NovelToon NovelToon

Belenggu Terindah

1. Kesalahan

Nicholas Duncan adalah seorang perfeksionis hingga ke tulang. Ia menginginkan segala hal yang ia lakukan berjalan sempurna. Benar. Tanpa cacat. Nicholas atau singkatnya Nick, tidak menyukai hal-hal yang tidak terduga, hal-hal yang terjadi secara tiba-tiba, tak terencana, dan berujung mengacaukan kesempurnaannya.

Kritikus sejati di hidup Nick adalah dirinya sendiri, dan jika ada orang yang paling ia ingin senangkan dan banggakan, maka orang itu adalah dirinya sendiri juga.

Nick adalah pribadi yang mencintai ketepatan. Namun, itu tidak membuatnya sempurna dan cemerlang. Pada dasarnya, Nick masih anak adam yang sejak tercipta di dunia—rentan menciptakan kesalahan.

Kendati Nick menginginkan segalanya berjalan baik dan benar, ia tentu saja pernah menciptakan kesalahan-kesalahan yang berujung membawanya pada kesialan.

Di antara banyaknya kesalahan yang sudah Nick lakukan selama hidupnya, kesalahan yang paling menonjol baginya—mengubah mata angin dan mengombang-ambing kapal kehidupannya yang berlayar tenang—adalah hari ketika ia menyapa seorang anak perempuan yang tak sengaja ia temui di rumah temannya.

"Apa kamu tamu?" tanya anak perempuan itu padanya saat Nick datang menyapa. Anak perempuan dalam seragam sekolah berwarna biru tua itu duduk di sebuah dahan pohon yang rendah dan melengkung. Ia sedang mengunyah sebuah apel ketika Nick datang menghampirinya.

Iya, Nick adalah lelaki bodoh. Ia patut disalahkan atas apa yang terjadi pada hidupnya di kemudian tahun. Salahnya sudah menghampiri anak perempuan itu duluan. Hanya karena eksistensi perempuan itu mengusik matanya, dengan mudah kakinya melangkah menghampiri perempuan itu.

"Mm. Kamu sendiri? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Nick saat itu. Pertanyaan bodoh untuk basa-basi saja.

Meski perempuan itu duduk di dahan pohon, dahan pohon itu hanya setinggi dada Nick. Jadi Nick masih bisa melihat jelas wajah perempuan itu dan melihat sebuah novel yang sedang di pangkunya.

Novel romance. Klise. Cocok untuk remaja muda sepertinya yang masih berkhayal tentang cinta.

"Aku melarikan diri dari Baba," kata perempuan itu, sedikit kejengkelan tertuang di ekspresinya. Baba artinya nenek. Nick cukup familier dengan kata itu kendati pemahaman Nick terhadap bahasa Rusia masih awkward dan kaku.

Teman Nick yang tinggal di rumah itu juga sering mengeluhkan tentang neneknya yang dia sebut Baba Ingrid. Mungkin perempuan itu juga mengeluhkan Baba yang sama.

"Apa kamu teman Eddy?"

Eddy atau Eduard Perry-Ivanov merupakan putera kedua dari keluarga Ivanov. Putera pertama namanya Sergei Perry-Ivanov. Seryozha panggilannya.

"Mm. Namaku Nick. Nicholas Duncan." Nick menyodorkan tangannya kepada anak perempuan itu.

Anak perempuan itu menyambut uluran tangan Nick dan tersenyum, "Sir Duncan. Namaku Ilya."

Ilya, namanya Ilya. Monster cilik dengan paras jelita nan pucat itu bernama Ilya.

Ilya memperhatikan Nick yang kini ikut menyandar di dahan pohonnya, tangan berpangku di ujung dahan, jari-jarinya dengan santai merobek dedaunan yang berada dalam jangkauan.

"Kamu orang Amerika?" tanya Ilya lagi, lebih seperti tebakan. Cara Nick berbicara dan dari penampilannya—pembawaannya, menunjukkan kalau pria itu bukan berasal dari Rusia. Tidak juga dia terlihat seperti pria yang datang dari England dan memiliki aksen kental.

"Kurang lebih."

