Langit sore tampak sendu di atas kediaman besar keluarga Wijaya Kusuma. Awan kelabu menggantung, menutupi cahaya mentari yang biasanya menerobos lewat jendela kaca besar di ruang tamu megah itu. Udara di dalam rumah besar bergaya kolonial itu terasa dingin, bukan karena penyejuk udara, tapi karena suasana hati para penghuninya yang tegang.
Hari ini bukan hari biasa. Hari ini adalah hari di mana wasiat Tuan Kusuma pendiri sekaligus pemilik kerajaan bisnis Kusuma Group akan dibacakan.
Rumah itu sudah dipenuhi aroma kopi hitam dan dupa cendana, khas ruangan yang dulu selalu menjadi tempat Tuan Kusuma menerima tamu penting. Namun kini, tak ada tawa ramah atau langkah mantap sang pemilik rumah. Hanya sunyi, hanya bayangan masa lalu.
Di tengah ruang tamu yang luas, duduk tiga orang yang menjadi pusat perhatian hari itu: Wijaya Kusuma, satu-satunya anak laki-laki almarhum, Shinta Kusuma, istrinya yang dikenal cantik namun berhati tajam, dan Tania Kusuma, gadis berusia tujuh belas tahun yang mereka angkat sejak bayi pengganti Putri mereka yang hilang.
Di hadapan mereka berdiri seorang pria berjas abu-abu, memegang map cokelat tebal. Dialah Andika Prasetya, pengacara pribadi Tuan Kusuma orang kepercayaan yang selalu hadir dalam setiap urusan penting keluarga itu.
Andika memandangi mereka satu per satu, meneliti ekspresi yang berbeda-beda.
Wijaya tampak gelisah. Sejak tadi ia mengetuk meja dengan jarinya, menahan kesabaran yang hampir habis. Di matanya yang tajam tersirat ambisi besar; ia yakin hari ini namanya akan disebut sebagai pewaris tunggal seluruh harta keluarga.
Di sisi lain, Shinta menatap map di tangan Andika dengan mata berbinar serakah yang nyaris tak bisa disembunyikan. Ia bahkan mengenakan perhiasan emas putih dan kalung mutiara yang mencolok — seolah sudah bersiap untuk menjadi nyonya besar keluarga Kusuma yang baru.
Sementara itu, Tania duduk diam di ujung sofa. Gadis itu tampak kecil di antara kemegahan ruangan. Ia menatap karpet Persia di bawah kakinya, tak tahu harus merasa apa. Ia hanya tahu, Tuan Kusuma adalah sosok kakek yang sangat menyayanginya semasa hidup.
“Baiklah,” suara Andika memecah keheningan. “Sebelum saya membacakan isi wasiat almarhum, izinkan saya menyampaikan bahwa dokumen ini telah dibuat dengan kesadaran penuh dan tanpa paksaan. Semua prosesnya sah secara hukum dan telah disahkan oleh notaris negara.”
Wijaya langsung bersuara dengan nada tajam.
“Kami sudah tahu itu, Pak Andika. Tidak usah banyak pembukaan. Langsung saja pada intinya.”
Nada suaranya seperti cambuk. Tania sedikit tersentak, sementara Shinta tersenyum sinis, seolah mendukung sikap suaminya.
Andika menarik napas dalam. Dalam hatinya, ia benar-benar tak menyukai cara bicara Wijaya. Begitu berbeda dengan almarhum Tuan Kusuma yang selalu tenang dan berwibawa. Tapi sebagai profesional, ia menahan diri. Ia membuka map itu, mengambil selembar kertas berstempel, dan mulai membaca dengan suara tegas.
“Saya, Kusuma Adinata, dalam keadaan sadar, sehat jasmani dan rohani, pada tanggal 12 Januari 2023, menulis surat wasiat ini tanpa adanya tekanan atau paksaan dari pihak mana pun.
Saya menetapkan bahwa seluruh harta kekayaan saya, termasuk perusahaan, aset, dan rekening pribadi tidak saya wariskan kepada anak saya, Wijaya Kusuma, maupun istrinya, Shinta Kusuma.
Seluruh kekayaan saya akan diberikan kepada cucu kandung saya, Wilona Anastasia Kusuma, setelah ia mencapai usia delapan belas tahun.
Hingga saat wasiat ini dibuat, Wilona Anastasia Kusuma masih dalam pencarian, dan saya berharap keluarga besar Kusuma akan membantu menemukannya.”
Seketika, suasana ruangan meledak.
