"Ini kota ya, tidak ku sangka aku kesini dengan tujuan yang jauh berbeda dengan apa yang ku rencanakan dulu, tapi ya sudahlah"
Reni berjalan ke halte bus, sambil melihat handphone nya, tiba tiba seseorang di samping nya menyenggol nya dengan sengaja.
Reni tersentak kaget. Ponselnya nyaris lepas dari genggaman. Dia menoleh cepat.
"Maaf, Mas," kata pemuda yang menyenggolnya itu dengan senyum kecil yang terlihat mencurigakan, sebelum bergegas melangkah pergi, menyelinap di antara keramaian orang-orang yang menunggu bus.
"Hati-hati, Mas! Jangan main handphone terus di pinggir jalan," teriak seorang ibu yang duduk di bangku halte, mencoba membantu.
Reni mengabaikan nasihat itu. Ada sesuatu yang janggal. Dia merasakan sensasi dingin di pinggangnya, area di mana ia menyimpan dompetnya. Buru-buru Reni merogoh saku celana jeans-nya. Kosong.
Dompetnya hilang!
Jantung Reni langsung berdebar kencang. Itu bukan sekadar dompet berisi uang jajan; itu adalah semua uang yang ia miliki untuk bekal hidup beberapa minggu ke depan, sisa dari ongkos perjalanan yang sudah ia sisihkan dengan susah payah. Uang untuk kos-kosan. Uang untuk mencari pekerjaan.
"Sial!" umpat Reni, seketika melupakan kekagumannya pada kota yang baru ia injak. Ia mendongak, matanya mencari sosok pemuda tadi. Pemuda itu sudah jauh, bercampur dengan kerumunan.
Tanpa berpikir panjang, Reni langsung berlari mengejar. Ia menerobos orang-orang, rasa putus asa dan amarah bercampur menjadi satu. Dompet itu adalah harapan ibunya. Ia tidak boleh kehilangannya.
"Hei! Berhenti!" teriak Reni sekuat tenaga sambil terus berlari.
Pemuda itu menoleh ke belakang, matanya melebar karena terkejut. Dia mempercepat langkahnya, berlari kencang menuju gang sempit di seberang jalan. Reni mengerahkan seluruh tenaganya, membayangkan wajah lelah ibunya di kampung, dan itu memberinya energi ekstra.
Reni mengerahkan seluruh tenaganya, berteriak, dan memfokuskan matanya pada pemuda pencopet yang sudah memasuki gang sempit. Hanya ada satu hal di benaknya: uang itu harus kembali!
Ia melompat, menghindari tiang listrik, dan tepat saat kakinya menginjak aspal untuk mempercepat lari, sebuah truk tangki besar melaju kencang dari tikungan, klaksonnya memekakkan telinga.
"AWAS!!!"
Reni merasa dorongan yang kuat, seolah ada tangan tak terlihat mendorongnya. Dunia berputar, ia hanya melihat kilatan cahaya terang dan suara dentuman memekakkan, jauh lebih keras dari klakson truk. Rasa sakit yang tajam muncul dan menghilang dalam sekejap.
Kemudian, semuanya gelap.
Dingin. Itulah sensasi pertama yang dirasakan Reni. Lalu, cahaya yang menusuk mata. Tapi yang paling mengejutkan adalah... suara tangis melengking yang memenuhi ruangan.
Tunggu. Itu suara tangis siapa?
Reni, yang seharusnya tergeletak di jalanan kota karena tertabrak, kini merasa seluruh tubuhnya kecil dan lemah. Ia tidak bisa membuka matanya sepenuhnya, pandangannya kabur. Tangan dan kakinya bergerak tidak terkontrol.
Ini... apa yang terjadi? Aku... aku masih hidup?
Diiringi suara tangis yang tak kunjung berhenti—yang baru ia sadari adalah suaranya sendiri—ia merasakan kehangatan yang lembut membungkusnya. Kemudian, sebuah suara yang asing, namun terdengar menenangkan, bergumam dalam bahasa yang sama sekali tidak ia kenali.
"Tenanglah, putri kecilku. Kau sudah lahir dengan selamat," bisik suara seorang wanita, suaranya terdengar lelah namun penuh kelegaan.
Reni merasakan kehangatan tubuh dan aroma bunga yang samar. Ia diangkat, dan perlahan disandarkan pada dada yang terasa asing. Berusaha keras membuka mata, ia akhirnya berhasil melihat.
Di atasnya, ada wajah seorang wanita muda berambut pirang dengan mata hijau zamrud, wajah yang sangat cantik, namun dipenuhi keringat dan kelelahan. Wanita itu tersenyum padanya, air mata bahagia menetes.
Di sebelahnya, berdiri seorang pria tinggi berambut hitam dan mata biru, mengenakan pakaian yang terlihat seperti jubah mewah. Pria itu tampak tegang, tetapi saat melihat Reni, senyum lebar muncul di wajahnya.
"Dia... dia sangat cantik, Erin. Sama sepertimu. Selamat datang, Lady Lyra Elara von Astrea," kata pria itu.
Reni, yang baru saja dikejutkan oleh kenyataan bahwa dirinya telah bereinkarnasi dan menjadi bayi perempuan di dunia yang sama sekali asing dengan bahasa yang berbeda (yang entah bagaimana ia bisa pahami), kini mendapat kejutan ketiga:
Lyra Elara von Astrea? Nama apa itu? Astrea... bukankah itu nama di cerita-cerita fantasi?
