Hujan turun deras sore itu. Langit kelabu menggantung, dan udara dingin seolah menusuk kulit.
Andin baru saja pulang dari bekerja di warung kecil tempatnya membantu sang pemilik, Bu Reni. Ia menenteng payung dan berjalan cepat di trotoar yang mulai tergenang air hujan.
Namun langkahnya terhenti saat matanya menangkap sosok seseorang tergeletak di pinggir jalan. Seorang pria muda, tubuhnya basah kuyup, wajahnya pucat, dengan bibirnya membiru.
“Hah? Astaga…” Andin terkejut dan segera berlari mendekat.
“Mas! Mas, bangun!”
Ia menepuk pipi pria itu pelan, namun tak ada reaksi. Nafasnya lemah, membuat Andin merasa khawatir.
Tanpa berpikir panjang, Andin menaruh payungnya di tanah dan berusaha menarik tubuh pria itu ke tempat yang lebih teduh.
Hujannya semakin deras, membasahi rambut dan pakaian Andin.
“Ya Tuhan, kenapa nggak ada orang lewat!” keluhnya lirih menatap disekeliling.
Tatapannya gelisah, namun di dalam hatinya muncul dorongan kuat: ia tidak bisa meninggalkan orang itu di sana.
Dengan tenaga seadanya, Andin akhirnya berhasil menghentikan sebuah becak yang lewat.
“Bang, tolong bantu saya. Ada orang pingsan.”
“Ayo, bawa aja naik, Mbak. Rumah Mbak jauh?”
“Dekat kok, Bang. Di ujung gang itu.”
Mereka pun membawa pria itu pulang.
Sesampainya disana. Andin keluar dari dalam beca menatap rumahnya yang reot.
Rumah Andin sederhana—dindingnya dari papan, atap seng yang bocor di beberapa bagian. Tapi di sanalah ia hidup seorang diri sejak ayahnya meninggal.
Ia menidurkan pria itu di kamar tamu, melepas bajunya yang basah, lalu menutupinya dengan selimut hangat.
Setelah beberapa saat, pria itu mulai membuka mata.
“Di… mana aku?” suaranya serak.
Andin tersenyum lega. “Syukurlah kamu sadar juga. Kamu pingsan di jalan, kehujanan. Ini rumah saya.”
Pria itu menatapnya bingung, lalu berusaha bangun. “Aku… terima kasih, ya. Aku cuma—”
“Jangan dulu bangun. Kamu masih lemah.” Andin menahannya pelan.
“Namamu siapa?”
“Raka.” Ia menatap Andin dengan mata coklat gelap yang teduh. “Aku nggak tahu harus gimana balas budi kamu.”
Andin tersenyum kecil. “Nggak perlu dibalas. Aku cuma nggak tega lihat orang pingsan di pinggir jalan.”
Raka menatap wajah gadis itu lama, seolah mencari sesuatu di balik ketulusannya. Ada kehangatan di sana—sederhana tapi nyata.
---
Beberapa hari berlalu.
Raka memutuskan tinggal sementara di rumah Andin sampai benar-benar pulih. Ternyata, ia adalah pria perantau yang kehilangan pekerjaan dan rumah kontrakannya.
“Kalau kamu mau, kamu bisa bantu aku di warung, biar nggak nganggur,” ucap Andin suatu pagi sambil menyiapkan teh hangat.
Raka tersenyum. “Kamu nggak takut aku jahat? Kitakan baru kenal?”
Andin mengangkat bahu. “Entah kenapa, aku percaya sama kamu.”
Raka terdiam sesaat, menatap wajah Andin yang polos namun kuat. Ada sesuatu di dalam dirinya yang hangat—perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Hari-hari berjalan dengan cepat.
Raka mulai bekerja, membantu Andin membersihkan rumah, memperbaiki atap bocor, dan mengantar belanjaan ke warung.
Malam-malam mereka sering diisi tawa ringan di teras, ditemani kopi dan suara jangkrik.
“Kalau suatu hari kamu sukses, jangan lupakan aku ya,” canda Andin sambil tertawa kecil.
Raka menatapnya serius. “Aku malah pengin kamu ada di hidupku waktu aku sukses nanti.”
Andin tertegun. Pipinya memanas, jantungnya berdebar tak karuan. “Jangan bercanda, ah.”
“Aku nggak bercanda.” Raka tersenyum lembut.
“Kamu baik, Din. Aku… ngerasa tenang di dekat kamu.” Raka menatap teduh kearah Andin. Hati Andin bergetar, entah kenapa sesuatu seolah menjalar dan membuatnya merasa bahagia.
