NovelToon NovelToon

CINTA DARI MASA LALU

EPISODE 1 — Hari Pertama di Neraka Kantor

Jam 7:43 pagi.

Dan Emma Carter sedang menatap jam dinding dengan tatapan ngeri seperti baru sadar bahwa hidupnya sebentar lagi tamat.

“Aku harusnya berangkat jam tujuh tiga puluh,” gumamnya, dengan handuk melilit di kepala dan eyeliner di satu mata — hanya satu. “Oke, Emma, tenang. Kamu cuma... terlambat tiga belas menit dari rencana. Itu bukan akhir dunia.”

Ia menatap pantulan wajahnya di cermin kamar mandi sempit apartemennya di Brooklyn. Rambut pirangnya masih berantakan, daster motif kucingnya kebasahan karena kopi yang ia tumpahkan lima menit lalu.

Kopi yang sama, yang seharusnya menjadi penyelamat paginya.

“Bagus. Hari pertama kerja, dan kamu sudah kayak korban bencana dapur,” katanya pada dirinya sendiri sambil menarik napas panjang. Ia mengganti baju secepat kilat, menata rambut seadanya, dan menatap tumpukan dokumen lamaran kerja yang belum sempat ia buang. Di salah satu lembaran itu, nama besar terpampang jelas:

Vibe Media Group — New York.

Tempat kerja impiannya.

Dan entah kenapa, sekarang terasa seperti gerbang neraka yang siap menelannya hidup-hidup.

---

Kereta bawah tanah penuh sesak seperti sarden berdesakan di kaleng. Emma berdiri dengan satu tangan menggenggam tiang, tangan satunya menahan tas kerja baru — yang ia beli semalam secara impulsif karena “harus terlihat profesional.”

“Profesional dari mana kalau aku bahkan belum sempat gosok gigi kedua kalinya,” gerutunya.

Seorang pria tua di sebelahnya menatap, lalu tersenyum. “Hari pertama kerja, ya?”

Emma menatapnya dengan ekspresi kaget. “Bagaimana Bapak tahu?”

“Wajah panikmu itu tanda universal, Nak,” jawabnya sambil tertawa kecil.

Kereta berhenti mendadak. Emma kehilangan keseimbangan dan nyaris jatuh ke pangkuan seorang pria muda di depannya. Ia buru-buru tegak, wajahnya memerah.

“Maaf! Aku—uh, ini... bukan bagian dari networking-ku.”

Pria itu terkekeh. “Santai saja. Tapi kalau kamu butuh referensi HRD, aku bisa pura-pura jadi kolega lama.”

Emma memutar bola mata dan menahan tawa. “Lucu sekali, Mr...?”

“Ryan,” katanya ringan. “Ryan Miller.”

Nama itu belum berarti apa-apa untuknya.

Belum.

---

Gedung Vibe Media Group berdiri megah di tengah Manhattan, seluruh dinding kacanya memantulkan langit cerah New York.

Emma berdiri di trotoar, menatapnya seperti seorang peziarah yang akhirnya tiba di tanah suci.

“Oke. Sekarang... senyum profesional, postur tegak, dan—”

Ia tersandung trotoar.

“—dan jatuh elegan,” desisnya lirih sambil menepuk-nepuk rok kerjanya.

Resepsionis di lobi menyambutnya dengan senyum standar perusahaan. “Selamat pagi. Nama?”

“Emma Carter. Staf editorial baru,” jawabnya terburu-buru.

Resepsionis menatap layar, lalu berkata datar, “Kamu terlambat tujuh belas menit.”

Emma memaksakan tawa kaku. “Itu... angka keberuntungan, kan?”

“Tidak di sini,” balas si resepsionis tanpa ekspresi.

---

Sampai di lantai 19, Emma melangkah cepat di koridor modern berkarpet abu-abu. Setiap ruangan punya dinding kaca transparan dan aroma kopi mahal. Ia akhirnya menemukan ruang kerja tim editorial — tempat beberapa orang sibuk mengetik, dan salah satunya...

“Hey!” sapa suara ceria yang familiar.

Ryan Miller.

Pria dari kereta tadi.

Sekarang duduk di meja paling ujung dengan kartu nama kecil bertuliskan Intern – Ryan Miller.

