Suasana ruang kerja pribadi itu begitu tenang, berbanding terbalik dengan kerasnya ruangan rapat yang baru saja ditinggalkan. Aroma kayu jati dari meja besar dan wangi samar kopi yang masih tersisa membuat atmosfer ruangan lebih nyaman. Di kursi hitam berbahan kulit premium, Leonardo bersandar sambil melonggarkan dasi hitamnya. Sorot matanya yang tajam masih menyimpan sisa-sisa amarah dari meeting barusan.
Leonardo menghela napas pelan, menatap layar laptop di hadapannya yang dipenuhi angka-angka grafik penjualan. Tangannya mengetik cepat, merapikan data yang kacau karena keteledoran bawahannya. Sesekali jemarinya berhenti, hanya untuk memijat pelipis yang terasa berat. Di usianya yang sudah menginjak 30 tahun, Leonardo benar-benar mendedikasikan seluruh hidupnya untuk bisnis. Dunia luar baginya hanyalah latar samar yang tidak penting.
Ketukan halus terdengar dari pintu.
“Masuk,” ucapnya singkat dengan suara dalam dan berwibawa.
Pintu terbuka, Adrian—asisten pribadinya—muncul dengan senyum ringan. Berbeda dengan sang CEO yang dingin dan kaku, Adrian lebih cair, kadang jenaka, dan itulah yang membuat suasana tidak terlalu menyesakkan.
“Tuan, saya akan memanggil sekretaris untuk membawa laporan hari ini. Oh iya… sekalian saya pesan kopi juga, biar mata nggak merem pas lihat angka-angka itu,” ucap Adrian sambil terkekeh kecil.
Leonardo hanya menoleh sekilas, ekspresinya tetap datar. “Cepat.”
Adrian mengangguk patuh. “Baik, Tuan.”
Ia lalu berbalik, melangkah keluar ruangan dengan langkah santai. Di koridor, beberapa karyawan menyapanya. Adrian selalu membalas dengan senyum ramah, bahkan sesekali melontarkan candaan kecil yang membuat beberapa staf perempuan terkekeh. Tidak heran jika Adrian lebih disukai di lingkungan kantor, meski tetap saja semua orang tahu: bayangan Leonardo selalu lebih besar dari siapa pun di perusahaan ini.
Sementara itu, di dalam ruangan, Leonardo meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja. Layar menyala, sebuah notifikasi pesan muncul di atas. Ia membuka, matanya langsung membaca rangkaian kalimat panjang.
“Aku akan pulang dua hari lagi. Hari ini aku mau puas-puasin belanja dulu. Jangan lupa siapin mobil jemput aku, jangan sampai aku nunggu. Kau tahu aku paling benci menunggu, kan?”
Pesan itu ditutup dengan emoji senyum angkuh yang membuat Leonardo menatap lama layar ponselnya.
Lelaki itu tidak membalas. Bahkan, ekspresi wajahnya tetap tak berubah, hanya sorot matanya yang sedikit meredup, seakan ada sesuatu yang ditahannya. Dengan gerakan sedikit kasar, ia meletakkan ponsel itu di atas meja hingga menimbulkan suara thuk pelan.
Kepalanya menengadah, menatap langit-langit ruangan yang tinggi. Ada rasa jengah yang sulit dijelaskan. Tidak marah, tidak juga senang. Lebih kepada beban yang tidak bisa ia lepaskan begitu saja.
Tak lama kemudian, pintu terbuka kembali. Adrian masuk sambil membawa map tebal dan secangkir kopi hangat. Di belakangnya, seorang wanita dengan pakaian formal dan kacamata tipis melangkah pelan. Dia adalah sekretaris kantor—tertib, rapi, dan terlihat gugup setiap kali harus berhadapan langsung dengan CEO.
“Laporan hari ini, Tuan,” ucapnya dengan suara hati-hati sambil menyerahkan map.
