"Pertahankan kecepatanmu, jangan terburu-buru!" instruksi Pelatih Pram, seraya menyerahkan botol berisi air putih, saat keduanya tiba di arena pertandingan.
"Perkuat posisi kuda-kuda, kalian berdua memiliki teknik yang istimewa dengan kemampuan seimbang. Di daerah asalnya, dia bahkan mampu menang telak hanya dalam beberapa menit sejak ronde dimulai. Hati-hati, kalian memiliki kecepatan dan ketepatan yang sama," imbuh pelatih itu, dengan harapan besar, atletnya akan pulang membawa kemenangan.
Melati mengangguk, "Baik, Pak!" sahutnya, seraya melakukan pemanasan. Beberapa gerakan stretching dan squat jump ringan dilakukannya untuk melemaskan otot-otot tubuhnya.
Pak Pramono memperhatikan dengan seksama, memastikan bahwa Melati siap untuk pertandingan yang akan menentukan nasibnya untuk bertanding di tingkat nasional.
"Melati, kamu tahu bahwa lawanmu, Layla, adalah atlet yang tangguh dan berpengalaman. Dia memiliki teknik yang baik dan kecepatan yang luar biasa. Tapi percayalah, kamu bisa mengalahkan dia jika kamu fokus dan menggunakan strategi yang tepat," ucap Pak Pramono lagi dengan nada yang penuh keyakinan.
Melati mengangguk lagi, dia tahu bahwa dia harus memberikan yang terbaik jika ingin menang. Dia melakukan beberapa gerakan pemanasan lagi, mempersiapkan diri untuk pertandingan yang akan segera dimulai. Dengan napas yang dalam dan fokus yang kuat, Melati siap untuk menghadapi Layla dan menunjukkan kemampuannya.
Pertandingan pun dimulai, ronde pertama berjalan begitu sengit dan seimbang. Melati dan Layla bertarung dengan gigih, masing-masing tidak mau kalah. Bola pingpong meluncur dengan cepat, dipukul dengan teknik yang sempurna. Suara pukulan bola yang keras dan memantul tajam di meja, terdengar memenuhi ruangan, membuat penonton terhibur.
Melati fokus pada permainan, menggunakan strategi yang telah diajarkan oleh Pak Pramono. Dia berusaha untuk mengantisipasi setiap gerakan Layla, memprediksi arah bola dan memukulnya lagi dengan tepat. Layla juga tidak mau kalah, dia memiliki teknik yang baik dan kecepatan yang luar biasa.
Skor masih imbang, 5-5. Melati dan Layla terus bertarung, masing-masing berusaha untuk memenangkan round pertama. Pertarungan yang sengit ini akan terus berlanjut hingga salah satu dari mereka mencapai skor 11.
"Wah, sangat seru, jika begini terus, pertandingan bisa berlangsung sampai malam, tinggal nunggu siapa yang akan kehabisan tenaga lebih dulu," komentar salah satu penonton.
"Kita harus membantu menyemangati Layla, dia wakil dari daerah kita, dia harus menang dan bertanding di tingkat nasional!" sahut kubu yang lainnya.
"Kemampuan mereka seimbang, siapapun yang menang, dialah yang terbaik!" sahut yang lain lagi.
Pertandingan benar-benar membosankan, karena giliran bola-bola panjang berlangsung lama, hingga tiga ronde pun berakhir dengan skor seri.
Para penyelenggara pun akhirnya berunding dan memutuskan mengambil ronde tambahan.
"Kita ambil jeda untuk beristirahat, pertandingan akan kembali dilangsungkan sepuluh menit lagi!" seru sang pemimpin tim penyelenggara.
Semua atlet menepi, berkumpul dengan tim mereka masing-masing untuk membahas strategi setelah saling membaca pergerakan, kelebihan dan kekurangan lawan.
Hingga akhirnya peluit pun kembali terdengar, tandanya sepuluh menit waktu beristirahat telah usai. Melati berjalan kembali memasuki arena pertandingan, diikuti Pak Pramono mengamati dari sisi meja dengan jarak aman.
Namun hingga satu menit berlalu, lawan Melati, yaitu Layla belum terlihat.
