NovelToon NovelToon

Claimed By Mister Mafia

Berduka.

Langit pagi itu berselimut kelabu, seolah-olah alam turut berduka. Butiran hujan rintik-rintik mulai membasahi nisan-nisan marmer di pemakaman elit Jakarta, mengukir kesedihan yang dalam dan sunyi. Di tengah kerumunan payung hitam yang seperti barisan gagak, Amy Agustina Atmaja berdiri sendirian.

Ia mengenakan gaun hitam sederhana yang membuat wajahnya yang pucat bagai bulan purnama yang kesepian. Matanya, warisan biru kehijauan dari mamanya, Chloe Fleur, kini redup, terbius oleh kesedihan yang terlalu besar untuk ditanggung seorang gadis berusia delapan belas tahun. Hujan yang membasahi pipinya menyamarkan air mata yang tak henti mengalir. Ia memandang kosong ke arah dua peti mati mahoni yang akan turun ke perut bumi untuk selamanya.

Ini tidak nyata. Ini mimpi buruk. Batinnya memberontak. Baru seminggu yang lalu, mereka masih tertawa di meja makan, berencana liburan musim panas ke Paris. Papa, Raden Cakra Atmaja, dengan suara baritonya yang hangat, bercerita tentang masa kecilnya di Solo. Mama, dengan logat Prancisnya yang tak pernah hilang, mengoreksi pelafalan bahasa Prancis Amy dengan canda.

Kecelakaan mobil yang tiba-tiba itu telah merenggut segalanya. Merenggut tawa, pelukan, dan masa depannya.

Dia merasakan desakan lembut di lengannya. "Amy, sayang," suara itu lembut, hampir seperti bisikan penuh kasih.

Amy menoleh. Di sampingnya berdiri Tante Siska, adik tiri dari almarhumah ibunya. Wajah Tante Siska penuh dengan kepedulian yang dibuat-buat, matanya berkaca-kaca—entah karena hujan atau akting yang sempurna. Dia memegang payung di atas kepala Amy, seolah melindunginya.

"Kamu harus kuat, sayang. Mereka sudah di tempat yang lebih baik," bisik Tante Siska, tangannya mengelus punggung Amy. Tapi bagi Amy, sentuhan itu terasa seperti sulur yang membelit, bukan menghibur.

Amy hanya mengangguk pelan. Lidahnya terasa kelu. Bagaimana mungkin dunia bisa terus berputar ketika dua pusat tata surya hidupnya telah padam? Ia ingat pesan terakhir mamanya, pesan singkat di ponselnya: "À bientôt, ma chérie. We'll be home soon." Sampai jumpa, sayangku. Kami akan segera pulang. Tapi mereka tak pernah pulang.

Ia melihat sekeliling. Di balik kerumunan yang menyampaikan belasungkawa, ia menangkap pandangan-pandangan lain. Pandangan yang mengukur, penuh rasa ingin tahu, dan... iri. Mereka semua tahu. Amy, si gadis keturunan campuran yang pemalu, kini adalah satu-satunya pewaris kekayaan Raden Cakra Atmaja, seorang keturunan bangsawan Jawa yang melepaskan gelarnya demi cinta, tetapi sukses membangun kerajaan bisnisnya sendiri. Harta yang membuatnya menjadi target empuk.

Prosesi pemakaman berlangsung dalam duka yang hening. Saat peti mati orang tuanya mulai diturunkan, Amy merasa kakinya lunglai. Dunia berputar kencang. Sebuah isak tangis akhirnya terlepas, menyayat hati, memecah kesunyian. Dia menjatuhkan sekuntum mawar putih—maman—dan sekuntum mawar merah—papa—ke atas peti. "Au revoir, Maman, Papa," bisiknya, suaranya parau oleh tangis.

Tante Siska dengan sigap memeluknya erat. "Sudah, sudah, sayang. Tante di sini. Tante yang akan menjagamu sekarang."