"Apa maksudnya kurang lebih?"

"Ibuku asli Skotlandia, ayahku Amerika. Nenek dari pihak ayahku adalah orang Jerman, dan kakek dari ayahku berdarah campuran Italia-Amerika."

"Bagaimana nenek dan kakek dari pihak ibumu?"

"Mereka Scottish murni." Scottish artinya orang Skotlandia.

Asal-usul keluarga Nick membuat Ilya tertarik, ia tersenyum dengan mata berbinar penuh minat. "Apa yang kamu lakukan di Moskow?" tanyanya.

"Menghadiri pernikahan teman," sahut Nick.

"Miss Anya?" Tebak Ilya lagi, lalu merotasikan mata saat Nick mengangguk. "Betapa beruntungnya Miss Anya," ucapan Ilya membuat Nick meninggikan alisnya.

"Kamu terlalu muda untuk pernikahan," Nick menduga Ilya cemburu pada Anya yang akan menikah dan merengkuh apa yang dipandang banyak remaja muda sebagai 'Akhir yang bahagia'. Padahal kehidupan terus berlanjut dan pernikahan itu akan berakhir pada perceraian.

Oke, itu hanya persepsi negatif Nick saja. Ia tidak mengatakan apa-apa pada Ilya.

"Iya, tapi Miss Anya akan berangkat ke London setelah ini, dia akan meninggalkan Moskow dan menikmati kehidupan baru di England."

Nick tidak memahami keluhan Ilya atau mengapa perempuan itu mencemburui kehidupan baru Anya yang menurut Nick sendiri sebagai perubahan yang tidak begitu berarti.

Sejatinya, Nick memang tidak begitu menaruh perhatian pada isi konversasinya dan Ilya. Pikiran Nick terbelah dua pada keluhan-keluhan tentang Eduard Perry-Ivanov yang mendekam terlalu lama di dalam rumahnya.

Ke mana perginya lelaki yang hendak mengajaknya berkuda sore nanti? Langit keburu malam.

"Apa kamu sudah menikah, Nick?" Pertanyaan Ilya menarik perhatian Nick kembali, dan kekehan lolos dari bibirnya secara alami.

"Tidak. Tidak akan pernah terjadi." Sahutan itu keluar tanpa pikir panjang dari bibir Nick. Tatapannya mengedar bosan kepada lahan luas yang diisi oleh pepohonan rindang di taman samping kediaman Ivanov.

"Kenapa tidak?"

"Karena..." Nick tidak yakin harus mengatakan apa pada perempuan yang dipandangnya masih terlampau muda untuk memahami kerasnya realita dunia. Mengatakan hal yang sinis pun belum tentu masuk ke dalam otaknya yang belum sepenuhnya berkembang itu.

"Aku belum menemukan belahan jiwaku," kata Nick, sambil menahan muntah. Kenapa dia harus berbohong pada perempuan itu? Perempuan yang omong-omong, masih bertengger di atas dahan pohon seperti seekor kenari atau—kalau mengikuti penampilannya yang serba gelap—gagak.

"Kalau hanya itu, kamu pasti akan menemukannya cepat atau lambat."

"Yaaah, itu meragukan. Bumi terlalu luas. Belahan jiwaku bisa saja sedang berada di Asia, menikah dengan pria terdekat dalam jangkauan matanya, dan memiliki tiga orang anak."

"Kalau dia tidak bersamamu, itu artinya dia bukan belahan jiwamu."

"Betapa romantisnya kata-katamu," Nick bermaksud mengejek, tapi Ilya menyikapinya dengan kekehan tipis. Nick tidak mau membahas topik itu lagi—tentang pernikahan dan belahan jiwa yang menurutnya omong kosong, dan memilih menanyakan hal lain pada Ilya.

"Apakah kamu adik perempuan Eddy?" tanya Nick, pertanyaan itu lebih seperti pencarian pembenaran.

"Mm. Aku pikir kamu sudah tahu."

"Aku menebaknya, tapi rumah ini cukup besar. Kamu bisa saja sama sepertiku, hanya seorang tamu." Nick lalu bertanya lagi, "Mengapa kamu melarikan diri dari Baba-mu?"

