"Hari ini kakakku akan datang, kamu siapkan kamar untuknya."
Perintah itu datang dari Haikal kepada Liora Esha Maharani, wanita yang sudah dinikahinya selama enam bulan ini.
"Ada begitu banyak pelayan dirumah ini, apa harus aku juga yang mengurus keperluan kakakmu?" tanya Liora dengan nada ketus. "Aku sudah keluar dari pekerjaanku semenjak kita menikah dan membantu mengurus ayahmu yang lumpuh. Sementara mamamu, dia malah asyik-asyikan berkumpul dengan teman-teman sosialitanya diluar sana."
"Jaga bicaramu, Liora." selesai mengancingkan kemejanya, Haikal membalikkan badan dan menatap wajah istrinya. "Kita sudah ada kesepakatan untuk ini, keluarga Leonardo akan tetap menjadi donatur di panti asuhan tempatmu dibesarkan, tapi kamu harus mengikuti semua kemauanku."
"Kalau begitu bisakah kita pindah dari rumah ini dan tinggal di rumah sendiri? Supaya kita bisa memiliki waktu berdua," keluh Liora. Sejak menikah Haikal sama sekali belum pernah menyentuhnya. Meskipun mereka menikah karena perjanjian, tapi mereka tetap suami-istri yang sah.
Haikal mengambil alih jas yang ada di tangan Liora dan memakainya, "Mamaku tidak akan setuju, dia yang meminta kita untuk tetap tinggal disini."
"Ya, biar dia bisa memperlakukanku seperti seorang pelayan." sindir Liora.
"Aku tidak ingin berdebat, sebaiknya kita turun untuk sarapan." Haikal berjalan keluar dari kamar dengan diikuti oleh Liora dibelakangnya.
Dimeja makan, Tuan dan Nyonya Leonardo sudah menunggu keduanya, begitupun dengan si bungsu Audrey yang sudah siap dengan seragam SMA-nya.
Keluarga Leonardo memiliki tiga orang anak, dua laki-laki dan satu perempuan. Namun Liora belum pernah sekalipun melihat wajah kakak dari suaminya, fotonya pun tidak terpajang di rumah mewah itu. Liora hanya tahu jika kakak iparnya itu satu ayah tapi beda ibu dengan Haikal dan Audrey, dan sudah sejak lulus SMA kakak iparnya tinggal di Australia. Semua informasi itu Liora dapatkan dari salah seorang pelayan yang bekerja disana.
Keluarga Leonardo adalah keluarga terpandang dan cukup berpengaruh, selama beberapa tahun ini Tuan Arthur Leonardo telah menjadi donatur tetap di pantai asuhan tempat Liora dibesarkan. Namun sudah satu tahun ini Tuan Arthur mengalami kelumpuhan, dan Nyonya Maria berniat untuk menghentikan donasinya pada panti asuhan. Demi tetap mendapatkan donatur Liora terpaksa menyetujui permintaan Nyonya Maria yang memintanya untuk menikah dengan Haikal. Meskipun pernikahan mereka hanya demi keuntungan, tapi Liora tetap belajar untuk mencintai Haikal dan selalu berusaha menjadi istri yang baik bagi suaminya.
"Ma, aku berangkat ke sekolah dulu," pamit Audrey. Gadis itu beranjak bangun dan mencium pipi Ayah dan Mamanya.
Mereka sudah memiliki kesepakatan, jika panggilan Ibu hanya ditujukan untuk ibu kandung Marvin yaitu Nyonya Eliza, sementara Nyonya Maria dipanggil dengan sebutan Mama.
"Liora, Haikal sudah memberitahumu bukan kalau hari ini Marvin akan datang?" tanya Nyonya Maria yang baru selesai menelan makanannya.
"Hem," jawab Liora singkat.
"Hari ini Mama ada urusan diluar dan mungkin akan pulang malam, jadi kamu saja yang menyambut kedatangan Marvin." ujar Nyonya Maria. Hubungannya dengan Marvin memang tidak begitu dekat, jadi dia malas untuk ikut menyambut. Lebih baik dia menghabiskan waktunya untuk bersenang-senang dengan teman-temannya diluar.
