Jembatan Seunapet berada di propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan merupakan jalur lintas antara Banda Aceh - Medan. Panjangnya tak lebih dari dua puluh meter, namun dikelilingi hutan rimba dan aliran sungai berarus deras.
Konon, sejak puluhan tahun lalu, jembatan itu selalu memakan korban, orang-orang sering mendengar suara langkah kaki saat melintas sendirian, meski tak ada seorang pun di belakang.
Di malam berkabut, suara tangisan perempuan kerap terdengar, diikuti bayangan putih yang melayang di tepian jembatan. Tak sedikit sopir truk yang mengaku melihat sosok wanita berbaju lusuh berdiri di tengah jalan, membuat mereka hampir celaka.
Alkisah, seorang mahasiswi asal desa itu - sebut saja namanya Yuni, pulang kampung setelah lama merantau di kota. Ia tak percaya dan menertawakan kisah "Penunggu Jembatan". Namun, ibunya berpesan agar jangan pernah melintas saat tengah malam. "Kalau kamu dengar suara wanita memanggil namamu di jembatan itu, jangan menoleh Nak..." Pesan ibunya dengan wajah serius.
Yuni hanya mengangguk sambil tersenyum, menganggapnya mitos kuno.
Suatu malam, Yuni pulang dari kota telah larut malam. Jam menunjukkan pukul 00.05 WIB saat ia melewati jembatan Seunapet. Sepeda motornya melaju pelan karena kabut turun pekat.
Tiba-tiba, terdengar suara lirih memanggil:
"Yuni... tunggu..."
Bulu kuduknya merinding. Suara itu begitu jelas, seperti berasal dari belakangnya. Yuni teringat pesan ibunya. Ia berusaha fokus pada jalan, namun rasa penasaran membuat lehernya bergetar ingin menoleh.
Langkah motornya terhenti ketika tiba-tiba mesin mati mendadak. Yuni panik, mencoba menyalakan kembali, tapi mesin motor tak juga menyala. Dari arah sungai, suara tangisan menggema, lalu perlahan berubah menjadi tawa melengking.
Ia melihat ke bawah, ke permukaan air. Di sana, tampak wajah pucat seorang wanita menatap ke arahnya--matanya merah menyala, mulutnya terkoyak lebar seolah tersenyum.
Yuni menjerit, namun suaranya tercekat.
Keesokan harinya, warga menemukan motor Yuni tergeletak di atas jembatan. Yuni sendiri hilang tanpa jejak.
Orang-orang mulai berbisik.
Legenda lama kembali terbuka:
puluhan tahun yang lalu, seorang gadis desa di perkosa dan dibunuh di jembatan Seunapet. Mayatnya di buang ke sungai, namun tak pernah ditemukan. Sejak itu, rohnya menuntut tumbal, terutama dari mereka yang berani melintas tengah malam.
Dan malam itu, sosok Yuni telah menjadi bagian dari kisah kelam "Jembatan Seunapet".
*****
Tahun 1980, di sebuah desa, hiduplah seorang gadis jelita bernama Halimah, putri seorang petani sederhana. Meski hidupnya pas-pasan, Halimah tumbuh sebagai gadis ayu dengan paras lembut dan hati yang baik. Setiap hari ia membantu orang tuanya bekerja di sawah. Sore hari, ia pergi ke surau belajar mengaji.
Kecantikannya menjadi buah bibir. Banyak pemuda desa menaruh hati padanya, tetapi Halimah hanya mencintai seorang pemuda sederhana bernama Soleh, putra desa yang berprofesi sebagai petani juga.
Soleh adalah pemuda berusia 21 tahun, orangnya lembut, pekerja keras dan rajin ibadah. Ia tak pernah angkuh, sifatnya sederhana dan sangat menyayangi Halimah. Cinta mereka tulus. Saat malam mereka tampak sering jalan bareng bersama teman-teman yang lain menuju Surau atau sekedar menikmati suasana sore sambil menunggu waktu Maghrib.