"Dia menyebalkan." Jawaban Ilya begitu frontal. "Aku ingatkan kamu, Sir Nicholas, Ingrid Ivanova adalah iblis di rumah ini. Kamu sebaiknya menjauh dari dia, atau dia akan menyedot jiwamu dan memaku ragamu di dinding, berdampingan dengan kepala rusa yang sudah kering."

Tawa Nick merekah seketika. Ucapan Ilya seperti lelucon yang lucu baginya. Padahal perempuan itu serius.

"Kamu pasti sangat membencinya."

Ilya menghela napas. "Aku sangat membencinya."

Nick ingin bertanya kenapa, tapi ia menelan kalimat pertanyaan itu demi tidak terlalu ikut campur terhadap kehidupan personal Ilya. Perempuan itu akan ia lupakan di menit ketika Eddy tiba. Segala permasalahan hidup perempuan itu tidak akan pernah berarti baginya. Tidak untuk saat itu.

"Apa Amerika menyenangkan, Nick?"

Pergantian nama panggilan dari Sir Duncan, Nick, Sir Nicholas, dan Nick lagi, membuat Nick agak terganggu dan risih. Ia tahu itu tidak penting, tapi Nick menyukai konsistensi dan hal-hal konkrit. Termasuk nama panggilan. Nick saja seharusnya cukup.

"Amerika menyenangkan," kata Nick, memendam keluhannya, ia menyikapi Ilya dengan sikap kasual dan biasa.

Tak berselang lama, sosok Eddy yang ia tunggu-tunggu akhirnya tiba. Pria bersurai pirang keemasan itu muncul di teras depan rumahnya—melambaikan tangan sambil memanggil Nick yang berdiri di kejauhan taman.

"Eddy sudah memanggilku," kata Nick pada Ilya. "Terima kasih sudah mau mengobrol denganku, Miss Ilya."

"Tidak masalah, Sir Duncan."

"Nick."

"Ya?"

"Kamu bisa memanggilku Nick saja."

"Oke, Nick." Ilya melompat turun dari dahan yang ia duduki dan melambaikan tangan pada Nick yang melangkah menjauh dari pohonnya. Laki-laki itu menghampiri Eddy dan suara keluhannya dalam bahasa Inggris mencapai telinga Ilya. Keluhan yang berisi mengapa Eddy lama sekali dan betapa Eddy nyaris membuatnya mati bosan.

Saat Eddy membawa Nick menjauh, Ilya memandang punggung sahabat kakaknya itu dengan sudut bibir melengkung.

"Aku harap aku bisa pergi ke Amerika," kata Ilya, dan dari harapan itu, tumbuh harapan-harapan lain, dan kisah mereka bermula.

Lima tahun dari hari itu, Ilya bertekad menjadikan Nick suaminya. Tiket emasnya.

...----------------...

2. Kegilaan

...Lima tahun kemudian....

Kegilaan Ilya Perry-Ivanova dimulai pada pagi hari di pertengahan September itu. Entah dipicu oleh apa dan mengapa, di hadapan Ingrid Ivanova yang sedang membaca buku literatur klasik setebal batako, di ruang santai dengan perapian menyala, Seryozha baru masuk sambil membawa seekor anjing poodle kesayangannya yang bernama Fedora, Ilya menyuarakan kegilaannya.

"Baba, aku mau menikah," kata Ilya. Dunia seketika terjeda.

Langkah Seryozha terhenti di dekat sofa, sementara bacaan Ingrid sudah terlupakan sepenuhnya.

Pengakuan Ilya ibaratkan bom yang meledak di ruang santai keluarga Ivanov. Bom yang tidak hanya mengejutkan, tapi juga menggemparkan. Ingrid spontan mendongak menatap cucu perempuannya itu, ratu kecil yang ia pelihara seperti permata berharga, tiba-tiba ingin meninggalkan sarangnya.

"Apa aku tidak salah dengar atau Ilya baru saja mengatakan dia—" Seryozha tidak bisa melanjutkan ucapannya, ia menatap Ingrid meminta konfirmasi.

