NovelToon NovelToon

Sampai Cinta Menjawab

BAB 1 PROLOG (Awal pertemuan)

Disclaimer

Dalam cerita ini, terdapat beberapa dialog yang menggunakan bahasa Inggris. Untuk memudahkan pembaca, setiap dialog berbahasa Inggris akan disertai dengan terjemahan langsung dalam tanda kurung.

Apabila terdapat kekeliruan dalam terjemahan maupun tata bahasa (grammar), mohon dimaklumi. Segala bentuk kesalahan sepenuhnya merupakan kelalaian penulis yang hanyalah manusia biasa.

Semoga pembaca tetap dapat menikmati alur cerita serta makna yang ingin disampaikan. Terima kasih atas pengertian dan dukungannya. 🤍

Selamat membaca...

......................

ZEVIAN ALDRIC RAYFORD STEEL

Seorang pria tampan berusia 32 tahun, Zevian Aldric Rayford Steel, berjalan dengan langkah cepat, seolah setiap detiknya penuh tekanan. Postur tubuhnya tegap dan penuh kepercayaan diri, seakan dia adalah seorang atlet profesional yang selalu siap menghadapi tantangan. Dengan pakaian jas hitam yang rapi, sedikit membuka kancingnya di bagian leher, Zevian tampak seperti pria yang tak pernah lepas dari kesempurnaan.

Hidung mancung dan alis tegas yang terukir sempurna memberi kesan bahwa dia adalah sosok yang penuh kuasa dan kekuatan. Garis wajahnya tajam dan tegas, mencerminkan ketegasan dan ketidakpedulian pada apapun yang menghalangi jalannya. Matanya, yang tajam dan penuh kerahasiaan, memancarkan aura misterius, seolah dunia ini tak lebih dari permainan yang harus dia menangkan. Tidak ada yang bisa meragukan bahwa dia adalah seorang pemimpin, seseorang yang selalu berada di puncak.

Saat itu, dia tengah berjalan dengan tergesa-gesa menuju mobil mewahnya yang terparkir di luar gedung perusahaan. Angin malam yang menerpa rambut hitamnya yang sedikit berantakan hanya menambah kesan keanggunan pada dirinya. Tak ada satupun yang tampak bisa mengganggu ketenangannya, meskipun di dalam dirinya, ada ketegangan yang sulit dibendung.

Di sampingnya, Aditya Daniandra Prakarsa, sahabat sekaligus tangan kanannya, tak kalah tampan. Pria berusia 30 tahun ini selalu tampak elegan, meski hari itu dasinya terlihat sedikit berantakan, mirip dengan penampilan Zevian yang sedang terburu-buru. Aditya, yang memiliki wajah ras Asia dengan fitur halus dan senyum yang selalu terjaga, mengikuti langkah Zevian dengan penuh kewaspadaan. Seperti seorang bayangan, dia selalu siap sedia di samping Zevian—setia dan tak pernah lepas. Baju jas yang dikenakan Aditya juga tidak jauh berbeda, tetapi ada sesuatu yang lebih santai pada dirinya, meski tetap terlihat menarik dan memikat.

Keduanya berjalan cepat, seakan dunia mereka sedang menunggu untuk dihentikan dengan keputusan yang akan datang. Aditya, yang selalu mengamati Zevian dengan penuh perhatian, tampak seperti ingin mengajukan beberapa pertanyaan, namun dia tahu betul bahwa saat seperti ini, lebih baik tetap diam. Zevian, dengan wajah yang tak pernah menunjukkan ekspresi lebih dari sekadar ketegasan, berjalan lebih cepat, seolah ingin segera mengakhiri hari yang penuh dengan beban di pundaknya.

Zevian masuk ke dalam mobil Lamborghini hitam miliknya yang terparkir dengan sempurna di parkiran kantor, meskipun hari sudah hampir larut. Cahaya jalanan yang temaram menyinari mobil mewah itu, menciptakan gambaran kontras antara kemewahan dan kesunyian malam. Aditya ikut masuk tanpa banyak bicara, ekspresinya serius, seakan sudah terbiasa dengan keheningan yang menyertai Zevian. Mobil itu segera melaju dengan kecepatan tinggi, membelah jalan ibukota yang sepi, menciptakan sensasi kecepatan yang menambah ketegangan di udara. Jendela yang sedikit terbuka membiarkan angin malam menyentuh wajah mereka, namun keduanya tidak memperdulikan cuaca di luar. Perasaan yang membebani masing-masing lebih berat daripada dinginnya malam itu.

Tidak ada rasa takut dalam jiwa kedua pria itu—hanya keinginan untuk segera sampai di rumah, untuk bisa merasakan sedikit ketenangan setelah hari yang panjang dan penuh dengan keterikatan pekerjaan. Beban mental yang mereka bawa seolah terbungkus dalam hampa.

Langit malam terlihat sangat pekat, seperti kain hitam yang menutupi langit tanpa sedikit pun celah cahaya bintang. Cuaca mendung, awan gelap menggantung rendah, dan bulan tampak enggan menampakkan dirinya, menyisakan sepi yang hampir menenggelamkan kota.

Suasana di dalam mobil terasa semakin berat, dipenuhi dengan ketegangan yang tak terucapkan. Kedua pria ini, sahabat sekaligus bos dan bawahan, duduk terdiam di dalam mobil, meskipun begitu, ketegangan di antara mereka tak bisa disembunyikan. Mereka berdebat, suara mereka saling bertubrukan.

"Pelan-pelan saja! Kamu ingin mati, hah?" Ujar Aditya membentak dengan suara keras, penuh kekesalan. "Jika kamu membawa mobil seperti mencari mati, bukannya sampai ke rumah, kita malah sampai ke kuburan! Mau kamu?" Lanjut Aditya, yang duduk di kursi penumpang sebelahnya, hanya mendengus, menahan emosi. Namun, ia tak tahan untuk tidak berkomentar karena tindakan Zevian yang sangat berisiko. Mengerem mendadak, suara rem yang keras itu seolah memecah keheningan malam, membuat Aditya terkejut.

"Diamlah, bodoh!" Zevian hanya menjawab dengan suara penuh kekesalan. Aditya tahu betul bahwa temannya ini tidak sedang dalam mood yang baik. Ia menyeringai pelan dan menyesap napas panjang, merasa geram dan kesal dengan sikap Zevian yang tak pernah bisa tenang.

"Kamu gila, hah? Tadi mengebut, sekarang mengerem mendadak. Apakah otakmu tergilas hanya karena ibumu menjodohkan mu lagi?" Ocehan Aditya keras, dengan nada yang lebih tajam, meskipun di dalam dirinya ada sedikit perasaan cemas melihat sikap Zevian yang semakin tidak terkendali. Ekspresinya tampak seperti sedang mencoba menahan amarah yang semakin membuncah.

"Keluar, kau!" Zevian berkata dengan suara penuh ketegangan, tangannya tetap memegang setir dengan kuat. Keputusan itu seolah ingin menciptakan sebuah keputusan yang tidak bisa dibantah. Ia tidak mematikan mobilnya, hanya berniat mengertak sahabatnya itu, memperlihatkan kemarahan yang mendalam.

"Ohh, ayolah Zevian! Aku minta maaf, aku janji akan diam," seru Aditya, sedikit terkejut mendengar ancaman itu. Wajahnya yang biasanya tenang dan penuh perhitungan kini tampak sedikit panik. Tidak ada yang bisa menghalangi kebiasaan Zevian dalam membuat keputusan impulsif seperti ini. Bayangkan saja, diturunkan di tengah jalan, apalagi tengah malam. Kejadian semacam itu akan sangat merugikan, bahkan untuk seseorang yang sehat seperti Aditya.

"Jika kau bicara lagi, awas kau!" Ancam Zevian mengucapkan kata-kata itu dengan suara rendah, namun terdengar penuh ancaman. Tangannya yang terangkat menyalakan mobil dengan gerakan kasar, menambah kesan kekesalan yang tak terbendung. Wajahnya yang tampan, dengan garis rahang yang tegas, kini memancarkan aura kekesalan yang jelas. Matanya yang tajam menatap lurus ke depan, mencoba untuk tidak menghiraukan sahabatnya yang terus berkomentar. Bagaimana tidak, seharian ini ia sudah lelah dengan pekerjaan kantor, ditambah lagi dengan harus mendengarkan ocehan yang menurutnya sama sekali tak berguna dari Aditya. Kesabaran Zevian sudah hampir habis.

Mobil kembali melaju, kali ini dengan kecepatan lebih stabil dibandingkan sebelumnya. Mesin mobil meraung halus, menciptakan suara yang menenangkan dibandingkan dengan kegelisahan yang terjadi sebelumnya. Lampu jalanan yang temaram menambah kesan tenang di dalam mobil, namun masih ada ketegangan yang menggantung di udara. Keheningan yang sejenak menyelimuti di antara keduanya, seolah menjadi jeda setelah perdebatan kecil yang baru saja terjadi. Aditya yang biasanya selalu ceria dan suka menggoda, kini memilih untuk diam, merasakan atmosfer yang lebih tenang, meskipun dia tahu betul bahwa kebiasaan Zevian yang mudah tersinggung bisa membawa mereka ke situasi yang lebih rumit.

Namun, tanpa ada peringatan, suasana itu berubah dalam sekejap. Tiba-tiba, dari sisi jalan yang gelap, seorang wanita cantik berlari menghampiri mobil mereka. Kakinya yang melangkah cepat dan tergesa-gesa menyentuh aspal dengan desir suara yang terdengar jelas di telinga mereka.

Ckittt...

Suara rem yang diinjak mendadak menggema di telinga mereka. Zevian yang tak siap dengan kejadian itu terkejut, tubuhnya yang kekar dan tegap itu tampak lebih tegang dari sebelumnya. Matanya yang tajam menatap wanita itu dengan pandangan kesal, merasakan emosi yang campur aduk.

“Akhhh, shitt...” Zevian mengumpat sambil memukul setir mobilnya, tidak bisa menahan kemarahannya. Wajahnya yang sempurna itu kini terlihat penuh kerutan kesal. "Dasar bodoh! Bagaimana mungkin dia menyebrang di tengah jalan? Apa dia orang gila?" serunya dengan nada tajam, membentak ke arah luar mobil, meskipun wanita itu tak bisa mendengarnya.

Aditya yang sejak awal terlihat tenang, kini terkejut dengan sikap Zevian yang begitu emosional. Namun, seiring berjalannya waktu, matanya justru tertarik pada wanita cantik yang berlari mendekat. Tampilan wanita itu sangat mencuri perhatian. Rambutnya yang panjang dan gelap berkilau, bergoyang indah seiring dengan gerakan cepatnya. Wajahnya yang cantik, dengan kulit yang halus dan mata yang tampak penuh harapan, langsung menarik perhatian Aditya. Ia bahkan seakan terhipnotis oleh kecantikan wanita itu. Wanita itu terus menggedor kaca mobil, terdengar suara pukulannya yang pelan namun penuh keputusasaan.

"Tolong aku... aku mohon," ujarnya dengan suara yang terdengar lembut namun penuh dengan kegelisahan. Aditya, yang tak bisa menahan pandangannya, menatap wajah wanita itu dengan tatapan yang terpesona.

"Apakah aku bermimpi, Zevian? Bagaimana mungkin ada bidadari surga di malam hari begini?" ucap Aditya, terpesona dan sedikit terkejut dengan penampilannya yang begitu sempurna. Nada suaranya seperti orang yang terbangun dari mimpi, terbius oleh kecantikan yang tampaknya datang dari dunia lain. Ia terus memandangi wanita itu dari balik kaca mobil dengan rasa takjub yang mendalam.

Duk... Duk... Dukk...

Suara pukulan tangan wanita itu di kaca mobil terdengar semakin intens, membuat suasana semakin tegang. Kaca mobil terus digedor, suara ketukan yang semakin cepat dan keras membuat Zevian merasa semakin terganggu. Namun, entah kenapa, hatinya yang keras dan biasanya dingin itu terasa sedikit tergerak. Sebuah dorongan aneh menggerakkan tangannya untuk menurunkan kaca mobil. Tatapan matanya yang tajam menatap wanita cantik itu yang kini terlihat sangat terdesak, wajahnya basah dengan air mata yang terus mengalir tanpa henti. Rambut panjangnya yang tergerai tampak kusut, seolah melambangkan kekacauan batin yang tengah dia rasakan.

"Hei, kau gila ya? Mengapa menyebrang sembarangan?" Zevian bertanya dengan nada dingin yang biasa ia gunakan. Suaranya yang tegas dan dingin tidak menunjukkan rasa empati apapun. Matanya yang tajam tidak memedulikan kegelisahan wanita itu, meskipun hati kecilnya berkata lain.

Wanita itu, dengan wajah pucat, mata lelah, dan bibir yang sedikit bergetar, langsung menyatukan kedua tangan di depan dada, memohon dengan sangat.

"Tuan, kumohon... tolong aku... mereka ingin membawaku... aku tidak mau. Tolong, tuan, aku mohon..." ucapnya dengan suara gemetar penuh kegelisahan. Wajahnya yang cantik itu kini tampak sangat rapuh, dan air mata yang masih mengalir mengingatkan Zevian pada rasa terpukul yang tak bisa ia pahami.

Aditya, yang duduk di samping Zevian, memperhatikan dengan cermat reaksi sahabatnya. Mimik wajah Zevian yang biasanya dingin dan tenang tampak sedikit mendung, seolah ada sesuatu yang mengusik hatinya. Namun, Aditya sudah cukup mengenal sahabatnya itu. Ia tahu betul, meskipun wanita itu tampak begitu mendesak, Zevian pasti akan menolaknya. Begitu banyak wanita yang datang kepadanya, namun dia tidak pernah peduli.

Namun, yang terjadi selanjutnya benar-benar mengejutkan Aditya.

"Masuklah." Zevian mengucapkan kata-kata itu dengan nada yang tak biasa. Suaranya lebih lembut, namun tetap terdengar tegas. Tanpa banyak kata, wanita itu yang masih trembling, langsung masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi belakang dengan wajah yang penuh rasa terima kasih. Tatapan matanya yang semula penuh ketakutan kini sedikit lebih tenang, meskipun masih ada rasa cemas yang tertinggal.

Aditya menatap Zevian dengan heran. Pandangannya yang tajam seolah menuntut penjelasan, tetapi Zevian hanya membalas dengan tatapan malas.

"Kau serius?" tanya Aditya, dengan nada tidak percaya. Semua ini sangat bertentangan dengan sifat Zevian yang dikenal dingin dan egois. Perubahan sikap Zevian ini membuatnya semakin bingung.

"Kau diam." Zevian menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan yang sudah mulai kosong. Nada suaranya terdengar lelah, seolah tidak ingin terlalu banyak bicara.