Kemudian, salah satu tim dari Layla berlari menuju ke meja panitia. Tampak sesuatu yang serius telah terjadi.
"Apa yang terjadi, Pak?" tanya Mela terlihat khawatir.
"Entahlah, kita tunggu saja pengumuman dari panitia," sahut Pak Pramono dengan santai, matanya tak lepas dari layar ponsel. Sepertinya ia pun tengah sibuk mengetik dan membaca pesan dengan seseorang.
Melati duduk sedikit cemas, hingga terdengar cuitan nyaring dari beberapa penonton.
"Hah? Lawan mainnya kenapa? Kok bisa?"
Informasi samar itu masuk ke telinga Mela, lalu gadis itu menaikan pendengarannya, mencoba mencari tahu apa yang terjadi.
"Entah, aku cuma dengar tadi di deket toilet, katanya seseorang menemukan mayat Layla di salah satu toilet!" terang penonton lain.
"Loh, kok bisa?"
"Tunggu aja, pasti sebentar lagi akan ada pengumuman resminya!"
Melati terkejut mendengar informasi itu, "Apa? Layla ditemukan meninggal di toilet?" tanyanya pada Pak Pramono, yang masih sibuk dengan ponselnya.
Pak Pramono mengangkat kepala, "Belum tahu pasti, Mela. Kita tunggu saja pengumuman resmi dari panitia."
Tiba-tiba, pengeras suara dipantulkan ke seluruh ruangan, "Maaf atas keterlambatan respon. Kami memiliki pengumuman penting!" seru petugas itu dengan mikrofon tergenggam erat di tangannya, sedangkan Melati menanti dengan jantung yang berdebar tak tenang.
"Pertandingan antara Melati dan Layla terpaksa dibatalkan karena Layla ditemukan meninggal di salah satu toilet di kompleks ini. Polisi sedang melakukan penyelidikan dan kami akan memberikan informasi lebih lanjut jika sudah tersedia."
Suasana di arena pertandingan menjadi semakin tegang, dan kacau. Penonton mulai berbicara dengan suara yang lebih keras, dan beberapa di antaranya terlihat khawatir.
Melati pun merasa tidak percaya, "Bagaimana ini bisa terjadi? Kita baru saja akan memulai ronde tambahan!" serunya dengan suara yang mulai bergetar.
Pak Pramono berdiri dan memegang bahu Melati, "Jangan khawatir, Mela. Kita tunggu saja informasi lebih lanjut." Tapi Melati tidak bisa menghilangkan perasaan tidak enak, rasanya ada sesuatu yang tidak beres.
Melati mengibaskan bahunya, 'Ti-tidak! Ini tidak boleh terjadi! Layla!' pekiknya dalam hati, lalu berlari cepat menuju ke toilet.
Pak Pramono terkejut dengan sikap Melati, lalu segera mengejar atlet dibawah naungan timnya itu.
"Mela, tunggu! Jangan pergi ke sana!" teriaknya, tapi Melati tidak menghiraukannya. Gadis itu terus berlari menuju ke toilet, jantungnya berdegup kencang dengan pikiran yang berputar-putar.
Ketika Melati tiba di toilet, dia melihat beberapa orang berkumpul di depan salah satu pintu toilet. Ada polisi dan petugas keamanan. Melati mencoba untuk menerobos, tapi dia dicegah oleh salah satu petugas.
"Maaf, Anda tidak bisa masuk ke sini," kata petugas itu dengan nada yang tegas. Melati memandang tajam pada petugas itu seolah ingin melawan, "Saya harus tahu apa yang terjadi! Saya kenal Layla!"
Pak Pramono akhirnya berhasil mengejar Melati dan memegang bahu atletnya itu, "Mela, jangan khawatir. Polisi sedang melakukan penyelidikan. Kita tunggu saja informasi lebih lanjut." Tapi Melati masih terlihat khawatir dan ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Layla! Dia kenapa?! Jelaskan tolong!" tangis Melati pun pecah saat pak Pramono menarik tubuhnya untuk menjauh dari tempat itu.
...****************...
Bersambung.