"Aku juga mungkin akan pulang larut karena banyak sekali pekerjaan dikantor. Nanti malam kamu langsung tidur saja, tidak perlu menungguku pulang." timpal Haikal. "Dan tolong kamu perlakukan kak Marvin dengan baik, ini adalah pertama kalinya dia pulang setelah dua belas tahun tinggal di Australia."
"Ya sudah, aku berangkat dulu," Haikal berdiri, bersiap untuk pergi. "Ma, Yah, aku pamit ke kantor dulu."
"Ya, hati-hati, Sayang." sahut Nyonya Maria.
Liora mengantarkan suaminya sampai ke teras rumah. Ciuman di kening Haikal sematkan sebelum masuk ke dalam mobil. Keharmonisan seperti ini hanya ditunjukkan didepan keluarga saja, tapi kehangatan diatas ranjang tak pernah ada. Mereka seperti orang asing ketika sudah didalam kamar.
"Liora, Mama juga mau langsung pergi." Nyonya Maria menyusul keluar setelah mobil putranya melaju pergi. "Kamu jangan lupa urus Ayah mertua kamu, jangan sampai dia telat minum obat. Jika nanti Marvin bertanya, bilang saja Mama ada pekerjaan penting diluar."
"Ya, baiklah." jawab Liora, tak ingin membantah ataupun memperdebatkan permintaan ibu mertuanya.
Kini Liora hanya bersama ayah mertuanya dan beberapa orang pelayan yang bekerja di rumah itu. Setelah mengantarkan ayah mertuanya kedalam kamar serta membantunya meminumkan obat, Liora kembali ke meja makan untuk membantu membersihkan piring-piring kotor.
"Nanti kalau Den Marvin tinggal disini jangan kaget ya, Non." ucap salah seorang pelayan yang bernama Bi Sari, wanita itu sudah bekerja dengan keluarga Leonardo selama tiga puluh tahun.
"Kenapa memangnya, Bi? Apa dia menggigit?" tanya Liora dengan nada bercanda.
"Gigit sih nggak, Non. Cuma nggak akur saja dengan Nyonya Maria. Dulu mereka sering debat dan membuat rumah seperti kapal pecah." beritahu Bi Sari. "Makanya Non jangan heran kalau fotonya Den Marvin tidak dipajang di rumah ini, foto itu diturun-turunkan satu tahun yang lalu setelah Tuan mengalami sakit keras dan lumpuh. Sejak Tuan besar sakit, Nyonya Maria jadi merasa lebih bebas dan leluasa melakukan apapun dirumah ini."
Liora hanya mengangguk-anggukan kepalanya. Selesai dengan pekerjaan didapur, Liora meminta ikut ketika Bi Sari ijin ingin membersihkan kamar milik Marvin yang sudah biarkan kosong selama bertahun-tahun.
Bi Sari mengeluarkan seprei berwarna abu-abu dari dalam lemari, "Kamar ini tetap bersih karena rajin dibersihkan. Non duduk saja di sofa, Bibi mau ganti seprei-nya dulu."
"Biar saya saja yang pasang, Bi. Bibi kerjakan yang lain saja." Liora mengambil alih seprei itu dari tangan Bi Sari, lalu memasangnya di ranjang king size milik Marvin.
📍
📍
Di Bandara, seorang pria tampan dan gagah berjalan sembari menarik kopernya yang berukuran besar. Outfit casual dan kacamata hitam yang membingkai matanya membuat penampilan pria berusia tiga puluh tahun itu terlihat menawan.
"Selamat datang, Tuan muda," sapa seorang bodyguard berpakaian serba hitam, mengambil alih koper yang dibawa pria itu dan memasukkannya ke dalam bagasi mobil.
"Hem," jawabnya singkat. "Apa tidak ada yang ikut kesini untuk menyambut kepulanganku?" tanyanya kemudian.