Hubungan Halimah dan Soleh telah mendapat restu dari keluarga masing-masing. Kedua keluarga setuju dengan keputusan yang telah di sepakati oleh anak-anak mereka.
Rencana pernikahan ditetapkan: satu bulan lagi mereka akan resmi menjadi sepasang suami istri. Halimah sibuk menyiapkan diri, menjahit baju kebaya sederhana, sementara Soleh bekerja keras membantu ayahnya agar pesta mereka tetap layak.
Hampir setiap malam, keduanya bertemu di bawah sinar rembulan--duduk berhadapan di beranda rumah Halimah, saling bercerita tentang masa depan.
"Setelah menikah nanti... aku berjanji akan membangun rumah kecil untuk kita tinggal tepat di tengah sawah," kata Soleh dengan senyum penuh harapan.
Halimah menunduk malu, lalu menjawab lirih, "Aku hanya ingin selalu ada disisimu Bang Soleh? Aku tak butuh yang lainnya."
Pembicaraan mereka menambah kesan romantis malam itu. Namun dari kejauhan sepasang mata menatap keduanya tajam - seperti seekor binatang buas yang mengintai mangsa.
Di desa itu, ada seorang pemuda bernama Gibran, anak seorang juragan kaya raya. Ia kuliah di kota, pulang hanya sesekali dengan pakaian rapi dan gaya bicara yang angkuh. Gibran terkenal sombong, setiap keinginannya selalu dituruti oleh orang tuanya.
Meski banyak gadis yang menyukainya, hati Gibran justru terpikat pada Halimah. Baginya, Halimah bukan hanya kembang desa, tapi trofi yang harus dimiliki.
Sore itu, Gibran melihat Halimah berjalan sendiri setelah selesai mencuci pakaian di kali, ia mendekat dan mencoba merayu dengan gaya ala mahasiswa kota. "Halimah... kamu cantik sekali Dik... kalau kamu mau, aku bisa mengajakmu ke kota, kamu bisa jadi model atau artis drama panggung."
Halimah terdiam sejenak, lalu menunduk sopan. "Terima kasih Bang Gibran. Tapi aku sudah bahagia dengan kehidupanku sekarang. Gak usah menawarkanku lagi ya..." jawabnya lembut, menolak tanpa kasar.
Bagi Halimah itu adalah jawaban jujur. Tapi bagi Gibran, penolakan itu adalah penghinaan. Wajahnya memerah, gengsi dan kesombongannya terusik.
Sejak saat itu, Gibran semakin sering memperhatikan Halimah dari jauh. Ia tahu Halimah sudah berjanji menikah dengan Soleh, anak petani biasa. Setiap kali melihat mereka berdua, api cemburu membakar dadanya.
"Kalau aku tak memilikimu... maka siapapun dia tak akan bisa menyentuhmu," gumam Gibran dalam hati.
Berkali-kali Gibran mencoba merayu Halimah. Kadang ia datang dengan membawa kain mahal dari kota, kadang menawarkan uang saku, bahkan mengajaknya menonton bioskop atau hiburan pasar malam.
Namun, Halimah selalu menolak dengan cara yang lembut, "Bang Gibran, terima kasih untuk kebaikannya. Tapi aku akan menikah dengan bang Soleh bulan depan. Jadi sebaiknya abang jangan ganggu aku lagi, gak enak di lihat orang lain," ucap Halimah sambil tersenyum sopan.
Kata-kata itu menusuk dada Gibran. Sebagai anak seorang juragan kaya yang terhormat--yang terbiasa mendapat apa pun dengan mudah, kini di tolak mentah-mentah oleh seorang gadis desa--dan anehnya lagi, yang membuat Gibran tak terima karena Halimah lebih memilih Soleh, si pemuda sederhana anak seorang petani biasa.
Sejak saat itu, Gibran tak bisa tidur tenang. Di matanya, wajah Halimah selalu terbayang, bersama senyum sopannya yang menbuat Gibran makin terobsesi.
