Sekolah Smith internasional school adalah sekolah yang sangat terkenal dengan kurikulum dan juga tenaga pengajarnya yang bagus dan terbaik di bidangnya.
Banyak siswa mulai dari kelas satu sampai kelas dua belas terus berdatangan memenuhi sekolah itu dari Senin hingga Jum'at
Abraham Kenan Smith selaku pendiri dan juga pemiliknya, sangat bangga ketika bisa mendirikan sekolah itu.
Bahkan sekarang, di seberang sekolah yang luas dan megah itu telah berdiri sebuah universitas dengan berbagai jurusan, bernama Smith university, dan keduanya di pegang langsung oleh cucu Abraham yang bernama Zaki Alamsyah Smith.
"Ola, ayo Om antar pulang, kalian ikut Om Laut dan om Miqdad, mereka bawa mobil" ucap seorang laki laki tampan dengan tinggi 192 cm bernama Langit Arka Danendra. Putra dari Mandala Danendra yang saat ini sedang berkuliah di Smith university dan akan menyambut kelulusannya.
Dia dan sang adik kembar Miqdad dwi Danendra berkuliah di jurusan management bisnis, sama dengan sepupu kembar Mereka yang bernama Miqdam eka Danendra dan Laut Arka Danendra
"Ola pulang dengan kami kak, soalnya hari ini ada tugas sekolah dan harus berkelompok" jawab Bulan, adik bungsu dari Laut dan Miqdam
"Kapan selesainya dan di mana kalian belajarnya?" Tanya Langit
"Mungkin sore om, soalnya Ola mau sekalian jajan di taman, kami belajar di rumah William" jawab Aurora
"Kenapa harus di rumah dia? Apa di rumah kamu tidak bisa?" Tanya Langit menatap tak suka William, adik dari musuh bebuyutannya Vincent.
"Nggak bisa om, soalnya ini tuh tugas biologi, tentang organ tubuh manusia, dan kebetulan kan papanya William seorang dokter" jawab Yudhistira
"Siapa saja yang ikut kelompok kalian?" Tanya Laut
"Ada William, Aurora, Bulan, Yudhistira dan Gafi" jawab Gafi
"Khalid kelompok mana?" Tanya Miqdam
"Khalid satu kelompok dengan Zaidan, om Riko, Irsyad dan Maura, kita mau kerjakan di rumah Maura" jawab Khalid
"Kenapa pada jauh sih, ya sudah nanti kalau kalian selesai, telepon Om Langit, kami akan jemput kalian" ucap Langit
"Iya om" jawab semuanya kecuali William, bulan dan Maura
"Ola hati hati, dan Gafi jaga Ola" ucap Khalid
"Iya bang" jawab keduanya
Angkasa Khalid Danendra, Angkasa Gafi Danendra dan Aurora Fara Danendra, adalah kembar tiga istimewa di sekolah itu, mereka punya kemampuan indra ke enam dan orang orang terdekat mereka sudah mengetahuinya, dan mereka dijuluki sebagai Dua Angkasa Aurora di sekolah itu.
Mereka pergi dengan di antarkan oleh supir pribadinya William dan Maura.
Sampai di rumah William.
"Assalamu'alaikum" sapa semuanya
"Wa'alaikumussalam.. silahkan masuk den" jawab seorang asisten rumah tangga
"Bi, tolong buatkan minuman ya untuk teman saya, dan camilannya juga" ucap William
"Baik den" jawab asisten rumah tangga tersebut
"Eh ada Ola sama Bulan, mau apelin kak Vincent ya" goda Vincent yang baru saja datang
"Minggir kak, jangan ganggu mereka, Willy udah pusing setiap ketemu kak Langit selalu di tatap sinis" gerutu William kesal
"Itu karena si Langit takut kalah saing dengan kamu dan kak Vincent" jawab Vincent percaya diri
"Narsis, nyebelin juga" bisik Yudhistira
"Iya bang Yudhis benar, pantesan aja om Langit kesal sama kak Vincent, dia memang nyebelin" jawab Gafi
"Kalian duduk saja, aku mau ganti seragam dulu ya" ucap William
"Iya" jawab semuanya
"Bulan sama Ola nggak mau ganti baju juga? Ada baju mamanya kak Vincent kalau mau" tanya Vincent.