Mobil kembali melaju, kali ini dengan kecepatan yang lebih stabil dan tenang. Lampu jalanan yang bersinar remang-remang membentuk bayangan panjang di sepanjang jalan. Namun, keheningan itu terasa cukup berat. Di dalam mobil, suasana terasa aneh. Meskipun Zevian hanya membawa wanita itu karena rasa empati yang tak terduga, Aditya masih merasakan ada sesuatu yang berbeda dengan sikap Zevian kali ini.

Tanpa diduga, Zevian mengarahkan mobil ke sebuah penthouse mewah yang terletak di pusat kota. Penthouse yang terlihat begitu modern dengan lampu-lampu mewah yang menghiasi seluruh gedung. Aditya, yang duduk di sampingnya, hampir tidak bisa mempercayai apa yang baru saja terjadi. Selama ini, dia tahu betul bahwa Zevian selalu menjaga jarak dari wanita mana pun, bahkan membentak sahabatnya sendiri jika mereka berusaha mengganggunya. Namun kali ini, ada perubahan yang nyata.

"Ini... sungguh aneh..." Aditya bergumam, masih mencoba mencerna apa yang baru saja ia saksikan. Tidak ada yang lebih jarang terjadi daripada Zevian memperlakukan seorang wanita asing dengan begitu baik. Kepribadiannya yang dingin dan tertutup seakan mencair begitu saja ketika berhadapan dengan wanita itu. Entah apa yang membuatnya berbeda, tapi Aditya bisa merasakan ada sesuatu yang tak biasa, yang membuatnya semakin penasaran.

Sesampainya di penthouse itu, Zevian keluar dari mobil dengan langkah tegap, diikuti oleh Aditya yang juga tampak keluar dengan ekspresi penuh keheranan. Namun, tatapan mereka tertuju pada wanita yang masih berdiri di dekat mobil dengan wajah yang penuh kebingungan. Dia menatap kedua pria itu dengan sorot mata yang ragu, seakan tidak tahu apa yang harus dia lakukan selanjutnya. Keheningan di antara mereka cukup tebal, bahkan meskipun langit malam yang gelap menambah kesan misterius pada suasana sekitar. Hingga akhirnya wanita itu akhirnya berbicara, meskipun ada keraguan dalam suaranya.

"Tuan... terimakasih banyak, aku akan kembali," ujarnya sambil melangkah mundur, berniat untuk pergi meninggalkan kedua pria itu. Ekspresinya penuh dengan rasa terima kasih dan juga keputusasaan, seolah ingin menghindari konfrontasi lebih lanjut. Namun, Zevian, yang selalu tegas dan tak kenal basa-basi, langsung membalas dengan nada dingin dan sinis.

"Kau pikir itu gratis?" ujarnya dengan nada yang tajam. Tanpa peringatan, ia menarik tangan wanita itu dengan kuat, membuat wanita itu sedikit terkejut. Dia berontak, berusaha melepaskan diri, namun kekuatan Zevian yang jauh lebih besar membuatnya tak bisa melawan. Mimik wajahnya mencerminkan kesal dan geram, seolah merasa wanita itu tak tahu diri.

Aditya hanya bisa menatap kepergian gadis itu dengan ekspresi terheran. Pandangan matanya yang biasanya penuh kepercayaan diri kini dipenuhi dengan kebingungan. Namun, dia hanya menghela napas pelan sebelum mengikuti langkah Zevian.

Zevian, dengan gerakan cepat dan tanpa mengucapkan sepatah kata pun, menarik wanita itu masuk ke dalam lobby gedung dan mengarahkannya ke private lift. Wanita itu hanya bisa terdiam, tidak tahu harus berkata apa, karena apa yang terjadi begitu cepat dan mengejutkan. Aditya mengikuti mereka dengan langkah pelan, masih merenungkan sikap Zevian yang berbeda dari biasanya.

Ketiga dari mereka masuk ke dalam lift pribadi yang luas dan modern. Pencahayaan lembut di dalam lift menambah kesan mewah, namun suasana terasa sangat sunyi. Tak ada yang membuka suara. Zevian berdiri dengan tubuh tegak, wajahnya yang dingin dan serius, tidak menunjukkan tanda-tanda emosional apapun. Di sampingnya, Aditya hanya melirik sesekali, namun ia tahu bahwa sahabatnya itu lebih memilih diam daripada berbicara. Wanita itu, di sisi lain, hanya berdiri dengan tangan yang sedikit menggenggam pakaian di tubuhnya, tampak terluka dan bingung.

Ketika lift sampai di lantai 75, pintu terbuka dengan suara "ter-ing" yang halus. Zevian segera melangkah keluar, diikuti oleh wanita itu dan Aditya yang berjalan dengan langkah lebih berat, masih berpikir tentang keputusan sahabatnya yang aneh. Mereka berjalan melalui lorong panjang yang dihiasi dengan karpet mewah dan lukisan-lukisan indah yang menggantung di dinding. Suasana terasa sangat luar biasa dan elegan, seolah mengingatkan mereka bahwa mereka tengah berada di sebuah tempat yang sangat berkelas.

Tak lama, mereka sampai di depan pintu yang tak lain adalah unit penthouse Zevian. Dengan gerakan terlatih, Zevian menempelkan kartu akses ke pembaca pintu, dan klik. Pintu pun terbuka dengan sangat halus, memberikan kesan seperti sebuah pintu yang mengarah ke dunia lain, dunia yang terpencil dari orang biasa.

Ketiganya masuk ke dalam unit penthouse yang mewah. Lampu-lampu yang elegan menyinari ruangan luas itu, memancarkan cahaya lembut yang menambah suasana tenang namun luxurious. Zevian langsung melangkah ke sofa tunggal yang terletak di tengah ruangan, tubuhnya tampak begitu tegas saat duduk, seakan setiap gerakannya penuh dengan kekuatan dan kontrol. Aditya, yang tak ingin ketinggalan, mengikuti dan duduk di kursi dekat jendela, sedikit jauh dari Zevian, meskipun masih terlihat dekat secara fisik.

Namun, wanita itu, hanya berdiri di hadapan mereka. Bahu yang sedikit terangkat, tubuhnya terlihat kaku meski dia berusaha untuk terlihat tenang. Tatapan matanya, yang semula tampak penuh rasa cemas, kini tertuju pada lantai, menunduk seolah takut memulai percakapan. Jantungnya berdetak lebih cepat di tengah keheningan yang menyesakkan itu, dan suasana di ruangan terasa berat bagi gadis itu.

Beberapa detik berlalu dalam diam. Ketegangan yang ada bisa dirasakan oleh semua yang berada di ruangan itu. Namun, akhirnya Zevian membuka suara, suaranya yang dingin dan tegas memecah keheningan.

"Siapa namamu?" tanyanya, suaranya mengalir tanpa emosi.

Gadis itu mendongak perlahan, terkejut mendapati tatapan Zevian yang tajam itu menatapnya. Mata mereka bertemu, dan dalam sekejap, dunia seperti berhenti. Tatapan itu begitu dalam dan penuh dengan rahasia, seolah mengandung berjuta-juta pertanyaan yang tidak terucap. Namun, sesaat kemudian, gadis itu menunduk lagi, wajahnya memerah karena kebingungannya. Nervous, ia mengucapkan namanya dengan suara yang sedikit bergetar.

"Nayara, Tuan," ujarnya dengan nada penuh keraguan.

Wanita yang memiliki nama lengkap Azelia Nayara Putri ini adalah seorang wanita cantik dengan perawakan tubuh yang sempurna. Hidung mancungnya terlihat sangat cocok dengan wajahnya yang imut namun elegan. Rambut panjangnya yang tergerai indah memberikan kesan lembut pada penampilannya, dan bola matanya yang sedikit besar menambah daya tariknya. Kecantikannya begitu mempesona, meskipun kini dia merasa sedikit terasing dan tidak nyaman berada di ruangan ini.

Nayara, yang awalnya hanya ingin meminta tumpangan dari seseorang yang kebetulan lewat untuk menghindari kejaran bodyguard yang dikirim oleh ayahnya, kini malah terperangkap di dalam penthouse ini. Kehidupan yang tak pernah dia bayangkan, bertemu dengan dua pria asing yang sama sekali tidak dia kenali, membuatnya semakin bingung dan cemas. Namun, di balik semua itu, ada perasaan terima kasih yang menguat dalam dirinya—meskipun dia merasa terperangkap, dia tahu bahwa tanpa bantuan mereka, dia mungkin sudah berada dalam bahaya.

Zevian, yang memandang gadis itu dengan ekspresi datar, dalam hati, sebenarnya memikirkan hal yang berbeda.

"Namanya sungguh indah," gumamnya dalam hati, meskipun tidak ada yang bisa melihatnya. Pandangannya tetap tajam dan tak tergerak, seolah dia tidak tertarik untuk menunjukkan apapun. Aditya yang sudah lama diam, kini membuka suara, suara penasaran terdengar dari bibirnya.

"Ze... kamu mau apa?" dia bertanya, terheran dengan sikap Zevian yang kali ini berbeda. Namun, Zevian sama sekali tidak menghiraukannya. Seolah dunia di sekitarnya hanyalah Nayara dan pertanyaan yang mengganggu pikirannya. Zevian kemudian beralih fokus kembali pada gadis itu, suara dinginnya memecah keheningan yang ada.

"Hemm, kenapa orang-orang itu mengejar mu? Kamu bukan penjahat kan?" tanya Zevian, bimbang, seolah ingin memastikan kebenaran dari kata-katanya. Mendengar itu, Nayara langsung menggeleng cepat, tatapannya gugup dan gelisah.

"Tentu bukan, Tuan... itu bodyguard ayahku," ujarnya, suaranya jujur, namun juga penuh dengan rasa takut. Mendengar jawaban itu, Zevian mengernyitkan keningnya, bingung dan tak sepenuhnya memahami situasi yang sedang terjadi.

"Bodyguard ayahmu?" tanya Zevian lagi, suaranya terdengar lebih dalam dan penuh ketertarikan. Tatapannya yang tajam seperti menembus lapisan kenyataan, mencoba menggali lebih dalam tentang kebenaran yang tersembunyi.

"Iya, Tuan!" jawab Nayara dengan tegas, meskipun ada keraguan yang mengintip di matanya. Suaranya sedikit gemetar, namun dia berusaha untuk tetap tenang. Zevian, yang masih merasa ada sesuatu yang janggal dalam cerita ini, mengarahkan pandangannya pada gadis itu dengan ekspresi yang sulit dibaca.

"Saya tidak paham, jelaskan," ujar Zevian, nada suaranya masih dingin, namun kali ini ada sedikit paksaan di dalamnya, seolah menuntut jawaban yang lebih jelas. Nayara menghela napas sejenak, merasa cemas, tetapi akhirnya dia membuka mulut. Matanya menatap ke bawah sejenak, merasa sedikit kecewa dengan situasi yang harus dia hadapi, tetapi dia tak punya pilihan selain menjelaskan.

"Ayahku menjodohkan aku dengan seorang pria, dia anak dari rekan bisnisnya. Aku tidak mau, oleh sebab itu aku kabur dari rumah. Mereka mengejarku atas perintah ayahku, dan dengan acak aku melihat mobil Anda, jadi aku langsung minta tolong," ujar Nayara dengan suara pelan, tapi pasti. Wajahnya yang cantik kini terlihat lebih serius dan gugup, seolah menyembunyikan emosi yang lebih dalam.

Zevian terdiam sejenak, mencerna semua informasi yang baru saja didengarnya. Dalam diamnya, dia mendalami wajah gadis itu, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. Ada rasa iba yang muncul entah dari mana, meskipun dia berusaha menutupi perasaan itu dengan kebekuan wajahnya.

"Jadi kamu kabur dari perjodohan?" tanya Aditya, kebingungan dan sedikit heran dengan situasi yang tiba-tiba terjadi. Dia melirik Zevian sejenak, merasa heran melihat sikap sahabatnya yang tidak biasa terhadap gadis itu.

"Iya, Tuan, aku tidak mau di jodohkan." jawab Nayara, kali ini suaranya lebih mantap, seolah menyadari bahwa dia sudah tidak bisa mundur lagi. Pandangannya kembali mengarah ke lantai, wajahnya kini lebih sabar, tapi keletihan terlihat jelas di matanya. Zevian yang masih duduk dengan posisi tegak di sofa, kembali bertanya, suaranya yang dingin dan tegas tidak berubah.

"Berapa usiamu?" tanya Zevian, matanya tidak lepas dari wajah Nayara, memperhatikan setiap gerakan kecilnya.

"24 tahun, Tuan," jawab Nayara dengan jawaban pasti. Senyum kecil tersungging di wajahnya, meskipun hanya sekilas, seperti mencoba meyakinkan dirinya bahwa dia masih muda, meskipun hidupnya sudah dipenuhi dengan tanggung jawab yang begitu besar.

"Masih berkuliah, benar?" tanya Zevian lagi, matanya sedikit terangkat, mencerminkan ketidaksabaran untuk mengetahui lebih lanjut.

"Eum... Iya, Tuan, benar," Nayara menjawab dengan yakin, meskipun ada sedikit kekhawatiran di dalam hatinya. "Aku mahasiswa kedokteran," tambahnya, kali ini suaranya terdengar lebih mantap dan penuh bangga.

"Kamu paham jika di dunia ini tidak ada yang gratis?" ujar Zevian dengan nada dingin yang menggema di ruang yang hening. Matanya tajam, seperti pedang yang siap menembus, membuat suasana mendadak tegang. Senyum tipis yang tak terlihat di wajahnya membuat kata-katanya terasa penuh ancaman. Nayara menelan ludah, sedikit tertekan dengan kalimat itu. Perasaan cemas kembali merayapi hatinya.

"Aku harus apa?" tanyanya dengan suara gemetar yang mencoba terdengar tenang, meskipun di dalam hatinya bergejolak. Dia tak tahu apakah pria itu menginginkan uang sebagai imbalan atau sesuatu yang lebih, dan rasa bingung itu terasa berat di dadanya. Tatapannya tak lepas dari Zevian, berharap bisa menemukan jawaban yang bisa menenangkan ketakutannya.

Aditya yang sejak tadi diam, menoleh cepat ke arah Nayara, kemudian melirik Zevian sesaat. Wajahnya sepertinya menunjukkan ketidakpastian, tetapi rasa ingin tahu lebih kuat daripada rasa khawatir.

"Kamu akan tahu nanti," jawab Zevian sambil berdiri dan melangkah mendekat ke arah Nayara. Setiap langkahnya terasa penuh dengan keyakinan dan kekuatan, seolah dia sudah menguasai seluruh ruang di sekitarnya. Suaranya rendah, namun setiap kata yang keluar terasa seperti sebuah perintah yang tak bisa ditolak.

"Kamu mau menginap di sini atau pulang, terserah. Tapi yang pasti, you are mine," katanya pelan, tepat di telinga Nayara. Suaranya yang berat, dipenuhi dengan kepastian yang dingin, membuat bulu kuduk Nayara meremang. Nafas hangat yang menyentuh kulitnya membuat jantungnya berdebar lebih cepat, tak tahu harus berbuat apa.