Reni, yang kini adalah Lyra, tidak bisa berkata-kata, tentu saja. Yang bisa ia lakukan hanyalah menangis dengan volume yang lebih keras, sebagai ungkapan protes terhadap takdir yang baru saja merenggut uang ibunya dan menabraknya ke dunia lain. Perjalanan hidupnya untuk membiayai sang ibu di kampung, kini benar-benar... jauh. Jauh sekali.
Ia hanya bisa berteriak dalam hati:
"Aku jadi bayi perempuan?! Dan aku ada di dunia sihir?! DOMPETKU HILANG, TAPI INI APA-APAAN?!"
Kekesalan batin Reni (sekarang Lyra) karena menjadi bayi perempuan tidak berhenti hanya karena ia berada di dunia fantasi yang mewah.
Beberapa hari berubah menjadi beberapa minggu. Setiap pagi, siang, dan malam, yang Reni rasakan hanyalah popok yang diganti, susu yang hangat, dan tatapan penuh kasih sayang dari wanita yang kini ia tahu adalah ibunya, Erin Von Elemendorf. Ya, ia bukan lagi seorang pemuda perantau bernama Reni, tetapi Lady Lyra Elara von Astrea, putri dari dua nama besar.
Nama ayahnya, Racel Astrea, adalah legenda hidup. Reni, yang secara ajaib bisa memahami bahasa dunia baru ini, menangkap gumaman para pelayan. Racel Astrea dikenal sebagai pendekar yang "menguasai semua teknik berpedang" yang pernah ada di benua itu. Ia bukan sekadar jagoan pedang, ia adalah Dewa Pedang.
Syukurlah, setidaknya aku dapat gen yang kuat, pikir Reni, meski ia harus menerima kenyataan pahit bahwa tangan mungilnya saat ini lebih cocok memegang boneka ketimbang pedang.
Sementara ibunya, Erin Von Elemendorf, adalah putri tunggal dari Eminan Von Elemendorf, seorang Duke dengan wilayah kekuasaan yang besar. Keluarga Elemendorf dikenal karena garis keturunan sihir yang kuat. Lyra benar-benar keturunan bangsawan tertinggi.
Meskipun ia terlahir kembali di kasta tertinggi dan dimanjakan oleh puluhan pelayan yang dengan sabar melayani setiap kebutuhannya—mulai dari memandikan, mengganti pakaian sutra, hingga menyanyikan lagu nina bobo—ada satu hal yang terus mengganggunya.
"Tentu saja aku menerima reinkarnasi ini, takdir konyol macam apa yang akan menolak hidup dalam kemewahan seperti ini?"
gumam Reni dalam hati.
"Tapi kenapa harus jadi perempuan? Aku ini Reni, yang harusnya bekerja keras di Jakarta, bukan Lyra yang harus diajari merajut!"
Setiap kali para pelayan memuji betapa lembut dan cantik dirinya, Reni hanya bisa memprotes dengan rengekan bayi. Ia merindukan saku celana jeans-nya, bau keringat setelah bekerja, dan rasa pahit kopi saset di pagi hari. Ia bahkan merindukan dompetnya yang dicopet.
Suatu sore, saat ia berbaring di boks bayi berlapis beludru emas, Ayahnya, Racel Astrea, masuk. Ia adalah pria yang tenang, tampan, dan memancarkan aura kekuatan.
Racel mendekat, mengangkat Lyra (Reni) dengan hati-hati, dan menatapnya dalam-dalam.
"Putri kecilku,"
bisiknya dengan suara bariton yang lembut.
"Kau tahu? Kau memiliki semangat yang luar biasa, Lyra. Matamu yang kecil itu terlihat... marah."
Racel tersenyum, lalu ia melakukan sesuatu yang aneh. Dengan satu jari, ia menyentuh dahi Lyra. Lyra merasakan gelombang energi lembut mengalir ke tubuhnya.
"Aku tidak tahu takdir apa yang menantimu, Nak. Tapi dengarkan Ayah,"
kata Racel, matanya bersinar penuh tekad.
"Menjadi perempuan di dunia ini bukanlah kelemahan. Justru itu adalah kekuatan tak terduga. Ayah akan memastikan kau bisa melindungi dirimu sendiri, Lyra. Akan kupastikan kau menjadi Astrea sejati."
Racel kemudian meletakkan kembali Lyra, mengeluarkan pedang kecil kayu dari balik jubahnya—bukan pedang mainan, tapi replika pedang latihannya—dan meletakkannya di samping Lyra.
"Tidurlah, Lady Pedang masa depan,"
katanya, sebelum mencium kening putrinya dan meninggalkan ruangan.
Reni menatap pedang kayu kecil itu. Sebuah tekad baru muncul di mata bayinya. Baik. Jika takdir memaksanya menjadi Lyra, putri seorang Dewa Pedang dan seorang Duchess, dan Lyra adalah seorang perempuan, maka ia akan menjadi perempuan yang paling ditakuti di dunia ini. Ia akan menjadi pendekar pedang wanita yang bisa membuat ibunya di kampung bangga—meski dengan cara yang sangat berbeda.
Akan kuajak perang semua orang yang menertawakanku karena lahir sebagai perempuan, tekad Reni, sang bayi Lady Lyra.
Pagi itu, di dalam kamar tidur mewahnya yang dihiasi permadani tebal, Lyra (Reni) sedang menikmati kegiatan barunya yang paling disukai: menatap pantulannya di cermin perak yang dipoles mengkilap.