"Nggak usah kak, kami pakai ini saja" jawab Bulan
"Kamu manis sekali ya, nggak seperti kakak kamu yang pait itu" ungkap Vincent
"Vincent, masuk ke kamarmu, dan jangan ganggu anak anak itu!" Perintah Ferdinand tegas, dia adalah ayah dari Vincent dan William.
"Iya pa" jawab Vincent malas
Vincent naik ke atas ke dalam kamarnya tapi matanya terus natap Aurora dan terus tersenyum ke arahnya.
"Maafkan anak Om ya, kalian jadi akan membahas tentang organ tubuh apa?" Tanya Ferdinand
"Kelompok kami kebagian membahas tentang ginjal om" jawab Yudhistira
"Oke, kalian istirahat saja dulu ya, pasti masih lelah karena pulang sekolah, om akan ambil replika ginjal yang ada di ruang kerja Om, nanti om juga akan jelaskan secara detail, bagaimana ginjal itu bekerja dan juga apa saja yang bisa merusak ginjal" ucap Ferdinand.
"Iya om, terima kasih" jawab semuanya
"Rumah om Ferdinand agak seram ya, apalagi lukisan itu, ko Abang lihatnya seperti hidup" ungkap Yudhistira saat Ferdinand menuju ke ruang kerjanya
"Iya, tapi lukisannya sembunyi" jawab Aurora menatap serius lukisan seorang perempuan Belanda dengan gaun putih menjuntai dan juga sebuah payung yang dia pakai, matanya terlihat hidup dengan senyuman terukir manis di lukisan itu.
"Sembunyi maksudnya?" Tanya Bulan
"Dia takut pada mereka" jawab Yudhistira
Bulan dan seluruh keluarga dari Danendra ataupun Adiwinata sudah tahu bakat dari ketiga bersaudara itu, bahkan adik mereka yang baru berusia sepuluh tahun memiliki kemampuan yang sama dengan mereka, yaitu melihat hal gaib atau bersifat mistis.
"Coba Abang Khalid di kelompok kita, kita bisa tahu itu jin baik atau jahat" ungkap Aurora
"Kalian sedang membahas apa?" Tanya William yang sudah turun dan berpakaian santai
"Itu lukisan kamu bagus" jawab Gafi
"Oh, itu hadiah dari rekan bisnis papa di Belanda, katanya usianya sudah ratusan tahun, tapi sejak lukisan itu di pajang, mama sering ketakutan, katanya sering lihat perempuan dalam lukisan itu tersenyum" jawab William.
"Ko masih di pajang? Harusnya jangan kalau buat mama kamu takut" tanya Aurora
"Papa suka lukisannya, katanya mirip seseorang" jawab William
"Tapi memang mirip seseorang dengan versi tinggi semampai sih" gumam Yudhistira
"Rambutnya saja yang beda" balas Gafi
"Ayo kita mulai, kita nanti bagi tugas, yang mencatat biar aku dan Ola, yang gambar ginjal sehat, Yudhistira, dan ginjal yang sakit Bulan, Gafi nanti yang jadi pembicara di depan kelas, gimana?" Tanya William
"Boleh, nanti papa kamu jangan lupa tanda tangan di lembar catatannya dan sebutkan juga rumah sakit tempat beliau bekerja" jawab Gafi
"Oke" jawab William
Ferdinand juga sudah turun dengan membawa contoh replika ginjal sehat dan juga ginjal yang sakit, mereka mulai mengerjakan tugas masing masing dengan serius sambil sesekali berhenti untuk minum atau makan camilan.
Prang. Prak.
"Aakkhhh pergi!" Teriak seorang perempuan di dalam kamar
"Apa itu?" Tanya Yudhistira berhenti menggambar
"Itu mamanya William, maaf ya om tinggal dulu, dia sedang kurang enak badan" jawab Ferdinand berdiri dan pergi ke kamarnya
Ceklek.
Pintu di buka dan kamar terlihat berantakan, dengan banyak pecahan Vas bunga juga barang berserakan di bawah lantai.
"Sayang kamu kenapa lagi?" Tanya Ferdinand pada sang istri yang bernama Kanaya Puspita Sari.
Dia memeluk istrinya yang sejak satu Minggu ini terus meracau melihat penampakan perempuan dalam lukisan itu.