Nayara hanya bisa diam, terperangkap dalam wajah tak terbaca Zevian yang baru saja menyentuh batas kenyamanannya. Hidungnya mencium aroma parfum pria itu, begitu dekat, dan sesuatu yang tak bisa dijelaskan membuat tubuhnya terasa kaku.

Zevian tanpa banyak bicara, berbalik dan melangkah menuju tangga, meninggalkan Nayara yang masih terdiam, serta Aditya yang sepertinya mulai paham dengan situasi ini. Tatapan Aditya yang penuh pertanyaan membuatnya sejenak ragu, tapi akhirnya dia ikut bangkit.

"Menginap saja di sini, dia mengizinkanmu, bukan?" kata Aditya, suaranya sedikit lebih ringan, tetapi masih ada nuansa kekhawatiran dalam nada bicaranya. "Besok baru pulang, ini sudah larut. Kamu bisa pilih kamar manapun yang kamu mau," tambahnya dengan suara yang sedikit lebih santai. Kemudian, dia melangkah pergi menuju salah satu kamar di sudut ruangan, meninggalkan Nayara sendiri. Nayara berdiri dalam kebingungan, pikiran berlarian mengingat kata-kata Zevian yang masih terdengar jelas di telinganya.

"You are mine..." Kalimat itu terus terngiang, membuat hatinya kembali berdebar. Tanya-tanya tentang siapa pria itu, dan bagaimana mungkin dia merasa seolah-olah memiliki dirinya tanpa alasan yang jelas.

Setelah beberapa saat terdiam, Nayara akhirnya memilih untuk benar-benar menginap. Lagipula, sudah sangat larut malam, dan dia tidak yakin bisa kembali ke rumah dengan keadaan seperti ini. Jarum jam yang sudah menunjukkan pukul setengah 11 malam, seolah mengingatkannya bahwa waktu telah berlalu tanpa bisa ditarik kembali.

Langkahnya terasa berat saat menuju ke arah pintu kamar yang menurutnya benar. Pintu itu terbuka, dan dia merasa sedikit lega karena akhirnya menemukan tempat untuk tidur. Namun, begitu dia duduk di ujung ranjang, rasa bingung dan khawatir kembali datang. Wajah Zevian, dengan tatapan tajam dan kalimat yang menggetarkan itu, kembali menghantui pikirannya.

"Bagaimana bisa dia berkata seperti itu, padahal aku bahkan tidak tahu namanya?" hatinya bergejolak, namun dia hanya bisa menundukkan wajah, menyelimuti dirinya dengan pikiran-pikiran yang kacau.

BAB 2: Di mata-matai

Sebuah alarm berbunyi memecah keheningan di pagi buta. Suara dering yang tajam itu mengganggu kedamaian, mengguncang tidur seorang gadis cantik yang tengah terlelap di atas ranjang empuk. Matanya yang masih berat perlahan terbuka, terpaksa menyesuaikan diri dengan cahaya pagi yang menyusup melalui celah tirai. Dengan tatapan setengah kosong, ia melihat jam yang tertera di ponselnya. Pukul 5 pagi. Tanpa semangat, dia meraih selimut dan menariknya sedikit lebih erat ke tubuhnya, seakan ingin menahan waktu agar tetap berhenti. Namun, tubuhnya akhirnya memberontak, dan dengan sedikit malas, dia bangkit dari tempat tidur.

Langkah pertama yang dibuatnya terasa sedikit goyah, tubuhnya yang masih lelah akibat kurang tidur malam itu, berusaha menyesuaikan dengan dunia yang mulai bangun. Dia berjalan tertatih menuju kamar mandi, membuka kran air dingin dan menyiramkan ke wajahnya, merasakan sensasi segar yang perlahan membuatnya kembali sadar. Dengan sejenak menatap cermin, dia memijat pelipisnya yang terasa sedikit tegang, lalu menghela napas panjang. Setelah beberapa detik, wajahnya mulai tampak lebih segar, meskipun masih ada kantung mata yang tak bisa disembunyikan sepenuhnya.

Setelah keluar dari kamar mandi, dia mengenakan pakaian yang sudah disiapkan sebelumnya, dengan gerakan yang terburu-buru namun tetap terlihat penuh perhatian. Mata yang masih setengah mengantuk seolah tak ingin menyia-nyiakan waktu, dan dia dengan langkah mantap meninggalkan kamar yang baru saja ia tinggalkan semalam.

Di tengah kesibukannya, dia sempat teringat pada dua pria yang semalam menolongnya—Zevian dan Aditya. Tiba-tiba perasaan terima kasih yang mendalam mengalir dalam dirinya, namun dia segera menepisnya. Ia merasa tidak enak untuk mengganggu mereka lebih lanjut, apalagi pagi ini. Dengan hati yang sedikit berat, dia memilih untuk meninggalkan secarik note di meja makan sebagai ucapan terima kasihnya, tanpa perlu bertatap muka lagi.

Dia melangkah keluar dengan cepat untung nya pintu digital tersebut bisa dengan mudah di buka dari dalam, dia berusaha tidak terlalu lama tinggal di tempat itu, berharap tidak ada yang terbangun dan menanyakan kepergiannya. Sebuah taksi sudah menunggu di depan gedung apartemen, siap membawanya kembali ke tempat tinggalnya.

Kehidupan sebagai mahasiswa kedokteran memang penuh dengan rutinitas yang padat. Setiap hari dihabiskan dengan kuliah, praktikum, dan tugas yang tak ada habisnya. Meskipun begitu, cita-cita untuk menjadi seorang dokter tetap menjadi prioritas utamanya. Namun, setiap kali dia membayangkan impian itu, ada bayang-bayang lain yang selalu mengintai. Ayahnya, yang seharusnya menjadi pendukung terbesarnya, malah memberikan tekanan besar. Alih-alih mendukungnya menjadi dokter, sang ayah lebih memfokuskan perhatian pada perjodohan dengan anak rekan bisnisnya, seorang pria yang tidak pernah ia pilih dalam hatinya.

Namun, untuk saat ini, dia berusaha menepis perasaan itu dan lebih fokus pada rutinitas yang sudah dijalani. Setiap hari terasa berat, tetapi dia tahu tidak ada jalan mundur. Dengan wajah yang lebih tegas, dia menatap jalanan yang sibuk dari balik jendela taksi yang melaju menuju apartemennya, menyadari bahwa hari-hari yang penuh perjuangan baru saja dimulai.

...

Siang itu, Nayara berjalan menuju mobil yang terparkir di depan pintu masuk apartemen. Suasana di sekitar cukup ramai, beberapa orang terlihat sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing. Beberapa mobil dan pejalan kaki hilir mudik, sementara udara siang itu terasa hangat meskipun sedikit mendung. Kaki Nayara melangkah mantap, membawa banyak buku yang ia pegang erat, hampir tak ada celah untuk melonggarkan genggamannya. Rambutnya yang panjang jatuh tertata rapi di bahu, dan wajahnya terlihat sedikit lelah, namun tetap memancarkan kecantikan yang alami.

Begitu mendekat ke mobil, Razka, sahabatnya yang sudah lama dikenal, tersenyum dan menyapanya dengan ceria.

"Selamat pagi, nyonya!" ujar Razka dengan nada bercanda, menciptakan suasana ringan di antara mereka.

"Pagi, bos," balas Nayara, tersenyum lebar sambil membuka pintu mobil dan melangkah masuk. Suasana di dalam mobil terasa lebih nyaman, ada kehangatan yang datang dari persahabatan mereka yang sudah terjalin lama.

Vina yang duduk di kursi depan, menoleh ke belakang untuk melihat sahabatnya yang sibuk dengan buku-buku yang dibawanya. Pemandangan luar mobil semakin bergerak cepat seiring Razka mulai mengemudi.

"Bagaimana kemarin acara pertunanganmu, Nay?" tanya Vina sambil menatapnya dengan rasa ingin tahu.

"Aku kabur," jawab Nayara santai, tidak ada rasa takut atau ragu dalam suaranya. "Tidak mungkin aku diam saja dan menerima perjodohan gila itu." Lanjut nya ada kejelasan dalam kalimatnya, dan meskipun terasa sedikit emosional, ia tetap terlihat tegar, seperti telah memutuskan bahwa jalan ini adalah pilihan terbaik baginya. Vina menoleh dengan sedikit terkejut, jelas dia tahu betul siapa ayah Nayara dan bagaimana kerasnya pria itu.

"Iya? Dan kamu berhasil?" tanya Vina, nada suaranya mencerminkan kekhawatiran dan rasa penasaran yang mendalam. Ia bisa merasakan betapa beratnya keputusan Nayara, terlebih dengan ayah yang sepertinya tak akan mudah melepaskannya begitu saja.

"Eum... Malam-malam aku kucing-kucingan dengan bodyguard Papa," jawab Nayara sambil terkekeh kecil, mencoba membuat suasana menjadi lebih ringan. Ada sedikit tawa di matanya, tetapi ada juga kesan kelelahan yang samar-samar terlihat. Razka yang duduk di depan, tetap fokus pada jalan, mendengarkan percakapan itu tanpa mengalihkan perhatian dari kemudi.

"Untung saja kamu bisa lolos," ujarnya, mencoba memberikan semangat meskipun suaranya tetap terdengar datar. Matanya tetap waspada, memperhatikan lalu lintas yang ada. Nayara mengangguk, lalu sedikit memiringkan tubuhnya, seolah ingin berbagi cerita lebih lanjut.

"Sebenarnya, aku dibantu oleh seseorang," ujarnya dengan sedikit penekanan, membuat Vina yang sedang asyik dengan ponselnya segera menoleh kembali ke kursi belakang.

"Siapa?" tanya Vina, rasa penasaran dan kecemasan mulai tergambar jelas di wajahnya. Ia tahu bahwa dunia ini penuh dengan orang yang tidak bisa dipercaya, dan perasaan khawatir itu muncul begitu saja. Nayara menyandarkan punggungnya ke kursi, menghela napas ringan.

"Tidak tahu... orang asing," jawabnya dengan suara yang terdengar sedikit bingung. "Mereka juga mengizinkan aku menginap di rumah mereka." Lanjut nya datar meskipun ada sedikit keraguan dalam suaranya, dan meskipun kata-katanya terdengar lugas, matanya seolah memikirkan sesuatu yang belum sepenuhnya ia pahami. Zevian, pria itu, hanya bertanya tentang namanya tanpa memperkenalkan diri, meninggalkan kesan misterius yang kini mengendap di dalam hati Nayara.

"Syukurlah... Tapi Nay, apa kau bisa ikut dalam acara kamping nanti?" tanya Vina, suaranya terdengar penuh harap. Ia menatap sahabatnya yang duduk di kursi belakang dengan wajah yang terlihat sedikit cemas, namun tetap berusaha ceria. Nayara terdiam sejenak, matanya menatap ke luar jendela mobil, melihat pemandangan kota yang mulai sibuk.

"Hemm... Aku tidak tahu, Vin," jawab Nayara, suaranya terdengar rendah dan agak tersekat.

"Kenapa, biasanya kamu selalu semangat untuk ini?" Tanya Vina yang membuat Nayara menghela nafas panjang.

"Semalam saja Papa menyuruh ku berhenti kuliah saat dia tahu aku benar-benar bersembunyi darinya untuk menghindari perjodohan itu. Aku bingung harus bagaimana lagi..." Nada suara Nayara berubah sendu, seolah ada beban yang menekan dadanya. Wajahnya yang cantik tampak semakin murung, seolah memikirkan masa depannya yang terhambat oleh keinginan orang lain. Vina yang mendengarnya, mengernyitkan dahi, merasa tak habis pikir dengan sikap ayah Nayara yang seperti itu.

"Sampai melarang untuk berkuliah, bukankah kali ini om Thony sedikit berlebihan?" tanya Vina, nada suaranya mencerminkan ketidakterimaannya. Dia bisa merasakan betapa beratnya perasaan Nayara saat ini.

"Ya... tapi jujur saja, aku tidak mau," jawab Nayara dengan wajah kesal bercampur sedih. Matanya sedikit berkaca-kaca, namun ia berusaha menahan diri agar tidak terlihat terlalu lemah. "Masa iya aku harus menikah dengan om-om," tambahnya, mulutnya sedikit melengkung ke bawah, seperti tidak tahu lagi harus berbuat apa.

"Ahhha, aku punya ide!" teriak Vina dengan penuh semangat, suaranya begitu keras sehingga membuat Razka yang fokus menyetir harus terhenti sejenak, menatap Vina dengan mata melotot, jelas terkejut oleh teriakan yang mendadak itu.

"Yaampun suara mu itu, Vin!" ujar Razka dengan kesal, sedikit mengerutkan alisnya, namun ada senyum tipis yang terbentuk di bibirnya. Dia kembali fokus pada jalan, meskipun tidak bisa menahan rasa geli melihat tingkah laku Vina. Vina hanya tertawa, seakan tidak merasa bersalah atas gangguan yang baru saja ia buat.

"Terkejut aku," ujar Nayara dengan nada lelah, sedikit tersenyum dengan ringan mewakili reaksi Razka yang memang cukup terkejut.

"Sorry! Aku punya ide bagus, Nay. Kau mau tahu?" tanya Vina, kali ini menoleh ke arah Nayara di kursi belakang dengan wajah penuh antusiasme, matanya berbinar seolah ada sesuatu yang sangat menarik untuk dibagikan.

"Ya, apa itu?" jawab Nayara dengan ragu, mencoba untuk sedikit membuka diri pada ide yang sepertinya datang begitu mendesak dari Vina.

"Kabur lagi saja," ujar Vina dengan wajah serius, seolah-olah itu adalah solusi terbaik yang bisa ia tawarkan.

"Aku rasa itu bukan ide, Vina," ujar Razka dengan nada jengah, matanya terfokus pada jalan yang semakin padat, meskipun ia tetap menyadari kegilaan ide tersebut.

"Iyakah?" tanya Vina tanpa merasa bersalah, malah mengerutkan alisnya sedikit, tampak sedikit kebingungan karena reaksi yang tidak sesuai dengan harapannya. Nayara hanya menggelengkan kepalanya, sedikit tertawa kecil melihat keanehan ide itu. Sudah berkali-kali dia menganggap bahwa melarikan diri bukanlah solusi.

"Aku masih kuliah, lalu aku harus pergi dari satu tempat ke tempat lain, bagaimana caranya? Aku tidak ingin bolos kampus kalau tidak urgent," jawab Nayara, matanya menatap jauh, sedikit berpikir, namun suaranya tetap tegas. Ia merasa bahwa masa depannya terlalu berharga untuk disia-siakan hanya karena masalah ini. Namun, ia juga tahu bahwa kebebasan tidak semudah itu didapat.

"Aku kan hanya memberikan saran," ujar Vina sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal, tampak sedikit bingung mengapa ide itu tidak diterima dengan baik.

"Iya, saranmu tapi tidak berguna," ujar Razka sambil terkekeh, nada suaranya menunjukkan betapa dia sudah terbiasa dengan kelakuan Vina yang begitu ceroboh. Vina langsung memukul ringan lengan Razka, merasa sedikit kesal, namun tetap ada senyum di wajahnya.