Leonardo menerima tanpa berkata apa-apa. Ia membuka lembar demi lembar, bola matanya bergerak cepat meneliti setiap detail. Di meja samping, Adrian menaruh kopi, lalu berdiri dengan sikap tenang, meski matanya sempat melirik wajah bosnya.
Keheningan kembali menguasai ruangan, hanya terdengar suara kertas dibalik dan detik jam yang berdetak monoton. Sekretaris itu berdiri kikuk, menunggu instruksi lebih lanjut.
Leonardo menutup map dengan tegas. “Ada revisi di bagian ini. Angka tidak sinkron dengan laporan awal. Pastikan ini diperbaiki sebelum sore.”
“Ba… baik, Tuan,” jawab sekretaris itu cepat, lalu menunduk dalam sebelum melangkah mundur keluar ruangan.
Kini tinggal Adrian dan Leonardo. Adrian memberanikan diri membuka suara. “Tuan, saya boleh jujur?”
Leonardo menoleh dengan tatapan datar. “Apa?”
“Saya rasa… kalau Tuan terus menekan semua orang seperti ini, staf kita bisa kelelahan. Tadi di rapat, beberapa kepala divisi bahkan terlihat hampir mau pingsan.” Adrian mencoba tersenyum, meski tahu kata-katanya berisiko.
Leonardo hanya menatapnya lama. “Mereka dibayar mahal, Adrian. Jika mereka tidak bisa menanggung beban, maka mereka tidak layak berada di sini.”
Jawaban itu tegas, dingin, dan membuat suasana kembali membeku. Adrian hanya mengangkat bahu kecil, lalu memilih menyeruput kopi agar tidak semakin canggung.
Namun, di balik ketegasan dan aura gelapnya, Leonardo menyembunyikan sesuatu. Bukan sekadar ambisi seorang pengusaha, tapi juga kerumitan hidup pribadi yang tidak diketahui siapa pun, bahkan oleh asisten terdekatnya. Pesan tadi hanyalah satu potongan kecil dari puzzle besar kehidupannya—sebuah rahasia yang perlahan akan menyeret banyak orang di sekitarnya, termasuk Adrian yang hanya menjalankan tugas.
Leonardo meneguk kopi yang disuguhkan. Pahit. Sama pahitnya dengan kenyataan yang selama ini ia jalani. Dan seperti biasa, ia memilih diam—menenggelamkan perasaannya di balik dinding dingin bernama pekerjaan.
Mobil mewah hitam itu melaju perlahan memasuki halaman kediaman keluarga Wirjawan. Gerbang setinggi lima meter dengan ukiran besi klasik bergaya Eropa dibuka oleh dua pengawal berseragam hitam rapi. Dengan wajah dingin dan sorot mata yang sulit ditebak, Leonardo Warjawan turun dari mobil. Langkah kakinya mantap, jas hitam masih melekat sempurna meski seharian penuh tubuhnya bergelut dengan pekerjaan.
Rumah megah itu menjulang dengan kemewahan bak istana Eropa klasik. Pilar-pilar tinggi menopang fasad bangunan, jendela-jendela kaca besar berbingkai emas tampak berkilau diterpa cahaya lampu taman. Setiap sudut halaman dipenuhi tanaman hias mahal yang dirawat dengan telaten. Pantas saja, banyak orang menjuluki kediaman itu sebagai The Warjawan Palace.
Para pelayan segera berbaris menyambut tuannya. “Selamat malam, Tuan Muda Leonardo,” ucap mereka hampir serentak, menundukkan kepala penuh hormat. Namun, lelaki itu hanya mengangguk tipis tanpa sepatah kata pun, seakan sapaan itu hanya angin lalu.