"Mas, aku sudah nggak kuat lagi mas, perempuan itu terus memperlihatkan wujudnya di depanku, kalau seperti ini terus aku bisa gila" jawab Kanaya
"Tapi sayang, aku dan anak anak nggak pernah lihat apa yang kamu sebutkan itu" ungkap Ferdinand mengusap rambut Kanaya
"Aku juga tidak tahu, tapi lukisan itu terus melihat ke arahku bahkan senyumannya itu sangat menakutkan" jawab Kanaya terus terisak
.
"Aku juga tidak tahu, tapi lukisan itu terus melihat ke arahku bahkan senyumannya itu sangat menakutkan" jawab Kanaya terus terisak
Kamu tenang dulu, biar aku beri kamu obat ya, kamu pasti lupa minum obat kamu" bujuk Ferdinand
Dia mengira mungkin istrinya itu kelelahan atau depresi karena terlalu sibuk bekerja dan juga mengurus rumah, hingga dia meminta Kanaya untuk berhenti bekerja dan istirahat di rumah, tapi semua itu justru malah memperparah kondisinya, setiap hari Kanaya akan histeris di waktu waktu tertentu
"Ini kamu sudah makan tadi, dan kamu minum obatnya ya" bujuk Ferdinand
"Kamu jangan tinggalkan aku mas, aku takut" rengek Kanaya
"Iya, aku tidak akan kemana mana, William sedang mengerjakan tugas sekolah, dan aku di minta untuk jadi tutor mereka untuk tugas ini, aku ada di bawah, atau kamu mau ikut aku ke bawah, kamu bisa tiduran di sofa sambil lihat anak anak belajar" ucap Ferdinand
"Aku ikut kamu saja, aku takut sendirian" jawab Kanaya
"Ayo" jawab Ferdinand lembut
Dia menuntun Kanaya dengan hati hati, dan mendudukkan Kanaya di sofa, dekat dirinya menjelaskan tugas sekolah anak anak itu
"Kalian teman temannya William, apa satu kelas?" Tanya Kanaya
"Iya Tante kami satu kelas" jawab Aurora mengusap tangan Kanaya
Sseerrr..
Kanaya merasa lebih tenang dan mulai tertidur, wajahnya yang pucat juga sudah terlihat segar kembali
"Efek obatnya mungkin, Tante kalian sedang kurang sehat, jadi ingin di temani terus, makanya om nggak ke rumah sakit hari ini" ungkap Ferdinand mengusap rambut Kanaya
"Iya om, kalau Tante sakit jangan di biarkan sendirian" ucap Gafi
Aura lukisan itu kini berubah gelap, itu bisa di rasakan Aurora dan juga Gafi yang terus saling berpegangan tangan agar bisa melindungi penghuni rumah disana
"Bagaimana jika jin itu marah? Dan kita sedang tidak ada?" Tanya Aurora
"Kalau saja jin itu menunjukkan diri, Abang bisa pegang di agar menghilang, tapi dia terus sembunyi dan ini bukan rumah kita" bisik Gafi
"Ayo segera selesaikan tugasnya, kita harus pulang sebelum Maghrib" ucap Yudhistira
Mereka kembali mengerjakan tugas mereka hingga pukul lima mereka selesai setelah sebelumnya istirahat untuk shalat ashar
"Alhamdulillah... " Ungkap semuanya
"Abang sudah telepon om Langit, katanya akan segera jemput kesini" ucap Yudhistira
"Kalian makan saja disini" bujuk Kanaya yang sudah terlihat segar, Ferdinand sampai heran dengan perubahan itu dan membuatnya senang
"Maaf Tante, kami harus pulang soalnya Daddy dan mommy kami pasti khawatir" jawab Gafi
"Sayang sekali, ini kalian bawa ya untuk orang tua kalian, dan sampaikan salam kami juga" ucap Ferdinand memberikan kue yang dia beli sebelum mereka datang
"Wah bolu pisang" ucap Bulan berbinar
"Bulan suka bolu pisang?" Tanya Ferdinand
"Iya om, Bulan ini titisannya Oma Sari, pecinta bolu pisang" jawab Yudhistira dan Ferdinand tersenyum manis
"Kalian juga harusnya panggil Om ini Opa saja, kami juga kan seumuran dengan Adrian dan Sari" ungkap Ferdinand
