"Aku akan menceraikan mu!".
DUAR!!!!!
Seakan mengikuti hati Tiara, petir pun ikut mewakili keterkejutannya. Matanya terbelalak dan jantungnya berdebar kencang. Baru saja ia kehilangan putranya. Kini Denis malah menceraikannya. Siapa yang tak akan sedih dan putus asa mendapat penderitaan yang bertubi-tubi.
" Mas, aku tidak mau. Jangan ceraikan aku." isaknya.
Denis tak bergeming saat Tiara bersimpuh di kakinya. Air mata Tiara terus menetes hingga membasahi kaki Denis. Namun sedikitpun Denis tak merasakan iba pada istri yang telah bersamanya selama enam tahun itu.
"Tak ada lagi yang harus dipertahankan. Aku benar-benar sudah muak denganmu!'"
Batin Tiara berdenyut mendengar ucapan yang keluar dari mulut Denis. Ia tak menyangka suaminya akan mengatakan seperti itu. Terlebih lagi,ia sudah menyerahkan segalanya hingga sampai dititik ini.
"Apa yang kau katakan Mas? Kau lupa dengan perjuanganku salama ini?" rintih Tiara dengan mata yang berkaca-kaca.
"Aku tidak melupakannya Tiara, tapi aku sudah tak menginginkan mu lagi. Kau sudah tak bisa memenuhi keinginanku lagi." tegas Denis.
"Tapi Mas..."
"Tidak ada tapi-tapian. Keluargaku menginginkan penerus dan Kau... sudah tak bisa melakukannya!" potongnya cepat.
Tiara terdiam. Bibirnya bergetar menahan isak yang semakin keras. Kata-kata itu terasa jauh lebih menyakitkan dari petir yang mengguncang langit di luar sana.
Ia menatap Denis dengan pandangan kosong—antara tidak percaya dan hancur berkeping-keping.
"Jadi... semua ini karena aku tidak bisa memberikanmu anak lagi?" suaranya parau, hampir tak terdengar.
Denis memalingkan wajah, enggan menatap perempuan yang dulu ia perjuangkan habis-habisan.
"Aku sudah lelah, Tiara. Aku ingin hidup normal, punya keluarga lengkap, punya anak yang memanggilku ayah setiap pagi." ungkap Denis.
"Mas... jangan bilang begitu. Kita bisa cari jalan lain, kan? Kita bisa adopsi... atau..." sahut Tiara terisak keras,memeluk lutut pria itu dengan gemetar.
"Sudah cukup!" bentak Denis, membuat Tiara tersentak dan menjauh.
"Aku sudah memutuskan. Besok aku akan ajukan gugatan cerai." sambungnya mantap.
Langit di luar bergemuruh, hujan turun deras seolah ikut menangis bersamanya. Tiara menatap lelaki yang dulu ia cintai dengan segenap jiwa lelaki yang kini berubah menjadi sosok asing yang dingin dan kejam.
"Mas, dulu kau bilang akan mencintaiku sampai maut memisahkan kita," lirih Tiara, suaranya nyaris tenggelam oleh suara hujan.
Denis terdiam sejenak, lalu menatapnya dengan sorot mata kosong.
"Mungkin maut itu bukan kematian, Tiara. Mungkin... maut itu adalah saat cinta benar-benar mati." ucapnya dingin.
Dan malam itu, di tengah hujan dan petir yang tak berhenti, Tiara tahu kehangatan rumahnya telah sirna untuk selamanya. Kini Tiada lagi yang tersisa. Tiara langsung melepas pegangannya,tubuhnya terasa lemas.
Tiara terduduk di lantai, tubuhnya gemetar hebat. Pandangannya kosong menatap lantai yang mulai basah oleh air matanya sendiri. Kata-kata Denis terus terngiang di kepalanya, memukul keras kesadarannya yang mulai retak.
Cinta yang selama ini ia rawat dengan doa, pengorbanan, dan air mata, kini terhempas begitu saja tanpa sisa. Ia mendengar langkah Denis menjauh, kemudian suara pintu terbanting keras.
BRUK!
Hening. Yang tersisa hanya suara hujan deras di luar jendela dan suara sesenggukan yang makin dalam. Tangannya bergetar saat menyentuh lantai dingin.
"Aku… sudah tidak berarti lagi," bisiknya lirih.
Ia menatap foto di atas meja ruang tamu, foto pernikahannya dengan Denis enam tahun lalu. Senyumnya di sana terlihat tulus, matanya penuh harapan. Kini, senyum itu hanya menjadi pengingat pahit tentang betapa rapuhnya kebahagiaan.
