Langit sore itu memerah, seperti menyerap segala resah di hati Nayara. Gadis berusia 17 tahun itu berjalan gontai di trotoar kecil, seragam SMA-nya masih melekat, tapi wajahnya basah oleh air mata. Buku-buku pelajaran di tas punggung terasa berat, seolah ikut menekan pikirannya.
“Lima puluh juta…” gumamnya lirih. Kata-kata itu terus mengulang di kepalanya.
Ibunya, pembantu rumah tangga di rumah keluarga besar Alaric, menangis semalam suntuk karena ditagih hutang. Ayahnya yang bekerja sebagai tukang kebun tak sanggup membayar. Semua tabungan habis, gaji bulanan hanya cukup untuk makan. Sedangkan si rentenir mengancam akan menyita rumah kontrakan kecil mereka jika besok uang itu tak diserahkan.
Nayara merasa sesak. Bagaimana mungkin seorang siswi SMA bisa menemukan uang sebanyak itu dalam satu malam?
Ia berlari kecil ke arah taman kota, tempat sepi yang biasanya ia pakai untuk meluapkan air mata. Kursi panjang kayu yang sudah sedikit usang menjadi saksi betapa seringnya Nayara duduk di sana, membiarkan angin sore menghapus tangisnya.
Ia menutupi wajah dengan kedua tangan, pundaknya bergetar. “Kalau aku bisa, aku saja yang bayar, Bu… tapi dari mana?”
Suara langkah sepatu hak terdengar mendekat. Nayara mengangkat wajah, matanya sembab. Seorang wanita glamor berdiri di depannya. Penampilannya mencolok: gaun merah ketat, tas mewah bermerk, parfum semerbak yang menusuk hidung. Bibirnya tersenyum tipis, matanya menatap tajam seakan bisa membaca isi hati Nayara.
“Kenapa nangis, dek?” suaranya serak seksi.
Nayara cepat-cepat menghapus air mata. “T-tidak apa-apa, Kak…”
Wanita itu mengangkat alis. “Bohong. Aku tahu wajah orang yang lagi kepepet. Kamu butuh uang, kan?”
Nayara menelan ludah. Ia ingin bangkit dan pergi, tapi lidahnya kelu. Entah kenapa, aura wanita itu begitu mendominasi.
“Aku… aku cuma lagi pusing,” jawabnya terbata.
Wanita itu duduk di sampingnya tanpa permisi, menyilangkan kaki dengan anggun. “Aku bisa bantu kamu dapat uang. Banyak. Dalam semalam.”
Hati Nayara berdegup. Kata-kata itu seperti kilat di langit gelap.
“Benarkah? Tapi… aku nggak punya apa-apa.”
Wanita itu tersenyum miring. “Kamu punya satu hal yang berharga. Tubuhmu. Keperawananmu.”
Jantung Nayara serasa berhenti. Nafasnya tercekat. Ia menatap wanita itu tak percaya. “A-apa maksud Kakak…?”
“Jangan pura-pura nggak tahu,” wanita itu mendekat, suaranya lirih. “Ada pria yang mau bayar mahal untuk itu. Kamu masih muda, cantik, polos. Nilaimu tinggi.”
Nayara mundur sedikit, tangannya gemetar. “T-tidak… aku bukan gadis seperti itu…”
Wanita itu terkekeh, menepuk pundaknya. “Aku juga dulu sama sepertimu. Tapi kenyataan lebih kejam daripada moral. Kamu butuh lima puluh juta, kan? Aku bisa kasih cek dua ratus juta malam ini juga. Kamu tinggal menutup mata, biarkan selesai satu kali saja. Setelah itu, keluargamu bebas.”
Nayara menunduk. Air mata lagi-lagi jatuh. Bayangan ibunya yang terisak, ayahnya yang murung di kebun, menari-nari di benaknya.
“Dua ratus juta… dalam semalam?” suaranya hampir tak terdengar.
