Musim gugur di New York telah tiba, membawa angin sejuk yang menusuk tulang dan daun-daun yang berguguran. Malam ini, langit di atas kota besar dipenuhi dengan awan kelabu yang mengancam, dan hujan mulai turun dengan deras.
Tapi, wanita cantik itu tidak tergoyahkan oleh cuaca buruk ini. Dengan mantel hujan yang tebal dan payung yang besar, ia keluar dari rumah dan menuju ke mobilnya. Satu tangannya menggenggam kotak hadiah berukuran kecil, netranya berbinar dengan sudut bibir yang tertarik kian lebar.
"Aku harap kau menyukainya," gumamnya penuh harapan, seraya membayangkan pria yang akan menerima pemberiannya tersenyum menawan di hadapannya.
Hari ini adalah anniversary pernikahan mereka yang ketiga. Karena itu ia berniat memberikan kejutan pada sang suami tanpa sepengetahuannya. Ia bahkan rela melakukan penerbangan jarak jauh yang menghabiskan waktu belasan jam.
Bukan hanya itu, wanita cantik yang memiliki nama; Rania Aisha Raksa itu juga rela menekan dalam-dalam perasaannya yang berkecamuk setiap kali mengingat ada siapa di negara yang sedang ia kunjungi ini.
Rexi Kayson Rykhad, sang cinta pertama sekaligus mantan kekasihnya.
Rania menggeleng, berusaha menyingkirkan pikirannya yang sempat mengingat masa lalu. Ia kembali fokus pada kemudi, kota ini begitu luas, kecil kemungkinan ia akan bertemu mantan kekasihnya itu.
Ponsel Rania berdering, seseorang yang telah ia minta mencari tahu keberadaan sang suami ternyata menghubungi.
"Tuan Raffael berada di fancy restaurant. Apa saya perlu masuk untuk memeriksa, Nyonya?"
"Tidak perlu, aku akan langsung ke sana. Terima kasih atas bantuannya," ucap Rania dengan nada suara yang terdengar ceria. Ia tidak sabar memberikan kejutan pada Raffael.
Bermodalkan alamat yang sudah dikirimkan ke ponselnya, Rania pun segera menuju restoran mewah yang terletak di pusat kota.
Saat memasuki restoran yang begitu elegan dengan dekorasi yang mewah dan suasana yang sangat privat, Rania sempat merasa sedikit tidak nyaman. Restoran ini jelas tempat untuk orang-orang berpengaruh melakukan pertemuan penting, entah bersama relasi bisnis mereka, maupun pasangannya.
Setelah memberikan nama sang suami, Raffael Senzio, Rania diarahkan ke ruangan VIP yang dipesan. Suaminya pasti melakukan pertemuan bisnis bersama orang yang sangat penting, sehingga memesan restoran seberkelas ini.
Rasa penasaran bercampur debaran jantung yang kian meningkat mulai Rania rasakan. Genggaman tangannya menguat pada kotak kecil yang sudah ia persiapkan untuk Raffael seiring langkahnya menuju ruangan tersebut.
Rania sesekali juga tersenyum kecil, ketika membayangkan Raffael pasti akan sangat terkejut dan merasa senang karena kedatangannya. Karena Raffael tahu, bahwa New York adalah negara yang tidak akan pernah mau Rania kunjungi. Padahal istrinya itu memiliki keluarga sepupu di sini.
Langkahnya semakin cepat saat melihat seorang pelayan keluar dari dalam ruangan VIP suaminya. Rania balas tersenyum ketika pelayan itu menunduk, menyapanya sebelum pergi menjauh dari sana.
Tangan Rania sudah ingin mendorong pintu yang belum sempat tertutup rapat. Namun, seketika terhenti ketika suara seorang wanita terdengar menyebut namanya.
"Mau sampai kapan kita bersembunyi dari Rania seperti ini? Aku lelah terus menjadi simpananmu, Raffael."
Duarrr!