Nayara hanya bisa menggelengkan kepalanya sambil tertawa kecil, melihat tingkah dua sahabatnya yang begitu konyol. Ada rasa hangat di dalam dirinya saat melihat mereka. Meskipun masalahnya begitu besar, sahabat-sahabatnya selalu bisa membuatnya merasa sedikit lebih baik dengan canda tawa mereka.

....

Sementara itu, di tempat lain, di sebuah kamar mewah, seorang pria terbangun dari tidurnya karena suara dering ponsel yang menggema di seluruh ruangan. Dengan gerakan malas, dia mengucek matanya, berusaha mengusir sisa kantuk yang masih menggelayut, lalu meraih ponsel di meja samping tempat tidurnya. Tatapannya mengernyit saat melihat layar—ternyata hanya alarm, bukan panggilan seperti yang sempat dia kira.

Menghela napas panjang, dia memutuskan untuk bangkit. Karena sudah terlanjur terjaga, dia berjalan gontai menuju kamar mandi, membasuh wajahnya dengan air dingin, dan mulai mempersiapkan diri untuk beraktivitas. Suasana kamar yang sebelumnya tenang kini perlahan dipenuhi suara air mengalir dan aroma sabun maskulin yang menguar di udara.

Sekitar lima belas menit kemudian, pria itu turun ke lantai bawah dengan penampilan yang sudah rapi sempurna. Kemeja putihnya terpasang rapi, lengkap dengan dasi yang terikat elegan di lehernya, sementara jas hitamnya hanya dia tenteng santai di tangan, tanpa niatan langsung mengenakannya.

Dari atas tangga, dia bisa melihat sahabatnya yang sudah lebih dulu bersiap. Lelaki itu duduk santai di ruang makan, sibuk menatap layar tablet di hadapannya. Secangkir kopi hangat mengepul di sampingnya, mengisi udara dengan aroma khas yang menenangkan, sementara seorang pelayan terlihat sibuk menata hidangan sarapan yang baru saja tiba setelah dipesan.

"Sudah selesai?" tanya Zevian sambil menuruni anak tangga dengan langkah mantap. Aditya, menoleh sejenak dari layar tablet, lalu mengangguk kecil.

"Sedikit lagi," jawabnya santai, sebelum kembali fokus pada pekerjaannya.

Zevian berjalan mendekat, mengambil tempat di kursi di depan meja makan yang sudah penuh dengan hidangan sarapan. Suasana pagi yang tenang seolah mengundang percakapan ringan, namun mata Zevian yang tajam tak pernah benar-benar terbebas dari tanggung jawabnya. Dia duduk, meletakkan jas di kursi sebelahnya, lalu menatap Aditya yang masih sibuk dengan tablet nya.

“Aditya, apa perkembangan proyek baru di kantor? Kau sudah cek laporan terbaru?” Zevian membuka percakapan, suaranya berat dan terukur, mencerminkan karakter tegas yang selalu dia bawa dalam setiap diskusi bisnis. Aditya menyandarkan tubuhnya ke kursi dan menghela napas panjang, seakan menimbang-nimbang bagaimana menyampaikan progresnya.

“Sedikit terhambat. Ada beberapa hal yang perlu diselesaikan di bagian pengadaan, tapi seharusnya minggu depan sudah bisa lancar,” jawabnya sambil melirik layar tablet nya, mengetik beberapa hal di sana. Zevian mengangguk pelan, matanya tetap fokus pada sahabatnya, mengamati setiap detil reaksi Aditya.

“Kau yakin? Jangan sampai kita terjebak masalah kecil yang bisa merusak timeline keseluruhan. Perusahaan ini harus tetap berjalan sesuai rencana.” Nada suaranya tegas, namun ada sedikit kelembutan di ujung kalimatnya, tanda bahwa dia mempercayakan banyak pada sahabatnya itu. Aditya mengangguk, mencoba menenangkan diri dengan secangkir kopi yang sudah mendingin.

“Aku paham, Ze. Kita akan atasi. Aku pastikan.” Sambil berbicara, dia menoleh pada tumpukan laporan yang ada di meja. “Aku akan pastikan semuanya selesai minggu depan.” lanjutnya yang membuat Zevian memandangi sahabatnya, menyadari ketegasan yang diperlukan dalam setiap langkah yang diambil.

“Baiklah, kita harus lebih fokus lagi pada ekspansi ke pasar internasional. Dengan koneksi yang kita miliki, seharusnya kita bisa merambah lebih jauh. Kau tahu betul, Aditya, keluarga Steel ini tidak hanya untuk pasar domestik.” ujar nya yang membuat Aditya menatap Zevian, sedikit terkejut dengan intensitas pernyataan sahabatnya.

“Kau benar, Ze. Tapi menurutmu kita harus mulai dengan langkah apa? Kita tidak bisa sembarangan memilih sektor.” ujar nya yang membuat Zevian menghirup napas dalam-dalam, berpikir sejenak sebelum menjawab.

“Keluarga Steel ini sudah terjun di berbagai sektor—dari properti, hingga teknologi. Tapi menurutku, sekarang saat yang tepat untuk merambah ke bidang yang lebih futuristik. Aku rasa perusahaan ini akan lebih berkembang jika bergerak di bidang teknologi, terutama teknologi berbasis kecerdasan buatan dan automasi.” ujar zevian yang membuat Aditya terdiam, mencerna kata-kata Zevian.

“Jadi kita bisa mendalami AI, atau mungkin otomatisasi di sektor industri?” Tanya nya yang langsung membuat Zevian mengangguk, tersenyum tipis.

“Tepat. Kita punya sumber daya yang cukup. Infrastruktur, jaringan internasional, dan yang paling penting, visi untuk masa depan. Kalau kita mulai dari sekarang, Steel bisa menjadi pemain utama di bidang ini dalam beberapa tahun ke depan.” jawab nya yang membuat Aditya memutar bola mata, mulai mengangguk setuju.

"Baiklah, aku akan mulai siapkan tim riset dan pengembangan untuk itu." Aditya memutar bola mata, mulai mengangguk setuju dengan raut wajah serius, namun sedikit ada ekspresi jengah, seolah sudah terlalu sering membicarakan hal yang sama.

"Wanita itu belum bangun?" Tanya Zevian sembari mengambil cangkir kopi hitamnya lagi. Tatapannya sedikit terfokus pada pemandangan di luar jendela, berusaha mengalihkan pembicaraan ke arah yang lebih ringan, meski matanya masih terlihat agak lelah.

"Sudah... dia bahkan sudah pergi." Jawaban Aditya disertai dengan nada datar, sambil menyodorkan secarik kertas pada Zevian. Zevian menerima kertas tersebut dengan gerakan lambat, jarinya terasa sedikit kaku. Dia membaca isi catatan itu, dengan mata yang melirik tajam, meskipun dia berusaha untuk tidak menunjukkan ketidaksenangannya.

"Terimakasih banyak telah menolongku, aku tidak akan melupakan jasa kalian, aku minta maaf tidak bisa berpamitan secara sopan karena aku memang ada kelas pagi... sekali lagi terimakasih tuan. Jika anda memang memerlukan hal lain, ini nomor ku 0815 7233 xxxx, sekali lagi terimakasih." Isi catatan itu terasa formal, bahkan terasa seperti sebuah pernyataan yang dibuat karena terpaksa.

"Tidak sopan." Ucap Zevian pelan, hampir seperti gumaman, namun kata-kata itu cukup keras untuk terdengar oleh Aditya. Wajah Zevian sedikit merengut, matanya sedikit menyipit, mencerminkan rasa tidak puas meski hanya sekedar menatap selembar kertas yang tergeletak di hadapannya.

"Siang ini ada meeting?" Tanya Zevian, mengalihkan perhatian dari kertas itu, menatap Aditya dengan ekspresi yang lebih tenang meski seolah ada yang mengganjal.

"Iya, jam 9 siang, Mega akan mengatur nya," jawab Aditya, tidak terlalu melihat Zevian.

"Aku tidak bisa ikut meeting dulu, urus lah." Zevian mengeluarkan pernyataan itu tanpa ekspresi berlebihan, seakan memang sudah terbiasa untuk mengabaikan beberapa hal yang dianggapnya tidak terlalu penting. Bagi Zevian, banyak hal yang lebih penting daripada pertemuan bisnis yang terkadang membosankan.

"Ze... kali ini tidak bisa diwakilkan." Ujar Aditya, dengan nada lebih serius. Wajahnya sedikit berkerut, menggambarkan ketegasan bahwa kali ini Zevian tidak bisa lari begitu saja. Sebagai CEO, dia harus turun tangan langsung, apalagi kalau masalah tersebut menyangkut jalannya perusahaan. Zevian menyandarkan tubuhnya dengan santai di kursi, menikmati tegukan terakhir kopi yang sudah agak dingin. Dia memandang Aditya dengan tatapan yang sudah sangat familiar, seolah tahu kalau sahabatnya ini akan kembali mendesaknya.

"Aditya, kalau aku hadir di meeting, pasti nanti malah tidur di tengah-tengah. Bagaimana bisa aku tetap terjaga dengan banyak grafik dan data yang akan dibahas?" Zevian berkata sambil mengangkat alis, memancing tawa. Aditya menggelengkan kepala dengan kesal namun masih ada senyum di bibirnya.

"Zevian, kamu CEO. Kamu harus ada di sana, meskipun hanya untuk memberikan arahan. Tanpa kamu, pertemuan itu akan terasa kosong." Ujar Aditya yang membuat Zevian memutar bola mata, pura-pura berpikir keras.

"Mungkin lebih baik aku kirimkan saja robot CEO. Biarkan dia yang menggantikan posisiku di sana, klik-klik, semuanya selesai." Dia tertawa ringan.

"Jangan bercanda Zevian, kami benar-benar membutuhkan kehadiranmu. Kamu tahu betapa pentingnya peranmu di sana." jawab Aditya, suaranya mulai serius. Zevian menyandarkan tubuhnya lebih dalam ke kursi dan mengangkat cangkir kopi lagi, menikmati aroma yang sudah mulai memudar.

"Aku lebih butuh tidur daripada harus terjebak di ruang meeting yang penuh dengan angka-angka. Bukankah aku sudah cukup menjadi panutan kalian sebagai CEO? Jika aku tidak hadir, kalian tetap bisa melanjutkan tanpa masalah." Ujar nya yang membuat Aditya menggigit bibirnya menahan tawa.

"Jangan begitu. Kalau kamu tidak hadir, kami pasti akan merasa kehilangan arahan. Kamu tahu itu." Ujar nya yang membuat Zevian mengerutkan dahi, berpura-pura serius.

"Arahan? Kalau aku datang, arahan itu akan menjadi tidur siang yang panjang. Kamu tahu sendiri, aku tidak bisa berfungsi dengan baik tanpa tidur yang cukup." Jawab nya santai. Aditya mencoba menahan tawa, namun tetap bersikeras.

"Zevian, sesekali saja datang. Kami perlu wajah penuh kewibawaanmu, jangan hanya mengandalkan statusmu sebagai CEO." Ujarnya yang langsung membuat Zevian mendengus, menyandarkan tubuh ke kursinya lagi.

"Wajah penuh kewibawaan? Kalau aku datang ke meeting, kewibawaan itu akan langsung hilang. Aku akan terlihat lebih seperti zombie yang tidak cukup tidur. Aku benar benar lelah" balas nya.

"Lalu kenapa kau bersiap jika tidak ingin pergi ke kantor?" Tanya aditya yang membuat zevian sedikit tersedak ludahnya sendiri.

"Aku ingin tidur dengan ini" ujar zevian bicara asal yang membuat Aditya terkekeh pelan.

"Aku lihat ada yang aneh?" Ujar Aditya menggoda.

"Apapun itu aku tidak akan ke kantor " balas Zevian yang membuat Aditya menatap Zevian lalu mengangguk.

"Baiklah, kamu menang. Tapi aku ingatkan, jika meeting ini penting, dan kamu tahu itu." Aditya mengangkat tangan, menyerah pada sifat Zevian yang terkadang egois. Wajahnya yang biasanya tenang terlihat sedikit jengkel, namun ia berusaha menahan emosi. Suasana di ruangan itu seakan menjadi lebih berat, Aditya mendesah pelan, menahan rasa frustrasi yang tak bisa diungkapkan.

"Tolong urus itu bersama Mega, aku ada urusan lain. Pokoknya urus saja." Zevian berkata sambil bangkit dari kursinya dengan gerakan cepat. Dengan langkah tegas, dia berjalan ke arah pintu, meninggalkan Aditya yang masih terdiam di tempatnya, mematung dengan banyak pertanyaan yang harus dipendam. Aditya mengusap wajahnya, merasa tak bisa lagi melawan kebiasaan Zevian yang sering kali bertindak tanpa banyak bicara.

"Yaampun, manusia itu," ujar Aditya pasrah, suaranya hampir terdengar seperti keluhan, namun ia berusaha menahan tawa melihat bagaimana Zevian selalu mendominasi situasi.

Zevian melangkah cepat keluar dari apartemennya, wajahnya yang tampan terlihat serius, bahkan cenderung dingin. Beberapa orang yang kebetulan berada di sekitar itu tak bisa menahan senyum kagum pada penampilannya yang selalu mempesona, namun Zevian sama sekali tidak memperhatikan mereka. Baginya, ada hal yang jauh lebih penting yang harus diurus. Keberadaan orang-orang di sekitar seolah tak ada artinya saat dia terfokus pada tujuannya.

Begitu keluar, dia melangkah ke mobilnya dengan penuh determinasi. Suasana jalanan di luar sangat sibuk, namun bagi Zevian, itu semua seakan tidak ada artinya. Sesampainya di dalam mobil, ia langsung menyalakan mesin dan melajukan kendaraannya dengan kecepatan tinggi, sembari membuka ponselnya untuk menelepon seseorang dengan ekspresi yang tetap tegang dan serius.

"Hallo," ucap Zevian dengan suara tegas saat telepon tersebut tersambung, suaranya menggema seolah tidak ada ruang untuk penolakan.

"Iya..." jawab suara di seberang telepon, terdengar agak ragu, tapi tetap mencoba terdengar profesional.

"Tolong lacak nomor yang aku kirim barusan, segera," perintah Zevian, nada suaranya berubah lebih dingin, seperti memberi ultimatum. Tanpa menunggu balasan lebih lanjut, dia langsung mematikan panggilan tersebut dengan cepat, menandakan bahwa dia tidak akan toleransi jika permintaannya tidak segera dipenuhi.

Zevian kembali fokus pada jalanan ibu kota yang cukup padat pagi itu. Kendaraan-kendaraan lain berdesakan, tapi bagi Zevian, kebisingan dan kerumunan itu seperti tak ada artinya. Pikirannya jauh lebih tertuju pada tujuan yang lebih penting. Dia berniat menuju ke sebuah universitas ternama di Indonesia. Pikirannya masih terus mengalir, seakan ada sesuatu yang belum selesai yang harus diselesaikan.

