Jakarta, 2020.
Malam itu, kamar keluarga Ferdinand hanya diterangi cahaya lampu redup di sudut ruangan. Clara berbaring menatap langit-langit, hatinya gelisah.
Sekali-kali dirinya melihat kearah suaminya Arman Ferdinand, suami Clara yang beberapa bulan ini Clara merasakan kehangatan Arman menghilang.
Sambil melihat kearah Arman, apa yang dikatakan Vina benar kalau kakaknya punya wil(wanita lain)?. pikiran Clara terus bergejolak malam itu.
Kilas balik.
Sore hari itu, saat Clara melakukan rutinitas setiap sore sebagai ibu rumah tangga, Vina pulang dari shoping ke mall.
Vina sore itu tidak seperti biasanya, ia membawa banyak barang bawaan nya.
Ia langsung menghampiri ibunya Mary yang sedang duduk santai di kursi santainya di halaman.
“Ma!, lihat apa yang Vina bawa. ”teriaknya seakan disengaja didengar oleh Clara yang sedang sibuk di dapur.
“Memangnya apa yang kamu bawa?. ”lirik Mary ke tangan Vina. “Wah, banyak sekali belanjaan mu hari ini. apa Clara memberimu uang banyak hari ini?. ”
“Clara!,mana mungkin?. dia itu kakak ipar pelit sedunia, ini bukan dari dia, ”lanjut Vina dengan suara lirih. “tapi.. tapi ini dari kak Loly. ”
“LOLY!. ”Mary pun terkejut mendengarnya.
“Sstt..,jangan berisik ma!.Iya,kakak Loly teman sma mereka dulu, yang pernah dekat dengan kakak Arman. ”ucapnya dengan suara pelan.
“Bukankah dia pergi ke luar negeri. ”
“Iya, ma. sepertinya Loly sudah kembali, dan aku yakin kakak Arman jarang pulang karena bersama kak Loly. ”
“Bagus kalau mereka bersama, daripada dengan si Clara itu yang tidak becus. Mama nyesel banget!, setuju mereka berdua menikah. ”
Pembicaraan mereka tanpa mereka ketahui telah didengar oleh Clara, Clara hanya bisa menahan rasa sedihnya mendengar pembicaraan Vina dan Mary.
Loly. nama yang dulu hampir tidak terdengar dan rumah tangga mereka.
Dan saat ini Clara malam itu dalam pikirannya penuh pertanyaan, serta mulutnya ingin membicarakan tentang Loly pada Arman.
Karena di sampingnya sekarang, ada Arman sudah terlelap, napasnya teratur, seolah tak pernah terusik oleh jarak yang perlahan tumbuh di antara mereka.
Tidak, mereka adalah masa lalu. aku harus percaya dengan suamiku. pikirnya Clara yang risau.
Clara sekarang berusaha menghidupkan rumah tangga mereka yang sudah kering, dan malam ini ia berharap Arman merespon dengan baik.
Clara menggigit bibirnya pelan, ragu antara menjaga diam atau berani mendekat. Sudah berbulan-bulan mereka tidak lagi menyentuh satu sama lain sebagaimana layaknya sepasang suami-istri. Ia merindukan kehangatan itu, bukan sekadar tubuh, tetapi juga perasaan dicintai yang perlahan terasa asing.
Dengan hati-hati, Clara memiringkan tubuhnya, jemarinya menyusuri lengan Arman yang hangat. “Mas…” bisiknya hampir tak terdengar, separuh takut separuh berharap. Cahaya temaram membuat wajah suaminya tampak begitu tenang, namun justru itulah yang membuat dadanya semakin sesak,apakah ia masih punya tempat di hati lelaki yang dulu begitu mencintainya?.
Malam ini Clara harus menghapus kerisauan hatinya, ia memberanikan diri untuk bertanya dengan suaminya.
“Mas bangunlah..!,kita sudah lama tidak melakukannya. ”
Jawab Arman yang masih menutup matanya. “Aku capek, kapan-kapan saja kita lakukan. ”
Jawaban terasa dingin ditelinga Clara, Clara menarik napas dalam, mencoba menguatkan dirinya.
Jemarinya menggenggam lengan Arman lebih erat, memberanikan diri menanyakan tentang Loly pada Arman.