Rania terpaku di depan pintu. Ia urung masuk ke dalam ruangan di mana suaminya kini tengah berada dan sedang memangku sekretarisnya.
Ya, dari celah pintu yang tak tertutup sempurna, netra Rania bisa melihat bagaimana wanita bernama Natalie itu bergelayut manja di dada sang suami.
"Kau bukan simpananku, Natalie. Kau sekretarisku."
Itu suara Raffael, ia menyingkirkan tangan Natalie dan meminta wanita itu untuk turun dari atas pangkuannya. Mereka masih menunggu relasi bisnis Raffael yang belum datang.
Natalie cemberut. "Tetap saja aku ini seperti simpananmu. Kau selalu menghabiskan malam bersamaku dengan alasan lembur. Kau melupakan itu, Raffael?" Jika tengah berduaan seperti ini, maka Natalie akan memanggil Raffael tanpa menggunakan embel-embel Tuan.
Pria yang biasanya tampak tenang dan elegan itu kini memicing tajam pada sekretarisnya. "Jaga bicaramu, Natalie!"
Namun, Natalie tampaknya tak mempan dengan ancaman yang diberikan oleh Raffael.
"Aku penasaran, setelah semua yang kau lakukan pada istrimu selama tiga tahun ini. Apakah kau tidak takut dengan amukan keluarga Raksa?"
"Tidak," jawab Raffael santai seraya memainkan jari-jarinya. "Sejak Rania menikah denganku. Ia selalu memperlihatkan wajah cerianya di depan seluruh keluarga Raksa, terutama di hadapan opanya yang sedang sakit itu."
"Rumah tangga kami sangat harmonis, Natalie. Semua orang tahu itu! Dan kau..." tekan Raffael dengan mencengkram wajah Natalie dan lebih mendekatkan padanya. "Jangan sekali kali berpikir bisa mengancamku!"
Selesai dengan ucapannya, Raffael langsung melumat bibir Natalie dengan begitu kasar dan penuh napsu.
Rania berbalik dan melangkah pergi dari ruang VIP itu, tanpa sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya. Namun, tangannya bergetar halus, mengencangkan genggaman pada kotak hadiah yang sedari tadi ia pegang dengan hati-hati.
Rasa sakit dan kepedihan dalam hati Rania semakin nyata, saat ia menyadari bahwa hubungannya dengan Raffael selama tiga tahun ini hanya sekedar formalitas. Pernikahan yang hanya ada di atas kertas, tanpa cinta dan kasih sayang yang sebenarnya. Raffael selalu sibuk dengan pekerjaannya, sementara Rania sibuk menata dan menyembunyikan luka-lukanya sendirian.
Tak!
Kotak kecil itu jatuh dari tangannya. Rania kembali terpaku saat melihat sosok yang paling tidak ingin dilihatnya di negara ini sudah berdiri di ujung koridor VIP dengan tatapan yang terkunci lekat ke arahnya.
Waktu seolah berhenti, dan Rania merasa dirinya ditarik paksa kembali ke masa lalu, saat cinta dan harapan masih bersemayam di hati.
Namun, sekarang, rasa sakit dan kecewa lebih dominan memenuhi dirinya. Tatapan mata itu, yang dulu hangat dan penuh cinta, kini dingin dan menusuk, membuat Rania merasa seperti sedang menghadapi bayang-bayang masa lalunya sendiri.
Saat Rania keluar dari restoran, hujan deras masih mengguyur. Tapi ia seperti tidak merasakannya, membiarkan tubuhnya basah kuyup. Tanpa payung besar dan hanya mengenakan mantel tebal, ia berjalan menuju mobil. Rania kembali pulang ke apartemen.
Sementara Raffael yang sebelumnya begitu bernapsu melumat bibir Natalie, sudah melepaskan sekretarisnya itu saat mendengar suara pintu yang terbuka.
Seseorang masuk, membawa aura berkuasa yang begitu kuat.