Bodyguard itu membuka pintu mobil, "Semua orang sedang sibuk, Tuan. Jadi mereka hanya mengutus saya untuk menjemput Anda. Silahkan,"
Pria itu tak bertanya lagi dan masuk ke dalam mobil. Wajah bodyguard itu nampak sedikit tegang, aura dingin tuan mudanya membuatnya seperti kehilangan napas. Tanpa banyak bicara lagi, bodyguard itu melajukan mobilnya memecah jalanan kota yang ramai dan lancar siang itu.
Sementara itu dikediaman keluarga Leonardo, para pelayan sudah bersiap dan berbaris rapi di depan pintu rumah untuk menyambut kedatangan tuan muda pertama yang sebentar lagi akan sampai.
Liora juga berdiri disana bersama dengan mereka, sementara Tuan Arthur sedang tidur di dalam kamar hingga Liora tidak berani untuk membangunkannya. Biar dia saja yang akan menyambut kedatangan kakak iparnya.
Tak berselang lama mobil berwarna hitam itu melaju memasuki halaman megah keluarga Leonardo. Marvin turun dari mobil setelah bodyguard membukakan pintu mobil untuknya.
Jantung Liora berdetak tak karuan saat Marvin melangkah mendekat ke arah mereka, lalu berhenti tidak jauh didepannya yang kini sedang ikut berdiri berbaris bersama dengan para pelayan yang lain.
"Selamat datang, Tuan muda." sambut semua pelayan bersamaan.
Marvin hanya mengangguk, lalu melepaskan kacamata hitamnya dan menatap satu persatu wajah para pelayan yang berdiri didepannya.
"Dia, siapa dia?" tanya Marvin dengan tatapan tertuju pada Liora. Dia satu-satunya wanita yang tidak berpakaian seragam pelayan.
"Tuan muda, perkenalkan. Dia ini Nona Liora, istrinya tuan muda Haikal. Adik ipar, Anda." ucap Bi Sari.
"Adik ipar?" Marvin tersenyum tipis saat menatap wajah cantik Liora yang hanya dipoles dengan makeup tipis, sebuah senyuman yang nyaris tak terlihat. "Menarik."
📍
📍
📍
Bersambung.....
"Ada pernikahan tapi tidak memberitahuku,"
Marvin melangkahkan kakinya mendekat ke arah Ayahnya yang tengah duduk diatas ranjang dengan punggung bersandar pada headboard, lalu dia ikut duduk di tepian ranjang menghadap kearah Ayahnya. Selama dua belas tahun ini dia memang jarang berkomunikasi dengan sang Ayah, sejak dia memutuskan untuk menetap di Australia bersama dengan ibunya.
"Bagaimana kamu akan tahu jika kamu sendiri sangat sulit dihubungi," jawab Tuan Arthur. "Lagipula pernikahan adikmu terjadi secara mendadak, mama Maria yang sudah mengatur semuanya. Juga tidak ada pesta besar-besaran karena adikmu menolak untuk merayakannya."
"Dimana bocah itu memungutnya? Sama sekali bukan seperti kriterianya,"
Usianya dengan Haikal hanya selisih tiga tahun, dan Marvin sangat paham betul jika Haikal bukan tipe orang yang menyukai wanita penurut seperti Liora. Apalagi penampilan Liora yang terlihat begitu sederhana dan sangat jauh dari kata mewah, sama sekali bukan seperti tipe wanita yang selalu diincar oleh adiknya semasa sekolah dulu.
"Jangan bicara seperti itu. Liora anak yang baik, dan Ayah sudah mengenalnya cukup lama. Dia adalah salah satu anak yang dititipkan di panti asuhan tempat Ayah menjadi donatur disana." jelas Tuan Arthur. "Baik-baiklah kamu dengan adik iparmu itu."
"Sekarang ceritakan, bagaimana kabar ibumu?" tanya Tuan Arthur kemudian. "Terakhir Ayah melihatnya dua tahun yang lalu, saat Ayah mengunjungi kalian di Australia bersama dengan Audrey."
"Ibu sangat baik. Bahkan sangat baik setelah tinggal jauh dari Ayah." jawab Marvin dengan nada sedikit menyindir.
