Hari ini sepertinya adalah hari yang panjang untuk Dara Ayu. Gadis cantik yang sering dirundung oleh teman sekelasnya. Seperti biasa dia akan dibelakang sekolah dan mendapat perlakuan yang kurang pantas. Tidak selayaknya anak sekolah berbuat seperti itu, apalagi itu masih di lingkungan sekolah.
Cika yang sejak awal memang tidak menyukai Ayu membawa satu ember kosong yang akan digunakan untuk mengguyur Ayu dengan air comberan yang ada di belakang gedung sekolah. “Lama amat, sih?!” keluh Cika kepada Sinta.
“Sabar kenapa! Nggak lihat kalau berat udah gitu bau!” balas Sinta sambil menutup hidung.
Sambil menunggu Sinta selesai, Cika menjambak rambut Ayu hingga merintih kesakitan. “Salah sendiri siapa suruh suka sama Juan! Sudah tahu kalau dia itu milikku, tapi kamu dengan lancangnya bilang kalau suka dia!” Cika mulai terbawa emosi.
“Heh … ngaca! Muka kamu itu seperti apa?! Sudah jelek, jerawatan, hitam pula. Percaya diri boleh, tapi sadar diri juga itu penting!” lanjut Cika.
“Lagian mana mau Juan sama cewek kayak kamu! Kaya nggak, miskin iya!” sambung Sinta lalu menyiramkan air comberan ke tubuh Ayu hingga seluruh tubuhnya berwarna hitam dan sangat bau.
Melihat Ayu yang seperti itu, tidak ada sedikitpun perasaan iba dalam hati Cika. Dia malah menambah luka dalam hati Ayu dengan meludahi wajahnya.
Kali ini Ayu merasa seperti orang yang sangat hina yang tidak layak untuk hidup di dunia ini.
Sedangkan di sudut lain, Juan dan dua temannya hanya diam menyaksikan kedua temannya beraksi. Sebenarnya dia tidak ingin merundung teman sekelasnya, tapi karena terlanjur malu, akhirnya dia ikut-ikutan yang lain.
Dimas, teman Juan yang juga ikut menyaksikan hal itu merasa kasihan. Dalam hatinya dia ingin sekali menolongnya, tapi sudah dipastikan dia yang akan menjadi bulan-bulanan Juan dan Riko nantinya. Akhirnya Dimas pun mencari aman untuk dirinya sendiri. Semua itu dia lakukan karena dirinya masih ingin sekolah disini dengan aman tanpa ada gangguan.
Ayu hanya bisa menangisi nasibnya yang tak pernah beruntung. Dia selalu menjadi bahan olok-olok teman-temannya.
“Kenapa harus aku, Tuhan? Kenapa?” lirih Ayu ketika semua perundung itu sudah pergi meninggalkannya sendiri. Kini seluruh seragamnya kotor dan berwarna hitam. Ayu segera pergi ke toilet sekolah yang kebetulan saat itu belum di kunci. Dia bersihkan semua agar saat pulang nanti ibunya tak khawatir.
Sepanjang jalan Ayu hanya diam seperti orang linglung. Pikirannya menerawang jauh entah ke mana. Dia merasa frustasi dan hina. Selama ini dirinya tidak pernah menyakiti orang lain, jangankan menyakitinya, mereka yang salah saja Ayu rela meminta maaf terlebih dahulu. Tapi apa yang dia dapat dari kebaikannya? Tidak ada satupun orang atau teman yang peduli dengannya. Rasanya dia ingin sekali mengakhiri hidup ini dan pergi menemui ayahnya.
Pikirannya bener-benar kosong saat itu. Kakinya melangkah menaiki dinding pembatas jembatan yang kebetulan jalan ke rumahnya melewati sungai yang cukup luas. Tas kecil yang selalu dia bawa ke sekolah dia lempar begitu saja. Tangannya mulai dia rentangkan menyesap angin yang menerpa tubuhnya. Ada perasaan lega kala angin sepoi-sepoi berhembus menyibakkan rambut panjangnya.
Otaknya tidak bisa berpikir jernih kali ini. Perlakuan temannya sudah sangat keterlaluan. Mereka menganggapnya seperti binatang yang pantas untuk disakiti. Matanya mulai terpejam, tubuhnya perlahan condong ke arah sungai yang berwarna coklat. Disaat dirinya akan terjatuh, dua orang yang sejak tadi berada di belakangnya langsung sigap menangkapnya.