Dengan langkah gontai, Tiara berdiri, mendekati foto itu. Ia menyentuh bingkainya perlahan, sebelum akhirnya menjatuhkan foto itu ke lantai. Kaca pecah, memantulkan wajahnya yang penuh luka dan air mata.
"Kalau cinta memang harus mati… kenapa aku masih hidup untuk merasakannya?" ucapnya lirih, suaranya bergetar di antara isak.
Di luar, petir kembali menyambar. Angin berhembus kencang, seolah ingin menyingkap tirai kelam dari hidupnya. Tapi Tiara tahu, malam itu adalah awal dari kehancuran. Dan entah bagaimana, jauh di dalam hatinya yang paling dalam, sebuah bisikan kecil muncul... bukan tentang menyerah, tapi tentang mencari arti hidup setelah kehilangan segalanya.
Keesokan hari nya, Tiara membuka matanya perlahan. Ia berusaha bangkit dari tempat tidurnya. Ia menatap ke sekeliling kamar. Tidak ada yang berubah. Namun tatapan itu berhenti saat ia menatap tempat biasa putranya selalu berbaring. Air matanya mengalir tanpa menunggu perintah.Menetes begitu saja bersama luka hatinya.
"Tiara!"
Seketika ia menoleh mendengar teriakan yang memanggilnya.
"Mama..." sahutnya lirih.
Nancy mendekat,namun tatapannya menyala. Ia mendekat kepada Tiara yang kini tengah berdiri menatapnya.
"Denis sudah menceraikan mu. Dan aku minta kau keluar dari rumah ini!" ucap Nancy ketus.
Tiara terpaku. Tubuhnya membeku di tempat, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Ia menatap Nancy, wanita paruh baya yang dulu memeluknya dengan hangat di hari pernikahannya, tapi kini tatapannya tajam seperti pisau yang siap mengiris hatinya.
"Mma... apa maksud Mama?" suara Tiara bergetar.
Nancy menyilangkan tangan di dada, napasnya berat menahan amarah. .
"Kau sudah bukan bagian dari keluarga ini lagi! Denis sudah memutuskan. Jadi, tak ada alasan bagimu untuk tetap di sini!"
"Mama, tolong jangan seperti ini..." Tiara mendekat dengan langkah pelan, air matanya mulai menetes. "
"Aku tidak punya tempat lain untuk pergi..."
"Itu bukan urusanku lagi. Kau sudah tak bisa memberikan kami penerus dan jika Denis terus bersamamu maka kau akan menghancurkan masa depannya."
"Ma, itu bukan kesalahanku. Mama tahu kan jika kehamilanku dulu bermasalah? Aku sudah berusaha tapi Tuhan berkehendak lain."
Nancy terdiam sesaat. Semua yang dikatakan Tiara benar. Seharusnya Tiara tidak mengandung bayi itu. Tapi karena kegigihan dan keinginan suami dan mertuanya Tiara melawan ucapan dokter yang melarangnya untuk mempertahankan bayi dalam kandungannya hingga akhirnya ia harus mengangkat rahimnya saat bayi itu dilahirkan.
Namun setelah bayi itu lahir, bukannya ia tumbuh sehat malah ia harus terus dirawat dirumah sakit hingga akhirnya dokter menyatakan jika bayinya meninggal dunia.
"Jadi kau juga menyalahkan ku, begitu? Kau seharusnya malu. Kau tinggal dan menikmati semua fasilitas di rumah ini tanpa membayar sepeser pun. Kau seharusnya tahu diri."
Jantung Tiara berdenyut. Ternyata pengorbanannya selama ini untuk suami dan mertuanya tidak ada harganya. Tiara perlahan mendekati Nancy.
"Baiklah Ma, aku akan pergi dari rumah ini. Tapi, untuk semua yang kalian lakukan padaku, aku tidak akan pernah memaafkannya."
Nancy terdiam sejenak, menatap Tiara dengan sorot mata tajam yang berusaha menutupi rasa bersalah yang sesungguhnya mulai merayap di hatinya. Namun gengsi dan kebencian sudah terlalu menguasai pikirannya. Ia berpaling, menolak menunjukkan kelemahannya.
"Pergi sebelum aku benar-benar berubah pikiran," katanya datar, dingin seperti batu.