Ingrid membalas tatapan Seryozha sekilas, tapi tak memberikan respon apa pun. Perhatian Ingrid kembali ia pakukan kepada Ilya yang masih berdiri santai tanpa dosa, seakan-akan ucapannya barusan adalah perihal sepele. Sesepele mengaku ingin makan Bebek peking malam nanti.

"Ilya, sayangku, ratuku, apa maksudmu barusan?" Ingrid menggeser duduknya dan memberikan ruang untuk Ilya. Ilya kemudian duduk di ruang yang Ingrid berikan dan menatap Ingrid dengan cengiran polos yang menggemaskan.

"Aku mau menikah," ulang Ilya, kali ini lebih antusias. "Aku pikir ini saatnya aku menikah."

"Jadi aku tidak salah dengar..." Seryozha spontan memijit kening.

"Kenapa kamu mau menikah? Tidak, maksudku adalah, kamu masih muda, Sayangku. Apa kamu sudah memiliki kekasih?"

"Tidak ada, tapi aku mempunyai pria yang aku suka. Aku mau menikahinya."

"Ilya, candaanmu saat ini sangat tidak lucu." Seryozha menegur.

"Siapa yang bilang aku bercanda? Aku serius, Seri. Aku sudah berusia 23 tahun, sudah saatnya aku menikah!"

"Justru karena kamu baru berusia 23 tahun. Itu terlalu cepat!"

Ilya mengernyit tak senang. "Kamu saja yang terlalu lambat, Seryozha. Kebanyakan orang menikah di usiaku. Sebentar lagi kamu berusia 40 tahun, Eddy juga sudah berkepala tiga, tapi tidak ada di antara kalian yang menunjukkan tanda-tanda akan menikah. Kalian akan menjadi bujang lapuk!"

Seryozha tertohok. "Aku masih 35 tahun," bantah Seryozha.

"Apa bedanya?"

Ingrid menarik napas. Ia mengangkat tangannya dan menjeda perdebatan antar si bungsu dan si sulung yang tidak akan berakhir sampai petang kalau tidak ditengahi dari awal.

"Lupakan tentang Seryozha," ujar Ingrid sambil meraup pergelangan tangan Ilya. "Kamu membahas pernikahan tadi. Jadi mari lanjutkan topik itu. Apa yang membuat kamu ingin menikah, Ilya?"

Ingrid lalu melanjutkan, "Bukan berarti aku mau kamu mengikuti jejak Seryozha dan Eddy yang menjadi bujang lapuk, tapi aku juga merasa kamu terlalu muda untuk menikah. Setidaknya tunggu sampai kamu berusia 25, Sayang."

"Aku tidak mau menunggu, Baba. Aku takut pria yang aku sukai akan menikah dan meninggalkanku."

"Pria yang kamu sukai?"

Ilya mengangguk.

"Seperti yang sudah kubilang, ada seseorang yang aku sukai sejak lama," ucap Ilya, sepasang mata hijaunya berkilat cerah. "Namanya Nicholas Duncan. Baba mungkin mengenalnya, dia pernah ke sini, teman Eddy. Tinggi, tampan, orang Amerika. Dia seperti pangeran, aku sangat menyukainya. Aku mau menikahinya. Kami pernah bicara sekali, dan dia sangat baik. Sangat tipe idealku sekali."

"Duncan, Nick Duncan?" Seryozha kembali nimbrung, dan saat ia memikirkan kembali tentang Nick yang dimaksudkan Ilya, Seryozha menggebrak meja. "Tidak boleh! Bagaimanapun tidak boleh! Mengapa kamu mau menikahi anak Amerika itu? Dia tidak sopan, arogan dan paling parah, bukankah dia tua beberapa tahun darimu?"

"Siapa peduli dengan umurnya? Aku suka dia karena dia tampan!"

Seryozha kembali diserang sakit kepala, ia terhuyung di sandaran sofa, mata menatap Ilya dengan terpana. Adiknya sudah gila. Seratus persen.

"Princess, sebelum kamu membuat keputusan gegabah untuk menikahi si Nick ini, bukankah lebih baik bila kamu memikirkan karakternya lagi? Pria Amerika memiliki budaya yang berbeda dari kita. Mereka memiliki gaya hidup yang bebas, buas, dan angkuh. Kamu tidak akan nyaman bersamanya."