Ternyata dirinya kini menjadi tontonan banyak orang. Banyak yang berteriak kepadanya tapi tak didengarnya. Banyak pula yang sudah bersiaga agar tidak sampai terjatuh ke dalam sungai. Ayu tidak menyadari hal itu, mungkin pikirannya yang kosong hingga menutup hatinya yang rapuh.
Dia menangis sejadi-jadinya di dalam pelukan orang-orang yang membantunya. Dia tumpahkan segala rasa sakit itu melalui tetesan kristal bening yang membasahi pipinya. Isak tangisnya mengundang banyak simpati warga sekitar yang merasa kasihan kepadanya. Pilu rasanya mereka mendengar tangisan gadis kecil yang belum saatnya merasakan kejamnya dunia ini
Setelah membaik, dia diantar pulang oleh beberapa warga yang menolongnya. Namun Ayu tidak mau karena takut ibunya khawatir, dia sampai memohon-mohon. Ayu ingin pulang sendiri, tetapi warga tidak mau kejadian seperti tadi terulang lagi. Mereka akhirnya sepakat mengantar Ayu hanya sampai di depan rumah saja dan dia juga berjanji tidak akan mengulanginya lagi.
“Sudah pulang?” tanya Lina begitu anaknya memasuki rumah.
Ayu terlihat terkejut mendengar suara ibunya. “I-iya, Bu.”
Dia langsung masuk ke dalam kamarnya dan mengganti seragamnya agar ibunya tidak tahu. Setelah selesai Ayu langsung menuju dapur yang hanya dibatasi selembar papan untuk memisahkan ruang tamu dan dapur.
“Ibu sudah masak, cepat makan.” Lina masih fokus dengan kayu bakarnya. Dia sedang memasak air untuk mereka minum.
“Ibu sudah makan?” kini gadis itu tanya balik ke ibunya.
“Kamu makan saja, ibu sudah kenyang. Tadi di ladang sudah makan dengan yang lain.”
Ayu sudah curiga dengan ibunya. Rasanya tidak mungkin kalau ibunya kenyang, sedangkan di ladang mereka hanya dapat makan satu kali dan ini sudah sore hari.
Dia buka tudung saji di atas meja kayu yang sudah reyot. Hanya ada sepiring nasi dan lauk tempe. Ayu tahu jika ibunya juga belum makan.
Diambilnya satu piring nasi dan lauknya, lalu dia bawa ke depan Lina. “Ibu, ayo kita makan berdua. Ayu kangen Ibu suapin seperti dulu,” ujar Ayu. Dia hanya mencari alasan agar ibunya mau makan bersama dengannya.
Tidak terasa buliran bening jatuh membasahi pipi Lina. Lina bukan orang bodoh yang tidak tahu maksud sang anak. Dengan senang hati dia makan bersama buah hatinya sambil bercerita agar Ayu tidak bersedih lagi.
Di sela-sela makannya, Ayu menyampaikan maksudnya untuk pindah sekolah. Meski rasanya berat karena biayanya tidak akan sedikit, tapi dia ingin sekolah yang tenang. Apalagi setelah ini dia akan menghadapi ujian kelulusan sekolah menengah pertama.
“Kenapa pindah, Yu. Sayang kalau kamu pindah, beasiswa kamu nanti hilang,” ujar Lina masih dengan kegiatan makannya.
“Ayu sudah nggak kuat lagi, Bu.”
Tangan Lina berhenti menyendokkan nasi. Wajahnya nampak bingung mendengar pernyataan anaknya. “Apanya yang nggak kuat? Memangnya kamu kenapa di sekolah?”
“Ayu … Ayu … Ayu sering dirundung sama teman sekelas Ayu, Bu.”
Jatuh sudah sendok dalam genggamannya. Lina tidak pernah menyangka anaknya akan mendapatkan perlakuan yang tidak pantas di sekolah. Dia pikir selama ini baik-baik saja, tapi nyatanya dia salah. Ayu, anak semata wayangnya telah menderita. Ayu menceritakan semua kejadian sejak dia memasuki sekolah itu. Bagaimana mereka memperlakukannya seperti hewan, bahkan lebih dari itu.
Tangis Lina semakin pecah mendengar anaknya ingin mengakhiri hidup. Dia raih punggung gadis kecil itu, dia peluk erat sambil mengucapkan kata-kata penyemangat untuk sang anak agar tetap bertahan dan tidak berpikir untuk melakukannya lagi.
“Besok ibu urus kepindahan kamu sekalian ibu carikan sekolah baru yang dekat dengan rumah.”
“Tapi biayanya bagaimana, Bu? Jika pindah sekolah pasti butuh uang banyak di sekolah baru.”