Tiara menatap wajah perempuan yang dulu ia panggil Mama dengan tulus, kini berubah menjadi tembok tak berperasaan. Matanya basah, tapi bukan hanya karena air mata di balik pandangan itu, ada luka, ada kehilangan, dan sedikit kebencian yang tumbuh diam-diam.
"Terima kasih, Ma," ucapnya lirih, tapi dengan nada getir.
"Terima kasih karena telah mengajarkanku arti keluarga... yang sebenarnya tak pernah menerimaku sejak awal." sambungnya.
Nancy menggertakkan gigi, tapi memilih diam. Ia menyingkir ke samping, memberi jalan bagi Tiara untuk pergi.
Tiara menyeret kopernya di tengah keramaian kota yang mulai padat. Suara klakson bersahut-sahutan, aroma aspal basah bercampur dengan bau kopi dari warung pinggir jalan. Semua tampak sibuk dengan urusannya masing-masing, tak ada yang peduli pada wanita berwajah pucat dengan mata bengkak dan langkah gontai itu.
Helaan napas panjang keluar dari bibirnya, membentuk uap tipis di udara dingin sore itu. Ia tak tahu ke mana harus pergi. Hanya langkah dan nasib yang menuntunnya.
Setiap tarikan koper di trotoar seperti gema yang mengiringi kesepiannya. Ia sempat berhenti di depan etalase toko bayi. Tatapannya kosong saat melihat pakaian-pakaian mungil tergantung rapi di sana. Ada satu baju biru muda yang membuatnya tertegun , mirip dengan yang pernah ia beli untuk bayinya dulu. Matanya mulai basah lagi. Ia menatap pantulan wajahnya di kaca toko: kusut, lelah, dan kehilangan arah.
Seketika Tiara teringat, ia langsung memutar kopernya dan berjalan menuju tempat putranya dimakamkan. Tiara semakin cepat, meski tubuhnya terasa lemah. Jalanan yang licin sisa hujan tak ia pedulikan. Air matanya terus mengalir, bercampur dengan rintik kecil yang masih turun dari langit mendung sore itu.
Koper yang ia tarik kini hanya menjadi beban tanpa arti. Hatinya jauh lebih berat daripada benda itu.
Sesampainya di pemakaman kecil di pinggiran kota, suasana sunyi menyambutnya. Hanya suara serangga dan gesekan dedaunan yang tertiup angin. Tiara menatap hamparan nisan di hadapannya hingga pandangannya berhenti pada satu nama yang membuat lututnya lemas.
Arvan Denis Putra. Nama yang selalu ia bisikkan dalam doa setiap malam. Tiara menjatuhkan koper di samping kakinya, lalu perlahan berlutut di depan makam kecil itu. Tangannya menyentuh batu nisan yang dingin, sementara bibirnya bergetar menahan tangis.
"Maafkan Mama, Nak… Mama gagal menjaga kamu. Dan sekarang… bahkan Ayahmu pun meninggalkan Mama." ucapnya lirih dan terisak.
Ia menggenggam tanah di depan nisan, erat sekali, seolah ingin menggantikan pelukan yang tak sempat ia berikan.
"Dulu Mama pikir… selama ada cinta, semuanya akan baik-baik saja. Tapi ternyata, cinta juga bisa mati, Nak… seperti yang Ayahmu bilang." ia tersenyum pahit.
Tiara menunduk, mencium tanah di depan makam anaknya. Air matanya jatuh membasahi tanah itu, menyatu dengan butiran hujan yang masih tersisa.
"Apa Mama masih pantas hidup, Van? Tanpa kamu, tanpa rumah, tanpa cinta… apa yang tersisa dari Mama sekarang?" suaranya nyaris tak terdengar.
Hening sejenak. Hanya angin yang berembus, menyapu helai rambut Tiara yang menempel di wajahnya. Tapi entah kenapa, di sela kesunyiannya, ada desir lembut yang membuat hatinya sedikit tenang, seolah anaknya menjawab dari tempat yang jauh.
Tiara terus saja memeluk makam putranya hingga seseorang membangunkannya.
"Nak, Nak. Bangunlah! Hari mulai gelap. Kau akan terus tidur di sini?" ucap wanita paruh baya itu.
Perlahan Tiara bangkit dan menatapnya. Ia mengusap wajahnya yang kusut. Matanya yang mulai bengkak menjawab semua keingintahuan wanita itu.
"Jangan terus meratapinya , Nak! Kau harus bangkit. Masih ada seseorang yang menunggumu di rumah, bukan?" ucap wanita itu lagi.