“Apa maksudnya ini?!” seru Wijaya sambil berdiri. Kursinya bergeser keras hingga menabrak meja.
Shinta menatap pengacara itu dengan mata membulat. “Wilona siapa? Cucu mana? Setahu saya, keluarga ini hanya punya satu anak, yaitu suami saya!”
Andika tetap berdiri tenang meski tatapan marah dua orang itu menusuk seperti pisau.
“Nama yang tercantum jelas, Ibu Shinta. Wilona Anastasia Kusuma. Almarhum menulis dengan tangannya sendiri.”
Wijaya tertawa getir. “Konyol! Ayah saya tidak pernah bilang apa pun soal cucu! Saya anak tunggal, dan anak saya hanya Tania!”
Tania yang duduk di ujung sofa menatapnya dengan mata bingung. Ia menggenggam jemarinya erat.
“Tapi, Pa… kalau benar ada cucu yang hilang, bukankah kita seharusnya—”
“Diam, Tania!” bentak Wijaya tanpa menoleh. Suaranya keras, membuat gadis itu menunduk.
Andika menutup map itu perlahan. “Tuan Wijaya, saya mengerti ini mengejutkan. Tapi semua dokumen lengkap. Bahkan ada surat pribadi dari almarhum untuk Anda.”
Ia mengeluarkan amplop putih dan meletakkannya di atas meja marmer di depan Wijaya.
“Beliau menulis surat ini dua bulan sebelum meninggal.”
Ruangan kembali hening. Wijaya mengambil amplop itu dengan kasar, lalu membuka dan membaca cepat.
“Untuk anakku, Wijaya.
Jika kau membaca surat ini, berarti aku telah pergi. Aku ingin kau tahu bahwa aku tidak melupakanmu, tapi aku juga tidak bisa melupakan kesalahan masa lalu.
Dua puluh tahun lalu, aku kehilangan seorang anak perempuan, kakak mu, Lestari Kusuma. Ia pergi karena konflik kita, dan aku gagal menemukannya. Kini aku tahu, ia meninggal di sebuah desa, meninggalkan seorang anak perempuan bernama Wilona Anastasia Kusuma.
Aku ingin menebus dosaku dengan merawat cucuku itu, meski aku tak sempat bertemu dengannya. Karena itu, aku mewariskan semua harta padanya. Aku harap kau bisa menerimanya dengan hati yang lapang. Dan satu lagi jika kamu sudah menemukan nya, kamu harus menikah kan nya dengan cucu sahabat ku yaitu Felix Dirgantara. kamu sudah berjanji sebelum meninggal akan menjodohkan cucu kami.”
Tangannya bergetar. Wajah Wijaya memerah karena marah bercampur emosi. Surat itu diremasnya kuat-kuat hingga kusut.
“Ini tidak masuk akal!” teriaknya. “Ayah sudah pikun saat menulis ini! Tidak mungkin! Tidak mungkin ada cucu lain!”
Shinta mencoba menenangkan, tapi wajahnya sendiri tegang. “Sayang, tenang dulu. Kita bisa urus ini secara hukum. Kalau perlu, kita buktikan surat itu palsu.”
Andika menggeleng pelan. “Sulit, Bu. Semua saksi dan notaris sudah menandatangani. Semuanya sah di mata hukum.”
“Berarti kami tidak mendapatkan apa pun?” tanya Shinta dengan nada menahan emosi.
“Untuk sementara,” jawab Andika, “selama Nona Wilona belum ditemukan, seluruh aset Kusuma Group akan dikelola oleh Tuan Kusuma tapi di bawah naungan Yayasan Kusuma group, sesuai amanat almarhum.
Tidak ada satu pun anggota keluarga yang berhak mengubah, menjual, atau mencairkan aset tersebut sampai Wilona mencapai usia delapan belas tahun, Dan juga anda tidak bisa dengan bebas menggunakan harta Tuan Kusuma.”
Hening.....
Yang terdengar hanya napas tertahan dan suara jam antik berdetak pelan.
Lalu tiba-tiba, Wijaya menatap Andika dengan mata menyala.
“Dan bagaimana kalau cucu nya itu… tidak pernah ditemukan?” tanyanya pelan tapi penuh ancaman.
Andika menatap balik dengan tegas. “Kalau dalam lima tahun Nona Wilona tidak ditemukan, maka seluruh harta akan menjadi milik yayasan. Tidak ada lagi yang jatuh ke tangan keluarga Kusuma.”
Suasana mendadak membeku.