Wajahnya, yang kini berwujud bayi berusia beberapa minggu, memang luar biasa manis dan imut. Pipi gembulnya merona merah muda, dengan mata hijau cemerlang warisan ibunya dan sehelai rambut cokelat halus warisan ayahnya. Ia terlihat persis seperti boneka porselen mahal yang tidak pernah dimiliki Reni di kehidupan sebelumnya.
"Sial. Aku benar-benar lucu,"
gumam Reni dalam hati.
"Wajah ini... bagaimana mungkin aku bisa galak dan serius dengan wajah semanis ini? Aku harus mencari cara agar terlihat seperti pendekar pedang yang badass!"
Tepat saat ia hendak mencoba ekspresi badass yang gagal, pintu terbuka pelan. Masuklah Mia, salah satu pelayan pribadi yang paling sering mengurusnya. Mia tersenyum lembut, wajahnya yang muda dan ramah selalu menyenangkan untuk dilihat.
"Selamat pagi, Tuan Putri kecil,"
bisik Mia sambil mendekat. Ia dengan hati-hati mengangkat Lyra dari boksnya.
"Sekarang waktunya sarapan dengan Mama Erin, ya."
Mia mulai berjalan perlahan menuju kamar Ibu Lyra. Saat berjalan, seperti biasa, Mia mulai bercerita. Ia sering melakukan itu, percaya bahwa berbicara kepada bayi akan merangsang perkembangan otak mereka—atau mungkin hanya karena ia tidak bisa menahan diri untuk tidak membagi cerita romantis keluarga Astrea.
"Anda tahu, Tuan Putri? Mama Erin Anda itu..."
Mia terkekeh pelan sambil menyesuaikan selendang sutra Lyra.
"Beliau dulunya sangat... tomboi, begitulah kata orang. Berjalan cepat, berbicara tegas, lebih suka berlatih sihir di hutan daripada menghadiri pesta teh. Bahkan Kakek Duke Eminan pernah mengeluh karena Nona Erin tidak punya sifat 'kewanitaan' yang lembut."
Reni menyimak. Tomboi? Menarik. Ada semangat yang mirip denganku di Ibu baruku ini.
"Tapi itu semua berubah sejak Mama Erin bertemu dengan Papa Racel, dan terutama sejak Anda lahir,"
lanjut Mia, matanya berbinar.
"Nona Erin memang seorang penyihir yang kuat dan cerdas, tetapi di hadapan Anda, ia menjadi wanita paling lembut di seluruh Duchy Elemendorf. Beliau bisa mengalahkan naga, tetapi meleleh hanya karena melihat senyum kecil Anda."
Lyra mengernyitkan dahi bayi-nya. Dasar perempuan... tunggu, aku juga perempuan sekarang.
Mia kemudian beralih ke Racel.
"Dan Papa Racel... oh, Tuan Racel. Beliau adalah pria paling berwibawa dan paling dihormati di kerajaan. Pendekar pedang terkuat. Dia adalah pedang yang hidup, Tuan Putri."
"Papa Anda selalu terlihat dingin dan serius, tidak pernah tersenyum pada siapa pun kecuali Mama Erin. Tetapi saat ia menggendong Anda—fiuuh—ia seperti lilin yang mencair. Bayangkan, pendekar yang bisa menebas gunung, takut melukai jemari mungil Anda!"
Mia menggelengkan kepala, terkesan dengan kisah romantis itu, sementara Lyra (Reni) mendengarkan dengan penuh perhatian.
Jadi, aku adalah perpaduan dari Penyihir Tomboi yang kini super-melankolis dan Dewa Pedang yang super-protektif? Reni mulai melihat pola. Ayahnya memberinya replika pedang, ibunya adalah penyihir yang kuat.
Ia tidak bisa hanya memilih satu. Jika ia ingin kembali ke dunianya, atau setidaknya bertahan di dunia fantasi gila ini, ia harus mengambil kedua warisan tersebut. Keahlian pedang dan kekuatan sihir.
Saat Mia akhirnya memasuki kamar Mama Erin, Lyra menatap ibunya yang tersenyum lembut menyambutnya.
Baiklah, Mama. Aku akan jadi Lady Lyra yang tomboi seperti Mama, tapi juga Dewa Pedang seperti Papa. Tunggu saja sampai aku bisa bicara dan berjalan.
Ke esokan harinya
Ruangan makan di lantai atas terasa hangat dan megah. Jendela-jendela tinggi memperlihatkan pemandangan taman kastil yang luas. Di tengah kemewahan itu, duduklah Erin Von Elemendorf dengan gaun putih anggunnya, menatap Lyra yang kini berada di pelukannya.
Kehangatan yang menenangkan dari ASI sang ibu seharusnya membawa kedamaian bagi setiap bayi, termasuk Lyra. Namun, di dalam kepala Lyra, Reni meraung frustrasi.
Satu menit terasa seperti satu jam. Satu jam terasa seperti satu abad.
Ia memejamkan mata, bukan karena kantuk, melainkan karena kebosanan yang tak tertahankan. Sebagai Reni, ia terbiasa bekerja dari subuh hingga larut malam. Tubuhnya selalu bergerak, pikirannya selalu merencanakan. Kini? Ia hanya bisa berbaring, makan, dan buang air.
Ini penyiksaan. Aku butuh berlatih, aku butuh bergerak! Kapan aku bisa berlari? Kapan aku bisa mengayunkan pedang kayu yang Ayah berikan itu?