Keputusan Tuan Arthur untuk menikahi cinta pertamanya jelas mendapatkan pertentangan dari Nyonya Eliza dan keluarga besar mereka pada saat itu. Nyonya Eliza memutuskan untuk pergi ke Australia guna mengobati kekecewaan hatinya, tapi Tuan Arthur melarangnya membawa serta Marvin yang saat itu baru berusia dua setengah tahun. Hingga setiap satu tahun sekali Nyonya Eliza pulang untuk melihat keadaan putranya sebelum akhirnya Marvin sendiri yang memutuskan untuk ikut bersamanya.
"Ayah istirahatlah, aku akan ke kamarku."
Marvin meninggalkan kamar Ayahnya, masuk ke dalam kamar miliknya yang ada dilantai bawah. Tidak banyak yang berubah, kamar itu masih sama seperti saat terakhir kali dia tinggalkan. Hanya ada beberapa hiasan yang ditambahkan, mungkin Ayahnya yang menambahkannya.
Liora mengetuk pintu kamar Marvin yang masih terbuka lebar dengan membawa koper milik kakak iparnya itu.
"Kak Marvin, aku kesini untuk mengantarkan koper Kakak." Liora menarik koper itu hingga ke sisi ranjang.
"Tolong siapkan air hangat untukku mandi, aku ingin berendam untuk merilekskan tubuhku setelah perjalanan jauh yang cukup melelahkan," perintah Marvin.
"Ah, tapi..." Liora sedikit terkejut dengan permintaan Marvin, dia menggigit bibir bawahnya. "Aku..."
"Kamu disuruh oleh wanita itu untuk melayaniku kan? Kalau begitu sekarang lakukan apa yang aku perintahkan," Marvin melepaskan jaketnya dan melemparkannya ke arah sofa, kemudian dia menjatuhkan tubuhnya duduk disana dengan kedua tangan direntangkan pada punggung sofa dan kaki yang saling bertumpu.
Liora menghela napas pelan, menatap Marvin sejenak sebelum akhirnya memalingkan muka dan masuk kedalam kamar mandi dengan pintu kamar mandi yang dibiarkan terbuka lebar. Liora memutar keran dan mulai mengisi bathtub dengan air dingin terlebih dahulu, kemudian mengaturnya ke air hangat.
Suara pintu kamar mandi yang ditutup membuat Liora menoleh setelah beberapa saat dia berdiri disana, Marvin sudah berdiri dengan bertelanjang dada dan hanya mengenakan boxer saja. Jantung Liora berdetak kencang, dia segera memalingkan wajahnya kesamping untuk menghindari pemandangan didepannya.
"Airnya baru terisi setengah. A-aku akan keluar sekarang," Liora berkata dengan gugup, baru beberapa langkah dia berjalan Marvin sudah menarik tubuhnya hingga ke bawah shower.
Air shower yang tiba-tiba menyala membuat tubuh keduanya basah, Marvin menahan kembali lengan Liora saat wanita itu hendak melangkah pergi dan menghimpit tubuhnya ke tembok.
"Kak Marvin, apa yang kamu lakukan?!" Liora menahan dada Marvin dengan kedua tangannya.
"Temani aku mandi adik ipar. Anggap saja ini sebagai sambutan untukku karena dirumah ini tidak ada yang menyambut kepulanganku," ujar Marvin. Kedua tangannya memegangi pergelangan tangan Liora dan menahannya diatas kepala wanita itu.
Liora merasa sangat kesal, apalagi tubuhnya mulai basah kuyup sampai kedalam-dalamnya. "Lepaskan, Kak! Jangan kurang aj..."
"Kak Marvin... Kak...?"
Suara Audrey yang memanggil dari dalam kamar Marvin membuat wajah Liora kaget dan panik. Audrey baru pulang sekolah dan ingin menemui kakaknya setelah mendengar dari salah seorang pelayan jika kakaknya sudah tiba di rumah dan sedang beristirahat dikamar.
"Jangan bersuara Liora, atau Audrey akan tahu kamu sedang disini bersamaku," Marvin menyunggingkan senyum, menetap puas dengan ekspresi pasrah Liora.
