NovelToon NovelToon

Terpaksa Menjadi Pengganti Kembaranku

1. Pertemuan Kembali

Angelina Lineeta, wanita bersurai coklat dengan penampilan sederhana itu sejenak menatap hotel mewah yang berdiri megah di depannya. Hatinya mendadak ragu untuk menginjakkan kakinya ke dalam hotel mewah yang tidak pernah sekalipun ia datangi. Bahkan, sedikitpun tak pernah terlintas dalam pikirannya untuk bisa masuk ke dalam hotel mewah itu . Akan tetapi, kesulitan yang kini tengah ia hadapi tidak memberinya pilihan.

Ia harus mendapatkan pekerjaan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya selama ia berada di kota ini dalam usahanya mencari seseorang.

"Huuff..."

Dengan satu hembusan napas cepat, Angelina melangkah maju, meneguhkan niat serta memantapkan langkah yang ia ambil dengan bisikan manis untuk hatinya sendiri ia akan mendapatkan uang dengan jumlah lebih banyak jika ia bekerja di hotel mewah itu sebagai pengalih perhatian dari rasa gugup yang ia rasakan.

Dalam jarak beberapa beberapa meter dari tempat Angelina berada, sebuah mobil yang sebelumnya berniat untuk pergi meninggalkan hotel seketika berhenti begitu si pengemudi secara tidak sengaja melihat wajah Angelina. Kedua tangannya mencengkram erat kemudi di tangannya, rahangnya mengeras, menyiratkan amarah yang berusaha ia pendam, sesaat kemudian ia memutar kemudi dan menghentikan mobilnya di depan lobi hotel.

Wanita bersurai coklat indah terawat dengan penampilan mewah serta kacamata hitam yang dikanakan wanita itu membuat siapa saja yang melihatnya bisa menyimpulkan bahwa wanita itu bukan berasal dari kalangan biasa.

Sepasang kaki indahnya melangkah cepat masuk ke dalam hotel, menggemakan suara ketukan sepatu yang membentuk irama teratur. Sedang netranya yang tertutup kacamata hitam tertuju pada punggung Angelina yang kini hanya berjarak beberapa langkah saja darinya.

Dengan gerakan cepat, tangan wanita itu segera menyambar pergelangan tangan Angelina, lalu menariknya menjauh sebelum Angelina mencapai meja resepsionis.

"N-Nona..." Angelina memekik kaget, tubuhnya terhuyung sampai nyaris terjatuh.

Namun, sebelum Angelina dapat mencerna apa yang terjadi, tubuhnya sudah ditarik paksa oleh wanita berkacamata yang tidak ia kenal. Wanita berkacamata itu bahkan tak peduli dangan apa yang akan terjadi pada Angelina, tangannya tetap mencengkram kuat pergelangan tangan Angelina serta menarik Angelina menuju lift.

"Nona, tolong lepaskan. Apa yang Anda lakukan?" ucap Angelina dalam usahanya melepaskan diri.

Sayangnya, tindakan Angelina justru membuat cengkraman tangan wanita itu menguat. Wajahnya yang tertutup kacamata hitam membuat Angelina tidak bisa melihat dengan jelas siapa wanita itu. Staf hotel pun tak ada yang berani membantu saat mereka menyadari bahwa wanita berkacamata itu adalah tamu VIP hotel tempat mereka bekerja.

"Tolong lepaskan saya, Nona," Angelina berkata lagi.

Wanita berkacamata hitam itu tetap bergeming, tidak mengatakan apapun meski pintu lift sudah menutup.

"Nona, sepertinya Anda telah salah mengenali orang, tolong lepaskan tangan saya," pinta Angelina lagi.

"Tidak bisakah kau diam!" si wanita berkacamata membentak kesal.

Angelina membeku. Bukan karena bentakan dari wanita asing itu, melainkan karena suara yang baru saja ia dengar sama persis dengan suaranya.

Ting!