Hatinya berdegup cepat, bercampur antara rindu dan takut akan jawaban yang mungkin akan melukai dirinya.
Arman menggeliat sebentar, alisnya berkerut karena terganggu dari tidurnya. Ia membuka mata setengah sadar, menoleh ke arah Clara. “Clara? Kenapa belum tidur?,kalau ada yang penting besok saja kita bicarakan.Sekarang aku capek sekali! ” suaranya berat, masih diselimuti kantuk.
Clara menatap mata itu,mata yang dulu selalu penuh cinta, kini terasa asing dan jauh. Ia tersenyum tipis, menahan getar di bibirnya. “Aku… hanya ingin bicara sebentar, Mas.”
Arman bergeming sejenak, lalu menghela napas. “Bicara apa? Besok saja, ya? Aku capek sekali.” Ia hendak memejamkan mata lagi, namun tangan Clara menahan dadanya.
“Mas…” suara Clara bergetar. “Apa benar…Loly sudah kembali?”
Pertanyaan itu membuat suasana kamar mendadak dingin. Arman membuka matanya lebar, kini benar-benar terjaga. Sorot matanya tajam, namun sulit dibaca apakah itu marah, terkejut, atau merasa bersalah.
“Siapa yang bilang begitu?” tanyanya datar, hampir seperti bisikan yang menusuk hati.
Clara menunduk, jemarinya meremas sprei. “Aku dengar dari Vina dan Mama… mereka bicara soal kamu… soal Loly. Aku tidak tahu harus percaya apa. Tapi aku…” suaranya patah, “…aku hanya ingin tahu apakah kamu masih berhubungan dengan Loly,bagaimanapun juga dia itu cinta pertama mu? .”
Arman terdiam lama. Jam dinding berdetak pelan, seakan menekan kesunyian di antara mereka. Clara merasa dadanya hampir meledak oleh penantian akan jawaban itu.
Akhirnya, Arman duduk bersandar di kepala ranjang. Tatapannya jatuh ke lantai, bukan pada istrinya. “Clara… jangan dengarkan omongan mereka. Aku memang bertemu Loly, iya. Tapi itu tidak seperti yang kamu pikirkan,sekarang dia itu atasan ku jadi tiap hari kita bertemu.”
Clara terperangah. Jantungnya berdebar semakin kencang. “Jadi… kamu memang bertemu dengan nya?” suaranya lirih, nyaris tak terdengar.
Nada Clara seakan kecewa. “Kenapa kamu tidak pernah cerita dengan ku?. ”
Arman menutup mata, mengusap wajahnya seolah ingin menghapus lelah yang menempel. “Kau ini masih cemburu dengan Loly!,dia itu masa laluku dan sekarang kamu adalah istri ku. Sudahlah jangan bahas ini lagi, aku mau tidur besok mau berangkat pagi.”
Clara merasa hatinya semakin hancur. Ia menatap wajah lelaki yang masih ia cintai itu, tapi jawaban yang ia harap bisa menenangkan justru membuatnya semakin gelisah.
“Mas… jangan besok. Aku butuh jawaban sekarang.” Clara menggenggam tangannya erat, air matanya mulai mengalir tanpa bisa ditahan.
Arman menoleh, menatap mata Clara dengan sorot yang rumit—ada rasa bersalah, ada juga kebimbangan. Lalu ia menghela napas panjang.
“Kalau aku jujur malam ini… apa kamu siap mendengarnya?”
Pertanyaan itu membuat tubuh Clara membeku. Kata-kata Arman terasa seperti pintu yang siap membuka kebenaran pahit.
“Tapi mas, bagaimanapun juga dulu Loly itu cinta pertama mu?. Siapa tahu benih-benih cinta mu untuk nya bersemi? ”
Clara menatap Arman dengan mata yang sembab, air mata membasahi pipinya. Pertanyaan terakhir itu terlepas begitu saja, tanpa ia pikirkan lagi. Ia hanya butuh kepastian, butuh diyakinkan bahwa rumah tangganya tidak sedang retak tanpa ia sadari.
Jawablah mas, aku ingin dengar dari mulutmu kalau semua kecurigaan ku tidak benar. suara hati Clara yang butuh keyakinan dari Arman.
Namun bagi Arman, kata-kata Clara terasa seperti pisau yang terus menusuk. Ia menoleh dengan wajah yang mulai mengeras.