Wanita itu tersenyum lebar, tahu umpan mulai mengena. “Ya. Tapi syaratnya satu: kamu tidak boleh menatap wajah klien. Biar semua lebih mudah. Kamu akan ku pakaikan topeng tipis. Jadi, kamu tetap aman. Dia tidak akan mengenalimu.”
Nayara menggigit bibir. Tubuhnya bergetar hebat. Ia ingin berlari, tapi kaki seakan menancap di tanah. Logikanya menolak, tapi putus asa membungkam semua.
“A-aku… hanya sekali?” bisiknya.
“Hanya sekali,” jawab wanita itu cepat, meski senyumnya penuh tipu daya.
Nayara mengangguk lemah. Matanya kosong, seolah menyerahkan jiwa. “Baik… asal ibu dan ayah bisa terbebas dari hutang…”
Wanita itu langsung berdiri, meraih tangan Nayara, menariknya dengan paksa lembut. “Pintar. Ayo, mobilku di sana.”
Nayara hanya bisa menurut. Langkahnya gontai, setiap detik terasa seperti berjalan menuju jurang. Mobil mewah warna hitam menunggu di tepi jalan. Pintu dibuka, Nayara didorong masuk.
Di kursi empuk itu, ia menatap keluar jendela. Gedung-gedung tinggi berkelebat, lampu kota mulai menyala. Perutnya mual, jantungnya berdebar.
“Ya Tuhan…” gumamnya, “aku harus kuat… demi ibu dan ayah…”
Mobil berhenti di depan sebuah hotel bintang lima yang menjulang tinggi. Lampu-lampu kristal di lobi berkilau bagai istana, membuat Nayara merasa semakin kecil. Ia bahkan belum pernah masuk kafe mahal, apalagi hotel seperti ini.
Wanita glamor itu menurunkan kacamata hitamnya, tersenyum puas. “Ini tempatnya. Jangan takut. Semua sudah diatur.”
Nayara meremas erat ujung roknya. Lututnya gemetar. Saat pintu mobil dibuka oleh petugas hotel, ia melangkah keluar dengan ragu. Sepatu hitam sekolahnya terlihat begitu kontras di lantai marmer putih mengilap.
Di dalam lobi, orang-orang menoleh. Ada yang tersenyum sopan, ada yang memandang dengan sinis. Nayara menundukkan kepala, seolah ingin menghilang.
“Jangan gugup,” bisik wanita itu sambil menuntunnya menuju lift. “Ingat, ini hanya sekali. Setelah itu, kamu bebas.”
Lift berhenti di lantai paling atas. Pintu terbuka memperlihatkan koridor panjang berkarpet merah. Hanya ada satu pintu besar di ujung, dengan ornamen emas di gagangnya. Wanita glamor itu mengetuk pelan, lalu membuka pintu menggunakan kartu akses.
Nayara melangkah masuk. Dadanya naik turun cepat.
Kamar itu luas luar biasa. Ada ranjang king size dengan seprai putih bersih, balkon terbuka menghadap gemerlap kota, meja kaca dengan botol wine, dan aroma wangi bunga mawar memenuhi ruangan. Seolah setiap detail sengaja dirancang untuk memabukkan.
“Duduklah dulu.” Wanita itu menunjuk sofa. Nayara menuruti dengan kaku.
Wanita itu lalu membuka laci, mengeluarkan sesuatu. Sebuah topeng tipis, terbuat dari satin hitam, yang hanya menutupi setengah wajah.
Melihat itu, Nayara tercekat. “Itu… untukku?”
“Tentu,” jawab wanita itu ringan. “Kamu tidak mau wajahmu terlihat, kan? Dengan ini, klien tidak akan tahu siapa kamu.”