Pintu lift terbuka, wanita berkacamata itu kembali menarik tangan Angelina, memaksa Angelina untuk mengikuti langkahnya. Dan ketika ia tiba di kamar yang ia tempati, tangannya mendorong Angelina masuk dengan dorongan kasar lalu menutup pintu serta menguncinya begitu ia berada di dalam.

"Apa yang sedang kau lakukan di kota ini?" wanita berkacamata hitam itu bertanya tanpa berbalik.

"Maaf?" Angelina mengerutkan kening, meski jantungnya berdebar dengan dugaan yang ada di dalam benaknya.

Wanita berkacamata hitam itu berbalik, melepaskan kacamata hitamnya dan menatap tajam pada Angelina.

Perlu waktu sesaat bagi Angelina untuk mengenali sosok menawan yang kini berdiri dalam jarak beberapa langkah di depannya, lalu meletakkan telapak tangannya menutupi mulut dengan keterkejutan yang tidak bisa ia sembunyikan. Bulir bening dari matanya bahkan bergulir tanpa ia minta, merasa pencarian yang sudah ia lakukan dalam waktu lama kini berakhir sudah.

"A-Angelika..." Angelina mendesis lirih, menatap tak percaya pada wanita yang kini berdiri di depannya seraya melangkah maju.

Waktu seakan berhenti berputar dengan pemikiran apa yang kini ada di depannya hanyalah mimpi atau ilusi, tetapi wajah itu adalah wajah yang sudah ia rindukan selama belasan tahun lamanya.

"Aku... Tidak bermimpi..." Angelina kembali berbicara pelan, meraih tangan Angelika untuk ia genggam.

"Ya, aku Angelika. Sekarang, lepaskan tanganmu dariku," sahut Angelika seraya menepis kasar tangan Angelina.

"Benarkah ini kamu? Angelika saudara kembarku?" tanya Angelina dengan suara bergetar, setengah tak percaya jika ia akhirnya bisa bertemu dengan saudara kembarnya kembali.

Satu tangan Angelina terulur, menyingkap sedikit kerah pakaian Angelika dan melihat tanda lahir yang sama dengan tanda lahir miliknya di bahu Angelika.

"Terima kasih, Tuhan..."

Tanpa aba-aba, Angelina segera memeluk erat saudara kembarnya, menumpahkan tangis bahagia bercampur lega. Namun, baru beberapa detik Angelina memeluk saudara kembarnya, ia merasakan dorongan kuat dari Angelika hingga membuat tubuhnya terhuyung ke belakang dan jatuh terhempas ke lantai.

"Perhatikan sikapmu!" Angelika mendesis marah, tangannya segera menepuk-nepuk tubuhnya sendiri seolah ingin menghilangkan debu yang sempat menempel di pakaiannya.

"Apa yang kau lakukan di kota ini?" ulang Angelika bertanya.

"Mencarimu," jawab Angelina seraya berdiri, sedikitpun tidak tersinggung atas sikap Angelika terhadapnya.

"Bagaimana kau bisa tahu aku sedang berada di kota ini?" tanya Angelika lagi.

"Seseorang berkata padaku pernah melihatku di kota ini disaat aku tidak pernah datang ke kota ini, jadi aku yakin yang dia lihat adalah kamu. Ternyata aku benar," jawab Angelina, tersenyum tulus.

"Cih..."

Angelika berdecih sinis, melangkah melewati Angelina dan kembali berbalik untuk menatap saudara kembarnya, menunjuk sofa dengan isyarat meminta Angelina untuk duduk.

"Setelah aku memiliki kehidupan lebih baik darimu, kau datang padaku. Apa kau datang untuk meminta sesuatu dariku?" tuduh Angelika.

Netra Angelina mengunci wajah Angelika selama beberapa saat dalam diam, hatinya sakit, tetapi ia juga tidak bisa menyangkal bahwa kedatangannya, pencariannya hingga kini ia bisa menemukan Angelika karena ingin meminta sesuatu.

"Benar," jawab Angelina.

