaya gothic yang menonjol dan tatapan dingin membuat seisi sekolah tersihir dengan ke-horror-annya. Rasanya seperti dunia berubah menjadi Hogwarts atau Nevermore Academy.

“Sebelum saya mulai pembahasan pagi ini, ada yang tahu apa itu kalorimeter?”

Aletha menghela napas sebelum mengangkat tangannya. Tepat sebelum tangan Khalil terangkat lebih tinggi darinya.

“Silahkan”

“Alat untuk menemukan kalor jenis suatu zat, kalor itu energi panas yang berpindah dari benda yang bersuhu lebih tinggi ke benda yang bersuhu lebih rendah”

Sasmita tersenyum, menampilkan penjelaskan pada layar proyektor yang sesuai dengan penyampaian Aletha. Pembelajaran yang belum sempat disampaikan namun sudah dikuasai oleh beberapa murid, maksudnya hanya Aletha dan Khalil. Kedua murid yang terlihat fokus dengan penjelasan dari pada menulis di buku mereka.

“Aletha, Ibu anggap kamu mengerti semua materi pagi ini karena tidak mencatat”

Gadis itu terdiam, menatap layar proyektor yang menampilkan soal pembahasan materi. Yang jelas adalah sebuah kejutan yang cukup mengisi ruangan tanpa suara.

“Karena Ibu lihat, buku kamu kosong dari pertemuan awal kita kemarin”

“Besar kalor yang dibutuhkn 154.000 joule”

Seisi kelas menatap pusat pada Aletha terutama Sasmita dan Khalil, bahkan beberapa dari mereka baru selesai memahami inti soal yang akan dikerjakan. Tapi gadis itu bisa menjawab dengan benar secara singkat.

“Kalor yang dibutuhkan untuk memanaskan 2kg air yang bersuhu 23 derajat menjadi 100 derajat jika diketahui kalor jenisnya 1.000 joule per kg derajat celcius adalah 154.000 joule, jawaban saya salah?”

Sasmita menggeleng, memberikan lembar soal yang sudah lebih dulu dia siapkan pada setiap murid. Harusnya dia tidak terkejut dengan kepintaran yang dibilang keluarga Waniwongso tentang anaknya, tapi ternyata kewaspadaan justru jadi kunci utama. Kehadiran yang seakan jadi peringatan merengggut kepercayaan tentang siapa Aletha Waniwongso sesungguhnya.

Aletha beranjak lebih dulu, meninggalkan selembar soal yang sudah dia jawab dengan detail sebelum ijinnya ke toilet disetujui. Beberapa pasang mata yang melihat kemisteriusan itu justru jadi tatapan kagum. Bagaimana bisa menyelesaikan lima soal rumus yang belum diajarkan dalam waktu kurang dari sepuluh menit? Bahkan si jenius kebanggan Samudra High School pun baru saja menyelesaikan satu soal pertamanya.

Khalil menghela napas, menatap bangku dengan tas hitam yang tergelantung disana. Lebih kecil dari bawaan murid lainnya dan lebih ingin dia tahui alat menyeramkan apa yang gadis itu bawa?

“Konyol”

“Apanya yang konyol?”

Lagi? Kenapa Samudha High School banyak sekali punya orang yang suka mengejutkan? Satpam, murid, bahkan sekarang guru? Seorang ber-name tag Wanda Pujiasti berdiri dibelakang Aletha, ditatapnya lewat pantulan kaca tanpa tolehan sedikitpun.

“Bagaimana hari pertamamu?”

Aletha hanya diam. Sepertinya bukan waktu yang tepat untuk basa-basi dengan seorang guru. Lagi pula sejak kapan kamar mandi murid dan guru jadi satu? Bahkan terdengar konyol jika terjadi di sekolah ini.

“Biasa saja, tidak ada yang menyenangkan dibanding hari ini yang harus mengerjakan soal anak SD”

Wanda tersenyum, berdiri disebelah Aletha untuk mencuci telapak tangannya. Seakan membuang waktu untuk terus mengajak bicara murid barunya tanpa terlihat sedang berusaha dekat.

“Soal apa yang kamu maksud?”

“Kalor, aku pikir pembelajaran ini tidak perlu dibahas” Aletha menoleh, tentu masih dengan intonasi nada yang kaku dan dingin. Sampai pada manik mata yang mengarah pada fentilasi teratas ruangan ini.

“Mungkin bagi kamu pembahasan ini tidak perlu, tapi bagi teman-temanmu ini pembelajaran yang memang harus mereka tahu”

Gadis itu tidak mengubris, memilih berjalan maju untuk memastikan benda apa yang dia lihat adalah benda yang ada dipikirkannya. Sementara Wanda hanya diam, mengamati tingkah Aletha tanpa protes.

“Kamu tidak punya mata batin kan?”

Aletha menghela napas, meninggalkan kamar mandi tanpa menjawab pertanyaan yang lagi-lagi konyol dipikirannya. Kali ini yang dia butuhkan hanyalah untuk bisa menjangkau barang yang dia lihat. Untuk bisa mengambil atau sekedar tahu bahwa itu bukan sekedar barang tidak penting di simpan di kamar mandi wanita.

“Anak itu memang unik”

Khalil menghela napas panjang. Menghadang diantara pintu untuk memastikan apakah gadis yang dia cari sudah kembali atau belum. Karena sampai detik bel istirahat berbunyi, gadis itu belum juga kembali.