Tiba-tiba Tiara terisak yang membuat wanita itupun ikut duduk di sampingnya, lalu tanpa bertanya apa yang membuatnya menangis ia langsung menarik kepala Tiara ke pelukannya. Membelai rambutnya dengan lembut hingga membuat Tiara merasa hangat.
"Sabarlah! Tuhan pasti punya rencana lain." ucapnya lagi sambil menatap papan nama yang ada di atas makam itu.
"Arvan, dia putra mu?" sambungnya.
Tiara menarik tubuhnya lalu mengangguk pelan. Namun wanita itu mengangkat dagunya lalu mengusap sisa air mata yang masih membekas di pipi Tiara. Namun tatapannya beralih pada dada Tiara yang mulai basah entah karena air mata atau hal lain.
"Bajumu basah? Apakah kau sudah semalam di sini?" tanya nya lagi.
Tiara masih saja diam,bibirnya bergetar. Wanita itu menatap koper yang ada di samping Tiara. Kini ia memahami sesuatu. Gadis itu sendirian.
"Ayo bangkitlah Nak! Ikutlah bersamaku. Aku akan mengantarmu!" katanya lagi.
"Tidak Bu! Aku sudah tidak punya tempat lagi. Aku sudah tidak berharga!" katanya lirih.
Wanita itu mengernyit, hatinya langsung tersayat mendengar jawaban Tiara. Ia mendekat, menggenggam kedua tangan Tiara yang dingin dan gemetar. Tatapannya lembut namun tegas, seperti seorang ibu yang menegur anaknya sendiri.
"Jangan pernah bilang begitu lagi, Nak. Tak ada manusia yang tidak berharga. Tuhan tidak menciptakanmu untuk dibuang begitu saja." balasnya lirih
"Tapi… aku sudah kehilangan segalanya. Anakku… suamiku… rumahku…"suaranya parau, nyaris tak terdengar.
Wanita itu mengusap bahu Tiara dengan lembut.
"Kehilangan memang menyakitkan. Aku saja kehilangan putriku. Dunia rasanya gelap, kosong. Tapi, Nak… hidup ini bukan hanya tentang yang hilang. Hidup juga tentang yang masih bisa kau perjuangkan."
Kali ini Tiara terdiam. Ia sadar bahwa dirinya harus bangkit. Penolakan dan ketidakadilan yang ia terima harus ia buktikan bahwa ia bisa berdiri diatas kakinya sendiri.
Namun saat ia hendak bangkit. Dadanya berdenyut. Air susu yang biasa ia pompa setiap hari itu pun mulai memenuhi payudaranya. Rasa sakit itu membuat Tiara berdesis.
"Ssstt..."
Deritan itu pun langsung menarik perhatian wanita paru baya itu. Hingga ia tahu apa yang membuat baju Tiara basah.
"Kau harus membuang air susumu itu. Atau kau akan terus kesakitan." katanya.
Tiara memejamkan mata, menahan perih yang menjalar di dadanya. Ia menggigit bibir, menahan isak yang kembali pecah.
"Aku biasanya… memompanya setiap pagi," ucapnya pelan, suaranya nyaris tenggelam di antara desiran angin sore.
"Tapi sejak Arvan… pergi… aku tak sanggup lagi melakukannya."
Wanita itu menatapnya penuh iba. Ia lalu berdiri, menepuk lembut bahu Tiara. Lalu terbesit didalam benaknya. Cucunya yang baru saja dilahirkan tentu saja membutuhkan ASI hingga wanita itu memiliki ide untuk membawa Tiara ke rumahnya.
"Nak, apakah kau tidak memiliki tujuan kemana kau akan pergi?" tanyanya perlahan.
"Tidak, Bu. Aku tidak memiliki siapa pun di dunia ini. Aku yatim piatu."
Hati wanita tua itupun semakin terisak. Ia tak menyangka wanita selembut dan secantik Tiara hidup sebatang kara. Lalu apa yang membuat dirinya berakhir disini? Wanita tua itu pun akhirnya memberanikan diri untuk bertanya kepadanya.
"Lalu di mana suamimu?"
Tiara menunduk, menatap tanah di bawah kakinya. Bibirnya gemetar, tapi ia tak sanggup menatap mata wanita tua itu lebih lama.
"Denis… dia… menceraikan ku. Katanya aku sudah tidak bisa memberinya keturunan lagi," suaranya lirih, nyaris terdesak oleh isak yang menahan diri.