Tangga besar melingkar dari marmer putih menuntun langkahnya ke lantai tiga—lantai pribadi yang hanya boleh dimasuki oleh Leonardo dan beberapa orang kepercayaannya. Rumah ini terdiri dari tiga lantai:
Lantai pertama berisi dapur utama yang luas, ruang makan berkapasitas puluhan orang, gudang anggur eksklusif, serta deretan kamar sederhana milik para pelayan. Sebanyak 25 pekerja tinggal di sana: dari kepala pelayan, koki, pramusaji, hingga penjaga kebun.
Lantai kedua dipenuhi kamar tamu berdesain elegan, ruang karaoke berteknologi tinggi, dan beberapa ruang hiburan lain yang biasa digunakan saat keluarga besar Wirjawan berkumpul.
Lantai ketiga adalah lantai paling istimewa. Di sinilah ruang kerja pribadi Leonardo berdiri dengan dinding kaca besar yang memperlihatkan panorama kota malam. Ada ruang santai lengkap dengan perapian modern, sebuah ruang gym dengan peralatan premium, serta dua kamar tidur mewah yang hanya digunakan untuk Leonardo dan tamu kehormatan.
Arsena, kepala pelayan, sudah menunduk sopan menyambut. “Tuan, saya sudah menyiapkan makanan malam Anda. Apakah ingin saya antarkan ke kamar atau ke ruang kerja?”
Leonardo melepaskan jas hitamnya, menyerahkannya begitu saja kepada Arsen tanpa menatapnya. “Ke ruang kerja. Aku tak punya waktu untuk duduk tenang.”
Arsena hanya mengangguk, lalu melangkah cepat memberi perintah kepada pelayan lain. Tak lama kemudian, seorang pramusaji membawa nampan perak berisi sepiring steak wagyu, sup krim jamur, dan segelas anggur merah ke lantai 3.
Namun, Leonardo hanya menyentuh anggur itu. Makan malam sering baginya hanyalah formalitas. Ia lebih kenyang dengan laporan-laporan kerja yang terus menumpuk.
Di meja kerjanya, cahaya lampu gantung kristal menerangi ruangan yang dipenuhi rak buku, lukisan klasik, serta meja kayu jati besar. Leonardo membuka laptopnya, menatap grafik keuangan yang terus bergerak. Baginya, angka lebih menarik daripada manusia.
Malam semakin larut, namun di lantai tiga kediaman Wirjawan, lampu ruang kerja tetap menyala terang. Di sana, Leonardo Warjawan duduk tegak, tenggelam dalam pekerjaannya. Aura dingin, wibawa, dan keanggunan kekuasaan tetap menyelimuti dirinya, seolah ia adalah raja yang sedang menjaga takhta.
Malam itu suasana kediaman megah keluarga Wirjawan terasa begitu hening. Di luar, lampu-lampu taman menyala indah, berpadu dengan cahaya bulan yang menembus kaca jendela besar lantai tiga. Leonardo sedang duduk di ruang santainya, mengenakan kemeja santai warna hitam dengan lengan tergulung. Di tangannya ada segelas wine merah, sementara matanya menatap kosong layar televisi yang bahkan tidak benar-benar dia perhatikan.
Ponselnya bergetar di meja kecil samping kursi. Nama yang tertera di layar membuat wajahnya berubah sedikit—Mama. Ia menarik napas panjang, lalu mengangkatnya.
“Leonardo, Nak… bagaimana keadaanmu di Jakarta? Mama harap kamu makan teratur, jangan terlalu keras pada dirimu,” suara lembut sang ibu terdengar dari seberang, meski ada sedikit jeda khas sambungan internasional.
Leonardo menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi, menatap langit-langit ruangan. “Semuanya aman, Ma. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Perusahaan juga berjalan seperti biasa.” Suaranya terdengar tenang, datar, penuh kendali.
Tak lama kemudian, suara berat ayahnya ikut masuk dalam sambungan itu. “Leo, kapan kamu berencana datang ke Amerika? Sudah saatnya kamu lebih banyak berada di sini, ikut mengawasi bisnis induk. Bagaimanapun, masa depan keluarga besar Wirjawan ada di tanganmu.”