Tak lama setelah itu, sebuah pesan masuk dari nomor yang dia kenal. Hasil dari permintaan yang dia buat tadi. Tanpa ragu, Zevian membuka pesan tersebut.

"Ternyata benar dia di sana, aku akan mendapatkannya," ujarnya dengan senyum aneh yang terlukis di wajahnya—senyum yang mengandung campuran antara rasa puas dan rencana yang sudah disusun rapi. Dia menggigit bibir bawahnya sejenak, merasakan sensasi kemenangan yang sudah semakin dekat.

Zevian melanjutkan perjalanannya dengan hati yang tak sabar. Saat mobilnya akhirnya tiba di depan universitas tersebut, ia memarkirkan kendaraannya dengan hati-hati, seakan tempat ini begitu penting baginya. Ia duduk sejenak di dalam mobil, menunggu dengan penuh kesabaran. Matanya tetap terpaku pada ponsel, mencari-cari informasi lebih tentang wanita yang telah menarik perhatiannya itu.

"Ini menarik," gumam Zevian, matanya masih menelusuri sosial media milik Nayara. Bagaimana bisa dia tahu begitu banyak? Tentu saja, itu semua berkat nomor telepon yang berhasil dia lacak tadi. Zevian memeriksa setiap foto yang ada di akun sosial media Nayara dengan seksama. Setiap gambar, setiap komentar, ia lihat dengan ketelitian seorang yang tak ingin melewatkan detail sekecil apapun. Tak terasa, waktu sudah berlalu begitu lama. Namun, seakan waktu itu tidak berharga bagi Zevian. Semua yang ada di sekitar seolah menghilang, dan hanya ponselnya yang jadi fokus utamanya.

Matanya akhirnya beralih dari layar ponsel ke luar mobil, dan dia melihat seseorang yang sudah lama dia tunggu. Hatinya berdebar sejenak, namun ekspresinya tetap terjaga. Tanpa banyak basa-basi, Zevian keluar dari mobil dan berjalan mendekati Nayara yang sedang berjalan menuju mobil Razka untuk mengambil barang yang tertinggal.

Langkahnya terhitung cepat dan pasti, namun

Ada sesuatu di dalam diri Zevian yang merasa sedikit tertantang. Sebuah rasa ingin tahu yang memuncak, seperti aliran listrik yang mengalir cepat dalam tubuhnya. Ia merasa sudah begitu dekat untuk mengetahui lebih banyak tentang wanita ini, yang sejak tadi hanya ada dalam pikirannya dan pencariannya. Pikirannya terfokus pada sosok Nayara—gadis yang semalam dia tolong, namun hari ini membawa rasa penasaran yang semakin dalam.

Dengan langkah cepat, Zevian mendekati Nayara. Gerakannya penuh keyakinan, seolah tak ada yang bisa menghalangi. Namun, kehadirannya yang begitu mendekat membuat Nayara terkejut. Wajahnya berubah, matanya terbuka lebar, dan ia tampak tak menyangka jika pria yang semalam menolongnya bisa mengetahui di mana dia sekarang.

"Kita bertemu lagi," ujar Zevian dengan wajah datarnya, tanpa emosi. Suaranya terdengar tenang, tetapi ada ketegangan yang membayangi kata-katanya. Bagi Nayara, kalimat itu seperti petir di siang bolong—tak terduga dan mengejutkan.

"Astaga..." Ucap Nayara hampir menjatuhkan buku yang dipegangnya, tangannya bergetar sesaat. Ia membeku di tempatnya, bingung dan terkejut dengan kejadian yang tak bisa diprediksi ini.

"Ikut saya," perintah Zevian tanpa ragu, langkahnya semakin mantap saat ia menarik tangan Nayara. Suasana di sekitar mereka terasa semakin tegang, dan Nayara jelas terkejut dengan sikap Zevian yang tiba-tiba ini. Wanita itu merasa jantungnya berdetak lebih cepat, dan emosinya bergejolak. Dia bukan tipe orang yang akan diam saja jika diperlakukan seperti ini—terlebih oleh seseorang yang sama sekali tidak ia kenal.

"Tunggu dulu, jangan pegang-pegang!" bentak Nayara, suaranya bergetar antara ketakutan dan marah. Dia menatap Zevian dengan tajam, berusaha menahan agar dirinya tidak lengah.

"Anda ada keperluan apa? Apa anda menguntit ku?" tanyanya dengan nada tinggi, berusaha mempertahankan keberanian meskipun tubuhnya mulai merasa terjepit oleh situasi ini. Zevian hanya menatapnya dengan mata tajam, tanpa menampilkan sedikitpun rasa bersalah.

"Tidak perlu tahu, ikut saya," ujarnya tegas, nada suaranya semakin dingin dan tidak ada ruang untuk perdebatan lebih lanjut. Sekali lagi, dia menarik tangan Nayara dan membawanya menuju mobilnya. Nayara berusaha menahan diri, tetapi apa daya, tubuhnya tak mampu melawan tenaga Zevian yang lebih kuat.

"Anda mau apa?" seru Nayara, semakin panik. "Biarkan aku keluar, atau aku akan teriak!" Usahanya untuk membuka pintu mobil Zevian sia-sia. Tangan Nayara meraba gagang pintu, namun mobil itu sudah terkunci. Suasana di dalam mobil terasa semakin berat—terkunci dalam ruang yang tak bisa ia lewati. Matanya memandang Zevian dengan penuh perasaan yang campur aduk—marah, takut, dan bingung.

"Teriaklah... apa gunanya membuang suara hanya untuk berteriak?" ujar Zevian dengan nada datar, namun ada sesuatu yang mengerikan di balik kata-katanya. Matanya menatap tajam ke wajah Nayara, menyelidiki setiap ekspresi yang muncul di wajahnya. Ada kegembiraan yang tersirat dalam tatapannya, seperti predator yang sedang menilai mangsanya. Nayara menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan tangis yang sudah hampir tumpah. Dia merasa terjebak, tubuhnya kaku, dan hatinya berdebar kencang.

"Sebenernya apa yang anda mau, kenapa tiba-tiba seperti ini?" Suaranya terdengar serak, penuh ketakutan yang ia sembunyikan dengan susah payah. Matanya memerah, tetapi ia berusaha untuk tidak menangis. Tak bisa dipungkiri, dia sangat takut—takut dengan pria di sampingnya yang tidak bisa ia baca, takut dengan ancaman yang tersembunyi di balik setiap kata-kata Zevian. Zevian tidak langsung menjawab, hanya menyeringai tipis.

"Tidak dengar ucapan saya semalam?" tanyanya, suaranya penuh dengan rasa ingin tahu yang aneh. Ada penekanan pada kata 'semalam', seperti sebuah peringatan yang tidak bisa diabaikan.

"Baiklah, apa yang anda butuhkan, aku akan berikan," ujarnya dengan terburu-buru, suara itu sedikit gemetar. Jujur saja, dia merasa terpojok, menyangka bahwa Zevian ingin memerasnya. Setiap kata yang keluar dari bibirnya terasa terpaksa, dan hatinya semakin cemas dengan ketidakpastian yang ada di depan mata. Zevian menghela napas pelan, seolah tidak terkesan dengan pernyataan Nayara.

"Saya bukan pria miskin, saya tidak butuh apapun," jawabnya dengan nada yang sangat tenang, bahkan terkesan meremehkan. Dengan gerakan yang perlahan, Zevian mendekatkan wajahnya ke arah Nayara, lalu membisikkan sesuatu yang membuat jantung Nayara hampir berhenti berdetak.

"From this moment on, you’re mine. (Mulai hari ini, kau milikku.)" Suaranya begitu halus, tetapi penuh ancaman yang terselip di balik kelembutannya. Kata-kata itu mengalir pelan, namun menyentuh hati Nayara dengan cara yang menakutkan. Sebuah pernyataan yang begitu kuat, membuat darahnya terasa membeku sejenak. Nayara terkejut dan tubuhnya sedikit bergetar. Tanpa sadar, dia mundur sedikit, berharap bisa keluar dari situasi ini.

"Berhenti... berhentilah!" pikir Nayara dalam hati, namun kekuatan fisik Zevian jauh lebih besar. Dia merasa tak berdaya saat Zevian dengan mudah memainkan rambutnya, seolah dirinya hanyalah sebuah objek yang bisa diperlakukan sesuka hati.

“You do realize, don’t you? Everything that belongs to me will stay mine. Forever. (Kau tahu, semua yang sudah jadi milikku pasti akan tetap menjadi milikku.)" Bisikan itu menyusup kembali, lebih tegas, lebih menekan, dan kali ini ada sedikit kebanggaan dalam nada suara Zevian. Senyum puas tersungging di bibirnya, memperlihatkan bahwa ia menikmati kontrol penuh yang ia miliki atas Nayara. Mungkin ini adalah permainan baginya, tetapi bagi Nayara, ini adalah mimpi buruk yang sedang terjadi di hadapannya. Nayara merasa sesak, napasnya semakin berat, dan tubuhnya terasa terhimpit.

"Tuan, agak menjauh lah, aku tak bisa bernapas... Berhentilah berbicara hal-hal tidak masuk akal, katakan saja apa yang Anda inginkan!" Suaranya nyaris pecah, penuh dengan emosi yang tertahan. Dia berusaha keras untuk tetap tenang, tetapi rasa takutnya semakin menguasai. Namun, Zevian hanya tersenyum lebih lebar, senyum yang begitu manis dan licik, seolah ucapan Nayara tidak berarti apa-apa baginya.

"Saya ingin dirimu," jawab Zevian dengan tegas, suara itu terdengar seperti pernyataan yang tidak bisa diganggu gugat. Setelah itu, dia duduk tegak di kursi pengemudi, lalu mulai mengemudikan mobilnya meninggalkan area kampus. Nayara terus berusaha membuka pintu mobil, terus meminta keluar, namun usahanya sia-sia. Mobil itu terkunci, dan keheningan yang berat mengisi ruang di dalamnya.

Rasa takut dan kebingungan menguasai diri Nayara. Setiap detik yang berlalu di dalam mobil itu terasa seperti siksaan. Zevian, di sisi lain, merasa puas. Ia mendapatkan apa yang ia inginkan—sebuah pencapaian yang memuaskan ego dan rasa kontrolnya.

Zevian melajukan mobil dengan tenang, mengabaikan suara desakan dan gesekan tangan Nayara yang terus berusaha membuka pintu. Suasana di dalam mobil semakin mencekam, hanya terdengar desahan napas Nayara yang terburu-buru. Setiap kali ia mencoba menarik pegangan pintu, suara klik dari kunci mobil semakin menambah rasa paniknya.

"Aku ingin keluar! Buka pintu tolong, apa yang Anda inginkan dariku?" teriak Nayara, matanya terbuka lebar dengan rasa takut yang semakin membuncah. Zevian tetap duduk dengan tenang, tangannya menggenggam setir dengan mantap. Tatapannya kosong, tapi ada bayangan sesuatu yang lebih gelap di balik matanya.

"Saya sudah bilang, saya ingin dirimu, Nayara." Jawab nya yang membuat suara Nayara semakin bergetar, ada air mata yang sudah hampir tumpah.

"Apa yang Anda inginkan? Kenapa aku?" suaranya hampir tak terdengar, seolah berbisik pada dirinya sendiri. Zevian menghela napas pelan, seolah tidak terganggu dengan keresahan Nayara.

"Karena saya ingin kamu tahu, Nayara. Segala sesuatu yang saya inginkan, pasti akan menjadi milik saya Termasuk dirimu." Jawab nya.

Mobil melaju semakin jauh dari kampus, meninggalkan keramaian di belakang. Tidak ada yang bisa dilakukan Nayara. Tubuhnya gemetar, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Setiap jeritan dan teriakannya seakan tenggelam dalam keheningan yang terperangkap dalam mobil mewah itu.

"Jangan berontak... Karena semakin kamu melawan, semakin aku ingin membuatmu menyerah." ujar Zevian dengan suara rendah, hampir seperti bisikan.

Nayara menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya, tetapi tidak bisa menepis ketakutannya. Ia merasa terjebak, terperangkap dalam ruang sempit yang dipenuhi oleh ketidakpastian. Air matanya mulai menetes, namun ia tetap berusaha menahan diri.

"Lepaskan aku, tuan… Kenapa anda melakukan ini?" suaranya pecah. Zevian mengabaikan pertanyaan itu, pandangannya tetap lurus ke depan, matanya tajam dan penuh perhitungan.

"Karena saya bisa," jawabnya datar, tanpa emosi.

Keheningan kembali menyelimuti mereka. Mobil itu terus melaju tanpa henti, mengarah entah ke mana. Nayara merasa dirinya semakin kecil, tak berdaya, terjebak dalam permainan yang tidak ia mengerti. Setiap gerakan Zevian, setiap kata yang keluar dari mulutnya, semakin menambah rasa takut yang mencekam hatinya.

"Jangan coba melawan, kau tidak akan bisa menang." Zevian menambahkan dengan suara yang hampir tak terdengar. Nayara menatap Zevian dengan mata penuh amarah dan kebingungan.

"Aku tidak tahu siapa Anda, tapi aku ingin Anda tahu, aku bukan orang yang bisa Anda kendalikan begitu saja." ucapnya perlahan. Zevian mengalihkan pandangannya ke Nayara untuk sesaat, dan senyum kecil muncul di bibirnya.

"Kamu akan tahu siapa saya, Nayara. Kamu akan tahu sangat baik siapa saya setelah ini." Jawab nya dengan wajah tenang.

Mobil terus melaju tanpa ampun, membawa mereka berdua jauh dari tempat yang mengenal mereka. Dan di dalam keheningan itu, Nayara merasakan rasa takut dan ketidakberdayaan yang semakin dalam, sedangkan Zevian hanya tersenyum puas di kursi pengemudi, seolah semuanya berjalan sesuai dengan rencananya.

"Tuan... kita mau ke mana? Aku masih ada kelas," ujar Nayara, suaranya terdengar cemas namun tetap berusaha tenang. Ia melirik keluar jendela, menyadari bahwa mobil itu benar-benar menjauh dari lingkungan kampus. Jantungnya berdebar tidak karuan. Tadi, ia hanya keluar sebentar untuk mengambil barang yang tertinggal di mobil Razka—dan bahkan, kunci mobil sahabatnya itu masih tergenggam erat di tangannya.

Namun Zevian tidak menggubris pertanyaan itu. Tatapannya tetap fokus pada jalanan yang mulai lengang siang itu. Cahaya matahari menerpa kaca depan mobil, menciptakan bayangan samar di wajahnya yang tegas. Hari ini, ia sengaja tidak masuk kantor. Semua hanya karena satu alasan—wanita di sebelahnya yang tanpa sadar telah mencuri perhatian dan membangkitkan rasa yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Keheningan yang menegang mendominasi kabin mobil, sampai akhirnya suara dering ponsel memecah suasana. Zevian melirik layar, ekspresinya berubah sedikit tegang. Ia menarik napas pendek, kemudian menepikan mobilnya ke sisi jalan yang sepi. Dengan gerakan cepat, ia mengambil ponsel dan bersiap menerima panggilan.