Malam itu, entah kenapa, Andin tak bisa tidur. Kata-kata Raka terus berputar di kepalanya. Ia tahu seharusnya tidak cepat percaya, tapi hatinya terlalu lembut untuk menolak perasaan hangat itu.
Beberapa bulan kemudian, keduanya semakin dekat.
Raka melamar Andin dengan cara sederhana—hanya cincin murah dan janji yang terdengar tulus.
“Andin… aku mungkin bukan siapa-siapa, tapi aku janji akan berjuang buat kamu.”
Andin tersenyum dengan air mata haru. “Aku nggak butuh harta, Rak. Aku cuma butuh kesetiaan. Berjanjilah kamu akan setia kepadaku"
Raka mengangguk seolah setuju, "Aku janji, Din"
Dan di bawah langit sore yang keemasan, mereka resmi menjadi suami istri.
Tanpa tahu bahwa kisah bahagia mereka… hanyalah awal dari sebuah mimpi buruk yang perlahan menanti di ujung jalan.
.
.
.
Bersambung.
Sudah dua tahun sejak pernikahan sederhana itu.
Hidup Andin kini jauh lebih baik. Ia dan Raka tinggal di rumah kontrakan kecil, tapi setiap sudutnya dipenuhi tawa dan kehangatan.
Pagi-pagi, aroma kue dari dapur selalu menggoda hidung Raka.
“Andin, ini enak banget!” seru Raka sambil mencicipi kue bolu buatan istrinya.
“Kamu yakin nggak mau buka toko beneran? Ini bisa laku keras, lho.” Ujarnya lagi memberi saran.
Andin tersenyum sambil mengelap tangan yang penuh tepung. “Pelan-pelan aja, Rak. Aku pengin semuanya dari bawah, biar hasilnya berkah.”
Raka menatapnya dengan kagum. “Kamu itu luar biasa, Din. Aku bersyukur banget punya istri kayak kamu.”
Andin tersipu. “Duh, gombalnya pagi-pagi.”
Mereka tertawa bersama.
"Sini aku bantuin" tawar Raka yang langsung mendekat dan membantu pekerjaan istrinya.
Keduanya nampak begitu bahagia dan andin menatap suaminya, penuh harus sekaligus bahagia yang sulit ia jelaskan dengan kata-kata.
Beberapa minggu kemudian, Andin menatap dua garis merah di test pack-nya dengan mata berbinar. Sesuatu yang begitu ia tunggu akhirnya datang.
Tangannya gemetar saat ia menunjukkan hasil itu pada Raka.
“Raka… aku hamil.” ujarnya hampir berteriak girang.
Raka terpaku sesaat, lalu memeluk istrinya erat-erat. “Serius? Ya Tuhan, Din… ini kabar terbaik dalam hidupku!” Raka mengambil test pack itu dan dia sangat senang.
Andin tertawa sambil menangis haru. “Akhirnya, setelah menunggu begitu lama, kita punya keluarga kecil kita sendiri.”
"Itu karena doa-doamu, sayang." ucap Raka lembut.
"Selamat ya, jaga anak kita Baik-baik" lanjut Raka, mencium kening Andin dengan penuh kasih sayang.
Hari-hari berlalu penuh kebahagiaan.
Raka semakin rajin bekerja, Andin semakin sibuk membuat pesanan kue. Berkat ketekunan dan keuletannya, usahanya berkembang pesat.
Dari dapur kecil, kini Andin mampu menyewa kios dan menamainya “D’sweet Bakery.”
Tak lama kemudian, rezeki mengalir deras.
Tak hanya mendapat kabar tentang kehamilan Andin, kini Mereka berhasil membeli rumah kecil—rumah impian yang dulu hanya berani mereka bayangkan.
“Lihat, Rak…” Andin menatap halaman rumah barunya dengan mata berkaca-kaca sembari memegang perutnya yang semakin membesar.
“Akhirnya kita punya tempat sendiri.”
Raka mengusap kepala istrinya lembut. “Kamu pantas mendapatkan semua ini, Din. Kamu sudah bekerja keras selama ini. Maaf ya, karena aku belum bisa menjadi suami yang sempurna.” Ujar Raka dengan wajah memelas. Sadar, bahwa rumah ini adalah hasil jerih payah Andin dan bukan dirinya.
"Rumah ini adalah rumahmu juga. Aku bekerja, juga untuk keluarga kecil kita" jawab Andin lembut.
Keduanya saling memandang teduh. Berpelukan dan Andin merasa bahagia, walaupun suaminya tidak memiliki harta, setidaknya dia memilih suaminya yang sangat menyayanginya.