Leonardo terdiam sesaat, menatap keluar jendela yang menampilkan panorama lampu kota Jakarta di kejauhan. Ada bayangan samar kelelahan di matanya, lalu ia menjawab dengan nada dingin namun tegas, “Tidak akan pernah, Pa. Aku tidak akan ke sana.”
Keheningan mengalir sejenak di antara mereka. Dari seberang, sang ibu menghela napas berat, mencoba menengahi. “Leo, jangan bicara begitu. Kami hanya ingin yang terbaik untukmu. Kamu anak pertama kami, penerus perusahaan. Di sini, semua menunggu kehadiranmu.”
Leonardo tersenyum tipis, tapi senyuman itu tidak sampai ke matanya. “Aku tahu, Ma. Tapi pilihanku sudah bulat. Jakarta adalah tempatku. Aku tidak butuh Amerika, dan aku tidak butuh semua itu.”
Ia meneguk kembali minumannya, mencoba mengubur rasa sakit yang diam-diam menyeruak setiap kali membicarakan keluarganya di seberang benua.
“Papah hanya ingin melihatmu lebih dekat dengan kami,” ucap sang ibu lirih.
Leonardo menutup mata, kepalanya sedikit tertunduk. “Aku tetap anak kalian, Ma.”
Sambungan itu akhirnya berakhir setelah beberapa percakapan singkat lainnya. Leonardo meletakkan ponselnya agak kasar di meja, lalu menghela napas panjang. Sepi kembali menguasai ruangan. Di luar, suara angin malam berdesir pelan, sementara di dalam dirinya, ada perang yang tak seorang pun tahu.
Mentari pagi menyelinap dari celah tirai jendela besar di lantai tiga kediaman megah keluarga Wirjawan. Cahaya keemasan menembus perlahan, menyapu ruangan dengan hangat yang kontras dengan dinginnya nuansa marmer putih dan perabot klasik bergaya Eropa yang menghiasi ruang pribadi Leonardo. Dari balkon kamar pribadinya, panorama Jakarta terlihat jelas, meski hiruk-pikuk kota itu seakan tidak pernah masuk ke dalam kehidupannya. Di tempat ini, hanya ada dirinya, ketenangan, dan rutinitas yang tak pernah berubah.
Leonardo duduk tegak di kursi panjang berbahan kayu jati yang dilapisi bantalan beludru abu-abu. Penampilannya tetap rapi meski baru saja bangun tidur—kemeja putih tipis masih menempel di tubuh bidangnya, beberapa kancing dibiarkan terbuka memperlihatkan kulitnya yang putih bersih. Di tangan kirinya, segelas kopi hitam pahit mengepulkan asap tipis, sementara di tangan kanannya, sebatang rokok mahal telah menyala.
Hisapan pertama ia tarik dalam-dalam, lalu hembuskan perlahan. Asap rokok menari di udara, berpadu dengan aroma kopi yang pekat. Pemandangan matahari terbit di hadapannya begitu indah, tapi tatapannya dingin, seolah tak pernah benar-benar menikmati apa pun yang ditawarkan dunia.
Bagi Leonardo, hidup hanya dua kata: bekerja dan bertahan. Kebahagiaan adalah barang mewah yang tak sempat ia pikirkan.
Tiba-tiba, bunyi notifikasi ponsel memecah kesunyian pagi. Ia menoleh sekilas, mengulurkan tangan, dan meraih ponsel hitam di atas meja kecil samping kursinya. Layar menampilkan pesan singkat dari seseorang.
"*Leo, tolong suruh supir menjemput saya di bandara*."
Leonardo membaca sekali, lalu meletakkan kembali ponselnya. Ia tidak pernah suka bertele-tele. Jawabannya hanya satu kata, singkat dan padat.
"Iya."
Tanpa perlu berpikir panjang, Leonardo menggeser tubuhnya ke belakang, menyandarkan punggung di kursi. Sebatang rokok kembali ia hisap, sebelum ia mengangkat ponselnya lagi dan menekan nomor yang sudah hafal di luar kepala.