"Kakak sedang mandi, Audrey. Nanti Kakak akan menemuimu setelah selesai," teriak Marvin dari dalam kamar mandi dengan tetap menghimpit tubuh Liora.
"Ya sudah, aku juga mau ganti pakaian dulu. Nanti kita makan bareng ya, Kak."
Audrey meninggalkan kamar Marvin dan naik ke kamarnya untuk mengganti seragam sekolahnya. Sementara Liora dan Marvin masih berdiri dibawah guyuran air shower. Liora merasa sedikit lega saat suara Audrey sudah tidak terdengar lagi.
Suasana sedikit mereda, namun keintiman tetap terlihat. Liora menarik paksa tangannya dari genggaman Marvin, mendorong kuat dada Marvin hingga tubuh pria itu terdorong sedikit kebelakang. Buru-buru Liora melangkah pergi, namun langkahnya kembali tertahan oleh suara berat Marvin.
"Kamu tidak akan bisa keluar dalam keadaan basah seperti itu, Liora." Marvin melangkah mendekat, berdiri di belakang Liora dengan seringai tipis diwajahnya. "Ganti bajumu dengan bajuku, atau orang-orang dirumah ini akan berpikir macam-macam jika kamu keluar dari kamarku dengan pakaian basah seperti ini."
Liora menoleh kesamping dengan gerakan cepat, dadanya naik turun menahan gejolak amarah yang kian membuncah. Marvin, pria itu seperti tidak bersalah sama sekali karena telah membuatnya basah kuyup seperti ini.
"Tidak perlu, terimakasih!"
Liora membuka pintu kamar mandi dan keluar dari dalam kamar Marvin. Sesampainya di lantai atas dia berpapasan dengan Audrey yang sudah berganti pakaian dan hendak turun ke lantai bawah.
"Kak Lio, kenapa Kakak basah kuyup begini?" tanya Audrey khawatir.
Liora menggeleng pelan, berusaha untuk tersenyum. "Tidak apa-apa, Audrey. Tadi Kakak kepleset dan jatuh ke kolam renang. Kakak ganti baju dulu ya ke kamar," Liora menepuk pelan lengan Audrey dan berlalu pergi dari hadapan gadis itu.
Audrey mengedikkan bahunya dan menatap kepergian kakak iparnya. Setahunya Liora tidak bisa berenang, tapi mengapa Liora bisa keluar dari kolam renang tanpa bantuan dari siapapun. Namun Audrey tidak ingin mempermasalahkan, mungkin saja tadi Liora dibantu oleh pelayan dirumah saat jatuh ke kolam renang.
📍
📍
📍
Bersambung.....
Malam ini meja makan hanya diisi oleh empat orang karena Nyonya Maria belum pulang. Begitupun dengan Haikal yang mengatakan akan pulang terlambat. Sebenarnya bukan hanya malam ini saja, malam sebelum-sebelumnya juga Haikal selalu pulang sampai larut. Pekerjaan yang menumpuk selalu menjadi alasan setiap kali Liora bertanya.
"Yah, tau nggak, tadi siang kak Liora jatuh ke kolam renang," suara Audrey memecah keheningan ditengah-tengah acara makan malam mereka berempat.
"Uhukkk... Uhukkk..." Liora yang sedang menelan makanan langsung terbatuk. Dia meraih gelas berisikan air putih didepannya, meletakkannya kembali setelah meminum airnya sedikit.
"Benar itu, Liora?" tanya Tuan Arthur menatap ke arah menantunya. Disampingnya, Marvin berusaha menahan senyumnya.
"A- itu... Aku tidak sengaja terpeleset dan jatuh, Yah." jawab Liora, menundukkan wajahnya kembali sambil mengaduk makanannya.
"Lain kali kamu harus lebih berhati-hati. Tadi siapa yang membantumu keluar dari kolam renang? Bukankah kamu tidak bisa berenang," tanya Tuan Arthur lagi.
Tentang Liora yang tidak bisa berenang bukan menjadi rahasia lagi. Sebelumnya Liora juga pernah jatuh ke kolam renang saat baru pertama kali datang sebagai menantu dirumah itu. Beruntung saat itu ada Haikal yang ikut menjatuhkan diri ke air untuk menolongnya.