"Tapi William seumuran kami om" jawab Gafi terkekeh
"Nggak apa apa pa, supaya terlihat masih muda" jawab William
"Kamu ini, papa sudah usia kepala lima loh" ucap Ferdinand tertawa
"Tapi masih terlihat muda ko om" jawab Aurora
"Pintar menghibur, terima kasih ya, kalau kalian ada waktu, main main kemari, jangan sungkan" ucap Ferdinand
"Insya Allah om" jawab semuanya
"Pa, Vincent ijin ke rumah teman ya, nanti Vincent pulang jam sembilan" ucap Vincent turun dari kamarnya
"Kamu nanti saja keluarnya, makan dulu di rumah" bujuk Kanaya
"Vincent senang mama seperti ini, jangan sakit lagi ya, iya Vincent akan makan malam di rumah" jawab Vincent tersenyum lembut memeluk Kanaya
"Iya, kamu sering seringlah makan di rumah, supaya mama kamu tidak khawatir" bujuk Ferdinand
"Vincent kan sudah besar pa, malas kalau makan di rumah, maunya nongkrong" jawab Vincent terkekeh
"Kak Vincent manis juga ternyata kalau di depan mamanya" ungkap Yudhistira
Tid. Tid.
Langit ternyata sudah berada di depan rumah Ferdinand sejak setengah jam yang lalu dan sengaja menunggu mereka disana.
"Itu om Langit" ucap Gafi
"Cih.. dasar sombong, nggak mau turun" cibir Vincent sinis
"Kami pamit ya Om, terima kasih sudah di bantu tugasnya, dan Tante juga terima kasih sudah menemani kami belajar" ungkap Yudhistira
"Iya sama sama, terima kasih juga karena sudah datang dan berteman dengan William" jawab Ferdinand tulus
Mereka keluar dari gerbang dan langsung masuk ke dalam mobil Langit, Langit juga sempat memberikan salam berupa lambaian jari tengah ke arah Vincent sambil tersenyum mengejek.
"Bang, itu jinnya" teriak Aurora menunjuk atap rumah Ferdinand
"Semoga dia tidak membahayakan Tante Kanaya, dia sepertinya terus mengincar Tante Kanaya" jawab Gafi
"Aamiin" jawab Aurora
Setengah jam setelah Maghrib.
Brak. Brak. Brak.
Suara berisik terdengar dari arah ruang keluarga
"Suara apa itu?" Gumam Kanaya yang sedang menyiapkan makan malam di meja makan
"Bi, bibi dengar suara berisik tidak?" Tanya Kanaya
"Tidak nyonya" jawab asisten rumah tangga tersebut juga sibuk menyiapkan makanan
Brak. Brak. Brak.
Suara itu terdengar lagi dan semakin nyaring di telinga Kanaya
"Ko semakin kencang sih, apa William sedang bermain dengan Vincent" gumam Kanaya yang akhirnya memilih untuk melihat dan memeriksa apa yang terjadi.
Kanaya mulai berjalan ke arah ruang tamu, disana ternyata sepi dan tidak ada siapapun, bahkan semuanya terlihat rapi dan tidak ada benda yang jatuh.
Tapi saat dia menatap lukisan yang terpajang di dinding ruang keluarga itu, matanya langsung terbelalak dengan mulut terbuka karena terkejut.
Brak. Brak. Brak.
"Hihihihi...... Kamu harus jadi budakku, suamimu harus jadi milikku" bisik perempuan dalam lukisan itu menyeringai dengan mulut mengeluarkan darah dan terus bergerak dalam lukisan itu.
"Aakhhh!" Teriak Kanaya
Bruk.
Kanaya terjatuh dan tak sadarkan diri dengan wajah pucat dan juga tubuh sedikit membiru. Tubuhnya tiba tiba saja terasa seperti di hantam sesuatu yang keras sampai dia tidak sadarkan diri.
"Hahaha.. Aku tidak akan membiarkan suamimu itu membuangku, apalagi baginya aku adalah wajah dari cinta masa lalunya" ucap sosok perempuan itu.
Sosok itu tiba tiba saja masuk kembali ke dalam lukisan dan tidak meninggalkan jejak apapun di sana, sampai asisten rumah tangga datang karena mendengar teriakan Kanaya.