Tersambung.
“Adrian.” Suaranya berat, dalam, dan tetap datar.
Di seberang sana, suara lelaki terdengar santai, penuh gurauan. “*Ya, Tuan. Selamat pagi. Apa yang bisa saya lakukan kali ini? Mengurus rapat mendadak, atau membelikan kopi favorit Anda*?”
Leonardo menghela napas pelan, lalu menjawab dingin, “Pergi ke bandara. Jemput seseorang.”
Adrian terdiam sebentar, lalu terkekeh kecil. “*Seseorang? Kedengarannya penting sekali. Kalau begitu, bagaimana kalau setelah ini gaji saya ditambah, Tuan? Pekerjaan saya makin hari makin beragam. Jadi supir, jadi sekretaris, bahkan kadang jadi penghibur pribadi Anda juga*.”
Suara Adrian terdengar ringan, jelas mencoba mencairkan suasana. Ia memang sudah lama terbiasa dengan sifat keras dan dingin majikannya.
Leonardo memejamkan mata sebentar, rokok di tangannya sudah tinggal separuh. Nada bicaranya tetap sama, dingin tanpa emosi. “Delapan ratus.”
Adrian langsung mengerutkan dahi. “*Delapan ratus? Maksud Tuan, delapan ratus apa? Dolar? Ribu? Atau… jangan bilang delapan ratus rupiah, saya mogok kerja sekarang juga*.”
Leonardo membuka matanya, menatap lurus ke depan pada mentari yang semakin terang. “Dolar. Anggap saja bonus.”
Sunyi sejenak, sebelum suara tawa Adrian pecah keras di seberang telepon. “*Ha! Akhirnya hati Tuan bisa juga digerakkan untuk menambah gaji saya. Baiklah, saya akan menjemput orang itu dengan sepenuh hati*.”
Leonardo tidak membalas tawa itu. Ia hanya memutuskan telepon dengan tenang, seolah percakapan barusan tak pernah terjadi.
Ia meletakkan ponsel di meja, lalu menyesap sisa kopinya sampai habis. Getirnya kopi hitam bercampur dengan pahit rokok di tenggorokannya, meninggalkan rasa yang sesuai dengan hidup yang ia jalani..
Tangannya meraih rokok terakhir di meja, menyalakannya, lalu ia duduk lebih tegak. Pikirannya mulai disibukkan oleh berbagai spekulasi.
Disisi lain Adrian sedang menjalankan tugas nya yaitu menjemput seseorang yang ada di bandara, Adrian sudah sering menjemput orang tersebut dan sangat hapal siapa dia untuk seorang Leonardo Adikara Wirjawan.
Di sepanjang jalanan, Adrian bersenandung kecil sambil melihat jalanan ibukota yang sangat padat. Dia sesekali melihat ke arah HP nya untuk melihat informasi terkini.
"Kenapa tidak tuan sendiri aja sih yang jemput, tapi tidak apa-apa. Setidaknya gaji ku di tambahin tuan."
Dia terus melajukan kecepatan nya untuk segera ke bandara dan setelah itu kembali lagi ke kantor, karna hari ini terlalu padat jadwal meeting untuk tuan nya yang super sibuk.
Di sisi lain, Leo memilih untuk mandi untuk menenangkan pikirannya, dan dia juga harus bersiap-siap untuk pergi ke kantor.
Suara deru mesin mobil mewah itu akhirnya memasuki halaman luas kediaman keluarga Wirjawan. Adrian yang sejak tadi tampak santai di balik kemudi, sesekali melirik ke arah penumpang yang duduk anggun di kursi belakang. Sosok itu bukan orang lain, melainkan Aurelia Santika Wirjawan, istri sah Leonardo. Aura kecantikannya seolah memancarkan wibawa yang membuat semua mata tak bisa berpaling.