Kepalanya penuh dengan bayangan dirinya melompati atap-atap kota, berlatih gerakan pedang cepat seperti di film-film yang pernah ia tonton. Tetapi saat ia mencoba menggerakkan lengannya dengan semangat, ia hanya berhasil membuat gerakan "kocok-kocok" yang konyol dan menggemaskan. Erin tersenyum, mengira Lyra sedang mencoba bermain.
"Oh, putri kecil Mama sudah mulai aktif ya?"
bisik Erin sambil mencium puncak kepala Lyra.
"Sabar, Sayang. Nikmati masa manjamu."
Nikmati? Lyra menjerit dalam hati. Aku harus segera kuat! Untuk kembali ke duniaku, atau untuk menaklukkan dunia ini, aku butuh skill! Pedang Ayah dan sihir Ibu!
Saat itulah Reni menyadari kenyataan pahit dari tubuh bayinya. Melatih pedang secara fisik? Mustahil. Ototnya belum berkembang. Namun, warisan sihir ibunya... itu adalah energi, sesuatu yang tidak bergantung sepenuhnya pada fisik.
Lyra membuka matanya lebar-lebar. Ia memutuskan. Ia tidak bisa menyia-nyiakan waktu. Jika tubuhnya tidak bisa dilatih, maka pikirannya yang harus diasah.
Prioritas pertama: Adaptasi dan Pengetahuan.
Ia harus menguasai bahasa dunia ini dengan cepat dan memahami bagaimana sihir bekerja. Lyra memfokuskan pendengarannya pada setiap gumaman ibunya dan para pelayan. Kemudian, ia mulai berkonsentrasi pada hal lain: sensasi energi yang pernah ia rasakan saat ayahnya menyentuh dahinya. Energi yang terasa di setiap sudut kamar ini.
Sihir... itu pasti ada hubungannya dengan energi di sekitar sini. Aku akan mempelajarinya secara pasif. Aku akan menyerap semua informasi dan energi sampai aku bisa bergerak.
Lyra, yang telah berubah dari pemuda perantau yang terdesak menjadi seorang Lady bayi dengan ambisi besar, memejamkan mata lagi. Tetapi kali ini, bukan karena bosan. Ia mulai bermeditasi, memaksakan kesadaran dewasanya untuk memilah-milah suara asing dan merasakan getaran mana—energi sihir yang mengalir di dunia barunya—seperti seorang pelajar yang tekun sedang menghafal rumus fisika paling rumit.
Dalam kebosanan yang mendalam, pikiran Lyra (Reni) sering melayang jauh dari kamar bayinya yang damai. Ia membayangkan berbagai skenario yang lebih heroik—atau lebih jahat—untuk takdir reinkarnasinya ini.
Jika sudah begini, kenapa tidak sekalian jadi Ratu Iblis saja? pikirnya suatu malam, saat ia seharusnya tertidur.
Dalam lamunannya, ia melihat dirinya duduk di singgasana megah yang terbuat dari batu obsidian yang berdiri di tengah bara lava. Dia memakai topeng misterius dan jubah gelap. Di hadapannya, para ksatria dan monster kuat berlutut, menunggu perintahnya untuk menaklukkan dunia.
Lyra si Ratu Kegelapan, Komandan Pasukan Iblis!
Namun, khayalan heroik itu segera hancur. Sebuah gambaran lain muncul: Wajah Erin
Reni menghela napas (yang hanya terdengar seperti hembusan napas bayi). Ia tahu. Dengan ibu seanggun Erin dan ayah seprotektif Racel, menjadi Ratu Iblis hanyalah mimpi di siang bolong. Ia lebih mungkin diomeli karena merusak karpet daripada karena mencoba menguasai dunia.
Dua bulan telah berlalu sejak Lyra lahir. Dalam periode ini, Reni berhasil menyerap banyak informasi. Ia kini tidak hanya memahami bahasa, tetapi juga mulai merasakan perbedaan tipis dalam aliran mana di udara. Itu adalah fondasi awal sihirnya.
Pagi itu terasa berbeda. Lyra mengenakan pakaian yang lebih rumit dari biasanya: gaun bayi berwarna krem yang dihiasi renda halus, menandakan ia akan keluar dari kastil.
Erin menggendongnya dengan hati-hati. Di sisi mereka, Mia tersenyum lebar.
"Tuan Putri pasti senang. Ini pertama kalinya kita melihat Kota Silvania yang indah!"
kata Mia dengan antusias.
Lyra merasakan denyutan kegembiraan yang tulus. Kota! Akhirnya, ia bisa melihat dunia yang akan ia taklukkan (atau minimal, ia akan mencari tahu cara mendapatkan uang di dunia ini).
Mereka menggunakan kereta kuda mewah keluarga Astrea, yang jendelanya terbuat dari kristal jernih. Begitu kereta mulai bergerak, mata Lyra langsung tertuju ke luar.
Kota Silvania adalah kebalikan dari kota metropolitan yang Reni kenal. Tidak ada polusi, tidak ada kemacetan mobil. Yang ada hanyalah bangunan batu bergaya Eropa kuno yang indah, atap-atap yang ditutupi lumut tua, dan yang paling menarik—lampu-lampu jalan yang menyala dengan cahaya sihir.
Rakyat jelata menunduk hormat saat melihat lambang Astrea di kereta. Lyra mengamati mereka. Dia melihat penjual roti yang memajang dagangannya, anak-anak kecil berlarian, dan... sekelompok pemuda yang sedang beradu pedang ringan di lapangan kecil.
Pedang! Reni tersentak, mata bayinya membesar. Instingnya sebagai pemuda yang ingin segera bergerak kembali muncul.