“Clara! Sampai kapan kamu mau terus mencurigai aku?!” suaranya meninggi, nada marah yang sudah lama ia tahan akhirnya pecah. “Apa setiap hari kamu mau tanya soal Loly? Mau sampai kapan kamu bawa-bawa nama dia di antara kita?.Hentikan kecemburuan mu itu, aku sudah muak! ”bentak keras Arman.
Clara terperanjat. Dadanya terasa sesak mendengar nada kasar dari suaminya. “Mas… aku hanya takut kehilanganmu…” suaranya bergetar, lirih, nyaris tidak terdengar.
“Takut kehilangan?” Arman menghela napas panjang, menahan emosinya. Ia turun dari ranjang, mengambil bantalnya dengan gerakan terburu. “Kalau kamu terus seperti ini, Clara, kamu justru yang akan menghancurkan rumah tangga kita. Aku lelah! Pulang kerja sudah capek, masih harus mendengar kecurigaan tanpa henti.”
Clara terdiam, tangannya meraih sprei seolah mencari pegangan agar tidak runtuh. “Maafkan aku mas..,jangan seperti ini.tidak enak dengan mama dan Vina, jika tahu kamu tidur di luar”
Arman menoleh sekilas, sorot matanya dingin. “Aku butuh tenang, Clara. Kalau kamu tidak bisa percaya sama aku, percuma kita bicara sekarang.Jika aku terus disini, aku tidak tahan dengan kecurigaan mu.”
Tanpa menunggu balasan, ia melangkah keluar kamar. Pintu kamar ditutup cukup keras hingga membuat hati Clara bergetar. Ia hanya bisa menatap punggung suaminya menghilang dalam kegelapan koridor rumah, menuju kamar tamu.
Sunyi.
Clara terduduk di ranjang, air matanya jatuh tanpa suara. Dulu, malam seperti ini selalu diisi tawa kecil dan pelukan hangat. Kini, yang tersisa hanya sepi dan rasa hampa.
Di kamar tamu, Arman menjatuhkan diri ke ranjang, menatap langit-langit dengan mata kosong. Amarahnya belum reda, tapi di balik itu tersimpan rasa bersalah. Ia tahu Clara hanya ingin merasa dicintai lagi. Namun bagi Arman, tekanan dari pekerjaan, hadirnya Loly sebagai atasan, dan desakan keluarga membuat kepalanya penuh.
“Dasar istri tak pengertian!, sudah tahu suami capek kerja. masih dengar omelannya. ”
Di kamar Clara hanya bisa menangis, Arman yang dulu manis dan menunjukkan cintanya padanya. Sekarang berubah menjadi pria yang tidak perduli, dan prasangka Clara diperkuat dengan kehadiran Loly di tengah mereka.
Malam itu, rumah keluarga Ferdinand terasa dingin. Dua hati yang dulunya bersatu kini terpisah oleh dinding kamar.
Pagi hari menyapa dengan cahaya matahari yang menembus tirai tipis kamar Clara. Matanya bengkak, kepala terasa berat, dan hati masih penuh luka. Saat melangkah ke ruang makan, ia melihat Mary dan Vina sudah duduk, wajah mereka tampak puas seperti menemukan celah baru.
“Tumben bangun telat, Clara,” sindir Mary sambil mengaduk teh. “Suamimu sudah berangkat pagi-pagi sekali tanpa sarapan. Apa kalian bertengkar lagi?,walaupun bertengkar sudah kewajiban mu melayani suamimu.kasihan anakku punya istri seperti mu!.”
Vina ikut terkekeh, “Iya nih kakak ipar,jangan sering bertengkar bisa-bisa kak Arman diambil orang nanti.”
Mereka berdua terkekeh menertawakan penderitaan Clara, seakan itu hari yang dinantikan oleh mereka berdua perpecahan antara Clara dan Arman.
Clara membeku di tempat. Ucapannya semalam, tangisannya, dan bentakan Arman kini jadi bahan ejekan di meja makan. Ia menggenggam cangkir yang baru saja ia ambil, berusaha menahan amarah.
Clara yang tidak bisa mengontrol emosinya, meluapkan rasa kesalnya pada ibu mertuanya dan adik iparnya.