Wanita tua itu mengerutkan keningnya, merasa pedih mendengar cerita Tiara. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum melanjutkan.
"Nak… orang-orang kadang buta oleh ego dan keinginan mereka sendiri. Tapi itu bukan akhir dunia. Kau masih punya hidup untuk dijalani. Dan kau… kau masih berharga, Tiara."
"Aku Raisa, kau bisa memanggil apa saja. Asal kau mau ikut denganku." ucap wanita padu baya itu yang memperkenalkan namanya itu.
"Aku Mutiara Hasby, ibu bisa memanggilku Tiara saja." sahut Tiara.
"Nama yang indah." ucap Raisa tulus,penuh senyum disudut bibirnya yang mulai keriput.
Tiara hanya menunduk, bibirnya bergetar menahan haru atas ketulusan yang jarang ia temui belakangan ini. Ia tak menyangka, di tengah keterpurukannya, masih ada seseorang yang mau menatapnya tanpa penilaian, tanpa rasa iba yang menyakitkan.Raisa lalu berdiri, menepuk lembut bahu Tiara.
"Ayo, Nak Tiara. Malam sudah turun. Angin di pemakaman ini semakin menusuk tulang. Kau butuh tempat yang hangat untuk beristirahat."
Tiara menatap makam anaknya sekali lagi, seolah tak rela meninggalkannya.
"Van… Mama pergi dulu ya, Nak," bisiknya lirih, sebelum akhirnya berdiri dengan langkah gontai.
Raisa membantunya membawa koper kecil yang sudah kotor oleh lumpur. Mereka berjalan perlahan keluar dari area pemakaman, melewati jalan berbatu yang mulai gelap. Hanya suara jangkrik dan gemercik dedaunan yang menemani langkah mereka.
"Kau tinggal di mana sebelumnya?" tanya Raisa sambil menuntun Tiara menuruni jalan menanjak.
"Di rumah suamiku… tapi sekarang aku sudah tak punya rumah lagi," jawab Tiara pelan.
Raisa menatapnya sekilas, lalu mengangguk dengan penuh pengertian.
"Kalau begitu, malam ini kau tinggal di rumahku dulu. Aku tinggal bersama menantuku dan cucuku yang baru lahir. Kau bisa bantu-bantu nanti kalau sudah merasa kuat." katanya membuat Tiara tertegun.
"Cucu ibu… baru lahir?" sahutnya yang membuat Raisa tersenyum kecil.
"Ya. Lahir dua minggu lalu. Bayi laki-laki. Tapi ibunya baru sudah meninggal sesaat dia lahir. Barangkali... kehadiranmu merupakan pertolongan Tuhan untuk kami berdua."
Ada keheningan beberapa saat. Kata-kata Raisa menggema di dada Tiara, membuatnya nyaris menangis lagi. Ia merasa seolah Tuhan benar-benar sedang menuntunnya,bukan sekadar kebetulan ia bertemu dengan wanita ini di makam anaknya.
Ketika mereka tiba di jalan besar, lampu kota mulai menyinari wajah Tiara yang pucat. Raisa memanggil becak motor yang lewat, lalu membantu Tiara naik. Dalam perjalanan menuju rumah Raisa, Tiara bersandar di bahu wanita itu, matanya berat, tubuhnya mulai melemah oleh kelelahan dan rasa hangat yang tiba-tiba terasa aman. Raisa menatapnya, lalu mengusap lembut rambut Tiara.
"Tidurlah, Nak. Malam ini kau sudah cukup berjuang. Besok, kita mulai lagi dari awal."
Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Tiara menutup mata bukan karena kelelahan semata, tapi karena ada sedikit rasa tenang yang kembali hadir di hatinya.
Tak membutuhkan waktu lama, akhirnya becak mereka pun sampai tepat disebuah tembok tinggi yang memiliki pintu gerbang berwarna hitam. Lalu tak berapa lama seorang pria gemuk muncul dari pintu yang ada di samping gerbang.
"Nyonya, Anda sudah pulang." ucap Gilbert sambil menghampirinya.
Raisa turun lebih dulu dari becak dan mengangguk pelan pada Gilbert.
"Ya, Gilbert. Tolong bukakan pintunya. Aku membawa tamu malam ini."
Gilbert, yang tampak berusia sekitar lima puluh tahun dengan rambut mulai memutih di pelipis, segera membuka gerbang besar itu. Pandangannya sekilas jatuh pada Tiara yang masih duduk di becak dengan tubuh lemah dan wajah pucat. Tatapan prianya berubah sedikit khawatir.