Shinta menatap suaminya cepat, ekspresi matanya berubah dingin. Ada rencana yang perlahan tumbuh di kepalanya.
“Berarti… kalau gadis itu tidak pernah ditemukan, semuanya lenyap begitu saja?” gumamnya.
“Ya,” jawab Andika datar. “Dan itu keinginan terakhir almarhum.”
Wijaya berjalan mondar-mandir, wajahnya gelap. “Tidak. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Semua ini milikku! Aku yang bekerja bersama ayah membangun bisnis ini! Aku yang berhak atas semua ini!”
Andika hanya menatapnya, kecewa.
“Justru itu, Pak Wijaya. Almarhum tidak ingin kerja kerasnya jatuh ke tangan orang yang lupa caranya berterima kasih.”
Ucapan itu seperti tamparan. Shinta memejamkan mata, menahan suaminya yang hampir melangkah ke arah Andika.
“Baiklah,” kata Andika akhirnya, menutup mapnya. “Tugas saya sudah selesai. Semua keputusan tertulis di sini. Semoga Bapak dan Ibu bisa menerima dengan kepala dingin.”
Ia menunduk sedikit, lalu berbalik menuju pintu keluar.
Tapi sebelum pergi, ia sempat menatap Tania tatapan berbeda, seolah ingin menyampaikan sesuatu.
Tania membalas dengan senyum tipis, tapi di hatinya ada ribuan pertanyaan yang berputar.
Setelah Andika pergi, ruang tamu itu berubah menjadi medan perang.
Wijaya membanting surat di tangannya ke meja. “Tidak masuk akal! Ayah benar-benar mempermalukan kita!”
Shinta mendekatinya, berbisik cepat. “Kita masih bisa kendalikan semuanya, sayang. Kalau cucu itu belum ditemukan, kita bisa buat dia tidak akan pernah ditemukan.”
Wijaya menatap istrinya, dan untuk pertama kalinya hari itu, senyum tipis muncul di wajahnya.
“Ya. Kalau gadis itu benar-benar ada… maka dia tidak boleh hidup untuk mengambil apa yang menjadi milikku.”
Tania yang masih duduk di sofa tertegun mendengar ucapan itu. Dadanya berdebar. Ia tidak tahu kenapa, tapi kalimat itu membuatnya takut.
“Pa… jangan bicara seperti itu,” katanya pelan.
Namun Wijaya hanya menatap dingin. “Kau tidak tahu apa-apa, Tania. Dunia ini tidak sebaik yang kau kira.”
Shinta menoleh ke arah Tania, senyumnya manis tapi matanya menusuk.
“Dan mulai hari ini, jangan ikut campur urusan orang dewasa. Mengerti?”
Tania mengangguk cepat, walau di dalam hatinya muncul rasa aneh campuran penasaran dan cemas.
Malamnya, hujan turun deras. Suara gemericik air di atap bercampur dengan hembusan angin yang menembus sela-sela jendela tua.
Tania tak bisa tidur. Ia masih memikirkan nama yang disebut dalam wasiat itu: Wilona Anastasia Kusuma.
Nama itu terasa asing, tapi entah mengapa seperti memanggil sesuatu di dalam dirinya.
Sementara itu Wilona malam ini tak bisa tidur..
Ia bangkit dari tempat tidur, membuka laci kecil di meja. Di dalamnya, ada sebuah liontin berbentuk kupu-kupu, satu-satunya benda yang selalu ia bawa sejak kecil, katanya pemberian panti asuhan tempat ia dulu diadopsi.
Ia membuka liontin itu. Di dalamnya ada foto buram seorang bayi dan tulisan samar:
“Buah Hatiku.”
Wilona menatap tulisan itu lama, jantungnya berdetak cepat.
“Mama…?” bisiknya pelan.
Ruang kerja Wijaya Kusuma dipenuhi aroma tembakau mahal dan suara detik jam yang terasa memekakkan telinga. Malam telah larut, namun lampu gantung kristal masih menyala terang, memantulkan kilau dingin di wajah sepasang suami istri yang duduk berhadapan.
Di atas meja, beberapa berkas berserakan — surat wasiat almarhum Tuan Kusuma, salinan dokumen yayasan, dan potongan berita lama tentang hilangnya seseorang bernama Lestari Kusuma, adik perempuan Wijaya.
Shinta memegang cangkir teh yang sudah dingin, menatap suaminya yang tampak muram.