"Sudah kuduga," Angelika melipat kedua tangannya dengan gerakan angkuh. "Kau mencariku hanya untuk meminta sesuatu."

"Berapa banyak yang kau minta?"

Deg!

Angelina memejamkan mata, mengatur napasnya sejenak untuk meredam emosi yang mulai bergolak di hatinya.

"Bukan uang yang ingin aku minta darimu," jawab Angelina lirih.

"Lalu?" Angelika menaikkan alis.

Ada jeda keheningan yang terasa begitu berat bagi Angelina, tetapi wanita itu tidak memiliki pilihan lain selain mengatakannya demi seseorang yang sangat berarti bagi hidupnya.

"Pulanglah sebentar, Angelika. Demi Ibu," pinta Angelina penuh harap. "Ibu... Sakit, dan sangat ingin melihatmu," lanjutnya lirih.

Hening sejenak...

"Pft..."

Angelika terbahak, tertawa tanpa rasa iba, menatap tak percaya pada Angelina sembari menggelengkan kepala. Ia tak habis pikir, hanya demi wanita yang disebut Ibu, saudara kembarnya itu rela membuang waktu mencarinya dan meminta dirinya untuk pulang setelah belasan tahun berlalu. Ia lebih menyukai dirinya dianggap mati dibandingkan dengan kembali ke kehidupannya yang penuh kekurangan.

Namun, memikirkan keberadaan Angelina di kota ini hanya akan mempersulit dirinya serta membahayakan posisinya jika suatu saat seseorang yang ia kenal melihat wajah Angelina, membuat ia tidak ingin ambil resiko. Itulah mengapa ia menyeret Angelina ke kamar hotel yang ia gunakan untuk menginap hanya untuk meminta Angelina segera pergi meninggalkan kota.

"Kau ingin aku kembali ke tempat kumuh itu di saat aku sudah memiliki kehidupan sempurna? Yang benar saja," sarkas Angelika.

Angelina menggeleng pelan. "Bukan kembali, hanya pulang sebentar untuk melihat Ibu, setelah itu kamu bisa kembali ke kota ini."

"Dan jika aku menolak?" tantang Angelika tersenyum sinis.

"Aku akan melakukan apapun. Apa saja yang kamu inginkan asalkan kamu mau pulang sebentar untuk melihat Ibu," ucap Angelina.

Kalimat yang baru saja Angelina ucapkan menarik keluar sesuatu dari dalam hati Angelika, sesuatu yang membuat hatinya terjebak dalam kegelapan. Sesaat ia mengamati penampilan Angelina, menumbuhkan seringai licik di bibir Angelika dengan berbagai rencana yang bisa ia lakukan dengan memanfaatkan saudara kembarnya sendiri.

"Apa saja?" tanya Angelika memastikan.

"Apa saja," tegas Angelina.

Angelika kembali tersenyum sangat tipis, sampai Angelina tidak menyadari senyum itu sempat ada.

"Aku bersedia pulang... aku juga akan membiayai semua pengobatan ibumu, asalkan..."

. . . .

. . . .

To be continued...

2. Kesepakatan.

"Aku bersedia pulang... aku bahkan akan membiayai pengobatan ibumu sampai ibumu sembuh di rumah sakit terbaik, asalkan..."

Angelika menggantung kalimatnya sejenak, netranya tak lepas dari wajah Angelina dengan rencana yang sudah tersusun rapi dalam benaknya.

"Kamu mengantikan posisiku."

Kalimat yang baru saja diucapkan oleh Angelika terdengar begitu datar, tetapi terasa bagaikan petir yang menyambar di pagi hari bagi Angelina yang segera bangun dari duduknya.

"APA?!"

Angelina membawa langkahnya mendekat pada Angelika, memberikan ekspresi keberatan yang teramat jelas.

Bagaikan berdiri di depan sebuah cermin, Angelina menatap saudara kembarnya. Wajah keduanya tampak sama, hanya penampilan mereka berdua saja yang berbeda. Jika Angelina memiliki wajah tanpa riasan dengan penampilan sederhana, berbanding terbalik dangan Angelika yang memilki wajah cantik dengan surai coklat yang sangat indah terawat.