“Mama, Vina. kalian terlihat bahagia melihat hubungan kita yang retak. mungkin aku bukan menantu yang diinginkan mama dan kakak ipar impian Vina. tapi satu hal yang kalian harus tahu,aku masih istri putramu dan aku juga masih kakak iparmu Vin,” jawab Clara dengan suara serak tapi tegas.
Sebelum Clara pergi meninggalkan mereka, Clara melanjutkan ucapan terakhirnya. “Jika putra kalian tidak menikah dengan ku, mama tiap hari di kejar rentenir dan kamu Vina tidak bisa shoping tiap hari bukan dari uang yang aku beri. Lalu saat kalian menderita mana menantu impian mama Loly itu? dia meninggalkan putra kalian pergi,sekarang dia kembali malah kalian mengagungkan dirinya. ”
Mary menepuk meja, matanya melotot. “Kalau kamu bisa menjaga rumah tanggamu, aku tak perlu ikut campur! Sejak dulu mama sudah bilang, kamu itu bukan pasangan yang cocok untuk Arman. Kalau bukan karena dia keras kepala menikahimu, mungkin sekarang dia sudah hidup bahagia dengan Loly!”
Perkataan itu menancap di hati Clara seperti belati. Ia berbalik, meninggalkan meja makan tanpa menelan sesuap pun makanan.
Clara lalu kembali ke kamarnya,dengan menutup pintu kamarnya dengan keras didepan mereka.
Clara yang mencoba tegar didepan mereka, tapi akhirnya air matanya kembali luluh lagi setelah pertengkaran tadi.
Clara merasa semua yang ia lakukan untuk keluarga Arman tidak ada artinya, Clara yang harus meninggalkan keluarga besarnya untuk menikah dengan Arman.
Untuk pertama kalinya selama empat tahun pernikahannya, ia merasa menyesal.
Sedangkan kantor, Arman duduk gelisah di ruangannya.
Loly, yang kini menjabat sebagai manajer barunya, masuk dengan berkas-berkas di tangan. Penampilannya elegan, tatapannya penuh percaya diri.
“Kamu kelihatan pucat, Arman. Ada masalah di rumah?” tanyanya lembut.
Arman tersentak, buru-buru menutup map di depannya. “Tidak… hanya kurang tidur.”
Loly menatapnya lama, senyum tipis terukir di bibirnya. “Kamu selalu begitu, menyimpan semua sendiri. Dulu pun begitu waktu kita masih dekat.”
Kalimat itu membuat Arman menegakkan tubuhnya. Ingatan lama kembali dimana masa remaja mereka, cinta pertama yang kandas karena keadaan. Ia menghela napas panjang. “Itu masa lalu, Loly. Sekarang aku sudah menikah.”
“Tentu saja,” jawab Loly ringan, tapi sorot matanya penuh tantangan. “Hanya saja… kadang masa lalu suka datang kembali tanpa kita minta.”
Ucapan itu membuat kepala Arman makin berat, setiap yang dikatakan Loly seperti memberikan kesempatan untuk Arman.
Malam harinya, di rumah.
Clara menunggu Arman pulang. Namun jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, dan suaminya belum juga datang. Rasa cemas dan curiga kembali menghantam. Ponselnya berulang kali ia tatap, tapi tidak ada pesan masuk.
Tiba-tiba, pintu depan terbuka. Arman masuk dengan wajah letih, kemejanya kusut, dasinya lepas seenaknya.
“Mas…” Clara mendekat, matanya berkaca-kaca. “Kenapa pulang larut lagi? Apa… kamu bersama Loly?”
Arman mendengus, melempar tasnya ke sofa. “Clara! Kamu lagi-lagi dengan pertanyaan itu?! Aku sudah bilang hentikan rasa cemburu mu itu! ”
“Karena aku tidak bisa tenang,hatiku selalu gelisah setelah tahu kalian terus bertemu!” Clara menangis. “Setiap kali kamu jauh dariku, setiap kali kamu dingin padaku… aku merasa ada orang lain yang mengisi hatimu!”
Arman menatap istrinya lama, lalu tiba-tiba ia menggebrak meja. Suara keras itu membuat Clara terlonjak.
“Kalau aku bilang aku masih sayang Loly, apa kamu puas?! Kalau aku bilang aku lelah dengan semua prasangka dan air matamu, apa kamu mau berhenti?!”