Nayara menggenggam ujung rok lebih kuat. “T-tolong… jangan biarkan dia lihat wajahku. Aku… aku takut kalau suatu hari ketahuan…”
Wanita itu mendekat, menempelkan topeng itu ke wajah Nayara, mengikatkan talinya di belakang kepala. “Tenang saja. Kamu akan tetap rahasia. Anggap saja ini hanya mimpi buruk satu malam.”
Nayara menatap dirinya di cermin besar di dinding. Seragam SMA putih abu-abunya masih melekat, wajahnya kini tersembunyi di balik topeng hitam. Gadis itu bahkan tak lagi mengenali dirinya sendiri.
“Bagus,” gumam wanita itu. “Kamu terlihat… eksotis.”
Air mata menetes pelan di pipi Nayara, tertahan di balik kain topeng. Ia menutup mata, membisikkan doa dalam hati. Ya Tuhan… kuatkan aku. Demi ibu dan ayah.
Ketukan pelan terdengar dari pintu samping kamar. Jantung Nayara seolah melompat keluar. Wanita glamor itu tersenyum tipis.
“Itu dia,” katanya lirih. “Ingat, jangan bicara kalau tidak perlu. Jangan buka topeng. Setelah selesai, kamu dapat cekmu.”
Nayara menggenggam erat tangan di pangkuannya, tubuhnya gemetar hebat. Di balik pintu itu, takdir menunggu, siap mengubah hidupnya selamanya.
Pintu itu terbuka perlahan. Suara langkah berat terdengar masuk. Nayara menundukkan kepala, tubuhnya membeku di sofa. Dari celah topeng matanya, ia hanya bisa melihat siluet seorang pria tinggi berjas rapi, bahunya bidang, auranya dingin namun memikat.
Wanita glamor menyambut pria itu dengan senyum profesional. “Semua sudah siap. Seperti yang kau minta. Masih muda, segar… dan tidak akan tahu siapa dirimu.”
Pria itu hanya mengangguk. Suaranya rendah, dalam, dan tegas. “Baik.”
Nayara merasakan bulu kuduknya meremang. Hanya sekali mendengar suaranya, tubuhnya bergetar. Ia menggenggam ujung rok seragamnya erat-erat, berusaha menahan rasa takut yang mencekik.
Wanita glamor berjalan mendekat pada Nayara, menepuk bahunya. “Ingat, diam saja. Semua akan cepat berlalu.” Ia lalu meninggalkan kamar, menutup pintu. Kini hanya ada Nayara dan pria itu, sendirian.
Keheningan mendadak terasa mencekam. Nayara bisa mendengar detak jantungnya sendiri, keras seakan memekakkan telinga.
Pria itu melangkah mendekat. Setiap langkah sepatu kulitnya terasa berat, menghantam lantai karpet. Ia berhenti tepat di depan Nayara.
Nayara tidak berani mengangkat wajah. Nafasnya tersengal.
Tiba-tiba, jari pria itu terulur, menyentuh dagu Nayara, mengangkat wajahnya perlahan. Mata mereka hampir bertemu. Nayara buru-buru memejamkan mata, takut rahasianya terbongkar.
Topeng tipis itu menjadi satu-satunya penyelamat.
Pria itu terdiam sebentar, seolah memandangi wajahnya. Tangannya lalu turun, menyentuh rambut Nayara, mengelus pelan. Gerakan itu membuat tubuh Nayara makin kaku.
“Manis,” gumam pria itu pendek.
Nayara menahan tangis. Ya Tuhan… cepatlah berakhir…
Pria itu melepaskan jasnya, meletakkannya di kursi. Ia duduk di samping Nayara, menatap lekat-lekat. Aroma parfumnya maskulin, menusuk indra Nayara.
Tanpa berkata banyak, ia meraih tangan Nayara, membawanya berdiri. Gadis itu hampir tak sanggup menopang tubuhnya sendiri. Kakinya gemetar.
“Diam saja. Aku tidak akan menyakitimu.”
Kalimat itu seharusnya menenangkan, tapi justru membuat Nayara makin ketakutan. Ia hanya bisa mengangguk kecil, air matanya terus jatuh tanpa suara.