"Tuan Rexi." Raffael langsung berdiri, menyambut rekan bisnis yang sudah ia tunggu-tunggu kedatangannya. Tangan yang Raffael ulurkan tak bersambut, melainkan diterima oleh Jack, sang asisten pribadi Rexi.
Raffael hanya terkekeh bercampur sinis melihatnya. Sudah biasa memang, jika seseorang yang bergelimang harta sekaligus memiliki kekuasan bersikap demikian—cenderung sombong, dingin dan tak tersentuh.
"Senang akhirnya bisa bertemu langsung, Tuan Rexi," kata Raffael dengan nada suara yang terdengar begitu akrab. Ia tahu bahwa saudara sepupu sang istri adalah adik ipar dari pria dingin di hadapannya ini. Karena itu, Raffael bersikap santai, kendati ini adalah pertemuan pertama mereka.
Raffael tersenyum kecil dan kembali bersuara, "Bagaimana jika kita minum lebih dulu sebelum membahas tentang pekerjaan." Raffael menggerakkan tangan, meminta agar Natalie menuangkan minuman untuk Rexi dan Jack.
Jack menegak habis whisky kualitas terbaik itu. Tidak dengan Rexi, yang hanya duduk diam. Netra dinginnya hanya mengarah pada Raffael yang bersikap sok akrab dengannya.
"Maaf, Tuan Raffael, di luar sedang hujan, mari kita segera memulai pembahasannya saja," kata Jack memahami ekspresi tuannya yang seperti seseorang tengah menahan asam lambung.
Tanpa menunggu persetujuan, Jack sudah bergerak cepat mengeluarkan berkas-berkas dan langsung memulai pembahasan kerja dengan cepat.
Natalie yang dari tadi terus memperhatikan wajah tampan Rexi pun harus rela beralih pada pekerjaannya. Natalie tadi terpaku, ia baru pertama kali melihat Rexi. Wajah rupawan dengan kharisma kepemimpinan yang begitu kuat terpancar. Aura yang jelas akan membuat banyak wanita menggilainya.
Dengan profesional, Natalie mendampingi Raffael dalam pekerjaan, sembari tetap melirik Rexi yang duduk dengan tenang dan berwibawa dalam diamnya.
Selagi Jack menyelesaikan pekerjaan, Rexi benar-benar hanya diam saja, ia bahkan tidak meraih minuman yang ada di atas meja, yang sudah dituangkan oleh Natalie untuknya.
Natalie membuka pembicaraan bersama Rexi dengan cara menawarkan langsung minuman pada pria tampan itu. Namun sayang, usahanya tak berhasil, Natalie berakhir diabaikan dan bahkan Rexi sama sekali tak melirik pada wanita yang mengenakan pakaian kerja begitu sexy itu.
"Apa yang Anda mainkan itu, Tuan Rexi?" tanya Natalie memberanikan diri. Suaranya terdengar halus dan manja. Pria dingin dan tak ramah seperti Rexi ini bagaikan sebuah tantangan dan mainan baru bagi wanita seperti Natalie.
Dan pertanyaan itu ternyata berhasil menghentikan gerakan tangan Rexi yang dari tadi asyik memutar-mutar kotak hadiah kecil yang bentuknya tak lagi rapi.
Rexi tak menatap pada Natalie yang tadi bertanya padanya, melainkan pada Raffael yang pembicaraannya terjeda bersama Jack.
"Kau ingin tahu?"
Akhirnya suara rendah dan berat begitu khas itu terdengar. Natalie sampai tersenyum dibuatnya karena merasa berhasil memancing pria sedingin kutub utara untuk bisa membuka suaranya.
"Ini hadiah dari kekasihku."
Natalie menelan kekecewaan saat mendengar jawaban Rexi. Tapi itu hanya sesaat. Sudah memiliki kekasih bukanlah halangan besar, buktinya Raffael yang bahkan telah memiliki istri cantik seperti Rania saja bisa jatuh ke dalam pelukannya.
"Aku ingin sekali membukanya," kata Rexi lagi dengan tetap menatap Raffael. Ia kembali memutar-mutar kotak hadiah itu di tangannya.