“Kalau gadis itu benar-benar masih hidup,” katanya pelan, “maka cepat atau lambat semua harta itu akan berpindah tangan. Kita tidak akan punya apa-apa, Mas.”
Wijaya terdiam. Ia menatap api kecil di dalam perapian dengan pandangan kosong. “Aku tahu,” jawabnya akhirnya. “Tapi membiarkan gadis itu hilang juga bukan solusi. Kalau dalam lima tahun dia tidak ditemukan, semua aset jatuh ke yayasan. Kita tetap kehilangan segalanya.”
Shinta mendengus pelan. “Jadi sekarang kita malah harus mencari dia? Mencari orang yang akan mengambil segalanya dari kita?”
“Bukan untuk memberinya,” kata Wijaya, suaranya dingin. “Tapi untuk memastikan dia berada di bawah kendali kita. Kalau perlu, kita jadikan dia boneka yang tidak tahu apa-apa tentang siapa dirinya.”
Shinta menatap suaminya lama. Senyum licik perlahan muncul di bibirnya. “Aku suka caramu berpikir, sayang.”
Ia berdiri dan mendekat, meletakkan tangannya di bahu Wijaya. “Kalau begitu, kita mulai dari mana?”
Wijaya mengambil selembar dokumen dari meja dan meletakkannya di depan istrinya. Di situ tertulis laporan singkat dari seorang detektif swasta yang sudah mereka sewa diam-diam beberapa hari terakhir.
“Ini laporan terakhir dari orangku,” ujarnya.
“Katanya, ada catatan di panti asuhan lama di Surabaya seorang bayi perempuan bernama Wilona Anastasia, dititipkan sekitar tujuh belas tahun lalu. Tapi tak lama setelah itu, bayi itu diadopsi oleh pasangan tanpa identitas jelas. Setelah itu, jejaknya hilang.”
“Dan siapa yang mengadopsinya?” tanya Shinta cepat.
“Belum jelas,” jawab Wijaya. “Tapi kalau usia gadis itu sekarang tujuh belas, berarti dia sebentar lagi akan berusia delapan belas — dan itu artinya, waktunya semakin dekat. Kita harus menemukannya duluan sebelum orang lain melakukannya.”
Shinta tersenyum dingin. “Baiklah. Kita temukan dia. Dan saat dia sudah di tangan kita…”
Ia berhenti sejenak, menatap mata suaminya dalam-dalam.
...“...kita pastikan dia tidak akan pernah tahu siapa dirinya sebenarnya...."...
...ΩΩΩ...
Sementara itu, jauh dari hiruk pikuk ibu kota, di sebuah desa kecil bernama Desa Suka Maju kehidupan berjalan dengan ritme sederhana. Udara pagi di sana masih segar, dan burung-burung masih rajin berkicau di antara pepohonan jati yang mengelilingi desa.
Di tengah desa itu berdiri SMU Negeri Garuda, sekolah sederhana yang bangunannya sudah mulai tua, tapi di dalamnya menyimpan semangat anak-anak desa yang haus ilmu.
Dan pagi itu, nama satu siswi bergema di seluruh penjuru sekolah:
Wilona Anastasia.
Gadis berkulit putih bersih dengan rambut hitam lurus yang selalu dikuncir rapi itu tengah berdiri di panggung upacara sederhana, menerima piagam Olimpiade Fisika Nasional dari kepala sekolahnya.
Sorak sorai teman-temannya terdengar memenuhi halaman sekolah. Bahkan beberapa guru meneteskan air mata bangga.
“Luar biasa, Wilona!” seru kepala sekolah sambil menepuk pundaknya. “Kau membuat sekolah kecil ini dikenal di seluruh negeri!”
Wilona hanya tersenyum malu. “Terima kasih, Pak. Saya hanya berusaha melakukan yang terbaik.”
Di antara kerumunan, sahabatnya, Rina, berteriak lantang, “Hidup si jenius Garuda! Juara lagi, juara lagi!”
Wilona menunduk sambil tertawa kecil. Pipinya merona.
Ia tidak pernah merasa dirinya istimewa, tapi kenyataannya, semua orang tahu betapa luar biasa gadis itu.
Di usianya yang baru tujuh belas tahun, Wilona sudah menyelesaikan SD dalam waktu lima tahun dan SMP hanya dua tahun. Ia dikenal sebagai murid jenius yang selalu haus belajar. Banyak universitas ternama sudah meliriknya, bahkan beberapa media lokal menulis tentangnya sebagai “anak ajaib dari desa.”