Perjalanan dari bandara hingga ke kawasan elite Menteng memakan waktu hampir satu jam. Selama perjalanan, Adrian beberapa kali mendengar nada suara lembut Aurelia saat memberi arahan mengenai koper-kopernya yang tak terhitung jumlahnya. Adrian tersenyum samar dalam hati, tahu betul kalau koper itu bukan sembarangan. Setiap koper menyimpan koleksi pakaian, sepatu, parfum, hingga tas-tas keluaran rumah mode internasional. Aurelia baru saja kembali dari liburan panjangnya di Prancis, negeri yang terkenal dengan dunia fashion, dan tentu saja ia tidak pulang dengan tangan kosong.
Begitu roda mobil melintasi gerbang besar yang dijaga oleh dua security pribadi, para pelayan rumah segera bergegas mendekat. Halaman luas yang dikelilingi pepohonan rapi itu seketika ramai dengan langkah kaki para pekerja rumah tangga. Seperti sudah terbiasa, mereka langsung mengatur barisan untuk menyambut kedatangan nyonya rumah.
Mobil berhenti tepat di depan pintu utama. Adrian segera turun, lalu membuka pintu belakang. Dari dalam, Aurelia keluar dengan anggun. Gaun putih krem selutut yang ia kenakan tampak sederhana, tetapi jelas terpancar bahwa itu bukan gaun biasa, melainkan rancangan desainer ternama. Sepasang kacamata hitam masih bertengger di matanya, sementara sebuah scarf sutra bermotif monogram melilit leher jenjangnya.
“Selamat datang kembali, Nyonya Aurelia,” ucap Adrian dengan nada formal, menundukkan sedikit kepalanya.
Aurelia tersenyum tipis, mengangguk kecil, lalu melangkah mantap menaiki tangga marmer menuju pintu utama. Di belakangnya, koper-koper branded mulai diturunkan satu per satu dari bagasi. Jumlahnya cukup banyak hingga membuat beberapa pelayan harus saling bergantian membawanya.
Di antara barisan pelayan, tampak seorang wanita berusia sekitar tiga puluh tahun yang berbeda dari yang lain. Penampilannya rapi, rambutnya tersanggul sederhana, dan cara ia membawa tas pribadi milik Aurelia menunjukkan profesionalitas. Dialah Maya, asisten pribadi Aurelia. Maya sudah bertahun-tahun mendampingi Aurelia, bukan hanya sebagai pembantu, melainkan tangan kanan yang mengetahui hampir seluruh detail kehidupan nyonyanya.
“Maya, pastikan koper biru yang paling besar hati-hati. Isinya koleksi khusus musim ini,” ujar Aurelia tanpa menoleh.
“Baik, Nyonya,” jawab Maya cepat, mengisyaratkan pada pelayan lain agar koper itu diperlakukan lebih lembut dari biasanya.
Di beranda rumah, aroma bunga segar dari vas-vas kristal menyambut. Interior rumah itu sendiri sudah menjadi simbol kemewahan—pilar-pilar putih bergaya klasik, pintu kayu jati dengan ukiran detail, serta chandelier kristal yang menggantung megah tepat di ruang masuk.
Leonardo, sang tuan rumah, belum terlihat di sana. Biasanya ia tidak suka menyambut dengan ramai-ramai, lebih memilih menjaga ketenangannya di ruang kerja atau balkon favoritnya. Namun, Aurelia sudah terbiasa dengan sifat dingin suaminya. Ia tahu, suaminya bukan tipe lelaki yang akan berlari menyambut istri dengan penuh drama.
“Selamat datang kembali, Nyonya,” sapa salah satu maid lain, Sinta, yang bertugas mengatur rumah bagian dalam.
Aurelia hanya mengangguk tipis. Matanya menelusuri koper yang terus dibawa masuk. Setiap pelayan bekerja dengan cepat, tanpa suara berlebihan, seolah sudah terlatih menghadapi kebiasaan nyonya mereka yang selalu pulang dengan banyak barang dari luar negeri.