“Oh tidak…” gumam Emma pelan.

Ryan bangkit sambil tersenyum lebar. “Jadi kamu staf baru yang katanya bakal jadi mentorku? Wah, dunia kecil banget ya!”

Emma menatap langit-langit, seolah mencari tombol “exit” untuk hidupnya. “Tolong bilang kamu bercanda.”

“Sayangnya enggak,” Ryan menjawab santai. “Tapi jangan khawatir, aku cepat belajar. Aku juga bisa bikin kopi.”

Emma menatapnya lama, lalu menghela napas. “Ya Tuhan, aku resmi punya murid yang aku temui di kereta.”

Ryan menyengir. “Hei, setidaknya aku bukan orang asing yang kamu jatuhin barusan.”

Emma tak bisa menahan tawa kecil. “Belum tentu.”

---

Sekitar satu jam kemudian, notifikasi rapat muncul di layar komputernya:

“MEETING: Division Briefing with CEO – 10:00 AM.”

“CEO?” tanya Emma pada rekan di sebelahnya.

“Yep. Orang paling penting di kantor ini,” jawabnya dengan nada takut. “Jangan sampai salah ngomong.”

Emma merapikan blazernya dan menatap pantulan dirinya di kaca. Ia berbisik, “Kamu bisa. Profesional. Dewasa. Elegan. Tidak akan ada drama.”

Ia masuk ke ruang rapat besar dengan meja kayu panjang, dinding kaca, dan aroma parfum mahal. Semua orang sudah duduk. Sunyi. Lalu pintu terbuka.

Langkah sepatu terdengar berat dan teratur.

Emma menoleh...

Dan dunia berhenti.

Pria itu melangkah masuk dengan jas hitam, rambut cokelat gelap yang rapi, dan tatapan tajam yang dulu pernah membuat jantungnya berpacu tanpa kendali.

Liam Dawson.

Mantan gebetannya.

Pria yang tiga tahun lalu menolak cintanya dengan alasan klasik: “Aku tidak butuh hubungan. Aku butuh fokus pada karier.”

Sekarang, pria itu adalah bosnya.

Liam berhenti di depan meja, menatap semua orang — lalu tatapannya jatuh pada Emma.

Hening. Hanya lima detik, tapi rasanya seperti lima tahun.

“Selamat datang di tim editorial,” katanya datar.

Namun ujung bibirnya menahan sesuatu — entah senyum, atau kenangan.

Emma menelan ludah, berusaha tersenyum. “Terima kasih, Pak Dawson. Senang akhirnya bisa bekerja di bawah Anda.”

Ryan — yang duduk di ujung meja — menahan tawa, berbisik pelan,

“Kalimat itu terdengar agak ganda, tahu nggak?”

Emma menendang kakinya di bawah meja.

Dan di dalam kepalanya, satu kalimat bergema:

> “Tentu saja. Dari semua kantor di dunia… kenapa harus di sini aku bertemu dia lagi?”

---

EPISODE 2 — Tatapan yang Terlalu Lama

Suara pintu rapat tertutup pelan, meninggalkan keheningan yang terasa lebih menegangkan dari sidang kabinet.

Liam Dawson berdiri di ujung meja dengan wajah tenang — terlalu tenang, menurut Emma. Tenang seperti seseorang yang tahu dia punya kekuasaan penuh untuk membuat hidup orang lain rumit.

“Baik,” ucap Liam dengan nada datar yang terdengar seperti perintah militer, “selamat datang untuk anggota baru kita, Emma Carter.”

Semua mata beralih padanya.

Emma tersenyum kaku, berusaha menatap ke depan tanpa benar-benar memandang Liam. Tapi seolah ada magnet di udara yang memaksa matanya menoleh, dan ya — dia masih sama.

Tajam, tampan, dan menjengkelkan.

“Terima kasih, Pak Dawson,” katanya sopan. “Saya senang bisa bergabung dan—”

“—dan semoga tidak datang terlambat lagi,” potong Liam, tanpa menatapnya.

Seketika ruangan dipenuhi bisik-bisik kecil. Ryan di ujung meja hampir menyemburkan air dari botolnya, menahan tawa.

Emma memaksakan senyum profesional. “Catatan yang sangat... membangun, Pak.”