Selamat datang para pembaca, akhirnya karya selanjutnya rilis juga, kali ini kita coba pakai alur maju, yang akan sedikit membosankan di awal. Semoga ketegangan akan naik perlahan dan kalian suka.
Ingat! Ini hanya karya karangan hasil melamun author, yang artinya, jika ada kesamaan nama tokoh atau tempat, peristiwa, dan beberapa hal lainnya, itu hanya kebetulan yang sengaja dibetul-betulakan, selebihnya suka-suka kalian😅.
Beberapa menit sebelumnya....
Mela berjalan cepat menuju ke toilet, namun karena terburu-buru ia hampir saja bertabrakan dengan Layla.
"Heh! Kamu keren, Mela!" Layla mengacungkan jempol dan melemparkan senyuman lebar ke arah Melati.
Melati pun membalas dengan senyum dan jempol yang sama. "Kamu juga luar biasa, Layla! Jangan lupa janji kita, kalau salah satu dari kita menang, wajib traktir seblak di ujung pertigaan!"
"Seblak Mpok Geuji?" kelakar Layla.
"Heh, ngawur, Geuji itu laki-laki, si bos waralaba, penjual seblaknya namanya Anisa!"
"Oh iya, lupa!"
"Tapi jangan harap aku mau ngalah ya, harus sportif,"
"Sesuai janji, buruan! Waktu break cuma sedikit!" sahut Melati sembari masuk ke bilik toilet.
Keduanya masih sedikit mengobrol sembari mengaca di depan wastafel, saat menyadari masih ada beberapa menit lagi sebelum ronde tambahan dimulai.
"Mela! Kenapa malah ngobrol di sini, ponselmu berdering terus itu!" panggilan salah satu rekan tim Mela membuat obrolannya dengan Layla pun berakhir.
Di arena pertandingan, Melati dan Layla adalah lawan yang sportif. Namun dibelakang layar, mereka adalah saudara sepupu yang begitu dekat dan saling mendukung, ditambah lagi karena mereka seumuran. Hanya saja mereka memang tinggal di kota yang berbeda, namun memiliki minat, bakat dan kecintaan yang sama dengan bola pingpong, tanpa banyak yang tahu bahwa mereka adalah kerabat.
...........
Melati meraung dalam tangis, apalagi, saat melongok ke dalam toilet tadi, ia sempat melihat Layla yang terkapar di lantai toilet, dengan kondisi yang mengenaskan.
Lidah yang menjulur keluar, dengan mulut yang menganga lebar, serta mata yang merah terbuka, melotot tajam. Seakan menunjukkan betapa ia merasa kesakitan yang luar biasa di saat-saat terakhirnya hingga akhirnya meregang nyawa.
"Siapa yang melakukannya! Biadab!" teriak Melati yang sangat terguncang.
Pak Pramono mencoba untuk menenangkan Melati, "Mela, kita harus tenang. Polisi akan menemukan siapa yang melakukan ini," katanya, sambil memeluk Melati.
Tapi Melati tidak bisa menahan emosinya, ia masih ingat senyum dan semangat Layla.
Pak Pramono memeluk Melati lebih erat, "Percayalah, para polisi sedang bekerja keras," hibur Pak Pramono, Tapi Melati masih terlalu terguncang untuk mendengarkan, dia hanya bisa menangis dan memikirkan tentang Layla.
……..
Sidang pun berlangsung dengan tuduhan keji tertuju pada Melati.
"Rekaman CCTV dan jejak beberapa sidik jari sudah jelas mengarah pada Anda, katakan dengan jujur tentang percakapan kalian!" gertak sang jaksa penuntut. "Apa kamu mengancamnya? Membunuhnya demi kemenangan telak? Agar bisa maju ke pertandingan nasional? Sebagai atlet tunggal?
Melati yang duduk di meja tersangka, hanya bisa tertunduk, ia tidak bisa fokus pada pertanyaan yang ditujukan, pikirannya justru dipenuhi dengan kalimat menyakitkan dari sang bibi, ibunda dari Layla.
"Dasar tak tahu malu! Seperti itulah caramu membalas kebaikan kami? Kenapa harus Layla yang kamu bunuh? Kenapa bukan kami saja? Membusuklah dipenjara, susullah kedua orang tuamu! Kalian benar-benar iblis!"