Angelika Sinnata, nama yang saudara kembarnya sebutkan saat mereka berdua kembali dipertemukan. Entah apa alasan Angelika membuang nama belakang keluarganya sendiri, Angelina tidak tahu. Tetapi, satu hal yang pasti adalah, Angelika memang benar saudara kembarnya yang terpisah belasan tahun lalu. Wajah sama serta tanda lahir yang Angelika miliki sama persis dengan yang Angelina miliki adalah bukti yang tidak bisa dibantah.

"Kau tidak tuli bukan?" Angelika berkata sinis, segera membentang jarak seakan Angelina tidak pantas berada di dekatnya hanya karena penampilan sederhana Angelina.

"Aku ingin kau menggantikan poisisiku, menjalani kehidupan seperti yang biasa aku lakukan" ujar Angelika santai.

"Rumah mewah, kendaraan mewah, dan kehidupan yang tentu saja tidak pernah kamu nikmati. Kamu hanya perlu berpura-pura menjadi aku selama aku menikmati waktuku sendiri tanpa siapapun," tambahnya.

Angelina menggeleng pelan, menolak permintaan yang terasa mustahil untuk Angelina lakukan.

"Aku tidak tertarik dengan kehidupan mewahmu, aku hanya memintamu untuk pulang, Angelika. Sebentar saja, Ibu sangat merindukanmu dan ingin melihatmu," ucap Angelina memohon.

"Ibu... sedang sakit, permintaan ibu hanya satu, Ibu sangat ingin melihatmu."

"Kau pikir aku peduli?" Angelika berdecih sinis seraya mendudukkan tubuhnya di sofa, menyilangkan kaki, menatap benci pada saudara kembarnya dengan kedua tangan terlipat.

"Dia ibumu, bukan ibuku."

"ANGELIKA!" sentak Angelina tidak terima, kedua tanganya terkepal.

"Jangan membentak padaku!" tekan Angelika tidak suka.

"Ibumu sudah membuangku, apa kau lupa? Dan sekarang kau datang setelah sekian lama hanya untuk memintaku pulang ketika wanita tua itu sakit? Yang benar saja."

"Kamu tahu jelas Ibu tidak mungkin melakukan itu," bela Angelina menurunkan intonasi suaranya, berusaha meredam emosi yang hampir mengusai hatinya.

Hatinya tenggelam melihat Angelika masih berpikir jika kecelakaan yang membuat Angelika hanyut di sungai adalah tindakan sengaja sang ibu untuk mengusir Angelika.

Belasan tahun lalu, saat mereka masih kecil, sebuah kecelakaan menimpa mobil yang mereka tumpangi dalam perjalanan pulang usai mengunjungi taman hiburan sesuai yang diminta Angelika. Mobil itu kehilangan kendali dan terjun ke sungai berarus deras setelah menghantam pembatas jalan. Saat itu, ibu mereka berhasil menarik Angelina agar berpegangan pada tubuhnya. Namun, saat ia akan menjangkau Angelika, badan mobil yang sebelumnya sempat tertahan di sungai itu hanyut membawa serta Angelika yang hampir berhasil sang ibu selamatkan.

Sejak saat itu, sang ibu berubah menjadi pendiam. Meski sang ibu tetap bekerja untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari sebagai orang tua tunggal, tidak ada lagi keceriaan yang terlukis di wajah sang ibu seperti ketika Angelika masih ada di antara mereka.

Sering kali saat sang ibu sakit, Ibu terus memanggil nama Angelika. Upaya Angelina berpura-pura menjadi Angelika pun selalu berakhir gagal karena sang ibu segera mengenali dirinya dalam hitungan detik.