Raffael bingung, terutama pada tatapan Rexi yang terus tertuju ke arahnya. Ia merasa ada sesuatu, tapi tidak tahu apa.
"Buka saja, Tuan Rexi. Kami jadi ikut penasaran apa yang kekasih Anda berikan." Natalie tersenyum manis, meski Rexi sama sekali tak menoleh padanya.
Raffael mengangguk. "Ya, sebaiknya buka saja. Anda terlihat tidak sabar dan pasti sangat penasaran dengan isinya."
Belum Raffael menyelesaikan ucapannya, Rexi sudah lebih dulu membuka hadiah itu dan mendapati sebuah tie clip berdesain elegan.
Yang lain hanya memperhatikan. Raffael dan Natalie sedikit terperangah saat melihat pria sekaya raya Rexi hanya mendapatkan hadiah sederhana yang tak seberapa nilainya itu dari kekasihnya.
"Aku boleh memilikinya?"
Pertanyaan itu entah Rexi lontarkan untuk siapa, Raffael dan Natalie terlihat tidak mengerti. Sampai Rexi mengangkat wajah dan kembali menatap serius pada Raffael.
"Tentu saja." Refleks Raffael memberikan anggukan. Jika itu dirinya, jelas ia tidak akan menerima hadiah murahan seperti itu. Tapi ia tidak ingin menyinggung perasaan Rexi. "Anda jelas boleh memilikinya. Tidak ada yang akan melarang."
Rexi tersenyum dingin seraya tangannya memasang penjepit dasi itu. "Setujui semua kerja samanya, Jack," katanya singkat.
Dengan langkah mantap, Rexi berdiri dan meninggalkan ruangan VIP begitu saja, tanpa menoleh ke belakang, tidak peduli dengan tatapan Raffael yang masih terpaku padanya. Jack segera menyusul, setelah memastikan semua detail kerja sama tercatat dengan baik.
Saat memasuki mobil, Jack pun bertanya, "Kita pulang, Tuan?"
Rexi yang duduk di kursi belakang tidak langsung menjawab, tatapannya menerawang ke luar jendela yang dihiasi tetesan hujan. "Cari tahu semua tentang dia," perintah Rexi dengan nada suara yang rendah.
Jack memperhatikan kaca spion tengah untuk bisa melihat Rexi.
"Anda yakin ingin tahu tentang kehidupan Nona Rania, Tuan? Itu berarti melanggar janji Anda padanya," kata Jack terdengar hati-hati.
"Sepertinya kau mulai tuli, Jack."
Kan! Jack sampai menelan pelan salivanya. Suara Rexi sudah berubah semakin berat.
"Aku tidak memintamu mencari tahu tentang kekasihku!" tekan Rexi dengan melempar tatapan ke kaca spion, menyergap pandangan Jack dengan sorot matanya yang begitu tajam.
Jack langsung mengangguk cepat, memahami sinyal bahaya untuk tidak membicarakan topik yang sensitif bagi tuannya. Di dalam hati, ia menggumam, "Anda sepertinya juga mulai lupa, Tuan. Kekasih Anda itu kini sudah menjadi istri orang." Jack hanya bisa menyembunyikan pikirannya itu sambil fokus mengemudikan mobil ke tujuan.
Tiba di apartemen, Rania langsung membersihkan diri. Pakaian serta rambutnya basah karena air hujan. Ia keluar dari kamar mandi dengan masih mengenakan bathrobe putih.
Rania ingin mengenakan pakaian barunya. Namun, ia berdiri diam mematung kala menatap dua koper besar berisi barang pribadi miliknya yang belum sempat ia buka setibanya di New York.
Rania terbang ke New York untuk menyusul Raffael, sang suami yang memang setahun ke depan akan memiliki pekerjaan yang banyak di negara ini. Salah satu keputusan yang sangat sulit untuk Rania ambil, hingga di hari peringatan ketiga pernikahan mereka, Rania memutuskan untuk mengalah agar apa yang pernah terjadi di masa lalu tidak terulang lagi sekaligus memberikan kejutan pada sang suami.