Namun, di balik semua prestasi itu, Wilona hidup dengan sangat sederhana. Ia tinggal bersama Bu Lastri, ibu angkatnya yang bekerja sebagai penjahit rumahan. Sejak kecil, Wilona tahu dirinya anak adopsi — tapi ia tidak pernah menanyakan lebih jauh siapa orang tuanya yang sebenarnya.
Baginya, hidup bersama Bu Lastri sudah lebih dari cukup.
Siang harinya, setelah acara penghargaan selesai, Wilona duduk di bawah pohon mangga tua di halaman sekolah. Ia membuka bekal sederhana: nasi, tempe goreng, dan sambal buatan Bu Lastri.
“Pintar banget sih kamu,Wilo,” kata Rina sambil duduk di sampingnya. “Kalau aku punya otak kayak kamu, aku udah jadi profesor kali!”
Wilona tertawa kecil. “Nggak juga, Rin. Aku cuma belajar lebih rajin aja.”
Rina mendengus. “Ah, sombong terselubung. Kamu tuh nggak sadar kalau kamu udah terkenal se-desa!”
Wilona menggeleng. “Aku nggak butuh terkenal. Aku cuma pengin kuliah, kerja, dan bikin Bu Lastri bahagia. Itu aja.”
“Serius?” tanya Rina sambil memandang wajah sahabatnya. “Nggak pengin cari tahu siapa orang tuamu yang sebenarnya?”
Pertanyaan itu membuat Wilona terdiam. Ia menatap jauh ke arah lapangan, matanya sedikit sayu.
“Dulu aku sering mikir,” katanya pelan.
“Kenapa mereka ninggalin aku. Tapi makin ke sini, aku sadar, mungkin Tuhan punya rencana lain. Kalau bukan karena mereka, aku nggak akan kenal Bu Lastri.”
Rina tersenyum lembut. “Kamu tuh kebangetan baiknya. Dunia nggak banyak punya orang kayak kamu, Lo.”
Wilona menatap langit. “Aku cuma percaya, Rin… kalau kita tulus, semuanya pasti akan terbayar suatu hari nanti.”
Sore itu, di rumah kecil di tepi sawah, Bu Lastri sedang menjahit pesanan seragam sekolah. Jarum mesin jahit berputar cepat, dan di meja kecil di sampingnya, tergantung foto Wilona kecil yang sedang tersenyum lebar, memakai baju putih lusuh tapi matanya berkilau.
“Anakku pintar sekali sekarang,” gumamnya dengan bangga sambil mengusap foto itu.
Tak lama, suara langkah kaki terdengar dari luar.
“Bu, aku pulang!”
Wilona masuk sambil membawa map penghargaan. Wajahnya bersinar cerah. “Bu, lihat! Aku menang olimpiade lagi!”
Bu Lastri langsung berdiri, memeluknya erat. “Astaga, anakku… Ibu bangga sekali!”
Pelukan itu hangat, tulus. Tak ada yang tahu bahwa di balik kesederhanaan itu tersembunyi rahasia besar yang akan mengubah segalanya.
Wilona menyerahkan piagam itu. “Kepala sekolah bilang mungkin aku bisa dapat beasiswa ke luar negeri, Bu. Tapi aku masih mikir… aku nggak mau ninggalin Ibu sendirian.”
Bu Lastri tersenyum lembut. “Nak, kalau memang itu jalanmu, Ibu ikhlas. Jangan pikirkan Ibu. Ibu cuma ingin kamu bahagia.”
Wilona menatap wajah tua itu dengan mata berkaca-kaca. “Ibu… aku sayang sama Ibu.”
“Ibu juga sayang kamu, Wilona.”
Mereka tertawa kecil, tidak menyadari bahwa di balik pepohonan di depan rumah, sebuah mobil hitam berhenti diam.
Di dalamnya, dua orang berpakaian rapi sedang memperhatikan mereka orang suruhan Wijaya dan Shinta.
“Benar,” kata salah satu dari mereka sambil menatap foto yang sama di ponselnya. “Gadis itu… cocok dengan data. Namanya Wilona Anastasia.”
Pria di sampingnya tersenyum tipis. “Bagus. Kita sudah menemukannya.”
Malam itu, angin berhembus lembut di Desa Suka Maju. Di langit, bulan purnama bersinar terang.
Wilona duduk di depan jendela kamarnya, memandangi langit malam. Di tangannya tergenggam liontin berbentuk kupu-kupu Dihiasi permata berwarna biru, benda yang selalu ia simpan sejak kecil. kata ibunya itu adalah satu-satunya yang menempel di tubuh wilona saat Lastri mengadopsi Wilona.