Wajah Ayu terlihat begitu sedih mengingat dirinya bukan orang yang mampu. Hidup serba kekurangan membuatnya lebih banyak berhemat dan lebih sering tidak makan.
“Jangan pikirkan itu. Ibu ada simpanan sedikit, cukup untuk sekolah kamu,” balas Lina menenangkan anaknya.
.
.
.
Tidak butuh waktu lama untuk dirinya mengurus kepindahan sang anak. Meskipun awalnya sedikit sulit karena sudah kelas tiga, tapi itu semua bisa Lina atasi. Kini Ayu bisa sekolah yang lebih dekat dengan rumahnya dan bisa tenang dalam belajar. Tidak ada perundung atau geng-gengan lagi. Semua temannya sangat baik kepada Ayu.
Sedangkan ditempat lain, Juan dan anak-anak yang lainnya dikejutkan dengan berita Ayu yang pindah sekolah. Bahkan ada kabar kalau dia sempat melakukan bunuh diri terjun ke sungai, tetapi digagalkan oleh orang yang mengetahuinya. Hal itu membuat semua anak yang merundungnya merasa ketakutan. Mereka tidak menyangka gadis polos itu akan berbuat hal yang nekat.
Terlebih Juan dan Dimas, mereka berdua merasa sangat bersalah kepada Ayu. Setelah mendengar berita itu, sepulang sekolah Juan langsung pergi ke rumah Ayu untuk mencari kebenarannya. Sayangnya, sesampainya di rumah ayu, dia mendapati rumahnya kosong. Menurut tetangga sekitar, ibu dan anak itu pindah rumah dan tidak ada satupun yang tahu mereka pindah ke mana.
Rasa bersalah pun menghantui Juan sejak hari itu. Dirinya tidak menyangka perbuatannya hampir merenggut nyawa orang lain. Bahkan membuat seluruh keluarganya merasa sakit. Tidak terasa butiran kristal itu membendung di pelupuk matanya. Tubuhnya bergetar hebat menahan isak tangis yang hampir tak terdengar suaranya. Rasa sesak memenuhi seluruh ruang di dadanya. Juan hanya bisa menangis penuh penyesalan. “Maaf … maafkan aku. Aku sudah keterlaluan. Maaf,” lirihnya pelan di depan rumah Ayu yang kini sudah tak berpenghuni. Berharap gadis itu mendengar permintaan maafnya.
Tujuh tahun telah berlalu, Ayu yang kini sudah berusia dua puluh satu tahun dan dia bekerja di salah satu rumah milik konglomerat di kotanya. Meski tidak setiap hari dirinya pulang ke rumah, tapi dia bisa melakukan panggilan dengan ibunya untuk melepas rindu.
Tidak selamanya orang miskin akan selalu miskin asal mau berusaha. Tidak selamanya orang bodoh akan tetap bodoh selama dia mau menambah wawasan. Tidak selamanya Ayu hidup menderita seperti dulu, karena kini hidupnya lebih bahagia dan bisa menyaur hutang orang tuanya. Ibunya kini bisa hidup tenang dan tidak perlu lagi ke ladang meski belum bisa memperbaiki rumahnya, Ayu perlahan bisa mengangkat derajat sang ibu.
“Ibu, Ayu kangen,” ucap Ayu saat melakukan video dengan ibunya. Selesai dengan tugasnya dia langsung kembali ke kamar untuk istirahat karena hari sudah malam.
“Ibu juga, Yu. Kamu di sana jaga diri baik-baik. Jangan malas-malasan, majikan kamu sangat baik. Ingat, apa yang kamu punya hari ini, semua karena kebaikan majikan kamu , Yu,” tutur Lina.
“Iya, Bu. Bu, Ayu tidur dulu ya, sudah ngantuk.”
“Iya Yu, hati-hati kalau bekerja.”
Panggilan singkat itu pun terputus karena Ayu mulai memejamkan matanya. Seharian ini dia sangat lelah karena banyaknya pekerjaan yang harus dia selesaikan. Pagi tadi dia ikut Nyonya Maya ke rumah baru untuk anaknya yang akan kembali dari luar negeri. Dia akan tinggal di Indonesia dan mengurus semua perusahaan orang tuanya. Besok adalah kedatangan William ke rumah baru yang jaraknya sedikit jauh dari rumah utama.
William memilih rumah sendiri karena tidak suka dengan keramaian. Rasa trauma di masa lalunya membuat dia lebih suka menyendiri dengan suasana tenang.
.
.
.