Maya, yang setia berjalan di belakang Aurelia, dengan cekatan memberi instruksi pada pelayan lain: koper Louis Vuitton ke kamar utama di lantai dua, set koleksi Chanel ke walk-in closet, sedangkan kotak kecil berlogo perhiasan ternama harus langsung ditempatkan di meja rias Aurelia.
Begitu memasuki ruang tamu, Aurelia akhirnya melepas kacamatanya. Wajahnya yang cantik semakin terlihat jelas, dipoles make-up tipis khas wanita berkelas. Ia meletakkan scarf sutranya di tangan Maya lalu menatap sekeliling, memastikan tidak ada yang berubah selama ia pergi.
“Rumah tetap rapi seperti biasa. Bagus,” gumam Aurelia pelan.
Para maid hanya saling melirik, lega mendengar kalimat itu. Karena mereka tahu, Aurelia tipe yang detail. Ia tidak segan-segan menegur jika menemukan sedikit saja kekurangan di rumah itu.
Sementara itu, Adrian menutup pintu mobil setelah koper terakhir diturunkan. Ia berjalan mendekat, menyerahkan kunci mobil pada salah satu sopir cadangan. “Semuanya sudah diturunkan. Nyonya sudah masuk,” ucapnya singkat sebelum berlalu menuju garasi.
Di dalam, Aurelia kini duduk di sofa empuk ruang tamu. Maya segera menyajikan teh hijau hangat yang sudah dipersiapkan. “Terima kasih, Maya,” katanya lembut, berbeda dengan nada tegas yang ia lontarkan pada pelayan lain. Maya memang berbeda, ia dianggap lebih dari sekadar pelayan, melainkan sahabat sekaligus pendengar setia di balik kesibukan Aurelia sebagai istri pria penting.
Aurelia menyeruput tehnya perlahan, sementara koper-koper masih dibawa ke lantai atas. Di benaknya, ia sudah memikirkan acara sosial yang akan ia hadiri dalam waktu dekat. Paris mungkin sudah ia tinggalkan, tetapi aura kota itu masih melekat pada dirinya. Ia tahu, di Jakarta pun ia tetap harus menjadi pusat perhatian, istri seorang Leonardo Wirjawan.
Leonardo akhirnya turun dari lantai tiga menggunakan lift pribadi. Suara ding khas lift terdengar pelan, dan pintu terbuka memperlihatkan sosok pria muda dengan jas rapi berwarna hitam. Jas itu terpotong sempurna, dipadukan dengan kemeja putih bersih serta dasi sederhana yang membuat aura dinginnya semakin kuat. Rambutnya disisir rapi ke belakang, dan wajahnya—tanpa senyum—menyiratkan bahwa ia tengah bersiap menghadiri pertemuan penting dengan kolega bisnis dari Singapura pagi ini.
Tangannya membawa map kulit berwarna cokelat tua berisi dokumen-dokumen penting, sementara langkahnya mantap menyusuri koridor panjang rumah itu. Setiap pelayan yang melihatnya langsung menundukkan kepala dengan penuh hormat, namun Leonardo tetap berjalan tanpa menoleh, seolah kehadiran mereka hanyalah bayangan semata.
Di ruang tengah yang luas, Aurelia membuka salah satu koper besar berisi barang-barang belanjaannya dari luar negeri. Pakaian bermerek, sepatu kulit elegan, parfum eksklusif, serta aksesoris mahal berjejer memenuhi lantai. Aura Aurelia pagi itu sangat kontras dengan Leonardo. Ia tampak cerah dengan gaun sederhana namun tetap menampilkan sisi modern nan anggun. Wajahnya dihiasi senyum tipis ketika menyerahkan beberapa bungkusan kecil kepada para pekerja rumah itu.