Seburuk apapun Angelika bersikap terhadap sang ibu, nyatanya tidak membuat kasih sayang sang ibu pada Angelika memudar. Sikap kasar serta suka memerintah yang kerap Angelika lakukan padanya termasuk pada ibu mereka tidak membuat sang ibu berhenti berusaha untuk mengabulkan apapun yang Angelika minta. Dan kecelakaan itu meninggalkan luka kehilangan yang begitu mendalam bagi sang ibu.

Sejak saat itu jugalah Angelina berusaha untuk membantu sang ibu dengan bekerja sebagai penjaga pantai saat usianya mulai memasuki remaja setelah melewati pelatihan keras. Meninggalkan rumah selama beberapa hari karena tuntutan pekerjaan pun Angelina lakukan. Ia bahkan menggunakan pekerjaannya untuk mencari keberadaan saudara kembarnya dengan bertanya pada para pengunjung pantai adakah yang pernah melihat dirinya di tempat lain.

Hingga suatu ketika, saat ia sedang bekerja, salah satu dari pengunjung pantai berkata merasa familiar dengan wajahnya, namun merasa tidak yakin karena perbedaan penampilan. Tepat di hari itu jugalah saat Angelina pulang, sang ibu mengatakan dengan yakin bahwa Angelika masih hidup. Sang ibu selalu menolak untuk percaya bahwa Angelika sudah tiada setelah pencarian bertahun-tahun tidak membuahkan hasil. Firasatnya tetap mengatakan bahwa putrinya masih hidup.

Dan di sinilah Angelina berada sekarang. Takdir mempertemukan mereka hingga kini Angelina berhadapan dengan saudara kembar yang ia cari.

Namun, sebanyak apapun ia menjelaskan tentang apa yang terjadi, Angelika tetap menutup telinga serta hatinya, menolak untuk percaya.

"Aku bersedia pulang sebentar, tapi dengan syarat kamu menggantikan posisiku," Angelika mengulang syarat yang ia ajukan atas permintaan Angelina.

"Tapi itu tidak mungkin, aku tidak bisa melakukannya," tolak Angelina.

"Lalu, untuk apa kau masih di sini? Pergilah! Seumur hidupku, aku tidak akan pulang. Apalagi hanya untuk menemui ibumu," jawab Angelika tanpa beban.

Angelina melangkah maju, bersimpuh di depan Angelika sembari menggenggam kedua tangan saudara kembarnya itu.

"Aku mohon, Angelika. Satu kali saja. Aku hanya meminta padamu untuk pulang satu kali saja, setelah itu aku tidak akan pernah mengganggumu lagi," pinta Angelina kembali memohon.

"Satu kali saja, aku akan melakukan apa saja selama kamu mau pulang sebentar, tapi tidak dengan menipu orang lain," lanjutnya.

"Ya atau tidak sama sekali, pilihlah," ujar Angelika tanpa rasa iba, tangannya bahkan segera menepis kasar gangan Angelina yang menggenggam tangannya.

Angelina terdiam dalam waktu lama, menimang-nimang syarat yang Angelika ajukan sangat bertentangan dengan hatinya. Tetapi, bayangan sang ibu yang terbaring lemah memenuhi pikirannya. Permintaan yang sang ibu minta menggema di gendang telinganya.

Bawalah saudara kembarmu pulang, bawa putri Ibu kembali.

"Berapa... lama?" Angelina bertanya lirih, menundukkan kepala.

"Tidak ada batas waktu. Kamu akan pergi setelah aku yang memintamu pergi," jawab Angelika.

Angelina memejamkan mata sejenak.

"Aku... Setuju," jawab Angelina pada akhirnya.

"Bagus," Angelika bangun dari duduknya, berdiri tepat di depan Angelika.

"Untuk saat ini, tetaplah di kamar ini dan jangan pergi meninggalkan hotel. Kita akan pulang dalam tiga hari kedepan."

"Dan..." Angelika menelisik penampilan Angelina dari atas sampai bawah.

"Kau perlu mengubah penampilanmu, dan aku akan mengajarkannya nanti."

Angelika berlalu begitu saja melewati Angelina yang masih terpaku di tempatnya berdiri, tetapi segera berbalik saat tangan Angelika menyentuh knop pintu.