Clara terdiam. Kata-kata itu seperti mimpi buruk yang menjadi nyata.
Air matanya jatuh deras, suaranya lirih. “Jadi… memang benar? Hatimu sudah bukan untukku lagi?”
Arman menutup wajah dengan kedua tangannya, berusaha menahan emosi. Tapi ia tidak menjawab. Dan keheningan itu, bagi Clara, lebih menyakitkan daripada jawaban apa pun.
Di balik pintu, Vina diam-diam menguping.
Senyum licik tersungging di bibirnya. Ia berlari kecil ke kamar Mary. “Ma, benar kan kata Vina? Mereka sudah di ujung tanduk. Sebentar lagi rumah tangga mereka hancur.”
Mary menepuk tangan putrinya. “Bagus. Kalau Clara pergi, Arman pasti kembali ke Loly. Itu yang seharusnya terjadi sejak dulu.”
Sementara itu, Clara terduduk di ruang tamu, menatap lantai dengan mata kosong. Dalam hatinya, sebuah pertanyaan besar menguat:
Apakah ia harus bertahan demi cinta… atau melepaskan sebelum ia hancur lebih jauh?
Tiba-tiba saja Clara merasa mual, setelah kepergian Arman dari rumah.
Clara berlari ke kamar mandi, tubuhnya lemah, keringat dingin membasahi pelipis. Ia muntah berulang kali hingga lututnya goyah. Dalam kepalanya, terlintas satu hal yang membuat hatinya makin hancur yang kemungkinan ia sedang mengandung.
Tangannya gemetar saat meraih alat tes kehamilan yang sudah ia beli beberapa hari lalu, tapi belum sempat digunakan. Dengan napas terengah, ia menunggu hasilnya muncul. Dua garis merah jelas terlihat.
Air matanya kembali jatuh, tapi kali ini bercampur antara bahagia dan pilu. Bagaimana kalau Arman benar-benar sudah tidak mencintainya lagi? Bagaimana nasib anak ini?
“Tidak Arman sudah menantikan anak ini, ditengah pernikahan kami dan mungkin bisa mempererat hubungan kami. ”ucap Clara sambil melihat dirinya di cermin seakan menyakinkan dirinya.
Sejak semalam Arman tidak pulang, dan tidak bisa dihubungi Clara.
Clara yang tidak sabar ingin memberitahukan kabar bahagia ini langsung pada Arman, ia tanpa banyak berpikir segera bersiap pergi ke kantor suaminya sore ini.
Sedangkan di kantor, Loly semakin gencar mendekati Arman. Dengan berbagai alasan pekerjaan, ia sering menahan Arman lembur. Malam itu, saat semua karyawan sudah pulang, Loly tiba-tiba menaruh tangannya di atas tangan Arman.
“Arman… jangan yutupi kegelisahan mu padaku. aku tahu pernikahan mu tidak baik-baik saja dengan Clara,dan juga aku ingin kita bisa kembali seperti dulu,” bisiknya.
Arman menarik tangannya, tapi tidak sekuat biasanya. Kepalanya penuh dengan keraguan dan kelelahan rumah tangga. Loly semakin berani mendekat, hingga jarak mereka tinggal sejengkal.
Arman pun mulai tergoda dengan ucapan Loly, dan ia tidak melarang atau menolak yang dilakukan Loly.
Dan hubungan terlarang itu pun dimulai, mereka berdua berciuman mesra dengan gairah didalam kantor.
Tanpa sadar waktunya Arman pulang kerja, dan akhirnya mereka berdua memutuskan untuk pergi berdua dengan mobil Loly.
Yang disaat mereka keluar kantor, Clara berdiri melihat mereka dari kejauhan.
Melihat sikap Loly yang bermanja-manja di dekat suaminya, dan Arman seakan menyukai kedekatan itu.
Malam itu hati Clara hancur, kotak yang berisi testpack terjatuh dari tangannya.
Clara yang ingin memberikan kejutan, malah mendapatkan kejutan dari Arman.
Hujan tiba-tiba turun deras malam itu, seolah ikut merasakan luka di dada Clara. Ia berdiri terpaku di depan kantor tempat Arman bekerja, tubuhnya kaku, mata berkaca-kaca menatap pemandangan yang tak pernah ia bayangkan akan dilihat dengan matanya sendiri.