Mendengar teriakan nyonya nya, asisten rumah tangga langsung berlari karena khawatir.
"Astagfirullah nyonya!" Pekik asisten rumah tangga tersebut membuat Ferdinand, William dan juga Vincent yang sedang di dalam kamar langsung menghampiri sumber suara
"Mama!" Teriak Vincent panik karena tubuh Kanaya terlihat membiru dan terasa dingin
"Bawa ke rumah sakit saja pa" ucap William
"Ayo Vincent, bantu papa bawa mobil ke depan, kita ke rumah sakit Langsung" ucap Ferdinand
"Pa... " Ucapan William terhenti
"Nanti saja Willy, papa bawa mama kamu dulu" ucap Ferdinand menggendong Kanaya
Jarak rumah sakit miliknya memang tidak jauh dari rumahnya, hanya sekitar lima belas menit saja dari rumah.
"Dokter Ferdinand, apa yang terjadi?" Tanya seorang perawat disana
"Tolong bawa brankar kesini, istri saya butuh di bawa ke IGD" jawab Ferdinand
Sang perawat sigap membawa apa yang di minta Ferdinand dan segera membawa Kanaya ke IGD.
"Kenapa badannya bisa membiru begini?" Tanya teman Ferdinand
"Aku juga tidak tahu, dia pingsan di rumah, dan saat aku cari di seluruh tubuhnya juga tidak di temukan bekas gigitan ular atau apapun" jawab Ferdinand
"Periksa denyut jantung pasien?" Perintah dokter teman Ferdinand
"Detak jantung 80 bpm dokter" jawab perawat
"Tekanan darah?" Tanya dokter lagi
"Tekanan darah 110 per 70 dokter" jawabnya lagi
"Semuanya normal, lalu apa yang terjadi?" Gumam dokter tersebut
"Apa istri kamu memakan sesuatu hari ini?" Tanya dokter
"Dia hanya makan bubur itupun tadi siang sebelum dia minum obat depresinya" jawab Ferdinand
Pernyataan Ferdinand semakin membuat dokter yang menangani Kanaya kebingungan, hingga tiba tiba tubuh Kanaya kembali normal dan tidak membiru lagi
"Astaga, Fer, aku rasa istrimu bukan kena penyakit medis, lihat saja sekarang kulitnya kembali normal" ungkap dokter tersebut terkejut
"Tidak .. pergi kamu!' teriak Kanaya terbangun
"Sayang, Kanaya" panggil Ferdinand
"Aku dimana?" Tanya Kanaya yang mulai sadar
"Kamu di rumah sakit, kamu pingsan tadi di rumah" jawab Ferdinand
"Hiks... Mas, baru saja aku senang dia tidak menggangguku saat teman William datang, tadi setelah Maghrib dia muncul lagi mas" ungkap Kanaya menangis
"Sudah, kamu yang sabar dulu, aku akan kembalikan lukisannya, kamu bisa tenang sekarang" bujuk Ferdinand
"Iya mas, buang saja lukisannya, aku takut" jawab Kanaya
"Sekarang kamu di sini saja ya, Vincent yang akan jaga kamu, aku akan pulang" ucap Ferdinand dan Kanaya hanya mengangguk
Ferdinand meminta temannya untuk menyediakan ruang perawatan untuk istrinya, dia juga meminta Vincent untuk menjaga Kanaya selama di rumah sakit, sementara dia akan menyimpan lukisan itu di gudang rumahnya.
Sampai di rumah
"Pa bagaimana mama?" Tanya William
"Mama kamu sudah sadar, dia hanya kelelahan saja, papa kesini hanya mau buka lukisan itu, mau papa simpan di gudang sebelum di kembalikan" jawab Ferdinand lembut
"Iya pa, buka saja, Ola bilang juga lukisannya seperti hidup saat teman teman Willy melihatnya" ucap William
"Sekarang kamu istirahat saja, besok sebelum sekolah kita akan ke rumah sakit, sekalian bawa baju ganti dan juga makanan untuk Vincent" bujuk Ferdinand
"Iya pa" jawab William
Ferdinand berjalan ke ruang tamu, dia mulai mendekati lukisan Perempuan Belanda itu dan mencopotnya dari dinding
Dia akan menempatkan lukisan itu di gudang rumahnya untuk sementara sampai ada pemilik baru dari lukisan itu.