Dalam pelukan itu, di tengah aroma parfum mahal Tante Siska yang menusuk, Amy mendengar sesuatu yang lain dalam nada suaranya. Bukan belas kasih, tetapi... kepuasan. Sebuah kepuasan terselubung yang membuat bulu kuduknya berdiri.

Perjalanan pulang ke rumah megah yang kini terasa hampa dan sunyi diisi oleh bisikan "penghiburan" Tante Siska.

"Rumah ini terlalu besar untukmu sendiri, Amy. Terlalu banyak kenangan," ujar Tante Siska sambil menyiapkan teh. "Dan urusan hukum warisan... itu sangat rumit. Kamu masih terlalu muda."

Amy hanya memandang cangkir tehnya, uapnya menari-nari seperti hantu.

"Aku punya ide bagus," lanjut Tante Siska, suaranya tiba-tiba bersemangat. "Bagaimana jika kamu melanjutkan sekolah di Prancis? Ke kota tempat mamamu dibesarkan. Di sana, kamu bisa mulai hidup baru, jauh dari semua kenangan menyedihkan ini.

“Tapi bagaimana dengan bisnis Papa…” gumam Amy. Dia tak bisa meninggalkan semua warisan Papa begitu saja dan melarikan diri, bukan?

"Jangan khawatir tentang itu," sahut Tante Siska cepat, berusaha terdengar meyakinkan. "Tante dan Paman di sini akan mengurus semuanya untukmu. Semua urusan legal, perusahaan. Kami akan menjaganya sampai kamu dewasa dan kembali. Fokuslah untuk menyembuhkan lukamu. Itu yang paling penting."

Idenya terdengar masuk akal. Bahkan menggoda. Melarikan diri ke Prancis, jauh dari segala kesedihan. Tapi sesuatu dalam cara Tante Siska berkata—"Tante yang akan urus semuanya"—membuat hati Amy berdesir.

Dia mengangkat wajahnya, dan untuk pertama kalinya sejak pemakaman, dia benar-benar melihat Tante Siska. Di balik senyum simpatik itu, di balik mata yang berkaca-kaca itu, Amy melihat secercah kilatan. Kilatan yang sama seperti yang ia lihat dari saudara-saudara dari pihak papa yang dulu memutuskan hubungan karena pernikahan orang tuanya. Kilatan keserakahan.

Tiba-tiba, semuanya menjadi jelas. Pelukan yang membelit, kata-kata penghiburan yang manis, dan tawaran yang "sangat tulus" untuk mengurus segalanya. Itu semua adalah jebakan. Tante Siska tidak ingin menghiburnya; dia ingin menyingkirkannya. Mengirimnya jauh ke Prancis agar dia dan keluarganya bisa leluasa menggerogoti warisan yang ditinggalkan papanya dengan susah payah.

Hati Amy yang remuk redam oleh kesedihan tiba-tiba disiram oleh air dingin. Sebuah tekad kecil, rapuh tetapi keras, mulai tumbuh di tengah puing-puing jiwanya.

Dia menghela napas panjang dan menatap Tante Siska. Di balik air mata yang masih membasahi pelupuk matanya, ada api biru kehijauan yang mulai menyala. Warisan dari mamanya, Chloe, seorang wanita Prancis yang pantang menyerah.

"Terima kasih atas tawarannya, Tante," ucap Amy, suaranya lebih tegas dari yang dia kira. "aku akan memikirkan… ide itu…”

Senyum di wajah Tante Siska pudar sepersekian detik sebelum kembali terpasang, kali ini agak kaku. "Tentu saja, sayang. Pikirkan baik-baik. Tante hanya ingin yang terbaik untukmu."

Amy membalikkan badan, menghadap jendela yang dihujani rintik-rintik air. Hujan masih turun, menyapu dunia yang kejam. Tapi di dalam hatinya yang remuk, sebuah armor mulai terbentuk. Kesedihan itu nyata dan akan tinggal selamanya, tetapi sekarang, ia tahu, dia tidak boleh lemah. Dia harus kuat, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk menjaga warisan cinta orang tuanya dari orang-orang yang ingin merengutnya.