"Dia tidak seperti itu Baba."

"Dari mana kamu tahu? Bukannya kamu cuma berbicara dengannya sekali? Dan kapan kalian bertemu? Baba tidak pernah mendengar cerita ini darimu."

"E-Eddy?" Ilya dilanda sedikit keraguan, tapi ia tetap meneruskan ucapannya, "Eddy berteman dengan Nick, Baba. Saat Miss Anya menikah, sekitar empat atau lima tahun lalu, mungkin, aku bertemu Nick. Dia menunggu Eddy, dan dia berbincang denganku. Dia sangat keren, Baba. Aku jatuh cinta."

"Lima tahun lalu?" Seryozha kembali dengan komentar sinisnya. "Kamu hanya bocah ingusan lima tahun lalu. Kamu tidak berpikir jernih, Ilya. Apa yang kamu pikirkan tentang Nick sudah banyak berubah, kamu berkhayal. Lupakan anak Amerika itu. Kalau kamu mau menikah, aku akan mencarikan kamu laki-laki Rusia yang lebih layak."

"Apa aku bilang aku mau orang lain selain Nick!" Ilya memekik marah kepada Seryozha. Ia menatap kakak sulungnya itu dengan kemurkaan. "Coba saja kamu mencarikanku cowok lain, aku akan memastikan kamu tidak bisa menikah, Seryozha. Kamu akan kucincang!"

"Ilya, omonganmu tidak pantas. Kamu itu perempuan! Bersikap sopan pada kakakmu. Kamu juga, Seryozha." Ingrid mengambil waktu untuk merenungi ucapan Ilya, karena bagaimanapun, apa yang Ilya inginkan bukan sesuatu yang bisa dibilang merugikan.

Pernikahan itu baik.

"Bagaimana, Baba?" Ilya memandang Ingrid dengan mata penuh harap.

"Mari berpikir jernih, biarkan Baba mendiskusikan keinginanmu dengan Alexey dan Freya. Baba juga akan berbicara dengan Eddy."

Alexey Ivanov dan Freya Perry adalah orang tua dari tiga bersaudara yang tinggal di Ivanov manor tersebut. Alexey Ivanov adalah anak laki-laki Ingrid, sementara Freya Perry adalah wanita Amerika yang Alexey nikahi. Karena kesibukan pekerjaan, Alexey dan Freya jarang berada di rumah. Mengikuti jejak orang tuanya, Eddy pun sama saja. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya di Amerika dan hanya pulang beberapa bulan sekali.

Hanya Ingrid, Seryozha dan Ilya yang masih memaku hidupnya di manor besar dan hampir kosong itu. Seryozha tinggal karena ia tidak memiliki minat pergi, Ilya tinggal karena tidak dibolehkan pergi.

"Apa Baba mendukungku?" tanya Ilya, kali ini sambil bermanjaan di dekapan Ingrid.

"Baba akan selalu mendukungmu, ratuku. Selama kamu menginginkan hal yang baik, Baba akan memberikan apa pun yang kamu inginkan."

"Yaaaa..." Ilya memekik senang. "Ugh, Baba. Bahagianya aku memiliki Baba terbaik sedunia."

"Baba," kata Ilya lagi, ia memeluk pinggang Ingrid erat-erat dan berucap seperti meratap. "Aku mohon, bantu aku menikah dengan Nick, ya. Aku sangat mencintainya. Aku tidak bisa hidup kalau dia menikah dengan orang lain, Baba. Bantu aku, ya. Please. Hanya dia yang bisa membuatku bahagia."

...Walau sebenarnya, ratapan itu dusta....

...----------------...

Usai menghabiskan waktunya bersama Ingrid dan mendebat Seryozha yang masih saja mengkritiknya, Ilya meninggalkan ruang santai dan pergi menuju kamarnya. Segala raut muka khas wanita kasmaran yang menghiasi parasnya telah pudar terganti kejemuan.