Hari itu, matahari bersinar cerah di atas langit Desa Suka Maju. Angin bertiup lembut, membawa aroma sawah dan suara jangkrik dari kejauhan. Bagi Wilona, siang itu seharusnya berjalan seperti biasa — pelajaran Fisika, kemudian latihan untuk lomba debat, dan mungkin sore nanti ia akan membantu Bu Lastri menyiapkan bahan jahitan.
Namun takdir, seperti biasa, punya rencana yang berbeda.
Kelas XII IPA 1 sedang tenang. Suara Pak Agung, guru fisika, terdengar jelas menjelaskan tentang teori relativitas. Di papan tulis, deretan rumus memenuhi ruang kosong, dan Wilona menulis catatan dengan rapi di bukunya.
Sampai tiba-tiba, pintu kelas terbuka keras.
Semua kepala menoleh. Di ambang pintu berdiri Bu Ayu, guru Bahasa Indonesia yang terkenal lembut dan sabar. Tapi kali ini wajahnya pucat pasi, napasnya tersengal-sengal seolah baru berlari jauh.
“Bu Ayu?” tanya Pak Agung heran. “Ada apa, Bu?”
Namun wanita itu tak langsung menjawab. Tatapannya beralih pada Wilona, mata yang bergetar dan penuh duka. Suasana kelas mendadak hening. Hanya suara kipas tua di langit-langit yang masih berputar.
Dengan langkah perlahan, Bu Ayu mendekat ke arah Wilona.
Tangan lembutnya terulur, menyentuh rambut Wilona yang terurai di bahu.
“Kamu yang sabar, ya, Nak…” ucapnya pelan, suara itu nyaris bergetar.
Wilona menatap balik dengan bingung. “Maksudnya, Bu?”
Pak Agung ikut mendekat. “Ada apa, Bu Ayu?”
Bu Ayu menarik napas panjang. “Saya… saya baru dapat kabar dari ketua RT. Ibumu, Bu Lastri… pagi ini beliau mengalami kecelakaan sepulang dari pasar.”
Wilona menegakkan tubuhnya. “Kecelakaan?” suaranya bergetar.
Bu Ayu menatap mata muridnya dengan iba. “Beliau… tidak tertolong, Nak. Meninggal di tempat.”
Suara itu seperti petir di siang bolong. Dunia Wilona seketika membeku.
Buku di tangannya jatuh ke lantai. Semua yang ada di kelas seolah menghilang. Suara teman-temannya, suara jam dinding, bahkan suara napasnya sendiri terasa jauh dan asing.
“Tidak…” gumamnya pelan. “Tidak mungkin…”
Tubuhnya bergetar hebat. Ia mencoba berdiri, tapi lututnya lemas. Pak Agung spontan menopangnya.
“Wilona, tenang dulu. Kamu—”
Namun Wilona mendorong tangan gurunya dan berlari keluar kelas tanpa berkata apa-apa. Suara langkahnya menggema di lorong sekolah yang sepi, diiringi suara panggilan teman-temannya yang tak sanggup mengejarnya.
Jalan tanah menuju rumahnya terasa jauh lebih panjang dari biasanya. Napas Wilona terengah, air matanya menetes tanpa henti. Dalam hatinya ia terus berdoa agar berita itu salah. Bahwa Bu Ayu hanya keliru. Bahwa Bu Lastri hanya pingsan, atau terluka ringan, atau apa pun — asal bukan mati.
Namun ketika ia sampai di ujung gang rumahnya, bendera kuning yang terpasang di depan pagar kecil itu menghantamnya seperti badai.
Langkahnya terhenti. Napasnya tercekat.
Beberapa tetangga berdiri di halaman, sebagian duduk bersila, sebagian lagi berbisik-bisik. Di tengah ruang tamu, tampak tubuh Bu Lastri terbujur kaku, diselimuti kain putih.
Wilona menatap pemandangan itu tak percaya. Ia berjalan perlahan, kakinya seperti tak berpijak. “Ibu…” suaranya bergetar.
Beberapa orang mencoba menahannya, tapi ia menerobos masuk.
“Ibu…!” teriaknya lagi, kali ini lebih keras. Ia bersimpuh di samping jenazah itu, menggenggam tangan dingin sang ibu. “Bu, bangun, Bu… ini Wilona, Bu… Ibu jangan tidur…”
Tangisnya pecah. Seluruh tubuhnya gemetar. Ia menatap wajah Bu Lastri yang tampak tenang, seperti sedang tidur nyenyak. Tapi keheningan itu menakutkan terlalu sunyi untuk kehidupan.