Melati duduk di meja tersangka, tubuhnya yang gemetar dan mata yang merah karena menangis membuat kesan bahwa dia memang bersalah. Jaksa penuntut terus menggencarkan tuduhannya, sementara Melati hanya bisa tertunduk dan diam. Pikirannya dipenuhi dengan kalimat-kalimat menyakitkan dari sang bibi, yang membuatnya merasa tidak berdaya.
Gerakan tubuh Melati yang lemah dan tidak berdaya membuat hadirin sidang dan yang melihatnya percaya bahwa dia memang bersalah.
"Apa yang harus saya katakan?" lirih Melati, ia merasa takut. Tatapannya kosong, merasa sendirian, seolah semua mata di ruang sidang itu melotot padanya, melucuti dengan tuduhan itu, seolah memaksanya untuk mengakui perbuatan yang tidak ia lakukan.
Melati menatap sedih ke arah pelatihnya, berharap Pak Pramono akan mengulurkan tangan dan membantunya membela diri, namun pria paruh baya itu justru tampak sibuk dengan ponselnya. 'Dimana timku yang lain? Mereka kecewa padaku? Membenciku, bahkan sekarang mereka meninggalkanku?' batinnya semakin frustasi.
Di dalam hati Melati, dia tahu bahwa dia tidak membunuh Layla. Tapi dia tidak tahu siapa yang melakukannya, dan mengapa tuduhan itu tertuju pada dirinya. Dalam situasi krisis itu, ia tak memiliki siapapun untuk mendukungnya, membuat atlet muda itu semakin tak bisa fokus.
Tindakan skor, pencabutan hak atlet, serta berbagai penalti dilayangkan pada Mela, bahkan kini ia harus mendekam di penjara remaja. Di dalam sel yang dingin tanpa belas kasihan.
"Dia itu pembunuh! Penjahat kelas berat yang bahkan kudengar, dia tanpa ampun mencekik sepupunya sendiri, lalu menjejali mulutnya dengan bola pingpong, sungguh iblis yang luar biasa!"
Bahkan di dalam penjara pun, Melati harus menerima tudingan dan pandangan tak menyenangkan dari napi lain. Namun, ia hanya diam tak menanggapi, seolah ia hanya ingin menebus rasa bersalahnya.
"Aku memang pantas disalahkan, Layla. Seandainya saja aku tak meniggalkanmu sendirian di toilet itu, seandainya saja aku...."
Kenangan terakhir saat mereka bertemu di toilet gedung olahraga itu, begitu melekat di ingatan Melati.
"Telpon sialan itu penyebabnya!" pekik Melati kembali meringkuk di sudut sel, meraung dalam tangis penyesalan.
Di dalam sel yang dingin dan gelap, Melati hanya bisa menangis dan menyesali dirinya sendiri. Dia tidak bisa membantah tuduhan yang telah dilayangkan kepadanya, dan dia tidak tahu bagaimana cara untuk membersihkan namanya.
Waktu pun berlalu, hingga waktu hukuman Melati pun habis. Perilakunya yang patuh, membuat Melati mendapatkan potongan masa tahanan, serta adanya seseorang yang tak ingin disebutkan namanya, menjamin untuk kebebasan Melati.
Melati berdiri di tepi jalan, menghirup udara sebanyak mungkin untuk memenuhi rongga dadanya. "Udara bebas ini, kenapa terasa menyesakkan!" monolognya seraya menatap langit, lalu menghela napas lebih panjang lagi. "Harus kemana aku sekarang?"
Hari ini, tanpa keluarga, tanpa saudara, Melati keluar dari penjara, berjalan sendiri dengan tas selempang, tas yang biasanya hanya dimiliki para atlet, bertuliskan namanya, yang hanya berisi sebuah ponsel jadul, dan beberapa lembar pakaian pemberian sang pelatih, saat berkunjung di penjara.
Namun karena Pak Pramono harus mendampingi pertandingan lainnya, kali ini ia tak bisa menjemput Melati.