Pertempuran untuk hidupnya baru saja dimulai.

Amy Agustina Atmaja, mulai hari ini kau harus kuat! Berdiri dengan kakimu sendiri, membuat strategi jitu demi menjaga warisan Papa. Karena hanya inilah yang dia miliki saat ini dan tak akan dia serahkan pada siapapun!

Berusaha bertahan.

Amy terbangun di pagi hari –esoknya. Dunia masih sama, burung masih berkicau di pagi hari, matahari pun masih terbit dari Timur –bersinar cerah padahal kemarin seharian hujan turun membasahi bumi dan tanah pemakaman kedua orang tuanya.

Amy menghela napas, merasa dunia begitu kejam padanya. Kenapa semua tampak baik-baik saja kecuali hatinya yang saat ini remuk redam karena kepergian kedua orang tua yang sangat dia cinta.

Biasanya pagi-pagi seperti ini, Maman akan muncul dan menyapanya sambil menyanyikan lagu dari daerah asalnya lalu mengecup kening Amy. Tanpa terasa air mata kembali mengalir di pipi putih Amy.

“Maman,tu men manques…”  Mama aku merindukanmu. Isaknya tertahan. Bahkan di kamar mewahnya ini, Amy merasa sendiri dan sepi.

Semalaman –karena tak bisa tidur, Amy memikirkan kata-kata Tante Siska. Dalam hati kecilnya, dia merasa bahwa ucapan Tante Siska ada benarnya. Akan lebih baik Amy pergi dulu –sejauh mungkin, mengobati luka hatinya, menghibur dirinya dengan suasana baru. Tapi hati kecilnya yang lain melarang, dia harus tetap di sini, menjaga warisan Papa. 

Amy tau sekali seperti apa Tante Siska, karena dulu Maman sering bercerita pada Papa betapa serakah adik tirinya itu. Dia bahkan merebut perhatian Kakek, hingga Maman seperti anak angkat di rumahnya sendiri. Untunglah Maman bertemu Papa dan menikah dengan lelaki yang sangat mencintainya, walaupun banyak drama yang terjadi karena pernikahan mereka hingga Papa harus kehilangan hak di keluarganya yang masih menjunjung tinggi darah kebangsawanan mereka.

Amy menggigiti kuku jempolnya –sebuah kebiasaan yang sering dilakukan Amy ketika sedang berpikir keras. “Aku harus bagaimana? Agar harta Papa aman walaupun aku tidak berada di sini?” gumamnya.

“Om Jonathan!” Pekik Amy lirih. 

Amy pun beranjak dari ranjang mewahnya, mencari ponselnya yang dia simpan di laci meja riasnya kemudian menelpon Om Jonathan –teman baik Papa dan merupakan pengacara.

“Halo, Amy?” suara Jonathan terdengar tak percaya karena Amy menelponnya, “ada apa? Kamu baik-baik saja, kan?” tanyanya khawatir.

“Aku baik saja Om. Ada yang ingin aku bicarakan dengan Om Jo, bisakah kita bertemu?” Tanya Amy dengan suara lirih, dia tak mau tante Siska mendengar.

“Tentu saja bisa, tapi jangan di rumahmu. Temui Om di Caffe a La Carte,” ucap Jonathan. Dia tau betul jika Amy pasti tau letak Cafe yang disebutkan tadi, karena itu adalah caffe favorit kedua orang tua Amy di masa lalu.

“Baik Om, kita bertemu pukul dua belas siang nanti ya? "À bientôt Om Jo!” Amy segera menutup panggilan ponselnya, tepat saat tante Siska masuk ke dalam kamarnya –tanpa mengetuk pintu.