"Tapi, bagaimana jika mereka yang berada di sekitarmu curiga?" tanya Angelina.

Angelika tersenyum tanpa berbalik. "Soal itu, aku yang akan mengurusnya."

"Kamu mau kemana?" Angelina bertanya lagi, mencoba untuk menahan Angelika pergi.

"Bersenang-senang," Angelika menjawab. "Jika kau lapar, kamu bisa memesan makanan. Anggaplah itu sebagai kesepakatan yang kau buat denganku," lanjutnya kemudian.

Blam!

Angelina masih terpaku di tempatnya saat pintu kamar itu menutup. Angelina tidak sadar, ada hal yang belum Angelika ungkapkan tentang kesepakatan yang sudah mereka buat, hal yang akan membuat Angelina terjebak dalam permainan Angelika dan akan mengubah kehidupan Angelina selamanya.

. . . .

. . ..

To be continued...

3. Nafas yang Menggoda.

"Beri aku Negroni,"

Angelika berkata pada bartender setelah mendudukkan tubuhnya di kursi di depan meja bar dari sebuah night club yang ia datangi malam ini.

Bartender itu menyapa, tersenyum ramah, lalu mengangguk dan mulai meracik apa yang Angelika minta. Sementara Angelika mengedarkan pandangannya sejenak, melihat pria dan wanita yang berada di sana tampak begitu santai menikmati waktu mereka. Duduk bersama pasangan, teman, bahkan menari dengan iringan musik jazz yang mengalun lembut.

"Silakan, Nona."

Suara dari bartender membuat Angelika tersentak ringan, menerima gelas yang disodorkan padanya dan menyesapnya pelan tanpa berpindah dari duduknya.

"Permisi."

Angelika menoleh, mendapati pria berpenampilan formal berdiri di samping Angelika duduk, mengangkat gelas sebagai bentuk sapaan sopan dan tersenyum.

"Ya?" sahut Angelika dengan alis terangkat.

"Boleh aku duduk di sini?" ijin pria itu sembari menunjuk kursi kosong di samping Angelika.

Suara bariton dari pria itu berbaur dengan suara musik yang mengalun, membuai pendengaran Angelika sesaat. Netra Angelina mengunci Wajah maskulin pria itu di bawah siraman kelap-kelip cahaya lampu bar, rahang tegas dengan netra setajam elang, ditambah dengan setelan jas abu gelap yang dia kenakan membuat penampilanya tampak sempurna.

Alis Angelika kembali terangkat, yang membuat pria itu mengangkat gelas di tangannya, lalu menunjuk kursi kosong di samping Angelika sebagai pengulangan pertanyaan tanpa ucapan.

"Dan itu artinya..." dia berkata lagi setelah menunggu tetapi tidak mendapatkan jawaban.

"Ah... Silakan," sahut Angelika.

Pria itu tersenyum menawan, duduk di samping Angelika tanpa keraguan, lalu mengulurkan tangan setelah meletakkan gelasnya di meja.

"Dean," ujarnya.

"Angelika," sambutnya tersenyum.

"Apakah kamu datang untuk menemui seseorang?" tanya Dean setlah melepaskan tangannya dari Angelika.

Angelika tersenyum, lalu menggeleng. "Tidak."

"Bersama seseorang?" Dean bertanya lagi.

"Juga tidak, aku datang sendirian," jawab Angelika.

Dean mengangguk singkat tanda mengerti, pandangannya terkunci pada wajah cantik yang Angelika miliki, terpesona, lalu turun pada minuman yang ada di depan Angelika.

"Negroni?" Dean menaikkan alis, memperhatikan Angelika saat wanita itu menyesap minumannya dan meletakkan kembali gelas itu.

"Apa?" sambut Angelika mengerutkan kening.

"Coktail yang kamu minum," ujar Dean menunjuk gelas Angelika.

"Ah... Ini?" melihat gelasnya sendiri, lalu beralih panda Dean. "Apakah ada yang salah?" tanyanya.