Liora mengangkat wajahnya, tatapannya bertemu dengan mata Marvin yang juga sedang menatapnya. Pria itu tersenyum menggoda sambil memainkan sendoknya dibibir.
"Ah, tadi... Tadi aku ditolong oleh para pelayan dirumah, Yah," kilah Liora yang terpaksa harus berbohong. Tidak mungkin dia menceritakan yang sebenarnya jika dia basah karena Marvin, bukan karena jatuh ke kolam renang.
Selesai makan malam Liora kembali ke kamarnya, sementara Tuan Arthur meminta Marvin datang ke ruangan pribadinya karena ada yang ingin dibicarakan dengan putranya itu. Seperti biasa, meskipun Haikal memintanya untuk tidak menunggunya pulang, tapi Liora tetap menunggu kedatangan suaminya.
Sembari menunggu suaminya pulang, Liora duduk-duduk di atas ranjangnya sambil menyalakan televisi. Tontonan yang sedang berputar di layar tak benar-benar menjadi fokus utamanya, pikirannya menerawang jauh ke kejadian tadi siang saat dia berada di dalam kamar mandi milik Marvin.
"Dia tinggal lama diluar negeri, mungkin hal seperti itu sudah umum baginya. Tapi bagaimanapun juga aku ini adik iparnya, harusnya dia tidak berbuat seperti tadi padaku," Liora menghela napas panjang, kembali menyenderkan punggungnya pada headboard dengan pikiran yang terus berkecamuk.
Jarum jam terus berputar, Liora sampai tertidur saking lelahnya menunggu. Namun dia kembali membuka matanya lebar-lebar saat mendengar pintu kamar dibuka oleh seseorang. Haikal masuk dengan wajah yang terlihat sangat lelah, rambut dan pakainya terlihat sedikit berantakan. Dasi yang tidak terpasang dengan benar, dan dua kancing kemeja atasnya yang sudah terbuka.
"Kamu sudah pulang, Mas." Liora turun dari ranjang, mengambil alih tas kerja suaminya dan meletakkannya di atas meja.
"Kenapa belum tidur? Aku sudah menyuruhmu untuk tidak perlu menungguku." Haikal membuka jasnya yang langsung diambil alih oleh Liora.
"Aku sudah tidur tadi sebentar," jawab Liora, tiba-tiba tubuhnya membeku saat matanya menangkap noda lipstik di kerah kemeja suaminya.
"Ini noda lipstik siapa, Mas?" Liora memberanikan diri untuk bertanya sembari menunjuk noda lipstik yang ada di kemeja suaminya dengan jari telunjuknya.
"Dan jas kamu," Liora mengarahkan jas yang sedang dipegangnya ke hidungnya. "Jas kamu juga bau parfum wanita."
Haikal nampak acuh tak acuh, tangannya sibuk membuka kancing kemejanya. "Aku kerja dan berinteraksi dengan banyak orang diluar, Liora. Jadi wajar kalau pakaianku bercampur dengan parfum orang lain."
"Lalu noda lipstik itu?" tanya Liora dengan tatapan mengintimidasi. "Ini bukan pertama kalinya aku melihat ada noda seperti itu di pakaian kamu. Dan selama ini aku memilih diam, aku berusaha untuk tetap berfikir positif tentang kamu. Tapi sekarang tolong berikan jawaban yang lebih masuk akal padaku, Mas!"
"Masuk akal bagaimana, Liora?!" bentak Haikal. "Kamu menuduh aku berselingkuh, begitu?!"
"Aku tidak bilang seperti itu. Atau jangan-jangan kamu memang punya wanita lain diluar sana makanya kamu sering pulang terlambat!" Liora mencoba mengontrol emosinya. "Sudah enam bulan sejak kita menikah, tapi kamu sama sekali belum pernah menyentuhku. Apa kamu sudah sering tidur dengan wanita hingga kamu tidak pernah menginginkanku?!"
Plakkkk...