“Nungguin siapa, Lil?”

“Tadi gue lihat Niko sama yang lain udah kekantin”

Khalil menggeleng pelan, lantas beranjak saat Aletha yang baru saja datang segera menerobos masuk. Membuat beberapa dari mereka yang masih ada di kelas, terutama Khalil, Roona, dan Venus kebingungan. Pasalnya, dia kembali meninggalkan ruang kelas dengan tas hitam miliknya tergelantung di pundak kiri.

“Aletha, mau kemana?”

“Jangan tanya, percumah” Venus menyela pertanyaan Roona, membuat Khalil ikut bertanya-tanya tentang kemana gadis itu akan pergi.

“Dia tuh kaya severus snape versi cewek tapi anak SMA gitu, ekspreksinya datar terus dingin kaya kutub utara”

“Kadang sarkastik” tambah Khalil. Mendapat anggukan setuju dari Roona dan Venus.

Disini Aletha sekarang, gedung belakang sekolah yang dia ketahui paling jarang dijamah. Tentu tidak berubah dari terakhir kali dia datang, hanya rerumputan yang semakin tinggi, jadi tempat yang pas tubuhnya bersembunyi. Picing mata yang khas, dia tahu betul sebuah kamera kecil yang dia temukan adalah alat penguntit untuk bisa dikatakan pemuas nafsu. Tapi dia juga belum bisa gegabah untuk memberikan barang ini tanpa bukti siapa yang meletakkannya disana.

Lagi pula tujuan awalnya datang ke Samudra High School juga bukan untuk ini, ada yang jauh lebih kompleks dari yang dia sudah temukan.

Aletha menelan ludahnya susah payah, menutup kembali laptop untuk dia kemas setelah suara bel masuk berbunyi. Kemungkinan yang hanya ada diasumsinya tentang sekolahan ini justru lebih padat. Lebih mengerikan dari pada orang-orang menanggap dirinya.

“Aletha”

Mahen sedikit mengangkat dagunya, mendapati muridnya baru saja keluar dari belakang gedung sekolah.

“Tidak ada yang mau mengajakmu bermain petak umpet disana, jangan anggap sekolah ini lelucon”

Bukannya menanggapi, Aletha meninggalkan tempat tanpa permisi. Membiarkan Mahen menatap tas yang ada dipunggungnya kian menjauh dari pandangannya. Dering ponsel yang berbunyi memecah ketakutan diasumsinya.

“Saya rasa ini sudah terlalu lama, bahkan setelah anak itu dibebaskan”

Aletha mempercepat langkahnya namun masih dengan irama dan jarak yang seimbang. Menemukan papan kelas sebelas fisika satu tergelantung diatas, dengan pintu yang masih terbuka. Itu artinya belum ada guru yang datang. Tubuhnya  terduduk dengan sedikit deru napas tak beraturan. Disambung kejutan yang Roona ciptakan.

“Lo dari mana? Ngga berniat kabur dan ketahuan kan?”

“Enggak, lagi pula ini semua nggak penting buat dibicarain”

Roona menatap buku yang baru saja Aletha keluarkan. Kosong seperti kata Sasmita, tidak ada coretan apapun termasuk nama. Seperti buku hanyalah formalitas saja untuk dibawa karena dia sedang sekolah. Seperti juga buku itu baru keluar dari pabrik percetakan. Masih berbau kayu dan segar.

“Serius lo nyatet semuanya di otak lo?”

“Otak manusia itu diperkirakan bisa nyimpen informasi sampe 2,5 petabyte, itu udah lebih dari cukup buat nyimpen informasi yang kompleks dan luas”

Roona sedikit mengangga, sebelum akhirnya mengerjabkan mata untuk kembali pada realita kehidupan. Menganggap Aletha hanyalah gadis seumuran yan memang hanya punya banyak wawasan saja, tidak lebih.

“Pe-peta?”

“Petabyte, 2,5 petabyte setara sama satu juta gigabyte”

Saat Roona mendongak karena kehadiran Khalil yang tiba-tiba, gadis itu justru tak berekspresi seperti biasa. Menurut Roona, Khalil itu jenius dan dia tahu banyak hal. Alias kehidupannya di SMA Samudra ini cukup bisa menyelamatkan nama sekolah. Tapi semenjak kehadiran Aletha, rasanya harga diri Khalil benar-benar dipertaruhkan. Apalagi jika nama itu justru ikut serta dalam setiap perlombaan perwakilan sekolah. Apa tidak jadi keributan karena sebelumnya belum ada yang berani mengalahkan Khalil?

“Gunawan Hariadi tuh siapa?”

“Satpam sekolah kita, terus kenapa dari sekian banyak topik pembicaraan yang bisa kita bahas, lo justru milih nanya soal Pak Gunawan?”

Khalil bersedekap dada, mengamati pergerakan samar pada ekspresi yang Aletha tunjukkan. Benar-benar halus dan sulit untuk ditebak. Berbeda dengan lawan bicaranya yang justru lebih berekspresi dan jiwa penasarannya tinggi. Seperti Wednesday dan Enid, dua kepribadian yang bertolak belakang. Angkasa ada benarnya, bahwa gadis itu seperti Wednesday dikehidupan nyata.

To Be Continue...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!