"Tidak," Dean menggeleng. "Hanya saja, sungguh tidak biasa jika seorang wanita akan menyukai minuman bercitarasa pahit," sambungnya berkomentar.

Angelika tertawa singkat. "Mungkin... karena aku bukan seperti wanita yang biasanya," jawabnya asal.

"Aku percaya," sahut Dean.

Mereka saling pandang sejenak, lalu tertawa, seolah itu adalah pertemuan kesekian kalinya. Baru Angelika sadari, pria yang mendekatinya saat ini memiliki mata biru mempesona. Gesturnya yang tampak santai justru membuat pertemuan pertama itu terasa berbeda. Dan anehnya, Angelika merasa... nyaman.

"Dan milikmu?" Angelika bertanya sembari menunjuk gelas minuman Dean.

"Ini?" Dean mengangkat gelasnya yang segera mendapatkan anggukan dari Angelika.

"Bourbon," jawab Dean.

"Aroma kayu ek dan vanila," Angelika berkomentar. "Jadi, kamu lebih menyukai rasa halus dan manis?" tanyanya.

"Benar sekali," sahut Dean.

"Sangat sesuai dengan auramu," Angelika berkomentar lagi seraya menyesap kembali minumannnya.

"Aura?" Dean mengerutkan kening.

"Ya, aura seorang pria yang tahu dengan apa yang dia inginkan," jawab Angelika.

"Dan kamu... seorang wanita yang tahu dengan apa yang perlu kamu hindari?" tebak Dean.

Angelika terkekeh pelan, membenarkan atas apa yang Dean ucapkan dengan anggukan ringan. Dalam benaknya, ia mulai tertarik dengan pria asing yang baru saja ia kenal, melupakan sejenak pertemuannya dengan Angelina yang kemunculannya membuat posisinya terancam, tetapi disaat yang sama ia seakan mendapatkan jalan keluar dari sesuatu yang selalu menahannya untuk melakukan apa yang ia ingin ia lakukan.

"Sejujurnya..." Dean kembali berbicara setelah menyesap minumannya. "Aku tidak terbiasa berinisiatif mendekati wanita, tapi kamu... berbeda."

"Apakah itu yang kamu katakan pada semua wanita yang baru pertama kamu temui?" selidik Angelika menyipitkan mata.

"Tidak." Dean menggeleng. "Hanya pada wanita yang menyimpan misteri di matanya sepertimu," lanjutnya jujur.

Pandangan mereka saling terkunci, lebih lekat, lebih dalam, dan lebih lama, seakan ingin menyelami hati satu sama lain.

"Ingin menari?" tawar Dean mengulurkan tangan.

"Tidak." Angelika menggeleng. "Aku sedang tidak ingin melakukannya."

"Kalau begitu... bagaimana jika kita ke rooftop bar ini? Setidaknya, di sana memiliki suasana lebih tenang," ajak Dean.

Angelika tidak segera memberikan jawaban, netranya menelisik mata biru Dean seakan ingin melihat lebih dalam apa yang ada di baliknya.

"Tidak ada suara musik, tidak ada alkohol, dan tidak ada orang-orang di sekitar," Dean kembali berbicara. "Cukup lima menit jika kamu ragu padaku," tambahnya kemudian.

Angelika terkekeh pelan, lalu mengangguk. "Baiklah."

Dean berdiri, mengulurkan tangannya dengan sedikit membungkukkan badan yang segera disambut oleh Angelika. Sesekali mereka bertukar pandang di tengah langkah mereka menyusuri lorong menuju rooftop, tidak mengatakan apapun tapi tidak merasa kosong. Justru kebisuan yang ada membentuk jeda kecil yang mematik rasa penasaran keduanya.

Angelika merasakan jantungnya berdetak lebih cepat, rasa penasaran terhadap Dean meningkat tepat saat seorang pria yang berjalan dari arah berlawanan tidak sengaja menabraknya, dan Dean menangkap tubuhnya di waktu yang tepat sebelum ia benar-benar terjatuh, mengikis habis jarak yang sebelumnya ada diantara mereka.