Bermodalkan uang saku yang diberikan Pramono setiap berkunjung, serta beberapa uang yang berhasil ia kumpulkan selama pelatihan dalam penjara, kini melati melangkah menuju terminal bus yang tak jauh dari penjara. Tujuan utamanya adalah asrama atlet, untuk mengambil beberapa barang lamanya.
Namun, sambutan kurang menyenangkan di dapatnya di sana. "Eh? Kamu Melati, si atlet pembunuh itu ya?" sapa sang penjaga asrama dengan tatapan menyelidik tak mengenakkan.
Melati hanya bisa tertunduk, menggigit bibir bawahnya agar air mata itu tak kembali jatuh sia-sia.
"Semua barangmu sudah diambil Bibimu!" imbuh ketus sang penjaga asrama.
Tak ingin berlama-lama, Melati pun bergegas kembali berkendara dengan bus, menuju ke rumah sang Bibi yang adalah ibunda dari Layla.
Rasa takut dan merasa bersalah kembali menghampirinya, membuat Melati tak sanggup muncul secara terang-terangan.
"Maafkan aku, Bi. Bukan aku yang melakukannya, tapi kurasa lukamu terlalu dalam, hingga tak menyadari kejujuran ku. Maaf aku harus bersembunyi, aku takut luka yang telah susah payah kau simpan, akan terbuka lagi jika melihatku," lirihnya sembari bersembunyi diantara semak, disamping rumah Bu Dewi.
Melati berusaha memahami sang Bibi, meski seberapa pun besarnya keinginan hatinya untuk berlari menghambur karena rasa rindu.
Setelah Paman dan Bibinya berangkat bekerja, Melati perlahan berjalan mengendap-endap memasuki rumah yang biasanya menjadi tempatnya pulang, setelah kedua orangtuanya pergi.
"Dimana ya mereka menyimpan barang-barangku?" gumam Melati sambil berdiri di ruang tengah.
Kemudian langkah kakinya bergerak dan berhenti di depan kamar Layla. Perlahan, Melati memutar gagang pintu kamar itu.
Jantungnya berdegup kencang, menyiapkan diri dengan kenangan manis bersama Layla, saudara sepupu yang begitu ia sayangi. Kenangan demi kenangan itu pasti akan datang silih berganti, menyeruak dan menyesakkan batin.
Melati mengitari seisi kamar itu, dengan air mata yang tak berhenti berderai. Setiap detail dari kamar yang dulu pernah ia tinggali bersama Layla, tak berubah sedikitpun.
Air matanya terus mengalir, lalu duduk di meja belajar layla, melihat foto-foto lama mereka bersama, pajangan-pajangan yang mereka buat bersama, dan semua kenangan yang mereka bagi.
"Layla, apa kabarmu disana, aku punya uang, mari kutraktir seblak," lirihnya kemudian menyandarkan kepalanya di meja itu.
Tiba-tiba, Melati melihat sebuah bola pingpong yang tergeletak sudut meja, terjepit diantara buku milik Layla. Melati mengambilnya, dan memandangnya dengan mata yang basah. "Kau masih menyimpannya, bola ini penyok di satu sisi, saat kita pertama bermain bersama dan jatuh cinta dengan olahraga ini," isaknya.
Tanpa sengaja bola ping yang dipegangnya, lepas dan menggelinding ke kolong tempat tidur. Melati pun berusaha mengambilnya, hal itulah yang membuatnya akhirnya menemukan sebuah box yang ternyata berisi barang-barangnya.
Air matanya kembali tumpah, "Aku pikir Bibi sangat membenciku, ternyata mereka masih menyimpan barang-barang ku, bukankah itu tandanya mereka masih menyayangiku." Melati kembali tergugu.
Melati merebahkan tubuhnya sejenak di lantai yang dingin itu seraya memeluk beberapa barang kesayangannya.
"Melati...."
“Melati, Melati! Tolong aku!”
Melati terperanjat, antara sadar dan setengah sadar, ia merasa seperti mendengar panggilan seseorang. Namun saat ia sudah benar-benar bangun lalu melihat sekeliling, ia tak mendapati apapun.