Namun, perhatiannya kembali beralih saat kereta melambat di depan sebuah toko besar yang terlihat berkilauan. Papan nama di atasnya tertulis:
"Aura Abadi: Toko Peralatan Sihir dan Penelitian."
Erin, sambil tersenyum pada putrinya, berkata lembut,
"Kita akan mampir sebentar ke tempat Kakek Duke, Lyra. Mama perlu mendiskusikan beberapa penelitian."
Reni menghela napas lagi. Keinginannya untuk melihat pedang harus tertunda. Sekarang, ia harus melihat buku-buku tebal dan peralatan sihir.
Baiklah. Pedang itu urusan otot. Tapi sihir itu urusan otak, batin Lyra. Mungkin di toko sihir ini aku bisa menemukan buku panduan yang mengajarkan cara menjadi bayi yang kuat dalam satu hari.
Sistem Sihir di Dunia ini
Sihir di dunia yang Lyra tempati, khususnya di Kerajaan tempat Astrea dan Elemendorf berkuasa, pada dasarnya adalah seni memanipulasi energi alami yang dikenal sebagai Mana. Setiap makhluk hidup memiliki Mana di dalam tubuhnya, tetapi hanya sebagian kecil yang memiliki kemampuan untuk menarik Mana dari lingkungan—Atmosfer Mana—dan memanfaatkannya.
Yang pertama yaitu, Dasar Sihir: Mana dan Atribut
Sihir dikategorikan berdasarkan elemen atau atribut dasarnya:Mana Atmosfer: Energi utama sihir yang tersebar di udara dan lingkungan. Penyihir yang kuat bisa menarik Mana dalam jumlah besar.
Atribut Elemen Dasar adalah yang paling wajib dikuasai
Api Paling agresif dan destruktif.
Air Fleksibel, digunakan untuk penyembuhan, kontrol es, dan kabut.
Tanah Memberikan pertahanan, mengendalikan batu, dan menciptakan perisai.
Angin Paling cepat, digunakan untuk serangan jarak jauh, peningkatan kecepatan, dan pergerakan.
Yang lainnya adalah
Cahaya Sangat langka, digunakan untuk pengusiran, penyucian, dan sihir ilahi.
Kegelapan Sering dikaitkan dengan sihir terlarang, digunakan untuk ilusi, kutukan, dan manipulasi bayangan.
Ruang-Waktu Paling langka dan sulit dipelajari. Ini adalah sihir yang mampu memanipulasi jarak dan aliran waktu, biasanya hanya dikuasai oleh segelintir Archmage.
Yang adalah Tingkatan Kekuatan Penyihir
Kekuatan seorang penyihir diukur dari kapasitas Mana internal mereka dan keahlian mereka dalam memanipulasi mantra. Ada lima tingkatan utama:
Magician (Penyihir) Tingkat awal. Hanya bisa merapal mantra tingkat dasar (seperti bola api kecil atau hembusan angin). Bergantung pada tongkat sihir sederhana.
Adept (Mahir) Sudah bisa menggunakan sihir tanpa bantuan tongkat, hanya fokus pada tangan. Mampu merapal mantra tingkat dua dengan daya serang lebih besar.
Mage (Penyihir Sejati) Tingkat yang dihormati. Mampu menggabungkan dua elemen dasar dan menciptakan mantra berskala besar (misalnya badai api atau gempa kecil).
Archmage (Penyihir Agung) Jajaran elit. Mampu merapal sihir tanpa mantra verbal (hanya dengan pikiran). Memiliki Mana yang sangat besar dan sering kali menjadi penasihat kerajaan atau kepala akademi sihir. Ibu Lyra, Erin, berada di tingkatan ini.
Grand Archmage/Sage (Tetua Bijak) Tingkat legendaris. Kekuatan yang bisa mengubah kondisi geografis suatu wilayah (misalnya menciptakan danau atau menghentikan badai). Sangat jarang ada dan sering disembunyikan.
Aku adalah putri Archmage dan Dewa Pedang, tekad Lyra dalam hati. Aku tidak boleh hanya menjadi Magician kelas lima. Aku harus segera mencari buku tentang Mana dan cara menyerapnya!
Ketika Erin dan Mia turun, Lyra mengarahkan pandangan matanya yang tajam (seorang bayi yang tajam!) ke arah pintu toko, menantikan ilmu sihir yang akan ia curi dengan kedua mata mungilnya.
Kekecewaan melanda Lyra (Reni).
Keluar dari Toko Sihir "Aura Abadi" dengan keadaan kepala pusing adalah hal terakhir yang Reni duga. Ia yang mengira telah menguasai bahasa dunia baru ini ternyata salah besar.
Saat di dalam toko, ia mencoba mendengarkan diskusi antara Erin dan seorang penjaga toko yang tampaknya adalah seorang sarjana sihir tua.
Semua yang mereka bicarakan terasa seperti omong kosong yang rumit.
"Reaksi katalitik Mana Tipe V dalam kondisi konjugasi dengan Aliran Leyline Minor memerlukan harmonisasi frekuensi osilasi sub-elemental tingkat Delta-Tujuh."
Apa? Osilasi? Delta-Tujuh?
Ternyata, bahasa percakapan sehari-hari yang ia serap dari para pelayan dan orang tuanya hanyalah Bahasa Umum
(Common Tongue)
tingkat dasar. Bahasa yang digunakan di toko sihir, untuk penelitian, dan di kalangan bangsawan intelektual adalah Bahasa Kuno
(Ancient Speech)
yang dipenuhi istilah teknis sihir.