Andin tersenyum bahagia. Hidupnya terasa sempurna. Kini mereka hanya menunggu bayi mereka lahir dan hidupnya jauh lebih sempurna saat itu tiba.
Sampai sore itu tiba.
Hujan rintik turun saat suara ketukan terdengar di depan pintu.
Andin, yang sedang mengelap meja ruang tamu, berjalan untuk membuka pintu. Tapi langkahnya seketika terhenti. pandangannya terpaku.
Di depan rumahnya berdiri seorang wanita paruh baya, dengan wajah lelah dan pakaian lusuh.
Mata Andin membulat, napasnya tercekat.
“…Ibu?”
Wanita itu menatapnya dengan tatapan sendu.
“Andin… Nak, ini aku. Ibu.”
Andin mematung. Suara itu, wajah itu—ia tidak akan pernah lupa.
Ibunya.
Wanita yang dulu meninggalkannya begitu saja demi pria lain, meninggalkan luka yang tak pernah sembuh.
“Kenapa Ibu di sini?” suara Andin bergetar.
“Bukannya Ibu sudah lupa punya anak?”
Ratna menunduk, menangis lirih. “Ibu menyesal, Din. Ibu nggak punya siapa-siapa lagi. Rumah Ibu disita, uang habis… Ibu cuma pengin tempat berteduh. Boleh ya, Nak? Cuma sementara aja.”
Andin diam. Ada bagian hatinya yang marah, tapi juga iba.
Wajah ibunya terlihat benar-benar menderita. Saat itu Raka keluar dari dapur.
“Siapa, Din?”
Andin menoleh dengan bingung. Raka sempat terpaku melihat wanita paruh baya, cukup cantik dengan usianya yang sedang berdiri didepan.
“Ini… Ibuku, Rak.” Andin bersuara.
Raka menatap Ratna sopan. “Silakan masuk, Bu.”
Andin terdiam sesaat saat suaminya membawa ibunya masuk. Ia menatap suaminya—laki-laki itu terlalu baik untuk tahu seberapa dalam luka masa lalu mereka.
Ratna yang duduk di sofa ruang tamu menatap Andin lagi dengan mata memelas. “Kau masih marah sama Ibu, ya?”
Andin menarik napas panjang.
“Aku nggak tahu, Bu. Aku cuma… nggak siap.” jawab Andin. Matanya hampir berkaca-kaca.
Hening.
Ratna diam. Dia terlihat gelisah.
Andin menatap ibunya. Saat melihat tubuh ibunya yang menggigil kedinginan, Andin akhirnya luluh.
“Baiklah, Bu. Ibu boleh tinggal di sini. Tapi sementara saja.” Ucapnya kemudian. Tak tega melihat keadaan ibunya saat ini.
Air mata Ratna jatuh, Ia segera memeluk Andin.
“Terima kasih, Nak… Ibu janji nggak akan nyusahin kamu.”
Andin mengangguk pelan, tak tahu bahwa keputusan sederhana itu…
akan menjadi awal dari neraka dalam rumah tangganya sendiri.
.
.
.
Bersambung
Keesokan harinya, Ratna menatap Andin yang duduk di ruang tamu dengan perut besar. Andin nampak kesulitan walau hanya sekedar duduk.
“Din, biar Ibu bantu di toko, ya? Kamu udah nggak bisa kerja berat lagi,” ucapnya dengan nada lembut.
Andin menatap ragu. “Ibu yakin bisa? Itu pekerjaan capek, lho buk.”
Ratna tersenyum meyakinkan. “Tenang saja. Ibu dulu juga pernah kerja di dapur hotel, tahu cara bikin kue. Lagi pula, dari pada ibu nganggur di rumah, lebih baik bantu kamu sama Raka" ujarnya.
Raka, yang baru keluar dari kamar, langsung menyahut, “Bagus tuh, Din. Ibu bisa bantu sementara kamu istirahat. Lagipula, di toko sedang membutuhkan tenaga karena toko sedang ramai minggu-minggu ini”
Andin akhirnya mengangguk. “Baiklah. Tapi hati-hati, ya, Bu.”
---
Keduanya pun pergi bersama. Raka berpamitan kepada Andin. Tak lupa dia mencium perut Andin dengan penuh kasih sayang.
"Hati-hati dirumah ya. Jaga anak kita. Aku pergi dulu" ujarnya berpamitan.
"Hemm. Kalian juga hati-hati" seru Andin tersenyum penuh harap.