Tapi, ternyata ia lah yang diberikan kejutan. Bukan lagi foto atau video yang ia dapatkan. Dengan mata kepalanya sendiri ia kembali melihat yang namanya sebuah pengkhianatan. Raut wajah Rania tak memperlihatkan ekspresi apapun saat mengingat bagaimana ganasnya sang suami mencium bibir wanita lain.
Rania merapatkan bathrobe, ia membuka satu koper dan meraih pakaian baru lalu mengenakannya. Setelah memastikan dirinya hangat, Rania juga mengeluarkan tas kerja yang berisi beberapa berkas serta sebuah laptop dari dalam kopernya.
Rania menatap dua lembar kertas yang sudah ada di tangannya, surat gugatan cerai yang telah ia buat tahun lalu dan tahun sebelumnya. Tatapan Rania kosong, seolah terjebak dalam kenangan pahit.
"Aku tidak akan pernah mencari tahu tentang kehidupanmu. Pastikan saja pilihanmu itu tepat. Karena sedikit saja aku menemukan celah, aku akan benar-benar mencengkrammu dalam hidupku!"
Suara itu masih terngiang di telinganya, dingin dan penuh ancaman.
Rania menutup matanya yang memerah saat kenangan itu kembali menghantuinya. Ia tidak pernah menyangka akan bertemu lagi dengan orang yang pernah menguasai hatinya, berdiri di hadapannya dengan tatapan yang sama, dingin dan begitu menusuk.
Tangan Rania terangkat meremas dada yang terasa sesak. Kenangan lama itu seperti luka yang belum sembuh, dan pertemuan ini membuatnya kembali merasakan sakit yang sama.
Perasaan sakit yang jauh lebih hebat dari rasa kecewa yang ia dapatkan kala melihat langsung sang suami mulai menyalakan api pengkhianatan dalam pernikahan mereka.
Rania menghela napas panjang. Menyingkirkan semua bayang-bayang luka dan fokus pada laptopnya. Ia membuka sebuah draf yang berisi format gugatan perceraian atas namanya. Rania memperbaharui tanggal, berniat ingin mencetaknya kembali.
Namun, ia urung melakukannya dan tampak berpikir sesaat, sebelum akhirnya jari jemarinya bergerak cepat mengirimkan langsung lampiran itu kepada seseorang.
Drttt!
Drttt!
Tak berselang satu menit, ponsel Rania sudah langsung menerima panggilan dari seseorang. Ia mengangkatnya dan suara keras terdengar dari seberang sana.
"Kakak apa itu?! Apa yang terjadi?!"
"Bisakah kau tidak berteriak, Kaira?!" Rania menghela napas. Ia beranjak dan membawa dirinya berdiri di sisi jendela kaca apartemennya yang memperlihatkan keindahan malam kota New York setelah diguyur hujan.
"Aku kaget. Aku syok, Kakak. Apa itu tadi yang kau kirimkan padaku? Apa itu gugatan cerai asli?"
Rania tersenyum kecil mendengar pertanyaan Kaira, adik sepupunya yang berprofesi sebagai pengacara hukum keluarga itu pasti hanya pura-pura terkejut.
"Menurutmu?" tanya Rania bernada menantang akan kepintaran Kaira.
"Menurutku itu hanya surat gugatan palsu. Yah, kita sama-sama tahulah, seperti sebelum-sebelumnya, Rania Aisha Raksa hanya berani membuat, tak berani melayangkan gugatannya."
"Kau mengejekku, Kai?"
"Yah."
"Dasar adik ipar kurang ngajar!"
"Terus...terus saja sebut aku ini adik iparmu. Kakak memang lebih baik berakhir menjadi istri kedua Kak El."
"Enak saja, seperti tidak ada laki-laki lain," dengus Rania atas ucapan Kaira.