Sialan! Aku seperti baru keluar dari kursus Bahasa Inggris dan langsung disuruh baca jurnal fisika kuantum! Reni frustrasi. Ia menyadari bahwa ia tidak hanya harus belajar bahasa baru, tetapi juga terminologi sihir yang rumit. Rencana untuk "mencuri ilmu sihir secara pasif" harus dirombak total.
Mereka meninggalkan toko dan melanjutkan perjalanan. Lyra kini berada di gendongan Erin, melayang di atas jalanan kota yang benar-benar unik.
Kota Silvania bukan dibangun di permukaan datar, melainkan di atas sebuah bukit spiral besar. Kota ini seolah melingkar dan memutar ke atas, seperti cangkang siput raksasa.
Saat kereta mereka turun perlahan menuju bagian bawah kota, Lyra bisa melihat pemandangan yang menakjubkan:
Bangunan-bangunan batu kuno dibangun mengikuti kontur spiral jalanan. Semakin tinggi, bangunan semakin besar dan mewah (seperti Kastil Astrea dan Toko Aura Abadi tadi).
Seluruh kota diterangi oleh pilar-pilar kristal yang memancarkan cahaya biru lembut, yang membuat kota terlihat hidup dan magis bahkan di siang hari. Pilar ini ditenagai oleh Mana, bukti kemajuan sihir di kota ini.
Saat mereka turun, Lyra melihat perubahan drastis. Di puncak (Upper Ring) adalah kediaman bangsawan dan pusat penelitian. Di bagian tengah (Middle Ring), tempat mereka sekarang berada, terlihat area komersial dan rumah-rumah pedagang kaya. Di bagian paling bawah, ia melihat bangunan yang lebih padat dan sederhana (Lower Ring)—sepertinya tempat tinggal para pekerja dan petualang.
Erin tersenyum pada Lyra.
"Lihat, Sayang. Kota kita ini indah, bukan?"
Lyra mengangguk dalam hati. Lingkungan baru ini memang menawan, tetapi juga mengingatkannya pada betapa besar jurang yang harus ia lewati. Ia harus menguasai bahasa kuno, Mana tingkat Archmage, dan teknik pedang Dewa.
Tiba-tiba, pandangan Lyra menangkap sesuatu yang menarik di area komersial. Ada papan pengumuman besar yang dipenuhi dengan kertas-kertas berisi tulisan tangan dan ilustrasi. Itu pasti tempat para petualang dan pekerja mencari tugas.
Erin menghentikan kereta di depan sebuah rumah teh yang elegan.
"Kita akan minum teh dulu, Lyra. Mama ingin bertemu dengan Duchess Onia,"
kata Erin.
Saat Erin masuk, ia menyerahkan Lyra kepada Mia. Lyra menatap ke arah papan pengumuman itu.
Itu pasti 'Guild Board' atau semacamnya! batin Reni. Aku harus melihatnya! Di sana ada informasi pekerjaan, mungkin petunjuk tentang cara mendapatkan uang, atau cara kembali ke duniaku!
Lyra, yang sudah merasa tubuh bayinya terlalu pasif, kini punya misi baru yang mendesak.
Lyra harus membuat Mia mendekat ke papan pengumuman itu tanpa mengeluarkan suara bayi yang mencurigakan.
Lyra (Reni) benar-benar kesal. Upayanya untuk mengintip Papan Pengumuman saat di Kota Silvania berakhir sia-sia. Begitu Mia mendekat sedikit, Lyra melihat tulisan di papan itu.
Itu bukan hanya bahasa Kuno para Archmage, itu adalah tulisan tangan yang berbeda-beda, penuh singkatan, dan—yang paling membuatnya frustrasi—alfabetnya sangat berbeda dari yang ia kenal. Bukan Latin, bukan Arab, apalagi aksara Mandarin. Itu adalah serangkaian simbol dan garis yang rumit.
Aku butuh setidaknya enam bulan hanya untuk menghafal alfabetnya, batin Reni putus asa.
Ia menyadari bahwa di dunia ini, otaknya yang dewasa adalah satu-satunya aset. Tubuhnya hanyalah beban. Maka, ia menghabiskan setahun penuh dengan fokus tunggal: Menyerap Bahasa dan Mana.
Ia memanfaatkan posisi bayinya. Saat para pelayan atau orang tuanya berbicara, ia mencuri dengar. Ia memproses setiap kata dan frasa. Lyra memaksa dirinya untuk membedakan antara Common Tongue dan Ancient Speech (yang ia yakini sebagai bahasa formal dan sihir).
Dia juga terus-menerus berkonsentrasi pada Mana. Rasa energi yang mengalir di udara. Awalnya hanya sensasi samar, tetapi seiring waktu, ia mulai bisa membedakan Mana Ayahnya
(padat, tajam, seperti baja)
dan Mana Ibunya
(berkilauan, fleksibel, seperti air).
Satu tahun berlalu dengan cepat dalam kalender dunia ini, tetapi terasa seperti satu dekade bagi Reni yang terjebak. Kini, Lyra bukan lagi bayi yang hanya bisa merengek dan tengkurap.
Ia sudah bisa merangkak dengan kecepatan luar biasa dan bahkan berjalan sebentar-sebentar sambil berpegangan pada furnitur. Rambut cokelat halusnya sudah mulai menebal dan mata hijaunya bersinar cerah dengan kecerdasan yang tidak wajar untuk anak seusianya.