“Ibu janji nggak akan ninggalin Wilona…” isaknya. “Ibu janji kita bakal bareng terus, Bu…”
Seorang tetangga tua, Bu Murni, mendekat dan memeluknya pelan. “Nak, ikhlaskan ya… Ibumu sudah tenang di sana. Ini semua sudah kehendak Tuhan.”
Tapi kata-kata itu tidak masuk ke telinga Wilona. Ia terus memanggil ibunya berkali-kali, suaranya parau. “Ibu, aku belum sempat bilang terima kasih… Aku belum sempat balikin semua kebaikan Ibu…”
Pak RT mendekat, matanya berkaca-kaca. “Nak, Bu Lastri orang baik. Tuhan sayang sama dia. Kamu harus kuat.”
Wilona hanya bisa menggeleng. Dunia seolah runtuh di depan matanya.
Petang menjelang. Hujan turun pelan, membasahi halaman rumah kecil itu. Suara tahlil bergema lirih dari ruang tamu. Para tetangga duduk bersila, membaca doa dengan khusyuk.
Di pojok ruangan, Wilona masih duduk diam, memandangi tubuh ibunya yang kini sudah dibungkus kain kafan. Ia sudah kehabisan air mata, tapi matanya tetap merah dan sembab.
Setiap kali seseorang menutup wajah Bu Lastri dengan kain putih itu, Wilona ingin berteriak. Tapi yang keluar hanya desahan lemah.
Saat petugas masjid datang menjemput jenazah untuk dimakamkan, Wilona memegang erat tangan Bu Lastri satu kali lagi.
“Aku janji, Bu… aku bakal terus hidup kayak yang Ibu mau. Aku bakal kuat, Bu… Aku akan wujudkan cita-cita kita yaitu membangun rumah sakit di desa ini dan kita akan gratiskan untuk masyarakat sini.”
Dan saat kain kafan itu benar-benar menutupi seluruh wajah sang ibu, Wilona tahu, bagian dari dirinya ikut terkubur bersamanya.
Pemakaman dilakukan sore itu juga. Langit mendung berat, seakan ikut berduka.
Wilona berjalan di belakang rombongan, tanpa suara. Bajunya basah oleh gerimis, rambutnya menempel di pipi. Tapi ia tak peduli.
Setelah doa terakhir dibacakan dan tanah terakhir ditimbun, semua orang satu per satu meninggalkan makam. Hanya Wilona yang masih duduk di situ, diam dan terpaku.
“Bu…” bisiknya lirih. “Aku sendirian sekarang…”
Angin berhembus pelan. Di antara suara dedaunan, seolah ada bisikan lembut, entah dari imajinasinya atau dari hati yang terlalu rindu.
“Kamu nggak sendiri, Nak. Ibu selalu di sini…”
Wilona menatap langit kelabu, lalu tersenyum getir. “Iya, Bu. Aku tahu.”
Ia duduk cukup lama, sampai matahari tenggelam dan kabut mulai turun.
Malam hari. Rumah kecil itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Tak ada suara mesin jahit yang biasanya berdengung, tak ada tawa Bu Lastri yang memanggilnya makan malam.
Wilona duduk di pojok kamar, memeluk bantal. Di meja, masih tergeletak kain setengah jadi yang belum sempat dijahit Bu Lastri. Di sampingnya, ada foto mereka berdua di depan rumah, foto yang kini tampak terlalu menyakitkan untuk dilihat.
“Bu, aku takut…” bisiknya.
Tangannya menyentuh liontin kupu-kupu di lehernya. “Kalau aja aku bisa ketemu Ibu satu kali lagi, aku cuma mau bilang… makasih. Dan maaf kalau aku belum bisa bikin Ibu bahagia.”
Air matanya menetes pelan. Ia memejamkan mata, berharap bisa tidur dan bermimpi bertemu Bu Lastri. Tapi malam itu terlalu panjang untuk dilalui sendirian.
...****************...
Keesokan paginya, Wilona bangun dengan kepala berat. Ia berjalan ke dapur, melihat meja makan masih sama seperti semalam, dua piring, dua sendok, dan satu cangkir teh yang belum disentuh.
Ia menarik napas panjang dan memaksa diri untuk kuat.
“Mulai hari ini, aku harus jalan sendiri,” gumamnya. “Ibu pasti nggak mau lihat aku lemah.”