“Apa aku tadi mimpi? Perasaan cuma ketiduran sebentar, masa mimpi,” gumamnya merasa aneh lalu menghela napas.
“Aku harus cepat pergi dari sini, entah apa yang akan terjadi jika Paman dan Bibi melihatku di sini!” monolognya lagi seraya mengambil beberapa benda yang kiranya diperlukan.
Ia mencari sebuah buku catatan yang ternyata masih tersimpan baik diantara barang-barangnya. Perlahan ia membuka lembaran demi lembaran buku itu, lalu tersenyum lega. "Tabunganku masih tak tersentuh siapapun, aku bisa gunakan ini untuk bertahan hidup," monolognya saat menemukan lembaran uang yang ia sisipkan diantara lembaran buku.
"Aku berjanji akan menemukan pelaku sebenarnya yang tega membuat kalian menderita!" imbuhnya bertekad, lalu mengambil foto kenangannya bersama Layla yang terletak di atas meja, memasukkan ke dalam tas selempangnya, tas khusus pemberian walikota sebagai hadiah karena melati pernah memenangkan sebuah turnamen.
Melati menutup pintu kamar Layla, lalu meninggalkan rumah itu dengan keluar melalui jendela yang sama yang tadi digunakannya untuk masuk.
Melati berjalan meninggalkan rumah itu dengan perasaan yang campur aduk. Dia sedih karena tidak bisa memperbaiki hubungan dengan sang bibi, tapi juga bertekad untuk menemukan kebenaran dan membersihkan namanya.
“Sampai ke neraka pun, aku tidak akan pernah mengampunimu!” Ucapan sang Bibi terus teringat dikepalanya, membuat langkah Melati semakin ringan untuk menemukan kebenaran.
Melati naik bus, tujuannya kali ini adalah kampung halaman seorang teman sekaligus seniornya yang adalah seorang atlet renang, satu-satunya atlet yang bersaksi jujur membela Melati di pengadilan. Namun karena pernyataannya bertolak belakang dengan banyak saksi yang lain, membuat atlet ini pun akhirnya memutuskan pensiun setelah menerima tekanan dari tim dan pelatihnya, karena justru dianggap bersaksi palsu demi tujuan tertentu.
—Aryo, apa.kabar, kau masih ingat kan, ucapanmu tentang tempat untukku kembali? Aku dalam perjalanan ke sana, sekarang.— Melati mengirimkan pesan singkat untuk Aryo.
Namun ditengah perjalanan, bus yang ditumpangi melati tiba-tiba oleng, membuat penumpang terkejut dan berteriak keras.
"Aku seperti melihat hewan atau sesuatu tiba-tiba berlari ke tengah jalan!" seru sang sopir saat akhirnya ia bisa kembali mengendalikan laju bus di jalur yang tepat.
Namun ketenangan tak berlangsung lama, tanpa mereka duga, sebuah truk dari arah berlawanan melaju dengan kecepatan tinggi.
"Awas!" teriak kencang beberapa penumpang, saat melihat truk yang hendak menyalip mobil lain di depannya, tapi salah perhitungan.
Sang sopir bus berusaha menghindar, tapi medan disisinya adalah jurang.
Situasi di dalam bus sangat kacau dan menegangkan saat bus akhirnya tergelincir, lalu terperosok ke sisi jurang. Para penumpang berusaha menjaga keselamatan masing-masing , berpegangan erat pada apa saja yang bisa mereka raih. Suara jeritan dan tangis ketakutan terdengar memekik dan menambah kengerian.
Guncangan terlalu besar, membuat mereka terlempar, terjatuh, saling terhimpit dan berbenturan, hingga akhirnya, badan bus terhenti di lereng yang curam, karena tersangkut batang pohon tua dan sebuah batu yang besar secara kebetulan berada di sana.
Melati terjepit di antara para penumpang dan kursi bus. Darah berceceran di berbagai sisi di dalam bus.
“Argk! Kesialan apa lagi ini?!” serunya antara panik, takut, dan marah.
Melati berusaha untuk membebaskan dirinya, tapi sulit karena posisinya yang tertindih penumpang lain yang tak sadarkan diri. Dia berharap ada yang bisa membantu dirinya dan penumpang lainnya yang terluka parah. Dalam keadaan yang sangat darurat ini, Melati hanya bisa berharap akan ada yang bisa datang untuk menyelamatkan mereka.