Di hari ulang tahunnya yang pertama, Ayahnya, Racel Astrea, memberinya hadiah. Bukan boneka mewah, melainkan sebuah pedang kayu kecil yang lebih panjang dari pedang sebelumnya, dibuat dengan sangat detail, seolah-olah itu adalah pedang sungguhan yang diperkecil.
Ibunya, Erin, memberinya sebuah liontin kristal kecil yang tergantung di lehernya. Liontin itu memancarkan kehangatan lembut.
"Liontin itu akan melindungimu dan membantu menstabilkan Mana-mu, Lyra,"
bisik Erin lembut.
Lyra tahu ini adalah waktunya untuk bergerak.
Malam itu, setelah para pelayan memastikan ia tidur dan semua lampu dimatikan, Lyra membuka matanya. Ia merasakan tubuhnya, membandingkannya dengan kekuatan yang ia ingat sebagai Reni.
Jauh. Aku masih jauh.
Namun, kini ia punya modal:
Lyra sudah menguasai Common Tongue dan mulai memahami dasar-dasar Ancient Speech (terutama yang berkaitan dengan sihir).
Ia sudah bisa merasakan dan membedakan jenis Mana di sekitarnya. Liontin itu terasa seperti katalis, membuatnya lebih mudah fokus pada energi.
Ia bisa bergerak.
Reni yang lama, yang merantau demi ibunya, tahu bahwa sukses di perantauan butuh inisiatif.
Lyra merangkak perlahan dari boks bayinya. Ia meraih pedang kayu yang baru. Otot-otot kecilnya menegang. Ini bukan latihan sungguhan, ini hanya mencoba.
Ia berdiri, berpegangan pada tepi ranjang. Ia mengangkat pedang kayu itu. Beratnya hampir tidak ada, tetapi bagi tubuhnya, ini adalah beban yang signifikan.
Ia mencoba menirukan posisi kuda-kuda yang ia lihat dari Ayahnya, sambil membayangkan teknik pedang sang Dewa Pedang. Ia terhuyung. Ia terjatuh di atas karpet beludru.
Lyra tidak menangis. Ia tersenyum kecil penuh tekad.
"Baiklah, Papa Racel. Latihan dimulai sekarang. Dan Mama Erin..."
Lyra memandangi liontin kristalnya.
"Mari kita lihat apakah Mana ini bisa membuatku berlatih pedang lebih cepat."
Waktu berlalu bagaikan air yang mengalir di pegunungan Silvania. Lyra (Reni) yang dulunya hanya bisa merangkak, kini telah menjadi anak perempuan berusia empat tahun yang cerdas dan lincah.
Empat tahun adalah waktu yang lama untuk Reni yang terperangkap dalam tubuh Lyra, tetapi ini adalah waktu emas untuk pelatihan rahasia.
Hidup di kastil mewah memiliki satu keuntungan besar: banyak tempat tersembunyi. Lyra bisa menggunakan segala cara untuk berlatih tanpa diketahui pelayan dan orang tuanya:
Pedang kayu kecil yang diberikan Ayahnya, Racel, telah diganti dengan versi yang sedikit lebih panjang dan kokoh. Lyra berlatih ayunan dasar di malam hari, di bawah selimut tebal di boks bayinya, atau di gudang anggur tua yang jarang dikunjungi.
Ia menyadari bahwa ia tidak bisa mengandalkan otot dewasa Reni. Fokus Lyra adalah membangun dasar fisik yang kuat. Ia sering meminta izin kepada Mia untuk "bermain" di taman, yang ia gunakan untuk latihan sprint pendek dan push-up rahasia di balik semak-semak.
Lyra kini bisa mengayunkan pedang kecilnya dengan gerakan dasar yang benar dan stabil. Kuda-kudanya masih jauh dari sempurna, tetapi kecepatannya sudah melebihi anak-anak normal seusianya.
Liontin kristal dari Erin benar-benar membantunya. Lyra menggunakan liontin itu sebagai fokus, bermeditasi setiap hari untuk menarik Mana dari atmosfer. Ia kini tidak hanya merasakan Mana, tetapi juga bisa mengumpulkannya di telapak tangannya (meski hanya berupa kilau cahaya redup yang cepat menghilang).
Berkat kemampuan berbicaranya, ia mulai menghafal mantra-mantra dasar
(Bahasa Kuno)
dari buku-buku yang ia curi-curi lihat di perpustakaan. Mantra pertamanya adalah: Kontrol Angin
(Wind Control)
gerakan Mana paling sederhana untuk menggerakkan objek kecil.
Lyra berhasil membuat sehelai daun melayang setinggi lutut selama lima detik. Prestasi yang luar biasa untuk anak seusianya, tetapi sangat rentan.
Meskipun Lyra sudah bisa berbicara, ia harus mempertahankan citra sebagai anak perempuan yang manis dan polos di siang hari.
"Mama, Lyra suka bunga mawar ini,"
katanya dengan suara imut yang ia pelajari dari film-film kartun.
(Padahal dalam hati ia berpikir, Aku ingin tahu apakah bunga ini bisa kuselimuti dengan Api!)
Mia dan Erin memujinya. Racel, sang Dewa Pedang, hanya tersenyum tipis dan sering memperhatikan Lyra dengan tatapan yang sulit diartikan.
Suatu sore, saat Lyra sedang "bermain" di ruang tamu, ia bersembunyi di balik sofa. Ia mencoba gerakan pedang baru yang ia lihat dari Ayahnya. Lyra mengangkat pedang kayunya, mencoba ayunan vertikal cepat.
Ayunan Vertikal, diikuti dorongan Mana Angin untuk menambah kecepatan!