Pagi ini rumah keluarga Issac terlihat begitu sibuk sekali. Ada delapan orang pelayan yang sibuk dengan tugas masing-masing termasuk Ayu. Dia ditugaskan membersihkan rumah baru dan rencananya dia nanti juga akan tinggal di sana untuk melayani Tuan Muda William. Anak pertamanya ini memang sedikit sulit untuk dihadapi, belum lagi suka bikin pusing mamanya karena permintaannya yang aneh-aneh. Padahal dia belum pindah ke sini tapi sudah buat repot seluruh penghuni rumah.
“Ayu, bawa semua baju kamu. Nanti biar Pak Amir yang mengantarmu ke sana. Saya akan ke bandara menjemput William,” ujar Nyonya Maya ibu dari Tuan Muda William.
“Baik, Nyonya.” Ayu sangat patuh dengan segala tugas dan peraturan yang telah dibuat. Tidak pernah sekalipun dia membantah atau bertanya kembali dengan tugas yang diberikan.
Dia bergegas membawa barang-barangnya dan memasukkannya ke mobil. Dari delapan pelayan wanita, hanya Ayu yang usianya lebih muda dan kerjanya cekatan. Mungkin faktor usia yang mempengaruhi kinerjanya.
.
.
.
Mobil pun sampai di depan bangunan yang tidak terlalu besar dari rumah utama tetapi sangat mewah. Bahkan Ayu masih kagum dengan kemegahannya.
“Yu, kamu masuk dulu, biar Bapak yang turunkan barangnya,” ujar Pak Amir setelah memarkirkan mobilnya.
“Baik, Pak.”
Pintu mulai terbuka lebar, kakinya melangkah tegas menginstruksikan untuk segera memulai pekerjaannya. Ayu sangat bangga dengan dirinya kali ini. Meski bukan karena prestasi, tapi dia bangga karena bisa hidup dengan baik sampai detik ini. Seluruh gajinya ditabung dan di kirim ke ibunya, dia hanya mengambil sedikit untuk keperluan pribadinya.
Setelah semua barang turun, Ayu menata semuanya di dapur dibantu Pak Amir. Tidak banyak yang mereka bicarakan karena Ayu lebih pendiam jika bekerja.
“Yu, apa masih ada yang belum dikerjakan?” tanya Pak Amir setelah selesai dengan pekerjaannya.
“Tidak, Pak. Sudah semua, tinggal ini saja. Bapak sudah boleh kembali,” balasnya. Dia pun berdiri dari duduknya setelah menata lemari pendingin.
“Bapak pulang dulu, ya?”
“Iya, Pak. Hati-hati.”
Suasana semakin sunyi begitu Pak Amir pergi. Rumah ini memang terletak cukup jauh dari hiruk pikuk kota.
Tidak lama setelah itu, deru mesin mobil terdengar samar. Ayu berlari melihat siapa yang datang. Ternyata Maya datang dengan suaminya, tetapi ada satu mobil yang ada di belakangnya dan belum terlihat siapa yang ada di sana.
“Yu, turunkan semua barang William. Langsung kamu taruh di kamarnya saja,” titah Maya.
Ayu pun patuh dan bergegas membuka bagasi mobil depan. Sedangkan ada sepasang mata yang sejak tadi memperhatikannya tanpa sepatah kata. Dia duduk diam sambil mengamati setiap gerak gadis di depannya. Tidak ada ekspresi senang atau benci, hanya ada wajah datar dan dingin yang biasa disuguhkan untuk semua orang.
Ada dua koper besar yang cukup berat bagi seorang gadis bertubuh kecil seperti Ayu. Kedua tangannya terlihat begitu kesulitan mengeluarkan koper itu dari bagasi.
“Bisa, Yu?” tanya Maya yang melihatnya sedikit kesulitan.
“Bisa, Nyonya,” jawab Ayu dengan lantang. Padahal dia sudah menahan nafas untuk menariknya.
“Ini tas apa sih isinya?! Kenapa begitu berat mengalahkan beras satu karung,” batinnya kesal. Baru kali ini dia mengeluh meski dalam hati.
Senyum samar terukir di wajah kaku laki-laki yang kini berdiri tegak di samping mobil sportnya. Tidak ada satu orang yang melihat senyumnya. Melihat Ayu masih kesulitan, Willian pun turun tangan membantu gadis itu.
“Makan yang banyak biar cepat besar,” ucap William di samping telinga Ayu. Ujung benda kenyal pria itu sedikit menyentuh daun telinga gadis kecil yang ada di sampingnya, hingga membuatnya merasa geli dan merinding. Segera dia menoleh ke samping dengan tatapan horor.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!