Matanya terus menatap wajah lukisan itu yang selalu membuatnya merasa damai dan juga bahagia, wajah seseorang yang sangat dia cintai sejak dulu sampai sekarang, meski dia sudah menikah dan mencintai istrinya juga.
"Tadinya aku sangat bahagia karena aku bisa melihat kamu lagi, tapi jika dengan menyimpan mu istriku jadi terganggu, aku tidak mungkin membiarkan itu" gumam Ferdinand mengusap wajah di lukisan itu.
Dia berbalik dan hendak pergi, tapi seseorang tiba tiba saja memeluknya dari belakang sambil menangis.
"Hiks.... Kak dinand akan buang aku?" Tanya seseorang yang memeluknya masih terus terisak
"K... Ka... Kamu siapa?" Tanya Ferdinand dengan wajah pucat
"Kamu juga melupakanku" ucapnya
"Tidak.... I... Ini... Ttt...tidak mungkin" racaunya
"Aku cinta kak dinand" ungkap suara yang terus setia memeluk Ferdinand dari belakang
Dingin, itulah yang bisa Ferdinand rasakan saat tangan seseorang yang memeluknya itu melingkar di pinggangnya.
"Jangan buang aku hiks.... Aku tidak tahu harus kemana" ungkapnya
Ketika Ferdinand melepaskan pelukannya, dia berbalik dan wajahnya langsung tambah memucat, ketika dia melihat rupa dari sosok yang memeluknya itu
"Kamu..... "
"Iya ini aku kak dinand, Puspita Sari" jawabnya sambil tersenyum manis
Ferdinand menyentuh pipi perempuan yang menyerupai Sari dengan hati hati dan penuh kasih sayang, dia juga tersenyum tanpa sadar ketika bisa menyentuh pipi orang yang dia cintai itu
"Ini benar benar kamu Sari? Kenapa kamu ada disini? Apa Adrian mengusirmu?" Tanya Ferdinand khawatir dan sosok itu menitikkan air matanya
"Jangan menangis, kamu bisa tinggal disini, ayo ikut aku ke kamar tamu, kamu bisa tinggal disana" bujuk Ferdinand menuntun tangan sosok itu
Asisten rumah tangga terus menatap heran pada Ferdinand yang terlihat memeluk lukisan itu dan membawanya ke kamar tamu sambil terus tersenyum
"Tuan kenapa ya? Bukannya tadi lukisannya mau di simpan di gudang?" Gumam Asisten tersebut
"Ya Allah sepertinya lukisan itu memang ada hantunya" ucap asisten itu merasa merinding
*********
Di rumah Sagara.
"Kalian mengerjakan tugas apa tadi?" Tanya Sagara Danendra, ayah dari si kembar tiga.
"Kelompok kami kebagian menjelaskan tentang ginjal dad, kalau Abang Khalid tentang paru paru" jawab Gafi
"Memangnya harus ada tutor dokter aslinya ya? Ada ada saja guru kalian itu" tanya Sagara
"Iya dad, katanya harus ada tanda tangan dan juga rumah sakit tempat dokternya bekerja, kalau Oma Stefie kan nggak boleh karena salah satu pemilik sekolah juga, nanti di sangka nepotisme" jawab Khalid
"Ola kenapa?" Tanya Safira Anindya Adiwinata, ibu dari kembar tiga.
"Mom, di rumah William ada Tante Sari, tapi rambutnya pirang mom, nggak pake hijab" jawab Aurora
"Iya mom, dia juga ganggu istrinya om Ferdinand" sahut Gafi
"Kenapa kalian tidak usir dia?" Tanya Safira khawatir
"Dia sembunyi mom, dalam lukisan tua" jawab Aurora
"Hantu seram mom, dia suka apa ya itu namanya" ucap adik dua Angkasa dan Aurora yang bernama Andromeda putra Danendra dan kembarannya Altair putra Danendra.
"Jangan disebutkan, kamu masih kecil dan jangan di lihat juga sampai detail" ucap Safira dan Andromeda mengangguk
"Apa perlu kita beritahu om Ferdinand?" Tanya Sagara.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!