Kemarahan, nafsu, dan gengsi bercampur menjadi satu--merasuk kedalam pikiran si pemuda - menjadi dendam yang harus terlampiaskan. Ia mulai merencanakan sesuatu--dan dalam kegelapan, ia menggandeng beberapa pemuda temannya untuk merencanakan niat jahat.
Di hadapan teman-temannya, Gibran sering meluapkan amarah. "Dia berani menolakku, berarti dia merendahkanku! Aku adalah anak Juragan kaya disini, tak ada yang boleh menolak keinginanku, apalagi hanya gadis petani miskin!"
Pemuda-pemuda nakal yang sering bersama Gibran mabuk-mabukkan dan berfoya-foya, hanya tertawa. "Kalau kau mau Bran..." sambil meneguk segelas tuak di depannya, "Kita bisa culik Halimah sebelum menikah. Dan kau bisa melampiaskan dendammu... tapi ingat, setelah itu giliran kami."
Mereka tertawa terbahak-bahak, wajah Gibran yang semula memerah berubah menjadi senyum kejam. Dalam hatinya, kesombongan dan gengsinya harus terbalaskan.
Hari-hari menjelang pernikahan Halimah justru menjadi hari-hari terakhir kebahagiaannya. Soleh sibuk mempersiapkan pesta, sementara Halimah dengan sabar menunggu hari bahagia itu tiba.
Namun, Gibran sudah menentukan jalan gelap. Ia merasa terhina, dan dalam pikirannya hanya ada satu kalimat:
"Kalau Halimah bukan milikku... maka ia tak akan pernah bisa menjadi milik siapapun."
Sore itu, Halimah baru saja pulang dari sawah, membawa bakul kecil berisi sayuran untuk makan malam. Gibran yang sejak tadi menunggu di tikungan jalan segera menghampirinya.
Dengan gaya dan penampilan necis, Gibran menghampiri Halimah, senyumnya dibuat semanis mungkin.
"Halimah... kamu semakin cantik saja. Sungguh, aku tak bisa berhenti memikirkanmu," rayu Gibran sambil tersenyum ramah.
Halimah membalas dengan senyum sopan sambil menunduk, "Bang Gibran, jangan bicara seperti itu. Seminggu lagi aku akan menikah dengan bang Soleh. Tidak baik kalau orang mendengar kita bercakap-cakap seperti ini."
Gibran menahan napas sesaat, kemudian kembali membujuk:
"Soleh...? Apa yang ia bisa berikan padamu, Rumah kecil di tepi sawah? Kalau kamu ikut denganku Halimah... kita bisa hidup di kota, di rumah besar, perhiasan mahal, baju-baju indah, jalan-jalan ke tempat wisata-wisata populer. Kamu akan hidup bahagia kalau bersamaku."
Halimah menggeleng pelan, suaranya lembut tapi tegas:
"Bang Gibran, semua yang kamu katakan tadi bukan yang ku inginkan. Aku hanya ingin bahagia dengan orang yang aku cintai. Hidup sederhana bersama bang Soleh sudah cukup bagiku."
Seketika mata Gibran memerah, suarnya bergetar penuh obsesi:
"Kenapa kamu menolakku Halimah? Apa kurangnya diriku, aku punya segalanya... bahkan duniapun akan kuberikan padamu, asal kau mau menerimaku."
Halimah menarik napas dalam dan memandang Gibran dengan mata jernih:
"Bang Gibran... jangan memaksa sesuatu yang bukan milikmu. Aku sudah memilih bang Soleh. Cinta kami tulus. Sebentar lagi kami akan berumah tangga. Ku mohon padamu bang Gibran... jangan ganggu aku lagi, masih banyak wanita yang lain bisa kau miliki selain aku."
Sejenak hening. Angin sore berhembus membawa gemerisik daun. Halimah menunduk perlahan--berniat untuk pergi meninggalkan Gibran:
"Bang Gibran... maaf, aku harus segera pulang, sebentar lagi Maghrib."