“Bagus,” jawab Liam singkat. “Kita lanjut ke agenda.”

---

Rapat berjalan seperti kuliah statistik. Angka, target, strategi. Tapi bagi Emma, setiap kata Liam terdengar seperti gema masa lalu.

Setiap kali suaranya terdengar, bayangan kenangan muncul — malam-malam di kafe kampus, tawa kecil, dan satu kalimat yang menghancurkan semuanya:

> “Maaf, Em. Aku nggak siap punya hubungan.”

Sekarang, tiga tahun kemudian, pria itu berdiri di depannya, berbicara tentang growth chart dan media engagement — seolah tidak pernah ada kata-kata itu.

Emma memutar pena di jarinya, pura-pura fokus pada layar proyektor, tapi otaknya sibuk membuat daftar dosa masa lalu Liam.

Menolak cintanya tanpa alasan jelas.

Hilang begitu saja tanpa kabar.

Sekarang jadi bos.

Masih kelihatan terlalu tampan untuk dimaafkan.

“Carter,” suara Liam memotong lamunannya.

Emma menegakkan punggung. “Ya, Pak?”

“Pendapatmu soal strategi konten rebranding minggu depan?”

Sial. Apa yang tadi dia jelaskan? Emma bahkan tidak mendengar setengahnya. Ia melirik layar, melihat kata “konten digital” dan “target audiens.”

“Ah, ya,” katanya dengan nada meyakinkan. “Saya pikir strategi itu... sangat penting.”

Liam menaikkan alis. “Tentu saja penting. Tapi bagaimana penerapannya?”

“Ehm...”

Suasana menegang. Semua menunggu.

Tiba-tiba Ryan angkat tangan. “Kalau saya boleh bantu, Pak—Emma sempat bilang ke saya tadi bahwa ia tertarik mengusulkan konsep interactive series, agar engagement audiens meningkat secara alami.”

Semua kepala menoleh ke Emma.

Liam juga.

Emma tersenyum lega — dan kaget, karena itu ide yang bahkan baru ia dengar sekarang.

“Benar,” katanya cepat. “Itu maksud saya. Interactive series. Terima kasih, Ryan.”

Liam menatap keduanya, lalu mengangguk perlahan. “Baik. Ide yang menarik. Kita akan bahas lebih lanjut nanti.”

Tatapan matanya sekilas turun ke arah Emma — bukan tatapan bos, tapi... sesuatu yang lain.

Sejenak, Emma bisa bersumpah dia melihat pengakuan di mata itu.

---

Setelah rapat selesai, semua orang beranjak. Emma mengemasi catatannya secepat mungkin, berniat kabur sebelum ada kesempatan untuk “obrolan pribadi.”

Sayangnya, takdir — seperti biasa — tidak berpihak padanya.

“Emma.”

Suara itu. Dalam, tenang, dan membuat jantungnya lupa cara berdetak.

Ia menoleh. Liam berdiri di depan pintu, menatapnya dengan ekspresi datar tapi matanya berbicara terlalu banyak.

Semua orang sudah keluar. Hanya mereka berdua di ruang rapat itu sekarang.

“Ya, Pak Dawson?” tanyanya kaku.

Liam menautkan tangan di depan dada. “Kau tampak... tidak berubah.”

Emma tersenyum kaku. “Dan Anda tampak... punya lebih banyak uang sekarang.”

Liam menahan senyum. “Masih suka menyindir, rupanya.”

“Masih suka memerintah, rupanya,” balas Emma cepat.

Keheningan menggantung. Suara AC terdengar lebih keras dari biasanya.

“Aku nggak tahu kau melamar ke sini,” kata Liam akhirnya.

“Kalau tahu, kau akan menolak lamaran aku?”

“Tergantung,” jawabnya tenang. “Kau akan tetap bekerja profesional?”

Emma mendengus kecil. “Saya datang ke sini untuk bekerja, Pak Dawson. Bukan untuk bernostalgia.”

“Bagus,” katanya datar, lalu berbalik meninggalkan ruangan.

Namun sebelum pintu tertutup, ia menambahkan tanpa menoleh:

“Dan untuk catatan, kopi yang kau tumpahkan di bajumu tadi... belum benar-benar hilang.”