Pria itu menuntunnya naik ke ranjang, lalu mendekat perlahan. Saat tubuh mereka semakin dekat, Nayara tahu… inilah awal dari sesuatu yang akan mengubah hidupnya selamanya.
Ranjang itu terasa dingin ketika Nayara duduk di ujungnya. Tubuhnya kaku, seakan kehilangan tenaga. Kedua tangannya memegang erat ujung seprai, seolah benda itu bisa melindunginya.
Pria itu berdiri di depannya, menatap dalam. Siluetnya samar diterangi lampu temaram. Aura berkuasa terpancar dari setiap geraknya. Ia membuka dasi, menaruhnya di meja kecil, lalu membuka kancing kemeja satu per satu.
Nayara memalingkan wajah, menutup mata rapat-rapat. Tapi justru karena itu, ia semakin sadar dengan setiap suara—bunyi kancing yang terbuka, bunyi gesekan kain, bahkan napas pria itu yang stabil dan tenang.
“Jangan takut,” suara pria itu terdengar lagi, rendah dan berat. “Ikuti saja. Kau akan baik-baik saja.”
Nayara menggigit bibirnya, menahan tangis. Tapi tubuhnya gemetar semakin hebat. Ia ingin berlari, tapi seakan ada rantai tak terlihat yang menahan seluruh tubuhnya.
Pria itu mendekat, menyentuh pipinya. Sentuhan hangat itu membuat Nayara tersentak. Ia menggeleng pelan, berusaha menjauh, tapi pria itu menahan dagunya, menuntut wajahnya untuk tetap menghadap ke arahnya.
“Aku tidak suka penolakan,” ujarnya dingin, namun nadanya tetap tenang.
Air mata jatuh dari sudut mata Nayara. “Tolong… cepat saja…” bisiknya nyaris tak terdengar.
Pria itu tersenyum samar, lalu menunduk. Bibirnya menyentuh kulit leher Nayara, hangat namun membuat tubuh gadis itu kaku seperti batu. Setiap sentuhan terasa asing, menyesakkan, dan menyakitkan bagi batinnya.
Dengan perlahan, ia menurunkan tali seragam Nayara. Gadis itu bergetar keras, matanya terpejam, air matanya tak berhenti mengalir. Ia merasa malu, hancur, dan kosong. Tapi tubuhnya pasrah—tak ada yang bisa ia lakukan.
Pria itu mendorongnya perlahan ke kasur empuk itu, hingga tubuh Nayara berbaring di seprai putih dengan sempurna. Dari sudut pandang Nayara, langit-langit kamar berputar, seolah ia ingin kabur dari kenyataan ini.
Saat pria itu menaiki ranjang dan mendekat, Nayara menahan napas. Detik itu terasa begitu panjang. Jantungnya berpacu kencang, bercampur antara rasa takut, malu, dan perasaan hancur.
“Jangan bergerak,” perintah pria itu pelan.
Kemudian, semuanya terjadi. Rasa sakit menusuk tubuh Nayara, membuatnya menahan jeritan di tenggorokannya. Tangannya meremas kuat seprai hingga kusut. Air matanya jatuh deras, membasahi pipinya.
Untuk pertama kalinya, ia merasakan sesuatu yang begitu asing, yang bukan berasal dari cinta, bukan dari kehangatan—melainkan keterpaksaan. Dunia seakan runtuh di matanya.
Pria itu tetap tenang, mendominasi, tak banyak bicara. Hanya gerakan tubuhnya yang berbicara, keras dan penuh kuasa. Setiap sentuhan, setiap desahan, membuat Nayara merasa semakin kecil, semakin hancur.
Dalam benaknya, ia hanya bisa berdoa: Ya Tuhan… cepatlah berakhir… cepatlah semua ini selesai…
Waktu berjalan lambat. Sampai akhirnya, setelah beberapa lama, pria itu melepaskan tubuhnya dan bergeser. Nayara menutup wajah dengan kedua tangannya, tubuhnya bergetar hebat, seakan seluruh dunia telah merampas kepolosannya.