Gibran berbisik lirih, namun nada bicaranya dingin: "Kalau kau tak bisa kudapatkan... maka kau tak boleh sampai kepada tujuanmu. Aku akan menghentikannya."
Halimah mengira kata-kata itu sekedar luapan kecewa. Ia lalu berpamitan sopan lalu melangkah pulang, tanpa tahu bahwa kata-kata singkat itu adalah awal dari malapetaka besar yang menantinya.
Waktu pernikahan antara Halimah dan Soleh tak sampai sepekan lagi, kedua calon tampak sangat bahagia menjelang hari sakral tersebut.
Sementara Gibran semakin dikuasai amarah dan rasa cemburu buta. Malam itu, di sebuah warung kopi dekat pasar, ia berkumpul dengan lima temannya dari kota: Jamal, Yudi, Ibnu, Yoga, dan Fadhil.
Dengan suara pelan namun penuh dendam, Gibran berkata:
"Malam besok, saat Halimah pulang mengaji... kita tunggu ia di jalan, lalu kita bawa dia ketepi sungai. Biar si Halimah tahu--akibat dari penolakannya kepadaku."
Tawa keji meledak, gelas-gelas kopi beradu keras. Malam itu mereka mengikat perjanjian busuk yang kelak menjadi dosa abadi.
*****
Malam terasa dingin, Halimah berjalan sendirian dari surau lebih larut dari biasanya. Jalanan tampak sepi, hanya suara jangkrik dan desiran angin malam. Tiba-tiba sebuah mobil hitam berhenti mendadak di depannya.
Pintu mobil terbuka, enam pemuda keluar dengan wajah penuh nafsu. Halimah panik, mencoba untuk berlari, namun tangannya ditarik kasar. Ia menjerit minta tolong, tetapi jalanan sangat sepi tak ada seorang pun yang mendengar jeritannya.
"Bawa dia cepat! Jangan sampai ada yang melihat!" perintah Gibran dengan nada terburu-buru.
Tubuh Halimah di lempar ke dalam mobil. Suara jeritannya teredam oleh deru mesin yang melaju menuju tepian sungai jembatan.
Di bawah cahaya bulan pucat, Halimah digiring keluar mobil. Air sungai berkilat muram, seperti menjadi satu-satunya saksi bisu malam itu. Kehormatan Halimah direnggut paksa oleh ke enam pemuda secara bergantian. Ia berteriak, menangis, meronta, memohon agar dilepaskan, namun tak ada belas kasihan di wajah mereka.
Tangisan Halimah hanya dijawab tawa keji. Tubuhnya yang rapuh akhirnya terkulai, namun matanya menatap Gibran dan kelima teman-temannya dengan penuh harapan dan kutukan.
Usai puas sebagai eksekutor pertama dalam melampiaskan nafsu bejatnya, Gibran menatap Halimah yang terbaring lemah. "Kau sendiri yang telah memilih cara ini Halimah... inilah akibatnya kalau menolakku."
Setelah Gibran terpuaskan, lalu giliran ke lima teman-temannya melampiaskan hasrat binatang mereka secara bergantian.
Selain mereka berenam--tak ada satu manusia pun yang menyaksikan perbuatan manusia yang telah di rasuki oleh iblis malam itu.
Keenam pemuda bejat itu tertawa setelah melampiaskan nafsu bejat masing-masing, lalu mereka dengan kejam mengangkat tubuh Halimah yang sekarat menahan sakit, kemudian melemparkannya ke arus sungai deras di bawah jembatan.
Teriakan terakhir Halimah memecah malam sunyi, sebelum tubuhnya tenggelam ditelan gelap.
Sungai berubah seakan memerah... bukan oleh darah yang terlihat, melainkan oleh dendam yang tak mungkin bisa padam.