"Kamu diam!" tegurnya dingin, memberi isyarat tegas kepada Nayara agar tidak bersuara sedikit pun. Tatapan matanya menusuk, membuat Nayara refleks membungkam mulutnya sendiri. Tangannya mengepal di pangkuan, mencoba menenangkan gemuruh dalam dadanya—tapi perasaannya kacau. Ia tidak tahu siapa pria ini sebenarnya, dan kenapa dirinya terjebak dalam situasi seabsurd ini.

"Ya, halo Mom," ucap Zevian begitu panggilan tersambung. Suaranya terdengar datar, tapi sedikit menegang. Pandangannya menatap lurus ke depan, seakan mencoba menahan kekesalan yang mulai muncul di ujung nada bicaranya.

"Kamu di mana, sayang?" Suara lembut seorang wanita terdengar dari seberang. Nada bicaranya penuh kasih, namun mengandung tuntutan terselubung—itu suara ibunya, wanita yang tak pernah suka diberi alasan.

"Aku di rumah teman, Mom," jawab Zevian cepat, berbohong tanpa pikir panjang. Matanya sekilas melirik Nayara yang duduk diam di kursi sebelah, masih gelisah.

"Kamu tidak bekerja? Kalau begitu pulanglah. Mommy menunggumu. Cepat." Nada suaranya berubah tegas, menandakan perintah yang tak bisa ditawar.

"Ehhh, tapi Mom..." Ucapan zevian di potong cepat.

"Mommy akan menjemputmu dan menikahkanmu di sana, sekarang juga. Tak peduli kamu mau atau tidak," potong ibunya tanpa ragu. Suaranya tak lagi terdengar lembut. Ada tekanan, ada tekad yang tak bisa dilawan. Zevian memejamkan mata sesaat, lalu mengusap wajahnya yang tiba-tiba terasa panas.

"Akhh... Mom, ayolah... jangan seperti ini. Berhenti membahas tentang pernikahan. Aku bosan mendengarnya," ucapnya, suara lelaki itu terdengar frustrasi, nyaris pasrah.

"Lima belas menit, sayang. Mommy tunggu." Dan panggilan pun terputus, seolah sang ibu tidak ingin mendengar satu kata pun lagi darinya. Zevian menatap layar ponsel yang sudah gelap dengan rahang mengeras. Matanya perlahan melirik Nayara di sampingnya—wanita yang tiba-tiba berada di tengah pusaran masalah yang bahkan tak ia rencanakan.

Indira Maharani Steel—nyonya Steel generasi kelima—bukan wanita biasa. Ia tahu benar bagaimana menaklukkan anak-anaknya. Untuk Zevian, ancaman pernikahan adalah senjata paling ampuh. Entah dia berada di mana atau sedang melakukan apa pun, begitu ibunya menyebut kata "menikah", maka tak butuh waktu lama bagi pria itu untuk segera pulang. Sedangkan adik perempuannya, akan langsung patuh jika sudah disangkutpautkan dengan urusan kantor—hal yang sangat dia benci.

Zevian menghela napas panjang, lalu melempar ponsel ke arah dasbor dengan kesal. Suara hantaman itu menggema di dalam mobil yang sunyi. Matanya menajam, rahangnya mengeras. Ia menyalakan mesin kembali, melanjutkan perjalanan tanpa sepatah kata pun.

Nayara hanya bisa terdiam, menatap jendela tanpa benar-benar melihat pemandangan di luar. Dadanya sesak, pikirannya berkecamuk, dan perasaannya diliputi oleh ketakutan yang sulit dijelaskan. Entah apa yang sedang menunggunya. Tak lama kemudian, mobil itu berhenti di apartemen nya. Zevian langsung turun, membuka pintu di sisi penumpang, dan menatap Nayara tajam.

"Turun. Sekarang."

"Aku tidak mau... Tuan, aku mohon." Jawab Nayara menggeleng pelan.

"Cepat! Saya tidak punya banyak waktu!" bentaknya sambil menarik lengan Nayara. Tenaganya begitu kuat, membuat gadis itu terseret paksa. Meski sudah berusaha menolak, semuanya sia-sia. Keduanya berjalan cepat melewati lobi, menaiki lift menuju lantai tertinggi. Hening. Hanya terdengar denting samar lift dan deru napas Nayara yang mulai tidak beraturan. Setibanya di depan unit penthouse, Zevian menempelkan kartu akses, pintu terbuka, dan tanpa ragu ia menarik Nayara masuk bersamanya.

"Tuan... aku mohon, jangan seperti ini," lirih Nayara sambil berusaha melepaskan cengkeraman Zevian. Zevian menghentikan langkahnya, menatapnya tajam. Suaranya dingin, nyaris seperti bisikan dari jurang yang gelap.

"Bisa tidak berhenti mengoceh, atau saya akan berbuat lebih jauh lagi!" bentaknya, membuat tubuh Nayara seketika gemetar dan terdiam.

"Dengar baik-baik. Kau tinggal di sini. Jangan coba-coba untuk kabur... atau kau akan tahu sendiri akibatnya." Lanjut nya, dan tanpa menunggu respons, Zevian berbalik. Ia mengambil kunci mobil, jas, dan dompetnya yang tadi diletakkan di meja. Langkahnya cepat dan penuh tekanan. Ia membuka pintu, lalu keluar begitu saja, meninggalkan Nayara yang masih berdiri mematung di tengah ruangan mewah namun terasa menakutkan itu.

"Tuan... tunggu... Tuan!" panggil Nayara panik, namun suara itu hanya memantul di dinding kosong. Zevian sudah menghilang di balik pintu yang kini terkunci rapat.

Gadis itu berjalan pelan ke arah pintu, mencoba membukanya. Namun terkunci, tadi pagi dia bisa keluar dengan mudah tapi kini semuanya sudah berubah. Ia jatuh terduduk, tubuhnya mulai gemetar.

"Ya Tuhan... apalagi ini..." bisiknya lirih. Matanya mulai basah.

"Lepas dari kandang macan... malah masuk kandang buaya. kalau tahu akan seperti ini, aku tidak akan pernah meminta tolong pada orang aneh itu..." gumamnya sambil menyandarkan kepala ke pintu.

Hening.

Lalu, ia tersadar sesuatu.

"Ponselku... tertinggal di kelas." Gumam nya yang membuat dunia nya seolah runtuh baginya saat itu juga. Kini, ia benar-benar terjebak sendirian.

BAB 3: Keluarga Steel

Setelah memacu kendaraannya cukup lama meninggalkan gedung apartemennya, akhirnya Zevian tiba di kediaman orang tuanya. Sebuah rumah megah berdiri dengan anggun di tengah kawasan elit, didesain modern dengan dominasi warna putih bersih yang menonjolkan kesan elegan dan mewah. Pilar-pilar besar menjulang kokoh di bagian depan, seolah menjadi lambang kekuasaan dan kestabilan keluarga Steel. Kaca-kaca berukuran besar menghiasi beberapa sisi bangunan, memantulkan cahaya matahari siang yang hangat, sementara air mancur berbentuk klasik mengalir pelan di halaman depan, menambah kesan kemewahan dan keanggunan rumah itu.

Zevian turun dari mobilnya dengan gerakan lambat, kemudian berjalan santai menuju pintu utama. Setiap langkahnya terlihat malas, tak terburu-buru. Ia menghela napas pelan, menatap rumah itu dengan tatapan datar. Meskipun ia tumbuh besar di sana, tempat itu tak pernah benar-benar terasa seperti rumah baginya. Ia lebih menyukai tinggal di penthouse miliknya sendiri, jauh dari segala aturan ketat dan ekspektasi tinggi yang selalu datang dari sang ayah—Vicenzo Alessandro Steel.

Pria yang kini tak lagi muda itu masih mempertahankan wibawa dan ketegasan yang tak pernah luntur. Ia adalah cerminan dari Zevian dalam versi lebih dewasa: keras kepala, penuh kendali, dan sulit untuk ditentang. Ketampanan dan kecantikan seolah menjadi warisan turun-temurun dalam keluarga Steel—anugerah yang tampak jelas dari setiap anggota keluarga mereka. Namun di balik wajah rupawan itu, tersembunyi karakter-karakter yang tajam dan sulit dijinakkan.

Zevian membuka pintu besar itu menggunakan kartu akses yang selalu ia bawa. Begitu kartu ditempelkan, suara klik terdengar dan smart door terbuka otomatis, menampakkan interior mewah rumah itu yang seolah berasal dari dunia lain. Dua tangga spiral megah berdiri anggun di tengah ruangan, melingkar naik ke lantai atas dengan ornamen ukiran detail berlapis emas. Di atasnya, sebuah lampu gantung kristal raksasa menjuntai dari langit-langit tinggi, memantulkan cahaya lembut ke seluruh penjuru ruangan.

Furniture bergaya Eropa klasik tertata rapi, lengkap dengan detail ukiran halus dan bahan beludru mewah. Sebuah foto keluarga besar Steel tergantung megah di tengah ruangan, dipajang dengan bingkai emas tebal—mewakili kekuasaan dan kebanggaan yang mereka wariskan. Di sisi lain, layar proyektor raksasa menampilkan wallpaper digital berupa pemandangan kota di malam hari, lengkap dengan kelap-kelip cahaya gedung tinggi yang menyilaukan, menciptakan ilusi seolah rumah itu terbuka langsung pada langit metropolis.

Beberapa pelayan terlihat masih sibuk berlalu-lalang, menjalankan tugas mereka dengan cekatan dan nyaris tanpa suara. Namun Zevian tidak memedulikan itu semua. Ia melangkah masuk dengan wajah kesal dan lelah, sorot matanya penuh kejengahan terhadap tempat yang semestinya disebut rumah.

"Mommy… aku datang," ucapnya datar, suaranya terdengar seperti gumaman malas. Ia menjatuhkan tubuhnya ke sofa di ruang tamu, bersandar dengan lemah, lalu melepaskan jas dari tubuhnya dan melemparkannya ke samping. Kunci mobil serta ponsel dilemparkannya ke atas meja kaca tanpa peduli, menimbulkan bunyi denting pelan saat menyentuh permukaan meja yang licin dan dingin.

“Kamu pulang juga?” ucap sang ibu, lalu langsung menghambur ke pelukan putranya. Dira baru saja datang dari arah dapur, tampaknya baru selesai memberikan instruksi kepada pelayan mengenai menu makan siang.

“Mom, ayolah… jangan selalu mengancam ingin menjodohkanku dan memaksaku untuk menikah. Aku tidak mau,” keluh Zevian, berusaha melepaskan diri dari pelukan sang ibu.

“Hei, kamu ini kenapa? Apa salah kalau Mommy ingin menimang cucu?” ucap Dira dengan nada setengah kesal.

“Bukan seperti itu, Mom. Aku tahu Mom ingin jadi nenek, tapi bisakah minta cucu dari Valen saja? Aku lelah terus-menerus diteror pertanyaan ‘kapan nikah’ seperti ini,” ujarnya dengan ekspresi jengkel.

“Valen?” sang ibu mengulang dengan nada bingung, alisnya terangkat sebelah.

“Iya, dia juga putri Mommy dan Daddy, kan? Kenapa tidak minta dari dia saja, coba?” sahut Zevian santai, wajahnya tenang tanpa beban.

“Valen kamu bilang? Valen itu masih sangat muda! Ingat, Zevian, dia itu adik kamu! Usianya masih dua puluh tahun. Dia masih anak-anak, sedangkan kamu sudah tiga puluh dua! Apa kata orang-orang di luar sana kalau mereka bilang kamu menyimpang? Itu tidak benar, kan?” ucap Dira penuh selidik dia menarik telinga putra nya itu, nada suaranya meninggi, matanya berkaca-kaca.

“Auwhh… sakit, Mom! Menyimpang apa pula,” gerutu Zevian sambil meringis, tangannya memegangi telinga yang memerah karena dijewer.

“Jawab!! Dan apa iya kamu menyimpang? Sebab itu kamu tak menyukai wanita? Jawab Mommy, Zevian!!” seru sang ibu dengan air mata yang kini menetes deras di pipinya. Ia tampak panik, seolah beban sebagai ibu gagal menampar perasaannya habis-habisan. Zevian menghela napas berat. Ia tahu rumor itu sudah menyebar terlalu jauh, tapi melihat ibunya benar-benar terluka karenanya membuat dadanya ikut sesak.

“Mom, aku tidak begitu. Aku normal. Rumor di luar sana yang mengatakan aku pacaran dengan Aditya itu bohong. Aku hanya belum siap untuk menikah. Lagi pula… Daddy saja menikah di usia empat puluh lima. Lalu kenapa aku harus menikah muda-muda?” jelas Zevian, menatap ibunya dengan serius, berharap kejujurannya bisa menenangkan kekhawatiran itu. Ia tahu betul siapa Aditya. Pria itu punya reputasi buruk, dijuluki Casanova karena kebiasaannya menggoda perempuan-perempuan tak benar. Bagaimana bisa orang percaya ia punya hubungan khusus dengan seseorang seperti Adit?

“Oh, jadi kamu ingin mengikuti jejak Daddy-mu?” ucap Dira dengan nada tinggi, tampak makin geram karena anaknya terus saja membalas.

“Mom, tolong jangan bandingkan aku terus dengan Daddy,” ujar Zevian, nada suaranya mulai meninggi. Dira menyilangkan tangan di dada, wajahnya masih memerah karena amarah.

“Lalu siapa lagi yang bisa Mommy jadikan patokan? Kamu itu penerus keluarga ini, Zevian! Kamu punya tanggung jawab, bukan cuma pada perusahaan, tapi juga pada garis keturunan keluarga Steel!” Ujar Dira yang membuat Zevian berdiri dari sofa, jasnya tergeletak begitu saja, tatapannya mulai tajam.

“Apa aku ini cuma mesin pencetak keturunan untuk Mommy? Semua keputusan hidupku selalu dikendalikan—termasuk urusan pribadi seperti menikah.” jawab nya yang membuat Dira tertegun sesaat, tapi tidak menyerah.

“Mom tidak mengendalikanmu. Mom hanya ingin yang terbaik untukmu. Kamu pikir Mommy tidak tahu kamu kesepian, Zevian?” balas nya yang membuat Zevian tertawa pendek, sinis.

“Kesepian? Justru aku paling tenang saat sendiri. Paling jujur pada diri sendiri saat jauh dari semua tekanan ini.” Jawab zevian tegas yang membuat Dira melangkah lebih dekat, matanya kini tak hanya berisi kemarahan, tapi juga kepedihan yang dalam.

“Tapi kamu ini anak sulung, Ze. Mommy hanya ingin melihat kamu bahagia… punya keluarga sendiri… ada seseorang yang menunggu kamu pulang.” jawab Dira.