“Sayang? Kamu sudah bangun? Tante kira kamu masih tidur?” ucap Tante Siska dengan keceriaan yang terlalu di buat-buat.

Amy tersenyum, “baru saja, kok, Tante.”

“Ayo sarapan? Tante sudah buatkan nasi goreng kesukaanmu,” ucap Tante Siska.

Amy pun mengangguk, lalu mengikuti Siska keluar dari kamarnya. Di ruang makan, sudah ada dua sepupu Amy,  Mira dan Josef –anak Tante Siska. Mira seumuran dengan Amy sedangkan Josef berumur setahun lebih muda.

Kedua nya tampak makan sambil bertengkar. Sesekali Mira melemparkan sosis panggang pada Josef, dan Josef melemparkan sesendok nasi kea rah Mira. Ruang makan yang biasanya selalu bersih dan rapi, berubah menjadi kapal pecah –berantakan karena ulah dua anak nggak tau aturan itu.

Amy menghela nafas melihat kelakukan sepupunya yang benar-benar menyebalkan. MEreka ada di rumah Amy tapi seperti berada di rumah mereka sendiri –tak punya sopan santun!

Melihat raut wajah Amy yang berubah jengah, Siska langsung menghardik kedua anaknya. “Mira! Josef! Bisa tidak kalian sopan kalau di ruang makan! Di sini bukan trumah kita, kalian harus bertingkah sopan!” ucap Siska dengan nada melengking.

Lagi-lagi Amy menghela napas, Tante nya ini aneh sekali. Seharusnya dia mengajari anaknya sopan santun bukan hanya saat berada di rumah orang lain! Bersikap sopan itu bukan semata-mata untuk ditunjukkan ke orang lain, tapi adalah tabiat yang harus di biasakan di manapun berada! Walaupun itu di rumah sendiri atau di rumah orang lain!

Amy duduk di kursi yang ada di ujung meja makan lonjong itu. Kursi yang biasa diduduki Papanya sebagai kepala keluarga. Lalu dengan perlahan dia mulai menyuapkan nasi goreng yang disediakan untuknya. Rasanya tak seenak buatan Papa, tapi lumayan untuk mengobati rasa rindu pada sang Papa.

“kenapa sayang? Nggak enak?” Tanya Tante Siska sambil meletakkan segelas air putih di dekat Amy.

Amy menggeleng sambil tersenyum, “enak tante, terima kasih,” jawabnya tulus.

Siska tampak tersenyum puas, “makanlah yang banyak,” ucapnya sambil mengelus pucuk kepala Amy.

Mira tampak berdecak kesal dengan perhatian Ibunya pada Amy. Karena seumur-umur, dia belum pernah di sayang begitu rupa oleh Ibunya sendiri. Amy sudah merebut kasih sayang sang Ibu dan tentu saja membuat Mira kesal padanya.

“Manja banget, sih!” gumamnya sambil menatap tajam kearah Amy. Amy tau betul Mira tak menyukainya, tapi dia tak ambil pusing.

“Mama! Hari ini aku ingin belanja di mall!” ucap Mira –tiba-tiba saja. “Aku mau beli sepatu dan tas untuk hari pertama kuliah!”

“Boleh, pergilah dengan Amy. Buat Amy melupakan masa-masa sulit ini, ya?” Siska menoleh menatap keponakannya, dan Amy hanya tersenyum.

“Aku ingin di kamar saja, Tante. Kalau Tante mau pergi dengan Mira, nggak apa-apa, kok. AKu Cuma ingin tiduran di kamar,”

Siska tampak menghela napas, “baiklah kalau begitu, Tante akan belikan kamu sesuatu yang bagus nanti.”

Amy mengangguk seraya mengucapkan terima kasih.

Setelah selesai makan, Siska dan kedua anaknya langsung pergi jalan-jalan ke Mall. Amy tersenyum getir menatap kepergian mereka. Orang tuanya baru saja dimakamkan kemarin, bisa-bisanya mereka mengajak dirinya ke mall? Astaga!