*****
Kabar hilangnya Halimah membuat seluruh desa geger. Sejak malam ia tidak kembali dari surau, beberapa orang menebak ada sesuatu yang buruk telah terjadi pada Halimah. Tunangannya, Soleh bersama keluarga Halimah menyusuri jalan, mendatangi kerabat-kerabat dan teman-teman Halimah. Namun tak ada satu pun yang memberi gambaran keberadaan Halimah.
"Bapak... ibu... Halimah pasti melalui jalan ini," ucap Soleh dengan wajah tegang. Tangannya menggenggam lampu petromak, cahaya kuningnya menari di sela kabut yang makin menebal.
Ayah Halimah menoleh dengan wajah muram. "Saya sudah berkali-kali melarang Halimah melalui jalan ini jika malam hari. Namun Halimah tak percaya, ia masih saja suka lewat jembatan ini."
Mereka berhenti tepat di tengah jembatan. Hening. Hanya suara aliran sungai yang terdengar, bercampur dengan desir angin yang membawa aroma aneh--seperti wangi bunga bercampur bau amis.
Tiba-tiba ibu Halimah berteriak pelan, "lihat itu... kainnya Halimah!" Ia menunjuk ke sebuah kain kerudung putih yang tersangkut di kayu pohon di sungai bawah jembatan. Soleh bergegas meraihnya, dan hatinya semakin perih melihat bekas sobekan dan bau lumpur pada kain tersebut.
"Halimahhh...!" teriak Soleh memanggil, suaranya bergema di balik kabut.
Namun jawaban yang datang bukan suara tunangannya, melainkan bisikan lirih yang terdengar samar di telinga. "Jangan mencariku lagi... pulanglah, aku tak akan pernah kembali."
Ayah Halimah segera beristighfar pelan, apakah kalian dengar...? Suara itu seperti suara Halimah."
Wajah Soleh memucat, tubuhnya bergetar. Ia menoleh pada keluarga Halimah, yang sama-sama terpaku mendengar bisikan aneh itu.
Namun Soleh tidak bisa menahan langkahnya. Ia mendekati tepi sungai, menyoroti lampu menyusuri arus. Di antara riak sungai, samar terlihat sosok perempuan bergaun putih dengan rambut panjang tergerai... dan matanya sendu namun mengerikan menatap lurus ke arahnya.
Sontak Soleh terkejut, lalu istighfar berulang-ulang di susul dengan membaca beberapa ayat untuk menghindari rasa takut.
Soleh dan keluarga Halimah lalu pergi meninggalkan lokasi jembatan dengan tanda tanya besar - suara siapa dan sosok siapa yang berada di sungai sekitar jembatan?
Sementara pada saat keluarga dan Soleh masih terus mencari keberadaan Halimah, enam pemuda yang membawa rahasia kelam itu sudah sibuk dengan kegiatan masing-masing. Gibran dan Ibnu sudah kembali ke kota untuk berkuliah, sementara Jamal, Yudi, Yoga dan Fadil juga kembali melakukan aktifitas rutin mereka sebagai pekerja.
Mereka bertingkah biasa saja, seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Gelak tawa mereka memecah sunyi malam. Namun di balik tawa itu, masing-masing menyimpan bayangan yang menghantui.
Malam itu, di sebuah warung kopi, empat orang pemuda yaitu: Jamal, Yudi, Yoga, dan Fadhil sedang berbicara serius.
"Sudahlah, jangan dipikirkan lagi," ucap Yudi sambil menyalakan rokok. "Tak ada yang akan tahu. Tubuh perempuan itu sudah menghilang di bawa arus sungai, tak akan ada yang bisa menemukannya."
Jamal yang duduk di sampingnya hanya terdiam. Keringat dingin membasahi pelipisnya. "Tapi... beberapa orang mengatakan bahwa mereka seperti melihat Halimah di sekitar jembatan. Aku khawatir kalau roh Halimah bergentayangan untuk menuntut balas."
Yoga tertawa keras, menepuk bahu Jamal. "Dasar penakut! itu cuma cerita nenek-nenek untuk menakuti anak kecil."