Ilya mengunci pintu kamar dan bergegas mengambil kardus di kolong tempat tidurnya. Ia mengambil sebuah buku dari kardus itu yang memiliki tulisan Wish-List di sampulnya. Wish-list berarti daftar harapan, dan sesuai dari judul di sampul, buku itu menampung seluruh harapan Ilya.

Pertama-tama, harapan Ilya adalah pindah ke Amerika dan menikah dengan Nicholas Duncan.

Kedua, menikmati kehidupan baru yang bebas dari peraturan Ingrid Ivanov. Pergi berlibur, berpesta dan segala macamnya. Melakukan apa saja.

Ketiga, bekerja dan belajar mandiri.

Keempat, bercerai dari Nicholas Duncan. Iya, bercerai. Karena pria itu hanya alat pelariannya saja.

Kelima, menemukan cinta sejati.

Harapan Ilya tidak mudah untuk terpenuhi, memang. Tapi Ilya percaya, selama ia bisa menapak di tanah Amerika, selama ia bisa meninggalkan rumah yang seperti sangkar baginya, ia akan bisa melakukan apa saja.

"Maafkan aku, Nicholas Duncan." Ilya berujar sambil memandang foto Nicholas yang tersemat di atas buku itu. Foto yang dia ambil dari hasil men-stalk akun sosial media Nick di Insta.

Nicholas adalah tiket emas Ilya, yang kalau ia mendapatkan pria itu dalam genggamannya, ia akan mampu mengendus aroma kebebasan yang telah lama ia damba dan impikan.

"Aku berjanji akan membebaskanmu setelah aku memperoleh kebebasanku secara utuh."

...----------------...

3. Lamaran

Sementara Ilya menjalankan misinya yang hendak menjadikan Nicholas Duncan sebagai suami, Nicholas di sisi lain benua memperoleh panggilan dari ayahnya—Hayden Duncan. Panggilan itu datang dari rumah, meminta Nick untuk segera pulang karena ada topik urgen yang perlu mereka diskusikan.

Nicholas Duncan atau Nick, tidak tinggal seatap bersama keluarga besarnya. Sejak berumur 18 tahun, Nick meninggalkan rumah dan menetap di asrama kampus. Begitu lulus, Nick memilih tinggal di sebuah apartemen kecil dan mulai membangun karirnya dari sana. Sedikit demi sedikit, hingga akhirnya menjadi bukit.

Sekarang, ketika Nick sudah menapak usia 32 tahun, Nick tinggal di sebuah apartemen miliknya, yang dibelinya dengan uang hasil keringatnya sendiri.

"Apa sesuatu terjadi pada Ma?" Nick bertanya setibanya di rumah. Saat itu Nick disambut oleh Chester, asisten pribadi Hayden Duncan yang umurnya sudah 40-an. Menjawab pertanyaan Nick, Chester pun menggeleng santai.

"Davina baik-baik saja, Nick. Beliau ada di taman bersama Maya dan Nacha."

"Nacha di sini?"

"Ya. Dia datang bersama Leon." Leon atau lengkapnya Leonard Duncan adalah kakak laki-laki Nick. Nacha adalah istri Leon, yang juga merupakan teman masa kecil Nick. Natascha Svennson namanya dulu, sebelum berganti menjadi Natascha Duncan.

"Sepertinya Pa tidak hanya memanggilku," kata Nick. Sambil mengikuti langkah Chester.

Mereka melenggang menuju ruang kerja Hayden yang berada di lantai dua. Selama perjalanan itu juga, Nick mengingatkan dirinya sendiri kalau kunjungannya saat itu tidak akan memakan waktu lama. Ia tidak boleh lepas kendali dan menunjukkan murkanya. Semuanya akan baik-baik saja.

Sedikit fakta tentang Nick, Nick tidak suka berkunjung ke ruangan kerja Hayden. Tidak ada memori baik yang bisa ia ingat dari tempat itu. Tapi, mengingat ia sudah dewasa, sudah selayaknya ia bertingkah dewasa. Nick menekan kekesalannya dan menghadap kepada Hayden yang sudah menunggunya sambil berbincang-bincang dengan Leon.