“Non Amy…” Minah –asisten rumah tangga yang sudah bekerja lebih dari sepuluh tahun di rumah Amy, mendekati Amy dengan wajah sedih.

“Bi Minah…” suara Amy bergetar dan air mata kembali mengalir di pipinya. Bi Minah langsung memeluk majikannya itu dan mengelus punggungnya dengan lembut. 

“Yang sabar ya, Non… Bi Minah doakan Non Amy kuat dan bisa hidup dengan baik..” ucap Minah dengan tulus.

“Terima kasih Bi,” Amy melepaskan pelukan Minah. “Aku mau minta tolong Bi, nanti aku mau pergi sebentar, kalau sampai mereka pulang lebih dulu sebelum aku, bilang saja pada mereka aku sedang tidur di kamar, ya?”

“Non Amy mau ke mana?” Tanya Minah dengan nada khawatir.

“Aku harus menemui Om Jonathan, untuk mengurus banyak hal.”

Minah mengangguk, “Tuan Jonathan orang baik. Bibi percaya dia bisa membantu Non Amy! Tenang saja Non, Bibi akan melindungi non Amy dari lintah-lintah itu!”

Amy tersenyum sambil mengangguk, “Aku akan melindungi semua warisan Papa dan Maman, Bi. Doakan aku bisa melakukan semuanya dengan benar.”

“Pasti Non!”

Orang-orang Serakah.

“Om Jo!” Amy berlari kecil mendekati meja yang tengah diduduki oleh pria paruh baya yang tampak santai mengenakan kaos polo warna coklat dan celana cargo warna hitam. Dia menoleh lalu tersenyum saat melihat Amy mendekatinya.

“Amy, duduklah,” ucapnya sambil meletakkan cangkir kopi yang tadi sempat dia minum.

“Bagaimana keadaanmu? Apakah kamu baik-baik saja?”

Amy tersenyum diikuti helaan napas panjang, “antara baik dan tidak, Om…” jawabnya singkat.

Jonathan memandang Amy penuh tanda Tanya, “ada yang mengganjal di hatimu? Kamu nggak perlu khawatir, nak. Papamu meninggalkan banyak warisan untuk menjamin hidupmu, kamu nggak akan kesulitan melanjutkan hidup, meskipun kamu nggak bekerja sampai tua nanti.”

Amy mengangguk, “aku tau Om, yang menjadi pikiranku adalah Tante Siska dan keluarganya…” Amy menunduk malu, pantaskah dia membicarakan kejelekan tantenya pada Om Jo?

“Ada apa dengan Siska?” Jonathan menatap Amy dengan seksama. Sebagai sahabat Papa dan Mama Amy, Jonathan tentu saja mengenal dan sedikit banyak tau tentang Siska –saudara tiri Chloe –Mama Amy.

“Tante Siska menawarkan diri untuk memegang kendali bisnis Papa, karena dia menganggap aku masih kecil dan belum bisa menghandle semuanya. Tapi aku tak mau Tante Siska memiliki jabatan di perusahaan Papa. Dia itu… serakah… aku takut, bisnis yang Papa bangun semasa hidupnya hancur karena satu orang itu…”

“Dia menyuruh aku melanjutkan sekolah di Prancis dan semua urusan di sini akan dia pegang… aku bingung Om, aku harus bagaimana…”

Jonathan memegang pelipisnya sambil memejamkan mata, kebiasaannya saat sedang berpikir keras. Dia juga sedang mengingat-ngingat wasiat yang ditinggalkan Cakra untuk anak semata wayangnya.

“Ide untuk sekolah di Prancis sepertinya bagus untukmu, Amy.” Ucap Jonathan sambil menganggukkan kepalanya.