Kotak kecil berisi testpack yang jatuh kini basah oleh hujan, garis dua merah di dalamnya mulai pudar tersapu air. Namun rasa sakit di hati Clara tidak bisa dihapuskan begitu saja.
Langkahnya gontai, ia memunggungi Arman dan Loly yang sudah masuk ke dalam mobil. Ia berjalan tanpa arah, hujan membasahi tubuhnya, tapi ia tidak peduli.
“Kenapa, Mas… kenapa kau tega?” bisiknya sambil menutup mulutnya agar tangisnya tidak meledak di jalanan.
Clara akhirnya naik taksi, meminta diantar ke tempat yang jauh dari rumah keluarga Ferdinand. Ia tak sanggup pulang malam itu, tak sanggup menatap wajah Mary dan Vina yang pasti akan bersorak gembira melihat rumah tangganya retak.
Sementara itu, di dalam mobil, Loly menyandarkan kepalanya di bahu Arman. Lelaki itu tampak bimbang, namun tidak menyingkirkan perempuan di sampingnya.
“Kamu tahu, Arman…” bisik Loly lembut, “aku tidak pernah berhenti mencintaimu. Bersamaku, kamu tidak perlu mendengar rengekan, tidak perlu menanggung beban. Aku hanya ingin kamu bahagia.”
Arman menatap ke luar jendela, pikirannya kusut. Bayangan Clara menangis di rumah sempat melintas, namun segera ia tepis dengan rasa lelah yang menyesakkan. Ia menutup mata, membiarkan dirinya semakin larut dalam buaian masa lalu bersama Loly.
Diamnya Arman menjelaskan, kalau hubungan rumah tangga nya sudah goyah. ia menikmati kebersamaan nya dengan Loly, seakan seperti saat sma dulu.
Arman tidak tahu, malam itu Clara tidak pulang ke rumah Arman.
Saat ini Clara malam itu akhirnya sampai di sebuah penginapan kecil di pinggiran kota. Ia masuk dengan tubuh basah kuyup, membuat pemilik penginapan terkejut.
“Apa Anda baik-baik saja, Bu?” tanya resepsionis muda itu khawatir.
Clara tersenyum samar, meski wajahnya pucat. “Saya hanya… butuh kamar untuk malam ini.”
Begitu pintu kamar tertutup, Clara jatuh terduduk di lantai. Tangannya menyentuh perutnya yang masih datar, namun di dalamnya ia tahu ada kehidupan kecil yang sedang bertumbuh.
“Maafkan mama, Nak…” bisiknya dengan suara serak. “Mama tidak bisa menjaga rumah ini tetap utuh untukmu.”
Tangisnya pecah, lebih keras dari sebelumnya. Untuk pertama kalinya, Clara merasa benar-benar sendirian.
Pagi harinya, Arman terbangun di apartemen Loly. Ia tertegun melihat ponselnya penuh dengan panggilan tak terjawab dari Clara. Hatinya mendadak mencelos.
“Aku harus pulang,” katanya buru-buru bangkit.
Namun Loly menahan lengannya, senyum penuh kemenangan terukir di wajahnya. “Kenapa harus pulang? Biarkan dia tahu kalau kamu sudah memilih. Aku ada di sini untukmu, Arman. Jangan lepaskan kesempatan kedua ini.”
Arman menatapnya lama. Di hatinya ada rasa bersalah, tapi juga ada rasa nyaman yang tak bisa ia pungkiri.
Dan di tempat lain, Clara berdiri di depan cermin penginapan dengan mata sembab, wajah pucat, namun ada sedikit api di tatapannya.
“Aku harus kuat. Demi anakku… aku tidak boleh menyerah.”
___
Hari-hari berikutnya berjalan seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Arman tetap pulang ke rumah, duduk di ruang tamu, makan malam tanpa banyak bicara, lalu menghilang ke kamar atau pura-pura sibuk dengan pekerjaannya. Clara pun bersikap seolah-olah tidak tahu apa yang ia lihat malam itu.
Namun, setiap kali mereka bertemu mata, ada jarak yang tak kasat mata memisahkan keduanya. Kehangatan yang dulu menyatukan kini hanya tersisa dingin yang menusuk.