"Akhirnya, si berandalan ini datang juga." Hayden menyambut kehadiran Nick dengan kedua tangan terbentang lebar, berharap Nick akan singgah ke dekapannya. Namun, malang untuk pria itu, Nick tidak menggubris tingkahnya dan memilih menjabat tangan Leon.

"Bagaimana kabarmu dan Nacha?" tanya Nick pada Leon.

"Kami baik, Nick. Kamu sendiri? Kamu tidak datang pada makan malam kemarin, Ma mencarimu. Apa yang terjadi?"

"Aku ada urusan pekerjaan di Milan."

"Ooh, bagaimana kabar bisnismu?"

"Semuanya berjalan baik," kata Nick, dan setelah puas mengabaikan Hayden, Nick akhirnya menoleh kepada pria tua yang kini bertampang ketus di ujung sofa. Hayden pasti kecewa sudah tidak mendapat dekapan dari Nick, tapi mau bagaimana lagi, sudah sejak lama Nick tidak memandang pria itu sebagai ayahnya.

"Aku mendapat telepon dari Chester," kata Nick, mengajak Hayden bicara. "Apa yang terjadi? Katanya ada sesuatu yang urgen?"

"Sesuatu yang urgen memang sedang terjadi," sahut Leon, lalu tersenyum. "Urgen dan menyenangkan."

Nick tidak mengerti. "Apa maksudnya?"

"Kabar baik, Nick, sedang menghampirimu." Hayden akhirnya berucap juga. Ia menjalinkan jari-jemarinya di antara dua lututnya yang terbuka. Sambil memandang Nick yang hanya duduk menyandar di bahu sofa, Hayden mengutarakan kabar baik tersebut dengan suara riang, "Nick, keluarga Ivan melamarmu."

Suhu di ruangan itu seketika membeku. Nick membeku.

"Anakku yang paling tampan, dari semua pria yang ada di dunia ini, puteri bungsu dari keluarga Ivan itu memilihmu. Sungguh berkah dari langit." Hayden sepertinya tidak terpengaruh akan dingin yang menyergap Nick. Ia terus bicara, memaparkan betapa beruntungnya Nick telah dilamar oleh keluarga tersohor dari Rusia.

"Ivan?" Kening Nick mengernyit dalam kebingungan. Tunggu, siapa keluarga Ivan? Ivans? Ivanov? Tunggu, Ivanov? Puteri bungsu? Adiknya Eddy? Anak gagak di pohon itu?

Tidak. Itu tidak mungkin.

"Berikan aku waktu sebentar," Nick mengangkat tangan dan menjeda celotehan Hayden. Ia butuh waktu untuk mengatur ulang isi kepalanya. Ia perlu menata kembali setiap informasi yang menguar dari benaknya. Informasi yang tumpah-ruah seperti air yang kepenuhan di tangki dan membanjiri segala persepsinya.

Namun, semakin Nick merapikan setiap informasi yang berjatuhan di benaknya, semakin Nick di arahkan kepada anak perempuan yang samar-samar pernah hinggap di hidupnya. Anak perempuan dari keluarga Ivan, seorang Ivanova, adik Eddy.

Ilya Perry-Ivanova.

Satu-satunya seorang Ivan yang berkelamin perempuan dan belum menikah.

"Ini tidak masuk akal," gumam Nick pada dirinya sendiri.

"Apa kamu sudah selesai?" Hayden kembali mengajak Nick bicara setelah beberapa menit terlewat dalam keheningan.

Menepikan segala deduksi yang berjalan di kepalanya, disertai segala kebingungan, Nick menaruh perhatian kepada topik yang sempat ia tinggalkan untuk merenung. "Jadi ini alasan kalian memanggilku? Panggilan yang Chester bilang urgen dan apa tadi kalian menyebutnya, kabar bahagia? Ini? Lamaran ini?"

Leon membaca kesinisan dari suara Nick dan menyahut, "Ini membahagiakan, Nick. Sudah saatnya kamu menikah dan lamaran dari keluarga Ivan? Ini kesempatan emas."

Nick mendengus, "Aku tidak tertarik, terima kasih. Kalau kalian berminat, kalian saja yang menikah dengannya." Nick hendak beranjak meninggalkan ruangan itu, tapi Hayden menyela.