Pria itu bangkit dari ranjang, meraih pakaiannya kembali. Ia menoleh sebentar, menatap Nayara yang terisak diam-diam. Senyum samar kembali muncul di wajahnya, namun tak sepatah kata pun keluar.
Tapi sebelum meninggalkan kamar, pria itu hanya berkata singkat, dingin, dan penuh misteri:
“Kau akan kuingat.”
Pintu tertutup kembali. Kamar itu sepi, hanya menyisakan Nayara yang terkulai di ranjang, menangis dalam diam. Hidupnya takkan pernah sama lagi setelah malam itu.
———
Cahaya matahari pagi menembus tirai tipis kamar hotel, menyilaukan mata Nayara yang belum sepenuhnya terpejam semalaman. Tubuhnya terasa lemas, pegal di setiap sendi. Ia duduk perlahan di tepi ranjang, masih memakai seragam sekolah yang kusut, rambut acak-acakan, wajah sembab karena air mata.
Bayangan kejadian semalam terus menghantui pikirannya. Setiap detik terasa seperti luka baru yang ditorehkan dalam hatinya.
Kenapa aku harus melewati ini? Kenapa aku begitu lemah…? bisik batinnya, getir.
Di meja kecil dekat ranjang, ada sebuah amplop cokelat tebal. Wanita glamor yang membawanya ke hotel tadi malam ternyata meninggalkan itu—penuh dengan uang tunai. Uang yang cukup untuk melunasi hutang ibunya, bahkan lebih.
Nayara menatap amplop itu lama sekali. Tangannya gemetar saat meraihnya. Setiap lembar yang disentuh membuat hatinya semakin sesak. Ia tahu, uang ini adalah hasil dari kehormatan yang sudah direnggut paksa.
Air matanya kembali jatuh. Namun di balik kepedihan itu, ada sedikit rasa lega—setidaknya ibunya tak perlu lagi dikejar-kejar rentenir.
Dengan tangan bergetar, Nayara memasukkan uang itu ke dalam tas sekolahnya.
Sebelum keluar kamar, ia bercermin sebentar. Gadis itu nyaris tak mengenali dirinya sendiri. Mata bengkak, wajah pucat, bibir kering. Ia cepat-cepat mencuci wajah, merapikan rambut seadanya, lalu mengenakan masker yang ia temukan di laci meja hotel.
“Wajahku… tidak boleh ada yang tahu,” gumamnya lirih.
Saat tiba di rumah sore harinya, Nayara disambut ibunya yang kelelahan. Ayahnya masih bekerja di kebun keluarga besar. Ibunya tampak cemas, membicarakan hutang yang belum juga terbayar.
Tanpa banyak kata, Nayara menyerahkan amplop itu.
“Ibu… aku menang lomba menulis di sekolah. Hadiahnya ini. Untuk bayar hutang…” katanya terbata, matanya menunduk.
Sang ibu tertegun, lalu memeluk Nayara erat-erat dengan mata berkaca-kaca. “Anakku… terima kasih, kau benar-benar menyelamatkan kita.”
Pelukan itu membuat hati Nayara semakin hancur. Ia menutup matanya, berusaha menahan tangis. Bohong. Semuanya bohong. Tapi kebohongan ini ia anggap satu-satunya jalan untuk melindungi keluarganya dari kebenaran yang terlalu kelam.
Malam itu, Nayara berbaring di kamarnya. Lampu dipadamkan, namun matanya tetap terbuka. Ia merasa kosong, seolah seluruh dunia berubah kelam.
Di dalam dirinya, satu janji ia genggam erat:
Tak seorang pun boleh tahu apa yang sebenarnya terjadi di hotel itu...