Mary dan Vina tentu saja semakin leluasa menyindir Clara di meja makan, seolah mencium ada sesuatu yang salah di antara mereka. Tapi Clara hanya diam, menahan luka, memilih tidak memberi celah sedikit pun untuk mereka tertawa di atas penderitaannya.
Di balik ketenangan itu, Clara menyembunyikan satu rahasia besar yaitu kehamilannya.
Setiap pagi, ketika Arman sudah berangkat kerja, Clara pergi keluar dengan alasan belanja atau mengurus rumah. Namun sebenarnya, ia bekerja diam-diam di sebuah rumah makan sederhana milik seorang janda tua yang baik hati.
“Clara, kamu ini pintar sekali melayani pelanggan. Banyak yang suka sama kamu,” puji Bu Rini, pemilik rumah makan itu.
Clara tersenyum tipis. “Terima kasih, Bu. Saya hanya ingin sibuk… dan bisa mandiri.”
Ia tidak pernah menceritakan keadaan rumah tangganya, apalagi soal kehamilannya. Di rumah makan itulah ia menemukan sedikit kedamaian, meski tubuhnya sering lelah, terutama ketika mual di pagi hari menyerangnya.
Malam hari, saat ia kembali ke rumah Ferdinand, Clara kembali mengenakan topeng tenangnya. Ia melayani Arman seperti biasa seperti menyiapkan makan malam, menyiapkan baju kerjanya. Namun kali ini tidak ada lagi harapan dalam hatinya bahwa semua akan membaik.
Setiap malam sebelum tidur, ia menatap perutnya di depan cermin, mengusap lembut. “Nak, sebentar lagi kita akan hidup berbeda. Mama tidak akan biarkan kamu tumbuh di tengah rumah tangga yang hancur.”
Hati Clara yang hancur, tapi dia tidak punya tempat untuk berlindung karena setelah menikah dengan Arman keluarga besar Moestopo tidak mau menerima Clara.
Dan untuk itu ia masih membutuhkan tempat untuk menata hidupnya dirumah Arman, sebelum Clara benar-benar memutuskan untuk bercerai.
Arman, di sisi lain, tidak pernah menyadari perubahan besar yang sedang Clara persiapkan. Sesekali rasa bersalah menghantui ketika melihat istrinya diam dan tetap melayaninya seperti biasa. Tapi bayangan Loly, ambisi pekerjaan, dan tekanan keluarganya membuat ia memilih menutup mata.
“Dia tidak apa-apa,” pikir Arman dalam hati. “Clara hanya terlalu sensitif belakangan ini. Nanti juga reda.”
Namun kenyataannya, Clara semakin menjauh tanpa ia sadari.
Beberapa bulan berlalu.
Clara kini semakin mandiri dengan penghasilannya dari rumah makan. Diam-diam ia menyisihkan uang, menyiapkan semua kebutuhan bayi yang ia kandung. Ia tidak pernah menceritakan pada Arman, Mary, atau Vina. Hanya dirinya sendiri yang tahu betapa besar rahasia itu.
Malam itu, setelah selesai bekerja dan duduk di kamarnya, Clara menuliskan sesuatu di sebuah buku catatan kecil.
“Aku sudah memutuskan. Setelah anak ini cukup kuat dalam kandungan, aku akan menggugat cerai Arman. Aku tidak ingin lagi hidup dalam bayangan Loly, hinaan Mama, dan ejekan Vina. Aku ingin anakku tumbuh dalam cinta, bukan di tengah kebencian.Jika saja aku dapat memutar waktu kembali,aku tidak mau jatuh cinta lagi dengan Arman.”
Air matanya menetes, tapi kali ini bukan air mata kelemahan. Melainkan air mata keteguhan hati.
Sementara itu, di tempat lain, Loly masih terus mendekati Arman dengan cara-cara halusnya. Dan Arman, tanpa sadar, semakin terjerat.
Ia tidak tahu, bahwa di rumah, istrinya yang dulu ia anggap hanya menangis dan cemburu, kini sedang menyiapkan kebebasannya sendiri.
___
Siang itu, Arman baru saja keluar dari kantor bersama seorang klien penting. Tatapannya tiba-tiba membeku ketika melewati sebuah rumah makan sederhana di pinggir jalan.
Di balik kaca, ia melihat sosok yang sangat ia kenal yaitu Clara. Istrinya, dengan celemek sederhana, sedang membersihkan meja sambil tersenyum kecil pada pelanggan.