“Bahagia versi Mommy, bukan versiku, kalau menikah hanya karena tuntutan, aku tidak akan bahagia. Dan perempuan mana yang mau hidup dengan pria seperti aku yang dingin dan keras kepala, ha?” Balas Zevian cepat, rahangnya mengeras. Dira terdiam. Ada jeda sunyi, hanya suara detak jam besar yang menggema di ruangan itu.

“Kamu tahu, Ze… Mommy kadang berharap kamu tidak tumbuh terlalu cepat. Karena saat kamu kecil, kamu masih mau peluk Mommy tanpa merasa risih seperti sekarang.” ujar nya yang membuat Zevian menunduk, rahangnya masih mengeras, tapi matanya mulai melembut. Ada sesuatu dalam ucapan ibunya yang menusuknya dalam diam.

"Aku tidak risih dipeluk Mommy, hanya saja Mom... aku terkadang kesal jika kalian terus mempertanyakan kapan aku menikah. Aku juga belum siap untuk itu," ujar Zevian, suaranya mulai melembut, sadar bahwa ibunya mungkin salah paham atas sikap dinginnya selama ini. Namun Dira justru terdiam beberapa detik, lalu memalingkan wajah, menutup mulutnya dengan tangan seolah menahan tangis. Bahunya berguncang pelan Zevian menghela napas, mendekat.

“Mom…”Ujar zevian yang langsung di sela Dira.

"Mommy ini... apa sejahat itu ya di matamu, Zevian? Apa Mommy terlalu menekanmu sampai kamu merasa tidak punya pilihan selain menjauh dari keluarga sendiri?" ucap Dira lirih, namun penuh luka.

“Mom, bukan begitu maksudku..” ucapan zevian langsung di potong cepat.

"Aku ini ibumu, Ze. Perempuan yang melahirkanmu. Tapi sekarang, bahkan untuk duduk bersamamu lebih dari lima menit saja rasanya seperti menahan nafas dalam air—karena kamu selalu bersikap dingin… menjauh…" Dira akhirnya tak menahan tangisnya lagi. “Mommy hanya ingin kamu bahagia, Zevian. Mommy hanya ingin kamu tidak merasa sendiri saat usia Mommy tak lagi cukup untuk berdiri di sampingmu.” lanjut nya yang membuat Zevian tercekat. Kata-kata ibunya seperti tamparan yang tidak ia harapkan.

"Mom tahu... mungkin Mommy cerewet, mungkin terlalu banyak ikut campur. Tapi tahukah kamu kenapa Mommy tidak pernah berhenti bicara tentang menikah? Karena Mommy takut... saat Mommy tiada nanti, kamu tidak punya siapa-siapa," lanjutnya sambil mengusap air mata dengan punggung tangan.

Zevian menatap ibunya yang kini terlihat rapuh. Seolah waktu telah menggerogoti sosok tangguh itu perlahan tanpa ia sadari. Ia melangkah pelan, lalu meraih bahu ibunya dan menariknya ke dalam pelukan.

"Maaf, Mom… Aku bukan ingin membuat Mom sedih… Aku hanya belum siap. Tapi aku janji, aku tidak akan pergi jauh. Aku tetap anak Mommy." bisiknya lirih, Zevian menarik napas sejenak, lalu menatap ibunya yang masih tersedu.

“Tapi apa yang aku katakan memang benar, kan, Mom? Tidak seharusnya kita menyia-nyiakan masa muda kita untuk hal yang... menurutku tidak berguna seperti pernikahan. Menikah ataupun tidak, itu tidak akan mengubah banyak hal,” lanjutnya, nada suaranya datar namun jenuh. Ia sudah terlalu lelah berusaha menjelaskan sudut pandangnya—dan lebih lelah lagi menghadapi tekanan yang terus menerus datang dari kedua orang tuanya. Baginya, tuntutan itu terdengar kolot, usang, dan tak masuk akal.

Namun tampaknya Dira sudah habis kesabaran. Ia mengusap air matanya kasar, lalu bangkit dengan emosi yang belum sepenuhnya reda. Tanpa pikir panjang, ia berteriak memanggil sang suami.

"Vince!" serunya lantang, hingga suara itu menggema di ruangan besar itu.

Tak lama, terdengar langkah kaki menuruni tangga. Seorang pria paruh baya, berpenampilan rapi dengan kemeja lengan panjang berwarna krem dan celana bahan abu-abu, muncul dari arah lantai atas. Wajahnya masih menyimpan ketampanan masa muda, karismanya terpancar dari sorot mata tajam dan rahangnya yang tegas.

“Ada apa, honey?” tanya Vincenzo sambil mempercepat langkahnya dan segera duduk di samping putranya. Dira menunjuk Zevian dengan nada penuh emosi.

"Lihatlah sifat anakmu itu! Menjiplak jelas dari dirimu! Coba saja kalau dulu kamu menikah di usia muda, mungkin anakmu ini tak akan mengulangi jejakmu... Sekarang? Anakmu keras kepala, tidak mau menikah, dan itu semua salahmu!" Ujar Dira yang membuat Vince menatap Zevian sebentar, lalu menepuk pelan pundak putranya.

"What’s the matter, son? Kenapa selalu masalah ini yang dibahas? Apa kamu tidak lelah membuat ibumu uring-uringan setiap waktu?" ucapnya lembut, berbeda dengan nada tinggi sang istri. Vince selalu memilih pendekatan tenang saat menghadapi anaknya.

"I'm just not ready to get married yet..." jawab Zevian, kali ini dengan suara pelan. Ia memang tidak berani banyak membantah sang ayah. Jika dengan Dira ia bisa saling adu argumen, maka tidak demikian dengan Vince. Wibawa ayahnya selalu cukup untuk membuatnya diam.

“Oke. Daddy paham. Dengarkan Daddy. Apa alasan kamu tak ingin menikah? Apa yang sebenarnya kamu rasakan?” Vince mengangguk pelan, lalu menghela napas panjang. Ia menatap Zevian tajam tapi penuh pengertian. Zevian mengusap wajahnya dengan frustrasi. Ia bersandar lebih dalam ke sofa, lalu bergumam pelan dengan nada kesal.

“All woman is troublesome…” Jawab nya yang membuat Dira yang masih berdiri langsung menyela dengan cepat.

“Termasuk Mommy?” Ujar Dira tajam yang membuat Zevian buru-buru menoleh.

“Mommy beda,” jawabnya cepat, namun cukup membuat Dira sedikit melunak—meski matanya masih menyiratkan amarah. Vince kembali bicara, nada suaranya datar namun mengandung tekanan.

“Itu berarti tidak semua wanita menyusahkan, bukan? Kamu hanya belum menemukan yang cocok. Temukan sendiri, atau kami yang akan mencarikannya untukmu.” ujar Vince, tatapan pria itu kini sulit ditebak. Campuran dari seorang ayah yang khawatir, namun tetap tegas pada pendiriannya sebagai kepala keluarga.

“Aku tidak mau,” jawab Zevian tanpa basa-basi. Seolah tak peduli pada perubahan ekspresi ayahnya yang mulai mengeras.

“Daddy lelah, Ze!” bentak Vince, nadanya meninggi dan disertai geraman tertahan. Nada suara yang biasanya tenang itu kini berubah tajam—cukup untuk membuat ruangan mendadak senyap.

Zevian sontak tertegun. Sorot matanya membeku. Seumur hidupnya, tak pernah sekalipun sang ayah membentaknya. Kedua orang tuanya selalu menggunakan pendekatan lembut, penuh diskusi dan pengertian. Tapi kali ini... berbeda. Ia perlahan menoleh ke arah Dira yang masih berdiri, menatapnya dengan pandangan kecewa bercampur luka.

“Daddy…” gumam Zevian lirih, hampir tak terdengar. Suaranya pecah, seperti tak percaya pada apa yang baru saja ia dengar. Vince menatapnya dengan mata tajam, penuh determinasi. Kali ini ia bicara perlahan, tapi setiap katanya terasa seperti pukulan keras ke dada Zevian.

“Dengarkan Daddy baik-baik, Zevian. Ini kesempatan pertama dan terakhir bagimu. Carilah gadis mana pun yang kamu inginkan, dan nikahi dia dalam waktu dua minggu ke depan. Mau tidak mau. Jika tidak...” Ia menundukkan sedikit wajahnya ke arah Zevian, menekankan kalimat selanjutnya. “... kamu akan menikah dengan pilihan Daddy. Dan kalau kamu terus menolak… maka tinggalkan Emily Steel Corporation. Keluar dari perusahaan ini. Lupakan posisi, jabatan, semuanya.” ujar Vince yang membuat suasana berubah tegang. Nafas Zevian tercekat. Pandangannya bergeser, tak tahu harus menatap siapa. Ancaman itu lebih dari sekadar ultimatum. Itu adalah batas akhir—garis keras yang belum pernah diberikan ayahnya sebelumnya.

Vince berdiri, merapikan kemeja, dan berjalan menjauh dengan langkah berat. Ia lelah. Lelah dengan perdebatan yang selalu berakhir tanpa arah. Ia tahu putranya sudah dewasa, dan memang berhak menentukan jalan hidupnya sendiri. Tapi ia juga tahu bahwa keluarga ini butuh kesinambungan. Emily Steel corporation butuh pemimpin masa depan. Dan istrinya, Indira, sudah terlalu lama menggantungkan harapan pada seorang cucu.

“Daddy…” Zevian bangkit pelan, mengikuti ayahnya dengan langkah ragu.

“Apa!?” bentak Vince tanpa menoleh, suaranya kembali keras. “Tidak ada penawaran. Tidak ada negosiasi. Dua minggu, Zevian. Putuskan.” Lanjut nya tanpa memberi ruang untuk penjelasan, Vince melangkah keluar rumah. Pintu besar itu tertutup dengan dentuman halus, meninggalkan keheningan yang menyiksa. Zevian memutar tubuhnya ke arah Dira.

“Mommy, dengarkan aku dulu… Aku tidak mungkin mencari wanita dalam waktu sesingkat itu.” ujar nya namun Dira hanya menatapnya sekilas. Tatapannya bukan lagi marah, tapi dingin dan putus asa.

“Terserah,” ucapnya pelan, sebelum ikut berlalu meninggalkan Zevian sendiri di ruang tamu yang kini terasa terlalu luas… dan terlalu sunyi. Zevian mengerang frustrasi, lalu menjambak rambutnya sendiri.

“Akhhh! Selalu saja!” pekiknya, menggertakkan gigi. Ia terduduk kembali di sofa, menunduk dalam-dalam, napasnya memburu, dadanya terasa berat. Semuanya kini terasa seperti perang yang tak ia pilih, tapi dipaksa untuk dimenangkan.

Zevian mengepalkan kedua tangan di atas pahanya. Matanya kosong menatap lantai marmer yang berkilau, seolah ingin menemukan jawaban dari kekosongan itu. Tapi tidak ada apa-apa. Tidak ada ketenangan. Tidak ada pemahaman. Hanya tekanan.

Dengan langkah berat dan tanpa berkata apa-apa lagi, ia bangkit. Kakinya membawanya menaiki tangga besar yang melingkar itu, menuju kamar pribadinya. Pintu ditutup dengan satu dorongan pelan, namun bunyinya terasa begitu keras di telinga sendiri—seolah itu adalah simbol bahwa ia menutup dirinya dari dunia.

Zevian menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang king-size berseprai putih. Matanya menatap langit-langit kamar, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau.

“Dua minggu…” gumamnya lirih, seperti tak percaya.

Bagaimana mungkin seseorang bisa menemukan wanita yang pantas dijadikan istri hanya dalam dua minggu? Bahkan untuk sekadar percaya pada orang baru pun ia kesulitan. Lalu bagaimana bisa ia membangun sebuah ikatan seumur hidup hanya karena desakan orang tua?

“Ini tidak masuk akal,” katanya sambil menutupi wajahnya dengan telapak tangan.

Tekanan itu semakin nyata. Dan untuk pertama kalinya, Zevian merasa kehilangan kendali atas hidupnya sendiri.

...

Sementara itu, di penthouse milik Zevian yang berdiri megah di pusat kota, Nayara tergeletak tak sadarkan diri di lantai. Ia telah dikurung sejak siang tanpa makanan, tanpa air. Tubuhnya lemah, wajahnya pucat, napasnya tak beraturan. Tak ada yang tahu keadaannya—meski biasanya ada pelayan yang datang untuk merapikan penthouse, namun hari itu bukan jadwal mereka berkunjung. Keheningan mewah dalam ruangan itu justru berubah menjadi ancaman yang sunyi, mengurung Nayara dalam gelap dan sepi yang menyesakkan.

Berbeda jauh dengan suasana yang terjadi di tempat lain.

Di sebuah bar mewah bertema industrial vintage di jantung Jakarta, lampu neon temaram menyinari meja-meja marmer, dentuman musik EDM memecah udara malam, dan tawa para sosialita memenuhi ruangan. Zevian duduk di salah satu VIP lounge, dikelilingi oleh Aditya dan beberapa teman karibnya. Gelas-gelas cocktail dan botol wine berserakan di meja, sementara asap rokok dan aroma alkohol memenuhi udara.

Malam itu mereka berpesta—bukan sekadar untuk bersenang-senang, melainkan merayakan sesuatu yang mengejutkan: kabar bahwa Zevian akan menikah dalam dua minggu ke depan.

"Apa-apaan ini, Ze? Lo serius nikah?" tanya salah satu temannya sambil terkekeh, setengah tak percaya.

Namun, Zevian hanya meneguk minumannya tanpa menjawab. Wajahnya datar, matanya kosong. Ia tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri, seolah berpesta bukan atas keinginannya, melainkan pelarian dari tekanan yang menyesakkan.

Kabar pernikahannya memang telah menyebar cepat, disebarkan langsung oleh keluarganya tanpa persetujuannya. Ia bahkan tak diberi waktu untuk memilih, karena jika ia menolak, maka perjodohan akan dijadikan jalan terakhir—jalan yang paling ia hindari.

Ironis, pikir Zevian. Di zaman seperti ini, perjodohan masih jadi ancaman yang nyata baginya. Namun yang lebih menakutkan bukan perjodohannya, melainkan kenyataan bahwa hidupnya mulai dikendalikan, bahkan dalam hal paling pribadi sekalipun.

“Hei, bro! Kau jangan terlalu banyak mabuk. Bagaimana jika kau mati?” seru salah satu teman Zevian sembari meneguk minumannya. Matanya mengamati Zevian yang duduk menyandar lesu di sofa panjang, dengan gelas berisi alkohol yang nyaris kosong di tangannya. Wajahnya memerah, napasnya berat, dan tatapannya kosong—jauh dari biasanya yang tenang dan penuh wibawa.

“Iya, masa mati sebelum malam pertama sih,” sahut teman lainnya sambil tertawa renyah. Tawa mereka pecah, ringan dan penuh candaan, namun Zevian sama sekali tak menggubris. Ia hanya meneguk kembali isi gelasnya, seolah tak peduli pada lelucon murahan yang mereka lontarkan.