“Pertama, dengan pergi jauh ke luar negri, Siska tidak akan mengganggumu untuk urusan warisan peninggalan kedua orang tuamu. Kedua, Papa mu itu sudah berpikir jauh ke depan. Dia sudah meninggalkan wasiat untukmu. Jadi sampai pembacaan surat wasiat Papamu, kamu bisa mulai berkemas untuk pergi ke luar negri.”

Amy menatap Jonathan, “benarkah Om? Apakah benar tidak apa-apa?”

Jonathan menggenggam jemari Amy, “Om akan melakukan yang terbaik untuk melindungimu, Nak. Kamu juga sudah Om anggap seperti anak Om sendiri. Kamu tenang saja, ya.”

Amy menghela dan mengangguk. “Baiklah Om, aku menurut saja sama Om. Sepertinya setelah kepergian Papa dan Maman, aku jadi takut dengan saudara-saudara yang tiba-tiba saja jadi baik padaku, rasanya aku jadi mudah curiga.”

“Om tau itu, kamu tenang saja, ya….”

Amy tersenyum lega, karena masih memiliki Om Jo yang bisa dia andalkan.

Amy menatap Jonathan dengan tangan mengepal saat Jonathan sedang membacakan surat wasiat Papa yang di titipkan padanya. Sebagai seorang pengacara dan teman Papa, Jonathan lah yang dipercaya untuk mengurus surat wasiat jika Papa meninggal.

Amy pikir Om Jo –sahabat Papa nya itu orang baik, namun dia tertipu. Ternyata Om Jo pun sama saja seperti Tante Siska. Mereka semua berubah menjadi lintah yang ingin menghabiskan harta warisan Papa.

“Jadi sampai Amy berusia dua puluh tahun, kursi kepemimpinan di perusahaan Cakra group and Company akan diberikan pada saudara tiri Chloe yang bernama Siska dengan di bantu Saya, Jonathan sebagai ahli hukum yang akan membantu Siska menjalankan perusahaan.

“Sebelum Amy berusia dua puluh tahun, Amy akan mendapatkan lima persen dari keuntungan perusahaan untuk membiayai hidup dan sekolahnya. Dan sisa dari laba perusahaan tersebut akan dikelola oleh Siska dan Saya sebagai  ahli hukum yang mendampingi saudari Siska.”

“Bohong!” teriak Amy, tak percaya.

Jonathan menatap Amy dengan tajam, sungguh berbeda dengan Jonathan yang di temui Amy kemarin. Sikap ramahnya sirna begitu mudahnya hanya karena uang.

“Saya sebagai seorang pengacara professional, tidak mungkin mencoreng nama baik Saya sendiri.” Jonathan mengambil surat yang tadi dia baca dan diberikan pada saksi-saksi yang hadir di sana, dan salah satunya adalah pegawai pemerintah setempat.

Sang pegawai pemerintah yang mengenakan seragam dinas berwarna coklat itu membaca surat yang di berikan Jonathan dan mengangguk, “ini benar tulisan Pak Cakra, Saya tau betul tulisan beliau. Dan tanda tangan di atas materai ini benar tanda tangan beliau, jadi surat ini sah di mata hukum, dan sebagai ahli waris yang disebutkan didalam surat beliau, kalian harus menjalankan wasiat ini dengan sebenar-benarnya.”

Amy menggelengkan kepalanya tak percaya. Bagaimana bisa Amy yang merupakan anak dari Papanya sendiri tak mendapatkan apa-apa, hanya lima persen untuk hidup dan sekolah? Memang cukup, tapi itu benar-benar keterlaluan.

Siska tersenyum sambil menatap Amy, “tenang saja sayang, Tante akan menjaga perusahaan dengan baik sampai kamu cukup umur untuk mengambil alih.” Siska menyeringai –menakutkan. Dan Amy tak percaya sedikitpun pada ucapan yang keluar dari mulut busuk itu.

Amy menatap Jonathan yang sama saja dengan Siska, dia menyeringai bahagia. Amy benar-benar tak menyangka Om yang dia anggap seperti Papa nya sendiri –sahabat baik Papa, tega melakukan semua ini setelah kepergian Papa.