Emma menatap ke bawah. Benar. Noda kecil di lengan bajunya masih terlihat samar.

Dan entah kenapa, pipinya memanas.

---

“Bosmu tampan juga, ya,” suara Ryan tiba-tiba terdengar di belakangnya saat mereka keluar ke koridor.

Emma menatap tajam. “Jangan mulai.”

Ryan mengangkat tangan, pura-pura tak bersalah. “Aku cuma bilang fakta. Tapi kalau boleh jujur, tatapan dia ke kamu tadi tuh... nggak biasa. Ada sesuatu di sana.”

“Tatapan ingin memecatku, mungkin?”

Ryan tersenyum lebar. “Atau tatapan seseorang yang belum benar-benar selesai dengan masa lalunya.”

Emma mendengus. “Kau baru seminggu magang, tapi sudah sok psikolog?”

“Hey, aku cuma observatif,” jawab Ryan santai. “Dan jujur, aku penasaran banget gimana ceritanya kalian berdua. Kau sama dia kelihatan... punya sejarah.”

Emma menatap lift yang baru terbuka, melangkah masuk sambil berkata pelan,

“Sejarah itu seharusnya tetap jadi masa lalu, Ryan.”

Ryan masuk bersamanya dan tersenyum kecil. “Masalahnya, masa lalu kadang suka muncul di kantor, pakai jas mahal, dan jadi bos baru kita.”

Pintu lift menutup dengan suara cling, meninggalkan Emma terdiam dengan wajah yang tak bisa menyembunyikan kegelisahan — dan sedikit rasa penasaran yang mulai tumbuh lagi.

---

EPISODE 3 — Kopi, Deadline, dan Tatapan yang Sulit Diabaikan

Lift terbuka dengan suara cling, dan udara dingin dari ruang redaksi menyambut Emma kembali ke dunia nyata.

Laptop, laporan, deadline — semua hal normal yang seharusnya bisa membuatnya melupakan satu hal.

Sayangnya, “satu hal” itu sekarang duduk di ruang kaca berjarak dua belas meter dari mejanya.

Liam Dawson.

Dengan jas abu-abu gelap, wajah tanpa ekspresi, dan tangan yang terus mengetik seolah seluruh dunia menunggu hasil kerjanya.

Emma menghela napas dan duduk.

“Baiklah,” gumamnya. “Aku profesional. Aku dewasa. Aku tidak akan menatap dia setiap dua menit.”

“Baru bilang nggak mau menatap, tapi udah nengok tiga kali,” suara Ryan muncul dari belakang, sambil menaruh dua cangkir kopi di meja.

Emma menatapnya. “Aku tidak—!”

“Empat kali,” sambung Ryan dengan senyum licik.

Ia menyerahkan satu gelas padanya. “Kopi latte tanpa gula, seperti pesananmu.”

Emma menerima kopi itu dengan tatapan curiga. “Kau hafal pesanan kopi semua orang di kantor?”

“Enggak. Cuma kamu.”

Nada suaranya ringan, tapi ada sesuatu di baliknya.

Emma mengerjap. “Kau terlalu cepat akrab, tahu nggak?”

Ryan mengangkat bahu. “Aku magang, bukan robot. Lagipula, kalau aku mau belajar dari senior, harus tahu dulu minuman favoritnya, kan?”

Emma mencoba menahan tawa, gagal, lalu akhirnya menggeleng. “Kau benar-benar aneh, Ryan.”

“Terima kasih, aku sering dengar itu,” katanya bangga.

---

Siang itu, ruang redaksi seperti kapal yang hampir tenggelam oleh tumpukan kerjaan.

Emma mengetik cepat, menyunting artikel lifestyle tentang “10 Cara Menjaga Hubungan Profesional dengan Mantan” — ironi yang bahkan semesta pun tampak menikmatinya.

Sementara itu, Liam berdiri di depan ruangannya, berbicara dengan beberapa staf senior. Suaranya rendah, tapi setiap kali terdengar, Emma merasa seolah udara di sekitarnya ikut menegang.

Ia berusaha fokus, tapi matanya sesekali melirik — dan tentu saja, Liam sedang melihat ke arahnya juga.

Tatapan mereka bertemu.