Ia berkonsentrasi pada Mana di liontinnya, menariknya ke lengan, lalu mengayun.
WHUSH!
Ayunan pedang itu memang cepat, tetapi Mana yang tidak stabil malah menciptakan hembusan angin kecil yang tidak terkontrol. Angin itu tidak hanya membuat pedang kayu Lyra meleset, tetapi juga menerbangkan sebuah vas bunga porselen mahal yang berada di atas meja kecil di dekatnya.
Vas itu jatuh ke lantai dengan suara
"PRANG!"
yang memekakkan telinga.
Jantung Reni (Lyra) mencelos.
Sial! Aku ketahuan!
Pintu terbuka dengan cepat. Racel Astrea, ayahnya, berdiri di ambang pintu, matanya yang tajam menatap pecahan vas, lalu ke arah Lyra yang mematung dengan pedang kayu di tangan. Ekspresi di wajahnya... kosong.
"Lyra,"
panggil Racel, suaranya pelan, tetapi penuh otoritas.
"Apa yang terjadi?"
Lyra tahu ini adalah saatnya. Berbohong tidak ada gunanya. Dia harus membuat ayahnya percaya bahwa ini hanyalah kecelakaan. Namun, insting Reni berteriak, Tunjukkan saja kemampuanku!
Lyra menundukkan kepala.
"Maaf, Papa. Lyra... Lyra hanya ingin berlatih seperti Papa."
Mata Racel Astrea, Dewa Pedang legendaris, menyempit saat ia melihat vas porselen mahal yang hancur di lantai. Aura dingin dan berwibawa yang selalu menyelimutinya seketika memancar, cukup kuat untuk membuat Lyra (Reni) yang telah lama menjadi pemuda pemberani, merasakan getaran ketakutan.
Selesai. Tamat. Aku pasti akan dihukum duduk di pojok kamar selama sebulan,
pikir Reni, bersiap untuk dimarahi.
Lyra menundukkan kepala mungilnya, membiarkan pedang kayu itu terlepas dari genggamannya dan jatuh ke lantai. Ia memutuskan untuk jujur,
"Maaf, Papa. Lyra... Lyra hanya ingin berlatih seperti Papa."
Racel melangkah mendekat. Setiap langkahnya terasa disengaja, mengikis jarak antara dirinya dan Lyra yang kini diliputi rasa bersalah. Tangan besarnya terulur.
Lyra memejamkan mata, menunggu cubitan atau teguran keras
.
Namun, yang ia rasakan selanjutnya adalah kehangatan yang tak terduga.
Bukannya memarahinya, Racel justru mencengkeram ketiak Lyra, mengangkat putrinya tinggi-tinggi, dan berputar dengan tawa yang berderai! Tawa itu kuat, lepas, dan penuh kegembiraan—tawa yang jarang sekali didengar di kastil itu.
"Hahaha! Putriku! Putriku yang pemberani!"
seru Racel, raut wajahnya yang tadinya serius kini dipenuhi kebanggaan. Ia memeluk Lyra erat-erat, seolah Lyra baru saja memenangkan turnamen duel pedang.
"Jadi... kau mengayunkan pedang?"
tanya Racel, menatap Lyra lekat-lekat.
"Kau melihat Ayah berlatih, dan kau mencoba menirunya?"
Lyra mengangguk cepat, memanfaatkan momentum kegembiraan ayahnya.
"I-iya, Papa! Lyra mau se-sekuat Papa!"
Mata Racel berkilauan.
"Luar biasa! Tidak ada hadiah yang lebih baik untuk seorang ayah, selain mengetahui putrinya mewarisi semangat juang Astrea!"
Ia lalu merendahkan suaranya sedikit.
"Dan kau berhasil membuat hembusan angin kecil yang tidak stabil. Itu Mana Angin, bukan?"
Reni terkejut.
Dia tahu! Sejak kapan?!
"Ayah tahu,"
bisik Racel, seolah membaca pikiran putrinya.
"Sejak hari kau lahir. Mana di tubuhmu selalu bergejolak. Kau berusaha keras menyembunyikannya dari Mama dan para pelayan, tapi kau tidak bisa menyembunyikannya dari Dewa Pedang."
Racel menurunkan Lyra dan berlutut, menatap pecahan vas itu.
"Vas ini mahal, dan Mama Erin mungkin akan marah. Tapi demi semangat yang kau tunjukkan, Ayah akan menutupinya."
Ia kemudian mengambil pedang kayu Lyra dan memegangnya. "Lyra," katanya dengan nada yang kini berubah serius dan instruktif.
"Mulai sekarang, kau tidak perlu berlatih secara diam-diam. Papa sendiri yang akan melatihmu."
Racel mengembalikan pedang kayu itu.
"Mulai besok pagi, setelah sarapan, kita akan berlatih kuda-kuda dan dasar pernapasan di ruang latihan bawah tanah. Tapi ingat, ini adalah rahasia antara kita berdua. Mama Erin harus tetap berpikir kau adalah Lady kecil yang lembut, setidaknya untuk saat ini. Setuju?"
Reni, yang awalnya hanya ingin menjadi Raja Iblis, kini mendapatkan tawaran yang jauh lebih baik: pelatihan pribadi dari Dewa Pedang. Wajahnya bersinar, ia mengangguk penuh semangat.
"Setuju, Papa! Rahasia!"
jawab Lyra dengan suara bayi yang antusias.
Dengan Lyra kini memiliki mentor pedang resmi (dan rahasia)
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!