Bruk!

Tante Siska melempar Visa dan passport Amy ke atas meja –dengan kasar.

“Besok, kamu harus berangkat ke Prancis! Carilah sekolah yang cocok untukmu di sana! Bersenang-senanglah dengan lima persen mu! Hahaha…”

Amy hanya bisa pasrah, dia mengambil dua dokumen penting itu dan mendekapnya.

“Dasar anak nggak tau di untung, aku kurang baik apa coba, berani-beraninya main belakang sama Jo! Kamu pikir Jonathan berada di pihakmu? Pih!” Siska pergi sambil tertawa keras meninggalkan Amy di ruang keluarga sendirian. 

 Semua orang telah pergi setelah pembacaan surat wasiat selesai, termsuk Jonathan. Dia bergegas pergi meninggalkan Amy dengan wajah persis seperti pencuri yang mendapatkan rejeki nomplok. Menjijikkan.

Rasanya ingin menangis sekeras-kerasnya. Kenapa dunia begitu kejam pada Amy yang baru berusia delapan belas tahun. Baru saja dia bersenang-senang karena telah selesai menamatkan SMA, tapi kemudian dia kehilangan segalanya, orang tuanya hingga warisan Papanya.

“Aku nggak akan menyerah! Aku akan sekolah dengan baik! Mencari orang yang bisa membantuku mendapatkan semua yang seharusnya menjadi milikku! Aku akan mencari pengacara yang lebih hebat dari pada Om Jo! Dan mengalahkannya! Lihat saja nanti!” gumam Amy mencoba menguatkan dirinya.

Setelah itu dia pun berlari menuju kamarnya, menyiapkan semua baju-baju yang akan dia bawa ke Prancis. Tak lupa dia mengambil semua perhiasan Mamanya, menyimpannya dan akan menggunakannya nanti saat dia benar-benar membutuhkannya. Amy yakin, Maman tak akan keberatan jika dia memakai perhiasan ini untuk bertahan hidup.

Amy kembali berpikir, dia harus melakukan apa lagi? Dia memandangi kamar kedua orang tuanya yang kosong tanpa kehadiran sosok yang dia rindukan itu.

“heh! Ngapain kamu disana!” tiba-tiba Siska masuk sambil membawa sebuah koper besar.

“Tante Siska kenapa masuk ke kamar mama dan papaku?” Tanya Amy dengan nada kesal.

“Kamar ini adalah yang paling besar di sini, tentu saja akan aku gunakan dari pada kosong dan di huni jin! Ya, kan? Hahahaha…”

Amy mengeratkan rahang, emosi benar dia. Tapi dia tak bisa berbuat banyak. “Tolong, simpan barang-barang Maman dan Papa… hanya itu yang aku minta, Tante....”

Siska mendengus, “ya, nanti aku suruh Minah membereskan semuanya, lalu menyimpannya di gudang.

“Simpan saja di kamarku,” sela Amy, tak rela jika barang-barang milik kedua orang tuanya berdebu di gudang yang kotor.

“Kamarmu kan, bakal di pakai Mira! Tenang saja, barang-barangmu dan kedua orang tuamu akan dijadikan satu di gudang, hahaha…” Siska pergi dengan tawa menyebalkan itu lagi.

Setelah Siska pergi, Amy segera berlari ke arah lemari Papanya dan membuka brankas rahasia yang ada di sana. Passwordnya adalah gabungan tanggal lahir Maman dan dirinya. Setelah brankas kecil itu terbuka, Amy segera mengambil surat-surat penting berupa sertifikat rumah mewah ini dan beberapa uang cash dan batangan emas peninggalan Papa.

“Aku tidak mungkin membawa semua ini ke luar negri! Aku akan menyimpannya di bank sebelum berangkat ke Prancis! Paling tidak, aku bisa melindungi rumah ini…” gumam Amy.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!