Sekilas saja. Tapi cukup untuk membuat waktu berhenti sepersekian detik.

Ryan menepuk meja di depan Emma, membuatnya kaget. “Jangan bilang kamu lagi ngelamunin bos?”

Emma buru-buru memalingkan wajah. “Aku cuma... menatap ruangan. Kebetulan pandangan jatuh ke arahnya.”

“Pandanganmu jatuh ke dia kayak gravitasi, Emma,” kata Ryan sambil menahan tawa. “Kalau gini terus, aku yang jatuh duluan.”

Emma menatapnya tajam. “Apa maksudmu?”

Ryan tersenyum kecil. “Maksudku... aku yang jatuh cinta duluan.”

Kalimat itu meluncur begitu saja, ringan tapi memukul jantung Emma seperti dentuman kecil yang tidak ia duga.

Ia menatap Ryan — cowok muda dengan senyum cerah dan mata jujur itu — dan untuk sesaat, lupa harus membalas apa.

Ryan cepat-cepat menambahkan, “Santai aja, itu cuma lelucon. Mungkin. Sedikit.”

Emma memutar mata dan pura-pura sibuk lagi. Tapi pipinya hangat.

---

Menjelang sore, rapat mendadak diumumkan. Tim editorial dipanggil untuk meninjau ulang konsep kampanye digital yang disebut-sebut “terlalu berani.”

Emma masuk ruang rapat dengan catatan di tangan — hanya untuk menemukan Liam sudah di sana, duduk di kursinya, memandangi layar tablet.

“Baik,” kata Liam tanpa menatap siapa pun. “Kita bahas ulang ide interactive series yang muncul pagi tadi.”

Emma menegakkan tubuh. Ia tahu ini ide “bohongan” hasil spontan Ryan, tapi sekarang tak ada jalan mundur.

Ia mulai menjelaskan dengan cepat — bagaimana konsep itu bisa melibatkan audiens lewat komentar, pilihan, dan interaksi sosial media.

Liam memperhatikan dengan serius.

Ketika ia menatap langsung ke Emma, ada perubahan kecil di wajahnya. Dingin, tapi tidak lagi sepenuhnya formal.

“Menarik,” katanya akhirnya. “Tapi kamu yakin bisa memimpin proyek ini?”

“Bisa, Pak,” jawab Emma mantap, meski dalam hati ia panik.

“Kami,” tambahnya cepat, melirik Ryan. “Saya dan Ryan akan mengerjakannya bersama.”

Ryan yang sedang sibuk mencatat tiba-tiba mendongak. “Apa? Aku—eh, ya! Kami siap, Pak!”

Liam menatap mereka berdua lama. “Baiklah. Kalian berdua pegang proyek ini.”

“Terima kasih, Pak,” ucap Emma lega.

Tapi sebelum ia sempat duduk, Liam menambahkan pelan,

“Dan Carter… tolong jangan ulangi kebiasaan lama.”

Emma berhenti. “Kebiasaan apa, Pak?”

Tatapan Liam sedikit melembut. “Bekerja terlalu keras sampai lupa makan.”

Hening. Seketika seluruh ruangan terasa lebih sunyi.

Emma hanya bisa menatapnya — terkejut, bingung, dan entah kenapa... sedikit tersentuh.

Liam menunduk ke tabletnya lagi, seolah tak pernah mengatakan apa-apa.

Ryan melirik Emma dengan alis terangkat tinggi. “Oke, kalau itu bukan sinyal masa lalu, aku nggak tahu lagi apa.”

Emma menatapnya dengan pandangan membunuh. “Diam, Ryan.”

Tapi bibirnya tersenyum sedikit.

---

Sore menjelang malam. Kantor mulai sepi.

Emma duduk sendiri di meja, menyelesaikan proposal proyek. Ryan sudah pamit duluan, tapi meninggalkan sticky note kecil di laptopnya bertuliskan:

> “Kau hebat hari ini. Jangan biarkan masa lalu bikin kamu lupa masa depan.” — R.”

Emma menatap catatan itu lama.

Di luar jendela, lampu kota New York mulai menyala satu per satu.

Dan di kejauhan, di ruang kaca yang remang, Liam masih di mejanya — memandangi sesuatu.

Entah laporan kerja… atau seseorang.

---

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!