Namun tiba-tiba terdengar suara samar seperti bisikan di telinga mereka berempat:
"Kalian tak akan bisa lari... aku akan menunggu..."
Fadhil menyeruput kopinya, wajahnya pucat pasi. "Apa kalian juga mendengar?"
Mereka saling berpandangan, masing-masing merasa dadanya dihimpit rasa bersalah. Tapi Yoga hanya menepis dengan dingin. "Itu hanya kebetulan aja. Jangan jadi pengecut."
Tak seorang pun dari mereka menyadari bahwa sejak tadi ada bayangan bergaun putih yang terus mengikuti... matanya kosong, namun senyum tipisnya menyimpan dendam yang tak pernah padam.
*****
Malam itu, Jamal dan Yudi pulang sudah larut malam setelah berpesta minuman keras di sebuah warung tertutup dekat pinggiran kota. Mereka menyalakan motor dengan tawa keras, suara knalpot memecah keheningan jalanan sepi. Kondisi fisik yang sedang mabuk membuat langkah mereka limbung, namun keduanya tetap nekat melintasi jalan menuju jembatan Seunapet.
"Aku katakan apa... mana setannya? Halimah yang di sebut gentayangan... omong kosong cerita itu! teriak Yudi yang berada di boncengan sambil tertawa, napasnya yang berbau alkohol menyatu dengan kabut malam.
Jamal mengangguk, meski matanya sayu. "Benar... perempuan itu hanya mimpi buruk yang sudah berakhir."
Namun begitu roda motor mereka menjejak kayu jembatan Seunapet, tiba-tiba hembusan hawa dingin menyelimuti. Kabut mendadak turun-- begitu tebal, hingga lampu motor hanya mampu menembus beberapa langkah ke depan. Angin berhembus membawa suara aneh--lirih, seperti suara wanita menangis.
Jamal memperlambat laju motornya. "Kau mendengar suara wanita menangis?"
Yudi menelan ludah, mencoba tertawa menutupi rasa takut. Ah, kau tak usah mikir macam-macam, paling cuma suara burung malam atau musang. Gak perlu takut."
Tapi beberapa detik kemudian, dari sisi jembatan yang gelap, muncul bayangan perempuan. Rambut panjang menutupi wajahnya, gaun putihnya basah kuyup meneteskan air, dan tubuhnya bergerak pelan seperti melayang di udara.
Motor mendadak mati seketika. Mesin tersengal, lampu padam. Hanya kegelapan, kabut tebal, dan suara kaki berdecit pelan di atas papan jembatan.
"Si...siapa kau?!" teriak Yudi dengan suara gemetar.
Sosok itu menoleh perlahan. Rambutnya tersibak, menampakkan wajah pucat penuh lebam... mata hitam kosong... dan mulut yang sobek menganga hingga telinga. Dari bibirnya yang berlumuran darah, keluar suara yang membuat bulu kuduk berdiri.
"Aku Halimah... kalian yang membunuhku...!"
Jamal menjerit, mencoba menyalakan motor, tapi sia-sia. Tiba-tiba tangan pucat meraih pergelangan Jamal dan menariknya dengan kekuatan tak manusiawi. Tubuh Jamal terlempar keras ke sungai di bawah jembatan. Jeritannya menggema, lalu tiba-tiba terhenti dengan bunyi "Blukk!" diiringi riak air yang cepat berubah merah.
Yudi semakin panik, ia berlari ke arah berlawanan, namun papan jembatan tiba-tiba patah dan menjepit kakinya. Ia meronta, berteriak minta tolong, tapi tak ada seorang pun yang mendengar teriakannya.
Sosok Halimah melayang mendekat, wajahnya semakin dekat... lalu dari mulutnya keluar jeritan melengking yang menusuk telinga.
Darah mengalir dari telinga Yudi. Ia meraung kesakitan, matanya membelalak hingga pecah berlumuran darah. Tubuhnya jatuh ke papan jembatan dengan wajah membeku penuh horor.