"Ada Kak Rexi."
Hening menyergap setelah Kaira mengatakan satu nama kramat itu.
"Andai dulu kau mau memberikannya kesempatan, Kak," ucap Kaira pelan. Nada suaranya sudah terdengar serius, tidak bermain-main seperti tadi.
Rania diam, ia tidak langsung menanggapi ucapan Kaira yang mengungkit sesuatu dari masa lalunya.
"Tolong urus gugatan itu untukku, Kai," kata Rania setelah lama terdiam.
Kaira mendesah, Rania mengalihkan topik pembahasan mereka kembali pada e-mail gugatan yang dikirimkan padanya tadi.
"Kakak serius dengan keputusan ini?"
Rania mengangguk, seakan Kaira yang berada jauh di belahan benua lain itu bisa melihatnya.
"Apa yang kali ini kadal buntung itu lakukan?" tanya Kaira penasaran. Ia tahu bahwa Rania baru saja menyusul suaminya, Raffael ke New York, bahkan saat pergi ke bandara, Kaira ikut mengantarnya.
Namun, belum ada 24 jam Rania meninggalkan tanah air. Ia sudah mengirimkan gugatan cerai untuk suaminya pada Kaira.
"Dia berselingkuh dengan sekretarisnya," kata Rania.
Yang seketika membuat Kaira mengumpat. Adik Elvano itu tak menyangka si kadal buntung berani bermain api dengan keturunan Raksa. Apa dia ingin dicincang dan dijadikan sate oleh raja kutub, si Rakha.
"Tidak perlu ditunda lagi. Aku akan langsung mengurusnya untukmu, Kak."
"Lakukan semuanya dengan bersih, Kai. Aku tidak ingin ada keributan," pinta Rania, memastikan keputusan yang ia ambil tidak memancing huru hara, apalagi jika sampai terendus oleh media, tak hanya namanya, nama besar keluarga Raksa juga akan terseret.
Rania juga tidak keberatan saat Kaira mengingatkan kembali bahwa hal ini akan dapat memakan waktu, mengingat Raffael Senzio tidak akan begitu saja menerima dengan mudah gugatan yang pastinya akan sangat mengejutkan baginya ini.
Begitu sambungan telepon berakhir, Rania masih berdiri memperhatikan keindahan malam kota New York. Ia tidak menduga bahwa dirinya bisa mengucapkan dengan lugas pengkhianatan yang sudah Raffael lakukan terhadapnya.
Mungkin karena emosi yang tertahan dan perasaan lelah terus menyembunyikan begitu menyesakkan bagi Rania.
Tiga tahun terjebak dalam pernikahan yang penuh dengan sandiwara. Rania selalu menutupi bagaimana kekurangan rumah tangganya bersama Raffael. Ia dan suami selalu terlihat bahagia dan harmonis di depan semua orang. Tapi, kini Rania mantap ingin menyudahi semua sandiwara mereka.
Rania menoleh saat suara pintu apartemen terbuka dari luar. Ternyata Raffael lah yang datang, pria itu masuk dengan tersenyum lebar.
"Kau ada di sini, Sayang. Kau memberikan kejutan untukku," kata Raffael mendekat langsung memeluk Rania erat.
Rania hanya diam, tidak membalas pelukan itu. Raffael tidak menyadari kekakuan Rania, karena terlalu sibuk menikmati kehadiran istrinya yang menurutnya merupakan kejutan manis.
Sebenarnya, Raffael baru saja dihubungi oleh ayah mertuanya yang menanyakan tentang kedatangan Rania ke New York. Dengan panik, Raffael meninggalkan Natalie dan langsung menuju apartemen yang Rania tempati. Ia tidak ingin sampai ada masalah dengan ayah mertuanya, apalagi jika itu berkaitan dengan Rania.
Namun, saat melihat raut dingin wajah Rania, Raffael merasa ada yang tidak beres. Ada sesuatu di mata Rania yang membuatnya merasa tidak nyaman.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!