Namun bahkan untuk mengucapkan kalimat itu, suaranya bergetar.
Wilona memutuskan untuk pergi ke sekolah hanya untuk menyerahkan surat izin. Tapi begitu melangkah ke halaman, ia melihat beberapa orang berdiri di depan pagar. Dua pria berjas hitam, dengan mobil mewah di belakang mereka.
Salah satunya tersenyum tipis. “Permisi, apakah benar ini rumah almarhumah Bu Lastri?”
Wilona menatap mereka heran. “Iya, benar. Tapi kalian siapa?”
Pria itu menunduk sopan. “Kami datang mewakili salah satu yayasan sosial yang dulu pernah bekerja sama dengan almarhumah. Kami dengar kabar duka itu, dan kami ingin menyampaikan belasungkawa.”
Wilona mengangguk pelan. “Terima kasih, Pak.”
Salah satu pria memperhatikan wajah Wilona dengan seksama. Dari dalam jasnya, ia mengeluarkan map kecil. “Kalau tidak keberatan, bolehkah kami tahu… apakah Anda yang bernama Wilona Anastasia?”
Wilona sedikit bingung. “Iya, saya.”
Pria itu bertukar pandang dengan rekannya. Senyum halus muncul di bibirnya. “Baik. Terima kasih, Nona Wilona. Kami… akan segera menghubungi Anda kembali. Ada beberapa hal penting yang perlu disampaikan.”
Wilona makin heran. “Hal penting?”
“Ya,” jawabnya sambil menutup map.
“Tentang masa depan Anda.”
Tanpa menjelaskan lebih jauh, keduanya berpamitan dan masuk ke mobil hitam itu. Wilona hanya berdiri di depan rumah, menatap kepergian mereka dengan perasaan campur aduk.
“Yayasan sosial…?” gumamnya pelan. “Tapi Ibu nggak pernah cerita soal itu…”
Ia menghela napas dan kembali masuk ke rumah, tanpa tahu bahwa dua orang pria tadi bukan utusan yayasan mana pun. Mereka adalah orang suruhan Shinta Kusuma, yang kini sudah mendapatkan alamat lengkapnya.
Di rumah besar keluarga Kusuma, Shinta menatap foto Wilona yang baru dikirim lewat ponsel.
“Cantik juga anak itu,” komentarnya dengan nada datar. “Mirip dengan Lestari.”
Wijaya berdiri di sampingnya, membaca laporan. “Kecelakaan Bu Lastri datang di waktu yang… cukup ‘tepat.’”
Shinta menatap suaminya tajam. “Kamu berpikir aku yang melakukannya?”
Wijaya hanya tersenyum samar. “Aku tidak menuduh apa pun. Aku hanya bilang, dunia ini penuh kebetulan yang menguntungkan.”
Shinta mengangkat alis, lalu tertawa kecil. “Yang jelas, sekarang gadis itu sendirian. Ini waktu terbaik untuk mendekatinya.”
“Dan dengan cara apa?”
Shinta menatap foto Wilona lagi. “Kita datang sebagai penyelamat. Kita akui bahwa kita adalah keluarga dari pihak ibu kandung nya. Aku akan pastikan dia percaya padaku…
sebelum dia tahu siapa dirinya sebenarnya.”
Wijaya menatap istrinya lama. “Kau selalu tahu bagaimana memainkan peranmu, Shinta.”
Shinta tersenyum dingin. “Dan kali ini, aku akan memainkannya dengan sempurna.”
Sementara itu, di Desa Suka Maju, Wilona berdiri di depan makam Bu Lastri lagi. Angin sore berhembus pelan, membawa aroma tanah yang masih basah.
Ia berjongkok, menyentuh batu nisan sederhana itu dengan jari gemetaran. “Bu, aku nggak tahu kenapa semua ini terjadi secepat ini… Tapi aku janji, aku akan terus berjuang seperti yang Ibu mau.”
Di matanya masih ada air mata, tapi kali ini ia tidak menangis. Ada keteguhan baru yang lahir dari kehilangan itu — meski di hatinya masih penuh luka.
Langit mulai berwarna jingga. Burung-burung kembali ke sarang. Wilona menatap langit dan berbisik, “Aku tahu Ibu selalu lihat aku dari sana.”
Dan di kejauhan, suara mobil hitam mendekat perlahan, menandai awal dari babak baru dalam hidupnya — babak di mana kebaikan dan ketulusan akan diuji oleh ambisi dan tipu daya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!