"Dia baik-baik saja, Nyonya?" tanya Gilbert hati-hati.
Raisa menepuk lengannya ringan.
"Tidak apa-apa. Dia hanya kelelahan. Tolong bantu bawakan kopernya ke kamar tamu."
"Baik, Nyonya."
Gilbert menunduk hormat, lalu mengangkat koper Tiara yang tampak berat dan basah oleh lumpur.
Tiara turun perlahan dari becak. Pandangannya terpaku pada rumah besar di depannya, bangunan klasik dengan pilar-pilar tinggi dan taman luas yang remang disinari lampu taman. Dari luar saja, rumah itu tampak seperti sisa kejayaan masa lalu, megah tapi hangat.
"Masuklah, Nak Tiara," ucap Raisa lembut sambil menuntunnya melewati jalan batu menuju teras. Aroma melati dan kayu manis dari dalam rumah langsung menyambut mereka.
Begitu pintu besar dibuka, cahaya kuning lembut menerangi ruang tamu yang luas. Kursi-kursi rotan tua tertata rapi, dindingnya penuh bingkai foto hitam putih, sebagian menampilkan Raisa muda, sebagian lagi mungkin mendiang suaminya.
Tiara sempat menatap foto-foto itu dengan perasaan hangat bercampur hampa. Ada nuansa keluarga yang ia rindukan, tapi juga rasa takut untuk kembali berharap.
"Duduklah dulu, Nak. Aku akan ambilkan handuk dan pakaian bersih untukmu," kata Raisa sambil berjalan ke arah tangga.
Tiara duduk perlahan di ujung sofa. Tubuhnya gemetar karena dingin dan lelah. Gilbert datang membawa secangkir teh panas.
"Ini, Nona. Minumlah dulu," ucapnya sopan.
"Terima kasih," jawab Tiara lirih sambil menatap uap teh yang mengepul.
Tak lama kemudian, Raisa turun kembali dengan pakaian hangat dan selimut tebal.
"Kau bisa membersihkan diri dulu. Kamar mandinya di ujung lorong sebelah kanan. Setelah itu, istirahatlah di kamar tamu. Nanti aku perkenalkan pada menantuku dan cucuku besok pagi."
Tiara menerima pakaian itu dengan tangan bergetar.
"Terima kasih, Bu Raisa… aku… aku tidak tahu bagaimana harus membalas kebaikan ini."
Raisa tersenyum tulus, matanya berkilat lembut.
"Cukup dengan bertahan hidup, Nak. Itu saja sudah lebih dari cukup."
Tiara menatapnya sejenak, lalu menunduk. Ada rasa hangat merambat di dadanya, sesuatu yang sudah lama hilang. Untuk pertama kalinya sejak kehilangan segalanya, ia merasa aman.
Malam itu, setelah membersihkan diri dan mengenakan pakaian bersih yang diberikan Raisa, Tiara berbaring di ranjang empuk dengan selimut hangat membungkus tubuhnya. Dari jendela, ia bisa mendengar suara lembut bayi menangis dari kamar lain, suara kecil yang entah kenapa membuat air matanya jatuh lagi, tapi kali ini bukan karena kesedihan.
Terbesit dalam pikirannya untuk mendatangi dan memeluk bayi itu. Namun Tiara tidak memiliki keberanian untuk melakukannya. Perlahan ia memejamkan matanya tapi tangisan bayi itu selalu mengusik jiwa keibuannya. Ia meremas payudaranya yang sedikit basah karena air susu yang mulai penuh.
Tak lama Tiara bangkit berjalan pelan keluar dari kamarnya. Lalu ia berjalan mendekati kamar dimana tangisan bayi laki-laki itu semakin keras terdengar di telinganya.
Diam-diam Tiara mulai mendekat,mengintip di depan pintu kamar. Matanya berkeliling mencari seseorang disana namun ia hanya melihat bayi itu yang masih menangis diatas ranjang besar itu. Tak tahan mendengar tangisannya itu,Tiara langsung masuk dan menggendong bayi mungil itu.
Jiwa keibuannya meronta,ditambah lagi ia sadar jika bayi itu sedang lapar. Sambil celingukan, memastikan bahwa tidak ada orang disana perlahan Tiara membalikkan tubuhnya dan membuka perlahan kancing bajunya lalu ia menyusui bayi itu yang langsung membuat tangisannya terdiam.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!