"Kami sudah menerima lamarannya, Nick."

"Apa?!" Daripada pertanyaan, ucapan Nick lebih seperti teriakan penuh protes.

Hayden menerima teriakannya, tapi tidak terhentak sama sekali. Pria itu sekokoh patung Liberty.

"Aku sudah menerima lamaran itu, Nick, dan aku tidak menerima penolakan darimu. Kamu harus menikahinya."

"Ini kehidupanku, jangan mengaturku!"

"Kamu sudah memperoleh kebebasan dariku selama ini, tapi sekarang tidak. Aku mau kamu menikah dengan anak itu, maka kamu akan menikah dengannya."

"Kamu tidak bisa memaksaku," bantah Nick. Seringai mekar di wajahnya, menantang Hayden.

"Kamu akan menikahinya tanpa aku perlu memaksamu, anakku. Kalau kamu puteraku, kamu pasti tahu siapa lawanmu. Kamu pasti tahu betapa seriusnya keluarga Ivan.

"Lamaran mereka bukan penawaran yang bisa kamu tolak dengan gelengan, Nicky. Lamaran itu adalah pemberitahuan kalau mereka menginginkan kamu. Kalau kamu tidak mau, kamu pasti paham konsekuensinya, bukan? Toh, di antara kita, kamu yang berteman akrab dengan putera mereka. Kamu pasti paham cara mereka bekerja."

Mengikuti peringatan ayahnya, Nick mengimbuhi dengan suara yang lebih lembut, "Pikirkan baik-baik tindakanmu, Nick. Kamu sedang di puncak karirmu sekarang, kalau mereka menjatuhkanmu, kamu akan remuk berantakan. Jangan gegabah dan membuat keputusan yang riskan."

Meski ucapan Leon dan Hayden terdengar masuk akal, Nick merespon keduanya dengan decakan remeh penuh kesinisan.

"Apa kalian paham apa yang baru saja kalian katakan padaku?" tanya Nick, "Kalian menyuruhku menjual diriku kepada anak Rusia itu dan kalian bersenang-senang. Kalian menganggap ini menyenangkan, bukan?"

"Aku hanya ingin kamu memiliki pendamping hidup, Nick." Leon membela diri. "Kamu sudah 32 tahun, sudah saatnya kamu memiliki istri. Kamu tidak bisa selamanya menggantungkan harapanmu kepada Nacha."

Mata Nick membola. "Kenapa—, tunggu, ini konyol. Perasaanku pada Nacha berakhir ketika kamu menikahinya, Leon. Aku tidak mengharapkan apa pun darinya."

"Kalau begitu buktikan! Menikah lah dengan anak Rusia itu. Tinggalkan aku dan Nacha sendirian."

Nick lagi-lagi tertawa, matanya berkilat jenaka. Leon sangat tidak masuk akal, pikirnya. Kakak laki-lakinya itu pasti sudah sama gilanya dengan Davina. Mungkin Skizofrenia wanita itu sudah menurun ke Leon.

"Aku tidak akan menikah dengan siapa pun," ujar Nick, tawanya reda seperti tidak pernah ada. Ucapan seperti deklarasi pada semua telinga yang mendengarkan, termasuk Chester yang berdiri di luar ruangan.

"Aku tidak mau menikah."

"Aku akan menganggap kamu tidak mengatakan apa pun padaku, Nicky." Hayden merespon dengan tenang. "Keluarga Ivan akan datang dari Moskow hari Jumat nanti. Chester akan mengabarimu jam kedatangan mereka padamu. Kalau kamu sudah berpikir jernih dan menjadi lebih bijaksana, datanglah untuk menjemput calon istrimu di bandara."

Nick tidak memahami jalan pikiran ayah dan saudaranya. Merasakan kalau berbicara pada mereka hanya berujung percuma, Nick beranjak meninggalkan ruangan itu sambil melonggarkan dasi dan melepaskan kancing kemeja teratas yang terasa seperti mencekik lehernya.

Sialan, pikir Nick, ia seharusnya tidak pulang.

...----------------...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!