Aroma maskulin dari parfum yang Dean gunakan seketika memenuhi indra penciuman Angelika. Aroma yang terasa mengganggu dalam cara yang... aneh.

"Aku suka aroma parfummu," ucap Angelika tiba-tiba.

Dean menurunkan pandangan, menaikan alis sembari membantu Angelika untuk menegakkan tubuhnya.

"Kamu satu dari sedikit orang yang mengatakan hal itu secara langsung," sahut Dean. "Mereka cenderung mengendus tanpa mengatakan apa yang mereka pikirkan."

Angelika hanya tersenyum tipis.

Mereka kembali melanjutkan langkah. Dan ketika Dean membuka pintu penghubung rooftop, angin dingin segera menyambut keduanya.

Angin malam menyibakkan rambut coklat Angelika, melambaikan gaun yang tengah ia kenakan yang membuat Angelika reflek memeluk tubuhnya sendiri.

"Dingin?" tanya Dean.

Tanpa menunggu jawaban, Dean segera membuka jasnya, menyampirkan jas itu di bahu Angelika yang terbuka.

"Gentlemen," komentar Angelika sambil tersenyum, meski tak bisa ia pungkiri detak jantungnya semakin menggila.

Dean terseyum, melangkah maju menuju pagar pembatas dengan satu tangan di saku celana.

"Pemandangannya bagus," ucap Dean.

Angelika berdiri di samping Dean dengan pandangan tertuju pada kota yang terbentang di hadapannya.

"Apakah kau berada di night club ini untuk mendapatkan seorang kekasih?"

Pertanyaan itu keluar begitu saja dari bibir Angelika, ia bahkan tidak merencanakannya sama sekali.

Dean menoleh cepat, menatap tajam Angelika yang kini sedang tidak menatapnya, tetapi tidak menyentuh. Jarak mereka hanya satu langkah, tetapi Dean bisa merasakan kegugupan yang wanita itu rasakan seolah wanita itu telah salah bicara.

"Bagaimana jika aku menjawab iya?" ucap Dean.

Angelika menoleh, menatap Dean dalam diam. Bibirnya bergerak, tetapi tidak ada kata yang keluar dari bibirnya. Hening. Tetapi bukan hening yang canggung, melainkan hening yang... sangat menggoda.

"Apakah kamu sudah mendapatkannya?" Angelika memangkas jarak, membuat keduanya nyaris saling menempel dengan hembusan napas yang saling beradu.

Dean menatap Angelika lama, dan Angelika membalas tatapan itu dengan intensitas yang sama. Ada sesuatu diantara mereka yang keduanya rasakan. Bukan cinta, tetapi seperti sesuatu yang saling tarik-menarik tanpa nama.

"Jika kamu terus menatapku seperti itu, aku bisa salah paham," ucap Dean tersenyum.

"Mungkin... aku memang ingin kamu salah paham," balas Angelika dengan suara pelan nyaris seperti bisikan.

Angin berhembus pelan, membawa aroma khas dari kota yang terbentang di sekitar mereka. Tetapi yang kini Angelika rasakan bukan dingin, melainkan kehangatan dari pria asing yang berdiri di depannya tanpa menyentuhnya.

"Apakah kamu selalu seberani ini pada pria asing?" tanya Dean.

Angelika menggeleng. "Tidak."

"Jadi, aku pengecualian?" tanya Dean lagi.

"Entahlah, aku hanya merasa... bebas malam ini," jawab Angelika

Hening...

Dean tidak menimpali, ia mersakan siratan kata yang Angelika ucapkan begitu dalam, netranya menelusuri wajah cantik Angelika. Jujur, ia terpesona dengan kecantikan Angelika yang begitu sempurna, lalu terhenti di bibir wanita itu. Diam. Seolah menunggu mendapatkan ijin.

"Bolehkah aku..."

. . . .

. . . .

To be continued...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!