Bel sekolah berbunyi nyaring. Suasana SMA itu ramai dengan obrolan dan tawa para murid, namun bagi Nayara semua terdengar seperti gema jauh. Langkahnya terasa berat saat melewati koridor, tas di punggung terasa lebih membebani dari biasanya.
Semalam ia hampir tidak tidur. Bayangan tubuh asing itu, napas berat, aroma parfum maskulin samar, dan rasa sakit di tubuhnya masih begitu nyata. Nayara menggigit bibir bawah, mencoba mengusir ingatan itu, tapi semakin berusaha melupakan, semakin jelas potongan kejadian itu muncul.
Ia menunduk, berjalan cepat menuju kelas. Saat masuk, seorang gadis menyapanya riang.
“ Nayaraaaaaaaa! Kamu datang juga, aku kira sakit!”
Nayara mendongak, dan melihat Elara—sahabatnya. Rambut panjang hitam berkilau, kulit putih bersih, senyum lembut. Elara adalah sahabatnya selama dua tahun terakhir, gadis dari keluarga kaya yang justru sederhana dan tulus.
Nayara berusaha tersenyum, meski wajahnya pucat. “Enggak kok, cuma capek aja.”
Elara mengerutkan kening, memperhatikan wajah Nayara yang sedikit sembab. “Kamu nangis semalam?” tanyanya polos.
Deg. Jantung Nayara berdegup kencang. Ia cepat-cepat menggeleng. “Nggak, cuma… belajar sampai malam.”
“Dasar, kamu terlalu keras sama diri sendiri,” gumam Elara sambil menepuk bahu Nayara. Lalu ia mengajaknya duduk bersama di bangku belakang, seperti biasanya.
Hari itu, pelajaran biologi membahas sistem reproduksi manusia. Nayara langsung merasa perutnya mual. Setiap kali guru menjelaskan, otaknya seperti dilempar kembali pada kejadian semalam di hotel itu.
Kenapa harus topik ini? keluhnya dalam hati, menunduk sambil mencoret-coret buku agar terlihat sibuk.
Sementara itu, Elara dengan semangat menyalin catatan. “Nayara, nanti kita belajar bareng lagi, ya? Aku nggak terlalu ngerti bagian ini.”
Nayara menoleh, matanya berkaca-kaca tanpa Elara sadari. Ia mengangguk pelan. “Iya… nanti sore aku mampir ke rumahmu.”
Kata-kata itu membuat hatinya kian sesak. Rumah Elara… rumah besar tempat ayahnya bekerja sebagai tukang kebun dan ibunya sebagai pembantu.
Namun untuk saat ini, Nayara hanya bisa berusaha menata wajahnya. Menjadi gadis SMA biasa. Menjadi sahabat yang baik. Menyembunyikan luka yang ia simpan sendirian.
———
Sore itu, langit jingga menyelimuti kota kecil. Nayara berjalan menuju rumah besar sahabatnya, membawa buku biologi dan beberapa catatan. Langkahnya pelan, seolah kaki enggan bergerak, tapi janji dengan Elara membuatnya tetap maju.
Gerbang tinggi rumah keluarga Elara terbuka lebar. Satpam menyapanya ramah, sudah hafal dengan wajah Nayara yang sering datang ke sana. Begitu melewati taman depan, aroma bunga mawar dan anggrek menyapa. Ayah Nayara tampak dari kejauhan, sibuk memangkas pohon, berkeringat tapi tetap fokus.
Nayara menahan napas sebentar. Ada rasa bersalah yang menyesakkan dada setiap kali melihat ayahnya bekerja keras di tempat ini, sementara dirinya menyimpan rahasia besar yang kelak bisa meruntuhkan segalanya.
“Naay!” suara ceria Elara terdengar dari beranda lantai dua. Ia melambai dengan senyum lebar. “Cepetan naik, aku udah siapin camilan!”