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Liora hingga kepalanya tertoleh kesamping, sudut bibirnya bahkan sampai mengeluarkan sedikit darah. Untuk pertama kalinya Liora mendapatkan perlakuan kasar seperti ini dari suaminya, air matanya bergulir dengan begitu saja. Liora memegangi pipinya yang terasa sakit dengan tangan bergetar.
"Jangan membuatku bertindak terlalu jauh, Liora." tekan Haikal. "Kamu harusnya ingat tujuan kita menikah untuk apa, supaya panti asuhan itu mendapatkan donatur tetap. Jadi keberadaanmu disini sama sekali tidak penting bagiku!" Haikal berbalik, masuk ke dalam kamar mandi dan menutup pintunya dengan keras.
Ucapan itu begitu menusuk dihati Liora, seperti anak panah yang dilepaskan dengan begitu mudah hingga menembus tepat ke sasaran. Dia pikir ketulusan akan berbalas ketulusan, namun nyatanya dia tetap diperlakukan semena-mena dan tidak pernah dipandang sebagai seorang wanita apalagi sebagai seorang istri oleh suaminya.
Setelah tangisnya mereda, Liora keluar dari kamar untuk menenangkan pikiran selagi suaminya masih ada didalam kamar mandi. Liora pergi ke dapur, mengambil gelas kosong dari rak dan mengisinya dengan air putih, kemudian meneguknya sampai habis.
Jam segini semua orang pasti sudah tidur, hingga Liora tidak perlu takut akan ada yang melihat pipinya yang masih sedikit memerah akibat tamparan keras suaminya. Langkahnya menuju ke kamar terasa berat, dia harus kembali ke kamar sebelum suaminya selesai mandi.
Ketika kakinya baru menapaki satu anak tangga, sebuah tangan kekar menariknya secara tiba-tiba. Membawanya masuk kedalam sebuah ruangan yang cukup Liora kenali.
"Kak Marvin, apa yang Kakak lakukan? Menyingkir, aku ingin keluar!"
Marvin tak menjawab, matanya sibuk menatap pipi Liora yang sedikit memerah dengan sedikit darah diujung bibirnya.
"Apa dia menamparmu?" tanya Marvin, tangannya ingin menyentuh wajah Liora namun segera ditepis oleh wanita itu.
"Bukan urusanmu, Kak. Sekarang tolong buka pintunya, suamiku sudah menunggu dikamar," pinta Liora dengan nada memohon, saat ini dia sedang tidak ingin berdebat.
Marvin tak menghiraukan permohonan Liora, dia menarik tangan wanita itu kearah ranjangnya dan menjatuhkan tubuhnya disana. Dalam hitungan detik Marvin sudah mengungkung tubuh Liora dibawahnya, membuat wajah Liora mulai terlihat panik sekaligus kesal.
Liora menahan dada Marvin dengan kedua tangannya. "Kak Marvin, apa-apaan! Cepat turun, aku ingin keluar dari sini." pinta Liora memohon.
Lagi-lagi Marvin tak menjawab, tangannya mulai bergerak untuk menyentuh wajah Liora meskipun wanita itu berusaha menolak sentuhannya dengan memalingkan wajahnya kesamping.
"Liora, kamu dimana, Sayang?"
Suara Haikal diluar kamar membuat keduanya saling menatap. Berbeda dengan Marvin yang nampak tenang dengan senyuman diwajahnya, Liora justru sebaliknya. Wanita itu terlihat sangat panik dengan air mata yang mulai terlihat membasahi kedua bola matanya. Kepalanya menggeleng cepat seolah meminta Marvin untuk tidak mengatakan jika dia ada dikamarnya.
Tok... Tok... Tok...
Tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar, semakin menambah ketegangan didalam ruangan. Marvin mengarahkan kembali pandangannya ke wajah Liora yang masih ada dibawahnya.
"Bukan tanda seperti ini yang seharusnya ada di tubuhmu, tapi seperti ini,"
Liora terbelalak saat Marvin mengarahkan wajahnya ke lehernya, mengecupnya lembut kemudian mengisapnya kuat-kuat. Membuat Liora merasakan sensasi yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.
📍
📍
📍
Bersambung.....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!