"Maya, tolong bagikan oleh-oleh ini ke pelayan lainnya," ucap Aurelia sambil menunjuk ke arah paperbag yang sudah ia atur sesuai nama.
Maya, wanita berusia tiga puluhan yang selalu setia mendampingi Aurelia, langsung mencatat dengan cekatan. "Baik, Nyonya."
Para pelayan lainnya tampak bahagia menerima oleh-oleh dari Aurelia. Meski hanya barang kecil dibandingkan dengan kekayaan yang dimiliki nyonya mereka, tetap saja itu menjadi bentuk perhatian yang membuat mereka merasa dihargai.
Namun di tengah suasana hangat itu, tatapan dingin Leonardo tertuju pada istrinya. Matanya menyipit sejenak, seolah menilai betapa sibuknya Aurelia dengan koper-koper penuh barang mahal. Napasnya terdengar berat, bukan karena lelah, melainkan karena malas menatap pemandangan yang baginya tidak penting.
Aurelia yang menyadari tatapan itu langsung menoleh. "Leonardo," panggilnya dengan suara datar namun terdengar berusaha hangat.
Namun bukannya menjawab, Leonardo hanya melemparkan tatapan kosong ke arah istrinya, lalu melangkah pergi begitu saja melewati ruang tengah. Langkahnya tenang, tetapi dinginnya terasa menusuk, membuat suasana seketika menjadi canggung.
Aurelia hanya menarik napas panjang, lalu kembali menekuni koper yang ada di hadapannya. "Maya, kita lanjutkan. Jangan hiraukan," ujarnya sambil tersenyum.
Para pekerja di rumah itu pun menunduk, tidak ada yang berani bersuara. Mereka sudah terlalu sering melihat pemandangan itu: tuan dan nyonya mereka berjalan di jalan masing-masing, tanpa pernah ada percakapan hangat yang terdengar. Sejak empat tahun lalu pernikahan megah itu digelar, keharmonisan rumah tangga nyaris tak pernah terlihat.
Leonardo adalah pria yang sibuk, dingin, dan jarang sekali pulang ke rumah tepat waktu. Jika pun pulang, ia lebih sering menghabiskan waktu di ruang kerjanya, ditemani rokok mahal dan segelas kopi hitam ataupun minuman beralkohol. Aurelia, di sisi lain, lebih banyak menyalurkan kesibukannya dengan belanja, menghadiri acara sosial, atau sekadar mengurus kegiatan amal bersama teman-temannya. Dua dunia yang berbeda itu bertemu di bawah satu atap, tapi tak pernah benar-benar menyatu.
"Sudah empat tahun, tapi tetap sama," bisik salah satu pelayan wanita muda sambil membantu menata koper.
"Diam, jangan banyak komentar," sahut pelayan yang lebih tua, menegur dengan halus. "Kita di sini hanya bekerja. Tidak pantas ikut campur urusan tuan dan nyonya."
Sementara itu, Leonardo sudah masuk ke ruang garasi bawah tanah tempat mobil-mobil mewahnya berjejer. Ia memeriksa jam tangannya yang mahal, lalu berkata singkat kepada Adrian yang sudah menunggu di kursi sopir.
"Kita berangkat sekarang."
"Baik, Tuan," jawab Adrian singkat sambil menyalakan mesin mobil.
Suara deru mesin mobil sport berwarna hitam itu menggema di garasi, lalu perlahan keluar meninggalkan kediaman megah tersebut. Dari balkon lantai dua, Aurelia sempat menoleh, melihat mobil suaminya melaju pergi.
Begitulah keseharian di rumah itu. Dua insan yang disatukan dalam ikatan pernikahan, tetapi jarak di antara mereka lebih lebar daripada samudra. Rumah megah itu berdiri kokoh, namun di dalamnya tidak pernah ada kehangatan. Semua pekerja di sana sudah terbiasa—bagi mereka, pemandangan Leonardo yang dingin dan Aurelia yang seolah tidak peduli hanyalah bagian dari rutinitas.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!