“Dit, siapa wanita yang sudah bisa menghancurkan gunung es ini, hah?” tanya Alvin, salah satu dari mereka, sembari mengisap vape-nya dan menghembuskan asap perlahan. Pandangannya menelusuri wajah Zevian yang tetap tak berekspresi.

“Gue pun nggak tahu. Emangnya gue cenayang bisa baca pikiran orang?” sahut Aditya dengan santai, meneguk minuman bersoda di tangannya. Ia duduk agak menjauh dari Zevian, sengaja tidak ikut menenggak alkohol malam itu—karena dialah yang bertanggung jawab menyetir dan menjaga sahabatnya yang kini nyaris tenggelam dalam mabuk berat.

“Iya, aneh sekali. Kenapa coba keluarga Steel tidak membongkar siapa mempelai wanitanya?” timpal Jason sambil memainkan es batu dalam gelasnya, terdengar gemerincing di tengah bising musik bar yang mewah.

“Sudahlah, nanti kita datang saja ke pernikahannya. Kita lihat langsung siapa wanita hebat itu,” ucap Angga, tersenyum miring sembari melempar pandangan sekilas ke arah Zevian yang sejak tadi hanya diam, seperti tak mendengar atau tak ingin peduli.

“Hem, betul juga,” Alvin mengangguk pelan lalu menyeringai, “Tapi berarti, dengan adanya pernikahan ini, kalian berdua terbebas dari tuduhan menyimpang.” Ujarnya sambil menatap Zevian dan Aditya bergantian, nada suaranya menggoda, meledek.

Tawa kecil kembali meledak dari mulut mereka, bercampur dengan denting gelas dan alunan musik EDM yang berdentum. Tapi di tengah hiruk pikuk itu, Zevian tetap diam. Pikirannya kosong, tubuhnya lelah, dan jiwanya seakan jauh dari tempat ia duduk sekarang. Tak ada tawa. Tak ada senyum. Hanya kepasrahan yang mengendap dalam tatapannya yang mulai buram.

“Gue pengen tahu, sebenernya siapa yang bikin rumor nggak masuk akal kayak gitu,” ujar Angga sambil tertawa kecil, bahunya terangkat ringan. Suaranya nyaris tenggelam oleh dentuman musik bar yang semakin keras.

Tawa Angga disambut oleh Alvin dan Jason. Mereka tampak sangat menikmati suasana malam itu. Beberapa botol alkohol telah kosong berserakan di meja kaca bundar di depan mereka. Gelas-gelas penuh es batu dan sisa minuman terlihat mengembun di bawah cahaya neon kebiruan yang berpendar dari langit-langit.

Dua orang wanita yang dibawa Jason dan Angga juga sudah terlihat setengah mabuk. Salah satunya bersandar malas di bahu Angga, dengan rambut acak-acakan dan pandangan mengambang. Sementara yang lain tertawa sendiri, meski tak ada yang benar-benar lucu. Wajah mereka merah, bibirnya basah oleh alkohol, dan tangan mereka terus menepis gelas baru yang masih dipaksa Jason sodorkan.

“Eh, sumpah ya, rumor itu aneh sekali, masa Zevian dan Aditya? Mereka memang dekat, tapi bukan berarti...” ujar Alvin sambil menyender ke sofa, menenggak lagi minumannya.

“Ya, orang cuma lihat dari luar. Katanya terlalu akrab, terlalu protektif, bla bla bla… langsung dicap nyimpang, padahal mereka nggak tahu apa-apa." Jason menyelutuk, memutar matanya malas. Namun Zevian tak mengeluarkan sepatah kata pun. Tubuhnya tertenggelam di sofa kulit hitam yang empuk, kepala bersandar ke belakang, mata terpejam. Napasnya berat dan lambat. Wajahnya memucat, keringat dingin mulai muncul di pelipis. Ia benar-benar mabuk berat.

Aditya, yang duduk di sampingnya, meliriknya sekilas dengan cemas. Ia tahu batas Zevian, dan malam ini, temannya itu jelas sudah melewatinya. Tapi Aditya juga tahu, ini bukan hanya karena alkohol—melainkan karena beban pikiran yang disembunyikan Zevian. Tentang pernikahan. Tentang tekanan keluarga. Dan tentang kenyataan bahwa hidupnya bukan lagi miliknya sendiri. Aditya mendesah pelan, lalu meraih botol minuman dan menyembunyikannya di balik meja.

“Ini pasti berat,” gumamnya lirih, lebih pada dirinya sendiri. Jason bersandar ke belakang sambil menggeleng-gelengkan kepala, lalu menatap ke arah Alvin dan Angga.

“Lo bayangin aja, berita itu udah nyebar ke mana-mana. Sampai tante gue yang di Surabaya aja sempat nanya beneran nggak sih Zevian sama Adit itu... ya, lo tahulah.”ujar nya yang membuat Alvin langsung menimpali.

“Gue yakin itu semua karena keluarga Steel terlalu tertutup soal urusan pribadi anaknya, lo pikir gampang jadi pewaris keluarga yang punya nama segede itu? Semua gerak-geriknya diawasi.” timpal Alvin sambil memainkan cincin di jarinya.

“Iya sih. Tapi tetep aja, masa karena mereka akrab langsung dicap nyimpang? Padahal mereka cuma sahabatan dari kecil, ‘kan?” Ujar Angga sembari terkekeh pelan.

Aditya hanya diam. Tatapannya kosong, namun matanya menyorotkan rasa jenuh dan dingin. Dia tak terlalu peduli pada omongan orang, tapi menyangkut nama baik, terutama Zevian yang tengah mabuk parah di sebelahnya—Aditya tak bisa sepenuhnya membiarkan begitu saja.

“Kalau Zevian denger, mungkin dia bakal ketawa... Atau mungkin malah muntah, kayak sekarang.” ujar Aditya akhirnya, suaranya datar namun mengandung ironi. Tawa mereka kembali pecah, namun ada satu jeda hening yang terasa menggantung setelahnya.

“Ya… tapi sebenernya ada benarnya juga sih,” ucap Jason tiba-tiba, kali ini lebih pelan, seolah bicara pada dirinya sendiri.

Angga dan Alvin menoleh bersamaan, penasaran.

“Maksud gue… seberapa banyak sih kalian pernah lihat Zevian dekat sama cewek? Dia dingin banget sama perempuan. Nggak pernah pacaran, nggak pernah kelihatan deket. Gue aja kadang heran.” ujar Jason mengangkat bahu, hal itu membuat Alvin mendesah, mengangkat gelas terakhirnya dan meneguknya pelan.

“Mungkin itu juga alasan keluarga Steel buru-buru jodohin dia. Mereka butuh bukti kalo pewaris mereka bukan... lo tau lah.” ujar nya yang membuat Angga mencibir.

“Kuno banget mikir kayak gitu, padahal aunty Dira dan uncle Vince orang berpendidikan.” ujar nya .

“Tapi nyata, dan itu juga alasan kenapa malam ini kita di sini. Untuk merayakan ‘kebebasan’ yang katanya harus dia raih. Padahal kenyataannya... dia malah makin dikekang.” Aditya menimpali pendek. Tatapannya menusuk, tegas. Semua diam. Musik di bar masih menggelegar, tawa dan obrolan pengunjung lain masih ramai, tapi di antara mereka, ketegangan itu seperti menyelinap diam-diam—bahwa di balik pesta dan candaan, ada realita getir yang tak bisa mereka hindari.

Zevian mengerang pelan, tubuhnya bergerak sedikit, seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi akhirnya hanya membenamkan wajahnya ke lengan sendiri, kehilangan kesadaran.

"Aku mau pulang," gumam Zevian tiba-tiba, suaranya parau dan nyaris tak terdengar jelas. Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirnya, membuat semua orang yang tengah larut dalam tawa dan gelas mereka, spontan menoleh padanya. Mereka menatap Zevian dengan pandangan buram—mabuk, lesu, dan bingung. Namun ucapannya cukup membuat keheningan kecil mengisi sela riuhnya bar mewah itu.

"Why? What's wrong?" tanya Angga sambil bersandar di sofa, alisnya bertaut heran. Mereka sudah biasa berkumpul seperti ini—sekadar minum, melepas penat, atau berpura-pura tak memiliki masalah. Tapi tidak biasanya Zevian ingin pulang lebih awal, apalagi saat malam belum menyentuh pukul dua belas.

"Ada apa, Ray?" Aditya kini bertanya, tubuhnya sedikit condong ke depan. Wajahnya tampak lebih serius dari sebelumnya. Namun Zevian tak menjawab. Ia hanya bergumam pelan, seperti bicara pada dirinya sendiri.

“Gadis itu belum makan,” lirihnya, nyaris tak terdengar—sebelum tubuhnya limbung dan jatuh ke sisi sofa, pingsan seketika. Bau vodka tajam menyeruak dari napasnya, menyiratkan betapa tinggi kadar alkohol yang sudah meracuni tubuhnya malam itu.

"Gadis siapa?" tanya Alvin cepat, memecah keheningan yang sempat menggantung. Aditya yang masih duduk tertegun, mengulang lirih.

"Gadis?" Ulang nya bingung dahi Adit mengernyit. Pikirannya berputar cepat, mencoba menyusun potongan-potongan ingatan yang berantakan. Lalu seketika matanya membelalak. Lalu tiba tiba suaranya melengking, lantang dan terburu-buru,

"APA LAGI YANG KAU LAKUKAN, ZEVIAN?!" Geram nya kesal yang membuat Alvin dan Angga sontak menutup telinga mereka. Teriakan itu terlalu nyaring untuk telinga yang sudah setengah dikuasai alkohol. Aditya menatap tubuh Zevian yang terkulai lemas, wajahnya menyiratkan kecemasan dan rasa bersalah yang tiba-tiba menyergap.

“Gadis siapa?” ulang Alvin lagi, kali ini lebih pelan, tak yakin apakah ia sedang menyelidik atau hanya mengulang karena penasaran.

Aditya tak menjawab. Matanya sudah penuh kekhawatiran. Ia merasa yakin pada satu hal—Zevian sedang bicara tentang gadis yang mereka selamatkan semalam. Dan jika dugaannya benar, maka kemungkinan besar... gadis itu sekarang sendirian di penthouse Zevian.

"Alvin, bantu gue bawa dia ke mobil. Gue harus buru-buru. Nanti gue ceritain," ucap Adit cepat. Ia bangkit dari duduknya dan segera meraih lengan Zevian, tak punya waktu untuk penjelasan panjang.

"Yaudah, oke. Ayo." Alvin ikut bangkit. Bersama-sama, mereka membopong tubuh Zevian yang sudah nyaris tak sadar, keluar dari bar yang masih riuh dengan dentuman musik dan gelak tawa orang-orang yang tak tahu bahwa sebuah rahasia baru saja mulai terkuak.

Mobil Aditya melaju membelah malam, meninggalkan kilau lampu kota yang semakin samar—sementara sebuah ketidaktahuan yang membahayakan, menunggu dalam diam di penthouse megah itu.

Aditya langsung melajukan mobilnya meninggalkan bar tersebut. Di balik tatapan fokusnya pada jalanan malam yang sepi, pikirannya melayang jauh, menebak-nebak apa yang sebenarnya tengah terjadi. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa asing terhadap sosok yang paling ia kenal—Zevian Aldric Rayford Steel.

Sebagai sahabat terdekat, Aditya bisa dibilang mengetahui hampir seluruh rahasia hidup Zevian. Bahkan mungkin, sembilan puluh persen isi kepala pria itu sudah terbaca olehnya. Namun kali ini, dia benar-benar tidak tahu siapa wanita yang akan dinikahi oleh sahabatnya. Sebuah pernikahan yang seharusnya jadi hal besar... malah terasa seperti teka-teki.

Tanpa terasa, perjalanan yang penuh tanda tanya itu pun berakhir.

Aditya turun dari mobil, lalu dengan susah payah membopong tubuh Zevian yang masih terkulai lemas. Ia meminta bantuan petugas keamanan untuk membantunya membawa pria itu naik ke lantai paling atas—lantai di mana penthouse Zevian berada. Bangunan mewah itu sunyi, hanya terdengar suara langkah mereka yang bergema di lorong.

Sesampainya di depan pintu, Aditya menempelkan kartu akses. Lampu kecil di panel menyala hijau, dan pintu otomatis terbuka perlahan. Udara dingin khas ruangan luas menyambut mereka, disertai aroma ruangan mahal yang hening tak berpenghuni.

Namun tak butuh waktu lama sebelum keheningan itu pecah oleh detakan jantung Aditya sendiri. Begitu memasuki ruangan, matanya langsung tertumbuk pada sosok tubuh mungil yang terbujur diam di atas lantai marmer mengilap—seorang gadis, tergeletak tanpa daya.

“Steel System, activate lighting.” Cahaya lampu yang otomatis menyala saat ia memanggil sistem rumah pintar, membuat kulit pucat gadis itu terlihat semakin kontras dengan dinginnya lantai.

"Astaga..." gumamnya, napasnya tercekat sejenak.

Dengan sigap, Aditya segera menurunkan Zevian di atas sofa yang besar dan empuk, membiarkannya terbaring untuk sementara. Lalu tanpa membuang waktu, ia mengangkat tubuh mungil gadis itu—tubuh yang dingin dan tampak rapuh dalam pelukannya. Hatinya mencelos. Ada sesuatu yang tidak benar di sini. Ada hal besar yang terjadi, dan Zevian tidak memberitahunya sedikit pun.

Dengan langkah cepat, Aditya membawa gadis itu menuju kamar utama milik Zevian. Setelah meletakkannya dengan hati-hati di atas ranjang, ia mengeluarkan ponsel dan menghubungi dokter pribadi keluarga Steel—dokter yang juga bersahabat lama dengan Zevian dan sering menangani kondisi darurat seperti ini.

Setelah memastikan dokter dalam perjalanan, Aditya kembali ke ruang tengah. Ia mengangkat tubuh Zevian sekali lagi, lalu membawanya masuk ke kamar yang sama.

Tanpa berkata sepatah kata pun, ia membaringkan Zevian di sisi ranjang, tepat di sebelah gadis yang kini ia tahu pasti bukan orang sembarangan. Entah siapa dia, tapi cukup penting hingga Zevian yang bahkan tak peduli pada siapa pun—bisa sampai semabuk ini hanya karena dia.

Aditya menarik selimut tebal dan menutup tubuh keduanya perlahan.

Dia berdiri sejenak di tepi ranjang, menatap dua orang itu—terbaring berdampingan dalam diam yang terasa asing. Satu mabuk, satu tak sadarkan diri. Dan ia, satu-satunya orang yang tersisa dengan sejuta pertanyaan yang belum punya jawaban.

Malam itu, untuk pertama kalinya... Aditya merasa seperti sedang menjaga dua jiwa yang ditakdirkan bertemu, tapi belum tahu kenapa mereka harus saling melindungi.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!