Nayara mengangguk dan segera masuk. Pelayan rumah menyapanya sopan, menuntunnya ke kamar Elara. Kamar luas itu penuh dengan boneka, rak buku, dan lampu gantung indah. Meski tinggal di rumah mewah, Elara tetap terlihat seperti gadis sederhana yang ceria.
Mereka duduk bersebelahan di meja belajar. Buku biologi dibuka, dan Elara langsung menunjuk bagian sistem reproduksi. “Aku nggak ngerti bagian ini, Na. Bisa jelasin nggak?”
Deg.
Nayara tercekat. Kata “reproduksi” saja sudah membuat kakinya gemetar di bawah meja. Tapi ia menahan diri, mencoba tersenyum. “I-iya, jadi… ini tuh proses tubuh manusia buat menghasilkan keturunan…”
Suaranya bergetar, sementara pikirannya melayang pada kejadian malam itu. Sentuhan asing, desahan, dan rasa sakit—semua menyerbu kembali.
Elara menatapnya curiga. “Kamu beneran nggak apa-apa? Mukamu pucat banget.”
Nayara cepat-cepat menunduk, merapikan bukunya. “Aku cuma… capek. Tapi aku bakal jelasin sebisa aku.”
Elara menggenggam tangan Nayara, menatap dengan tulus. “Kamu sahabatku, Na. Kalau ada apa-apa, jangan dipendam sendirian.”
Kata-kata itu membuat air mata hampir jatuh. Nayara menunduk, berpura-pura membuka catatan, menahan isakan yang hampir pecah.
———
Malam menjelang. Lampu kristal di kamar Elara menyinari meja belajar yang penuh dengan buku, kertas catatan, dan camilan manis yang sudah setengah habis.
“El, kalau kamu bener-bener mau paham materi ini, kamu harus rajin nulis ulang. Kayak gini nih,” kata Nayara sambil mencontohkan coretan diagram di bukunya.
Elara memandanginya dengan kagum. “Aku beruntung banget punya kamu, Na. Kalau nggak ada kamu, nilai biologi aku pasti merah terus.”
Nayara tersenyum tipis, mencoba menutupi rasa hancur di hatinya. “Kamu kan rajin juga, cuma perlu lebih sabar aja.”
Mereka tertawa kecil. Obrolan pun beralih ke hal-hal ringan: musik, film, bahkan gosip kecil di sekolah. Elara begitu terbuka, sementara Nayara hanya sesekali menimpali. Di balik tawanya, ada rasa iri kecil—bagaimana rasanya hidup tanpa beban seperti Elara, tanpa harus menyembunyikan rahasia kelam?
“Nayara…” suara Elara melembut. “Aku seneng banget kamu jadi sahabatku. Kamu tahu nggak? Dari semua teman di sekolah, cuma kamu yang bener-bener ngerti aku.”
Hati Nayara bergetar. Ia tahu, kalau suatu hari Elara mengetahui kebenaran, semuanya akan hancur. Persahabatan yang begitu indah ini bisa berubah jadi kebencian.
Ia menggenggam tangan Elara pelan. “Aku juga ngerasa gitu, El. Kamu sahabat terbaikku.”
Tiba-tiba, suara pintu berderit dari koridor membuat mereka menoleh. Langkah sepatu terdengar semakin jelas. Elara menoleh sekilas ke arah pintu, lalu tersenyum santai.
“Mungkin kakakku pulang. Padahal dia jarang banget ke rumah…” gumam Elara, lalu kembali fokus ke catatannya.
Nayara membeku. Kata “kakak” seolah menyalakan alarm dalam dirinya, meski ia belum tahu siapa orang itu.
Tapi entah kenapa, hatinya merasa sesuatu yang mengerikan sedang mendekat—bayangan dari malam gelap yang ingin ia lupakan selamanya.
Pintu kamar Elara terbuka perlahan. Sosok pria tinggi dengan setelan rapi berdiri di ambang pintu. Wajahnya tegas, tatapannya dingin, tapi ada sesuatu yang sulit diartikan—seolah auranya memerintah ruangan tanpa harus berkata-kata.