"Kepalaku," Melati mulai merasakan nyeri di bagian keningnya. "Kakiku, aku tak bisa merasakannya!" pekiknya seraya mengatur napas dan degup jantung yang masih terpacu.
"Aku haus," gumam Melati melemah, rasa nyeri dan kebas mulai terasa di sekujur tubuhnya. Hampir tiga puluh menit berlalu, namun belum ada tanda-tanda bantuan akan tiba, hanya samar-samar terdengar teriakan menggema entah dari mana.
"Kepalaku sakit sekali," lirih Melati mulai tak sanggup menunggu. Melati memejamkan mata, semakin tak bisa merasakan tubuhnya sendiri. "Ini berat sekali!" Namun di saat ia hampir menyerah, secara aneh, ia mendengar suara tak asing memanggilnya.
"Mela, buka matamu, lihatlah ke sana, ada seorang nenek yang butuh pertolongan! Bukankah hari ini kamu harus melakukan 5 kebaikan untukku? Ayolah, jangan menyerah, kau tidak lupa kan, ini hari ulang tahunku? Kau lupa janji kita?"
Deg!
Melati perlahan membuka mata, diantara sadar dan setengah tak sadar, ia tidak lupa akan hari penting, hari ini, tapi ia lupa bahwa ada janji manis diantara mereka.
..........
"Saat hari ulang tahunku yang ketujuh belas, kamu harus melakukan lima kebaikan untuk orang lain, atas namaku. Nah, selang dua minggu kemudian, aku juga akan melakukan hal yang sama untukmu!"
Dua gadis berseragam biru tua dengan atasan putih yang tampak penuh dengan coretan itu membuat janji manis dibawah sebuah pohon Cemara yang rindang di dekat sekolah mereka.
"Jangan mentang-mentang dapet bea siswa di sekolah atlet beken, terus kamu lupa sama sepupumu tercantik ini, aku akan meneror ke asramamu kalau sampai itu terjadi!" seru Layla lalu keduanya berpelukan erat, seakan tak rela dengan perpisahan yang akan terjadi.
...........
Air mata gadis yang sebentar lagi genap tujuh belas tahun itu pun kembali menetes.
Melati bersusah payah kembali sadar, kemudian menggeser tubuh besar penumpang lain yang sejak tadi tak bergerak, menindih tubuhnya yang kecil.
“Argk!” Satu teriakan keras membantunya mengumpulkan energi, hingga Melati berhasil melepaskan diri.
Tepat seperti yang diucapkan suara itu, di salah satu sudut bus, seorang nenek tampak terjepit kakinya, dengan kepala terbalik terjuntai keluar jendela. Sementara penumpang lainnya masih tergeletak diam tak sadarkan diri.
Sekuat tenaga, Melati merangkak sambil menahan rasa sakit, mendekati nenek itu. Ia berusaha menahan tubuh sang nenek agar tidak terjatuh ke dalam jurang. Dia melihat ke wajah nenek yang penuh dengan ketakutan dan kesakitan, dan Melati tahu bahwa dia harus bertindak cepat.
Dengan kekuatan yang dia tidak tahu dari mana datangnya, Melati berhasil menahan tubuh nenek dan memandangnya dengan mata yang penuh air mata. "Nenek, kau baik-baik saja?! Serunya memastikan wanita tua itu masih tersadar. "Aku akan membantumu!"
Nenek itu memandang Melati dengan penuh rasa syukur. Meski samar, Melati bisa melihat bahwa nenek itu sedang berusaha untuk tersenyum. Melati membalas senyum itu, dan dia tahu bahwa dia telah melakukan kebaikan pertama untuk Layla. Dia berharap bahwa dengan melakukan kebaikan ini, dia bisa memenuhi janji mereka dan mendapatkan kekuatan untuk melanjutkan hidupnya.
Namun ternyata kengerian belum usai, tiba-tiba bus yang menyangkut diantara tebing itu kembali bergoyang karena pergerakan keduanya.
...****************...
Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!