Ketika fajar menjelang, warga desa menemukan jembatan Seunapet penuh bercak darah. Motor rusak tergeletak, tubuh Jamal mengapung di sungai dengan wajah hancur, sedangkan Yudi membeku di atas jembatan dengan mata melotot--senyum mengerikan terpatri di wajahnya.
Dan sejak malam itu, orang-orang mulai berbisik penuh tanda tanya: Apakah Halimah yang menghilang telah menjadi arwah dan menagih nyawa orang-orang yang melenyapkannya?
*****
Sejak kabar kematian Yudi dan Jamal tersebar cepat, wajah Fadhil tak pernah tenang lagi. Malam-malamnya dihantui mimpi buruk: tubuh Halimah yang penuh luka menatapnya dari dalam kegelapan, bibirnya berbisik dengan suara serak, "Kau selanjutnya..."
Fadhil tersentak dari mimpinya, lalu mencoba menghibur diri di rumahnya. Malam itu ia sendirian dirumahnya, keluarganya sedang berada di luar kota. Fadhil menyalakan televisi, rokok tak lepas dari bibir, dan minuman botol bersoda menjadi teman malam itu.
Namun entah kenapa, udara di dalam rumahnya terasa semakin dingin, padahal semua jendela sudah tertutup rapat.
Jam sudah menunjukkan pukul dua belas lewat lima belas menit malam ketika lampu tiba-tiba berkelip. Televisi berisik, suaranya berganti statis. Dari balik layar muncul bayangan wajah pucat seorang perempuan, matanya kosong, dan darah menetes di pipinya.
Fadhil terlonjak, mematikan televisi. Namun suara itu tetap terdengar dari dalam ruangan: "Fadhil... aku haus darah... kau harus tanggung perbuatanmu..."
Peluh dingin membasahi tubuhnya. Ia meraih parang panjang yang tergantung di dinding. "Jangan ganggu aku! Aku tidak takut!" teriaknya.
Kemudian Fadhil berjalan mundur masuk kedalam kamarnya kembali, lalu menguncinya dari dalam.
Tiba-tiba lampu mati dan pintu kamar berderit terbuka sendiri. Gelap pekat menelan cahaya. Dan dari sana muncul suara langkah kaki pelan... sangat pelan... tapi mendekat.
Siapa di sana?!" bentak Fadhil dengan suara gemetar.
Dari kegelapan sosok itu muncul. Rambutnya yang basah meneteskan air ke lantai, gaun putihnya compang-camping penuh darah. Namun wajahnya kini tampak sangat mengerikan - mata melotot tanpa bola, hanya rongga hitam, dan mulut sobeknya mengeluarkan cairan hitam kental.
Fadhil mundur, tangannya gemetar memegang golok. "Jangan kau mendekat! Aku tak bermaksud membunuhmu! Semua itu ide si Gibran!"
Namun sosok itu hanya mendekat tanpa suara.
Saat Fadhil mengayunkan golok, tubuh Halimah lenyap seketika - dan muncul tepat di belakangnya. Tangan pucatnya menembus dada Fadhil, menggenggam jantung yang masih berdetak.
Jeritan panjang memecah malam. Fadhil memuntahkan darah segar dari mulutnya, matanya melotot ketakutan. Ia melihat dengan jelas jantungnya sendiri berdenyut di tangan sosok arwah Halimah sebelum diremas hancur hingga meletup.
Tubuh Fadhil ambruk di lantai, wajahnya membeku dalam ekspresi teror. Dinding kamar berlumuran darah, sementara suara tangisan Halimah menggema di seluruh rumah, membuat kaca-kaca retak satu per satu.
Keesokan paginya, warga menemukan rumah Fadhil berantakan. Tubuhnya tergeletak di lantai kamar, dadanya robek seakan dicabik dari dalam, jantungnya hilang tak berbekas.
Sejak itu, desas-desus makin kuat. Arwah Halimah tidak akan pernah tenang, dia akan menagih siapapun yang telah merenggut nyawanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!