“El, kamu masih begadang belajar?” suaranya berat dan dalam.
Elara mendongak, senyum lebar terlukis di wajahnya. “Kak! Akhirnya kamu pulang! Aku pikir kamu nggak akan sempet mampir.”
Pria itu masuk beberapa langkah, pandangannya melintas sekilas ke arah Nayara yang duduk di samping meja.
Nayara terdiam. Ada sesuatu yang aneh dalam hatinya saat mata itu menyapunya—dingin, tajam, namun seperti menyimpan rahasia yang ingin ditutupi.
“Oh iya, kenalin ini sahabatku. Namanya Nayara,” kata Elara sambil menarik lengan Nayara agar berdiri.
Untuk sepersekian detik, ruangan terasa hening. Nayara menunduk sopan. “Selamat malam, Kak.”
Alaric—yang namanya belum terucap di depan Nayara—hanya mengangguk singkat. Tatapan matanya sulit ditebak, seolah menimbang sesuatu dalam diam.
“El, aku nggak mau ganggu. Jangan belajar terlalu larut,” ucapnya akhirnya, lalu berbalik hendak keluar.
Namun sebelum benar-benar menutup pintu, matanya sekali lagi menatap Nayara. Kali ini lebih lama, membuat Nayara menggigit bibir bawahnya tanpa sadar. Ada perasaan tak nyaman, seakan pria itu bisa menembus semua pertahanan yang ia bangun.
Begitu pintu tertutup, Nayara menghela napas panjang. Tangannya sedikit gemetar.
“Nay, kamu kenapa? Wajahmu pucat,” tanya Elara sambil menatap curiga.
Nayara tersenyum kaku. “Nggak… nggak apa-apa. Mungkin kecapean.”
Tapi jauh di dalam hatinya, ia tahu—tatapan pria itu bukan tatapan biasa. Ada sesuatu yang familiar, sesuatu yang ingin ia lupakan, tapi kini justru datang kembali menghantui.
———
Setelah pria itu pergi, kamar kembali hening. Elara asyik menumpuk buku di meja belajar sambil bercerita tentang betapa sibuk kakaknya dengan pekerjaan dan urusan keluarga.
Nayara hanya mendengarkan setengah hati. Di kepalanya, wajah pria tadi terus terbayang. Tatapan itu… dingin, tapi di baliknya seperti ada bara yang menyala.
“Nay, serius deh, kamu pucat banget. Jangan bilang kamu takut sama kakakku?” goda Elara sambil terkekeh.
Nayara cepat-cepat menggeleng. “Bukan… bukan takut. Hanya… entahlah, aku merasa tatapannya aneh.”
Elara menoleh sebentar, lalu tersenyum santai. “Ah, memang begitu dia. Orangnya kaku, susah senyum. Tapi sebenarnya dia perhatian, kok. Kamu jangan salah paham dulu.”
Nayara mencoba tersenyum, meski hatinya tetap gelisah. Ia tidak tahu kenapa, tapi sosok pria itu terasa berbeda. Seakan ada garis takdir yang menghubungkan mereka, meski ia tak berani mengakuinya.
Malam semakin larut. Setelah Elara tertidur, Nayara berbaring di sofa kecil dekat jendela. Bulan menggantung pucat di langit, dan sekali lagi bayangan wajah pria itu menyelinap dalam pikirannya.
“Siapa sebenarnya dia?” bisiknya lirih.
Sementara itu, di kamar lain, pria tadi berdiri lama di depan jendela, memandang pekatnya malam. Ujung bibirnya terangkat tipis, nyaris tak terlihat.
Tatapannya tidak lagi hanya dingin—ada obsesi yang mulai tumbuh, meski belum ia akui.
Dan tanpa sadar, malam itu menjadi awal dari ikatan yang takkan mudah terputus.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!