Arman seakan tidak percaya. Wajahnya mengeras, harga dirinya tercabik. Tanpa pikir panjang, ia segera melangkah masuk.
“Clara!” suaranya membentak, membuat beberapa pelanggan menoleh.
Clara terkejut, tubuhnya menegang. “Arman…” hanya itu yang keluar dari bibirnya.
Arman menghampirinya dengan langkah cepat, tangannya mencengkeram pergelangan Clara dengan kasar. “Apa yang kamu lakukan di sini?! Kerja di rumah makan? Kau sengaja mempermalukan aku, hah?!”
“Lepaskan, Mas… ini bukan tempatnya—” Clara mencoba menahan, tapi genggaman Arman semakin kuat.
Tanpa memberi kesempatan, Arman menyeret Clara keluar. Bu Rini berusaha menahan, “Pak, tolong, jangan kasar begitu!” tapi Arman tidak peduli.
Arman terus menarik keluar Clara dengan kasar, walaupun Clara meminta Arman untuk melepaskan nya.
“Lepaskan Arman!. ”
Bukan jawaban atau genggaman yang melonggar tapi bertambah erat genggaman Arman, dan hanya diam dengan wajah yang penuh amarah.
Lalu ia mendorong Clara masuk ke dalam mobil, lalu menutup pintu dengan keras. Mobil melaju kencang, meninggalkan rumah makan itu.
Arman lalu menyalahkan mesin mobilnya, dan pergi menjauh dari tempat Clara bekerja.
Didalam mobil Arman meluapkan rasa marahnya dan kecewa Clara.
“Kenapa kau sembunyikan ini dariku, Clara?!” teriak Arman sambil menekan pedal gas. “Kurang apa aku memberi makan kamu, memberi tempat tinggal, hah? Sampai harus kerja jadi pelayan murahan?!”
Clara menahan tangisnya, dadanya naik turun. “Kau pikir aku butuh semua itu darimu? Aku hanya ingin mandiri! Aku sudah muak hidup di bawah hinaan keluargamu! Kau… bahkan lebih memilih perempuan itu daripada aku!”
“Jaga bicaramu, Clara!” Arman membentak, matanya merah karena amarah. “Kau istriku! Apa pun masalah kita, kau tetap harus di rumah, bukan kerja sembunyi-sembunyi seperti ini!”
Clara menatapnya tajam, untuk pertama kalinya dengan keberanian penuh. “Rumah? Itu bukan rumah, Arman. Itu penjara. Dan kau… kau bukan lagi suamiku, hanya orang asing yang tidur di sebelahku.”
Ucapan itu menusuk Arman. Tangannya semakin keras menggenggam setir, napasnya memburu. Ia menoleh sesaat ke arah Clara dengan mata berapi.
“Cukup, Clara! Jangan sekali-kali bicara begitu padaku!”
Namun pada detik itulah—
Dari arah kiri perempatan, sebuah truk besar melaju dengan kecepatan tinggi. Sopir truk berusaha membunyikan klakson keras-keras, tapi Arman tidak sempat menghindar.
“ARMAN!!” Clara menjerit.
Brakkkk!!!
Benturan keras menghantam sisi mobil mereka. Tubuh Clara dan Arman terpental, kaca pecah berhamburan, suara logam beradu memekakkan telinga.
Mobil itu terputar beberapa kali sebelum berhenti di pinggir jalan, ringsek parah. Hujan mulai turun deras, membasahi jalanan yang penuh serpihan kaca dan darah.
Di dalam mobil, Clara terkulai dengan darah mengalir di dahinya, tangannya masih memegang perutnya dengan gemetar. Sementara Arman terdiam, tubuhnya bersandar lemah di setir, wajah penuh luka.
Suara klakson dan teriakan orang-orang mulai memenuhi udara.
Namun di tengah kekacauan itu, satu hal memenuhi pikiran Clara yang samar—“Anakku…”
Darah bercampur air hujan, detak jantungnya melemah, namun tangannya masih bertahan melindungi perutnya.
Di antara sirine yang mendekat dan sorak panik orang-orang di jalan, takdir malam itu hanya meninggalkan satu tanya yang menggantung—
apa yang akan terjadi pada Clara?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!