Raka melambaikan tangan. Ratna mengikuti dari belakang dan masuk ke mobil.
Sesampainya disana. Toko kue itu ramai seperti biasa. Raka sibuk di kasir, melayani pelanggan yang datang silih berganti. Sementara di dapur, Ratna langsung menarik perhatian para karyawan wanita dengan kecekatan tangannya.
Adonan kue, oven, dan aroma vanila memenuhi ruangan.
“Wah, Bu Ratna hebat banget,” puji salah satu karyawan.
Ratna hanya tersenyum sambil mengaduk adonan. “Sudah biasa, Sayang. Dulu pekerjaan Ibu memang begini.”
Raka yang lewat sempat memperhatikan dari balik pintu dapur. Ia memperhatikan bagaimana Ratna begitu mahir membuat kue di dapur. Keringat menetes, nampak mempesona. Raka tanpa sengaja menelan salivanya. Hasratnya terasa tertantang dengan kemolekan tubuh Ratna. Cara Ratna bergerak, bicaranya yang seksi dengan pesona yang menggoda membuatnya terpaku.
Ada sesuatu dalam diri wanita itu—entah pesona atau aura kuat yang tak bisa ia abaikan.
Ia segera menunduk dan kembali ke kasir.
Ratna menatap punggung Raka. Ia tersenyum miring seolah menyadari bahwa Raka memperhatikan nya sejak tadi.
"Apa-apaan aku ini? Itu ibu mertua sendiri…" pikir Raka sambil menatap kosong
Namun perasaan itu tidak hilang.
Justru semakin ia menepis pikiran itu, semakin hatinya seolah menginginkan Ratna.
Raka kembali menoleh kesisi dapur. Jiwanya seakan bergejolak, menolak untuk tidak memperhatikan Ratna.
---
Sore itu, saat bahan tepung habis, Ratna berjalan ke gudang untuk mengambil stok baru. Raknya tinggi, dan ia harus menjinjit untuk meraihnya.
“Ah… berat juga,” gumamnya pelan.
Tiba-tiba, rak kayu itu goyah.
“Bu, hati-hati!” suara Raka terdengar dari arah pintu. Ia berlari cepat, menahan tubuh Ratna, dan sebelah tangannya menopang rak agar tidak menimpa Ratna.
Ratna terkejut, tubuhnya hampir kehilangan keseimbangan, tapi tangan Raka sudah lebih dulu memegang pinggangnya, menahan agar tidak jatuh.
Beberapa detik mereka terdiam. Nafas keduanya saling beradu.
Tatapan mereka bertemu, dan suasana tiba-tiba menjadi canggung.
Raka lagi-lagi terpesona. Pakaian terbuka dengan belahan dada yang putih terekspos begitu dekat. membuat Raka menelan ludah.
Raka memiringkan kepala dan menyentuh bibir Ratna dengan lembut. Ciuman itu seperti madu yang manis, membuat Ratna merasa hangat dan nyaman.
Aroma parfumnya yang harum membuat Ratna merasa seperti di dalam surga. Ketika bibirnya menyentuh bibir menantunya itu, Ratna merasa seperti api yang membara, membuatnya menginginkan lebih dari pada ciuman.
Keduanya nampak menikmati.
Tiba-tiba, pintu terbuka. Sementara seorang masuk.
Aksi keduanya tak bertahan lama. Ratna melepaskan ciumannya.
"ehh maaf" Ratih merasa salah tingkah. Jelas dia melihat keduanya berciuman di gudang. Wajahnya memerah, lalu pergi dari sana.
Ratna tersenyum samar, matanya tajam menatap wajah Raka yang tampak gugup.
“Terima kasih, Nak… kalau bukan kamu, mungkin Ibu sudah jatuh,” bisiknya pelan, nyaris seperti godaan.
Raka segera melepaskan tangannya, melangkah mundur cepat. “Saya… saya cuma nggak mau Ibu terluka. Itu saja.” Ucapnya. lalu pergi
Ratna menatap punggung Raka yang menjauh, bibirnya membentuk senyum samar yang sulit ditebak.
“Baiklah, Nak,” katanya lirih, suaranya mengandung nada misterius.
“Tapi kamu memang lelaki yang cepat tanggap…”
Raka berhenti sejenak, tapi tidak menoleh. Ia hanya menarik napas dalam, lalu keluar dari gudang dengan perasaan yang aneh—campuran bersalah dan bingung.
Dan di balik tumpukan tepung, Ratna berdiri diam sambil tersenyum miring.
Tatapannya dalam, tajam, seolah menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar rasa terima kasih.
.
.
.
Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!