**
Di sebuah lapangan yang terdapat di salah satu pondok pesantren ternama, terdapat seorang santriwati yang tengah duduk beristirahat, dari sekian banyak santriwati lainnya yang masih sibuk berlari mengelilingi lapangan.
Gadis itu menyeka keringatnya yang sudah membanjiri keningnya, matahari hari ini terlihat cukup terik, seperti berada di atas kepala. Ia menggunakan ujung hijabnya untuk mengipasi wajahnya yang terasa kepanasan dengan mengibas ngibaskannya.
" Diva! Siapa yang mengijinkan kamu duduk haa! "
Diva Az-Zahra, seorang gadis berusia tujuh belas tahun, mendongakkan kepalanya. Ia tampak menghela nafas dengan kasar begitu mendapatkan teguran dari salah satu Gus.
" Duduk butuh izin kah? " Ujarnya dengan entengnya.
Mata pria itu tampak melotot tajam, ia kelihatan begitu marah karena diva menjawab perkataan nya dengan entengnya Tampa takut sedikitpun. Ia sudah begitu kesal selama ini di buat diva, di antara banyaknya santri putri yang sulit di atur, mungkin diva berada di posisi paling atas.
" Saya malas berdebat, sekarang kamu berdiri dan lanjutkan pemanasan!! " Perintahnya dengan tampang galaknya, tak bisa di bantah ataupun terelakkan.
Tapi bukan diva namanya, jika ia bisa luluh dan nurut begitu saja. Diva masih tetap duduk, dengan tampang santainya.
" Kamu ga dengar? "
" Dengar kok Gus, tapi di dunia ini yang harus di patuhi itu perintah Allah sama orang tua doang, Gus ga boleh ikut ngasih perintah. Musyrik namanya. " Celetuknya.
Dengan santainya diva merebahkan tubuhnya di atas rerumputan Tampa memperdulikan keberadaan Gus tersebut. Ia sudah cukup muak berada di pondok pesantren itu, ingin rasanya cepat cepat tamat dan pergi jauh dari pondok pesantren.
Selama tiga tahun ini di pesantren, diva sudah cukup menahan diri, apalagi orang tuanya sama sekali tidak pernah melakukan penjengukkan, karena takut diva merengek meminta keluar dari pondok pesantren.
" Yaudah besok saya nikahin bunda kamu, biar saya jadi orang tua kamu dan bisa memberikan perintah! Sekarang bangkit dan lanjutkan pemanasan sebelum memulai praktek push up dan teman temannya. "
" Ganteng ganteng selera nya janda, mana paten! "
Diva mengacungkan jari jempolnya, seraya menjulurkan lidahnya. Ia paling senang membuat pria di dekatnya jengkel dengan ulahnya, karena semakin ia banyak membuat masalah, semakin besar peluang nya untuk di DO.
" Biarin, janda nya bunda kamu kan berkualitas. "
" Gini ya Gus...Agus.... Coba Gus ngacahan, nilai positif apa yang bisa membuat bunda diva mau sama Gus? " Diva Menaik turunkan alisnya, menatap Gus Zindan dari atas hingga bawah dengan tatapan meremehkan.
Sebenarnya diva tidak ingin meremehkan sosok Gus Zindan, karena dari segi ketampanan, ia juga cukup tampan. Tapi masalahnya pria itu bukan type bundanya.
Diva dan bundanya tidak beda jauh, sama sama pecinta pria kaya dan tampan.
" Saya tampan "
" Iya, ganteng. Tapi kalo Gus berdiri di atas gunung seorang diri Tampa ada populasi pria lainnya. "
" Maksud kamu apa? "
" Ga tau, malas menjelaskan. Minta dulu sejuta, baru diva jelaskan. "
Gus Zindan melengos, kesal sendiri menghadapi tingkah diva yang begitu menjengkelkan.
" Nanti saya kasih sejuta, sekalian seperangkat alat shalat. "
" Idih! Najong!! "
Diva langsung bangkit dari rebahan nya, ia langsung menatap sangar Gus Zindan yang menyeringai kecil, tampak begitu menyeramkan.
Tiba tiba saja Gus Zindan memiliki ide, ia langsung mengetahui kelemahan diva. Ternyata diva yang begitu bandal, ternyata paling anti jika di goda sedemikian rupa.
" Oke, sekarang kamu pilih, mau lanjut lari atau saya ajak lari ke KUA? "
Diva tersenyum lebar, hingga matanya menyipit. Namun senyumannya bukanlah sebuah senyuman tulus, melainkan senyuman meremehkan.
" Kalo diva ga milih satupun gimana? " Gadis itu menyilangkan kedua tangannya di depan dada, alisnya naik turun menatap Zindan dengan ekspresi santainya.
" Saya pilihkan. Ayo, ke KUA!! "
" Ngapain? Jaga parkir? "
Gus Zindan geleng geleng kepala, entah dari mana datangnya ide gila diva. Ia begitu random, absurt dan sangat tidak bisa di tebak.
Orang bodoh mana yang datang ke KUA hanya untuk jaga parkir? Bahkan orang gila pun tidak akan memikirkan hal aneh seperti itu.
" Gini ya diva Azzahra, kamu ini sebenarnya masih waras atau pura pura waras?. Orang gila aja ga pernah kepikiran ke KUA buat jaga parkir. "
" Ya lagian ngapain Gus Zindan ajak diva ke KUA coba? Kurker "
" Apaan tuh? "
" Kurang kerjaan, udah ah diva mau makan. "
Dengan entengnya diva melangkah pergi meninggalkan Gus Zindan dan mengutarakan niatnya yang mau makan di jam pelajaran seperti ini.
Belum sempat diva jauh, bahkan masih jalan dua langkah, Zindan sudah menarik jilbabnya hingga membuat diva reflek berhenti.
" Heh Zindan sialan!!! Lepasin heh!! "
" Ma syaa Allah.... mulutnya ya calon istri.... Pantang "
" Calon istri lambene! "
Diva berbalik badan, ia menghempaskan tangan Gus Zindan dari jilbabnya dengan kasar tanpa memperdulikan larangan di pondok pesantren yang mengharuskan laki laki dan perempuan dilarang bersentuhan sedikit saja, apalagi lawannya adalah Gus Zindan.
" Udah jangan ngelawan! Lanjut lari cepatt!!! " Ujar Gus Zindan ia sedikit meninggikan suaranya, membuat diva refleks menutup kedua telinganya dengan kedua tangannya.
Ia begitu terkejut mendengar suara Gus Zindan yang sangat memekakkan telinga, bisa bisa ia langsung tuli jika terus menerus mendengar Gus Zindan berteriak seperti itu di depannya.
" Is! Ngatur aja pun taunya. Diva doain jodohnya orang gila!! "
" Gapapa gila, asal bukan kamu! "
" Idih, siapa juga yang mau sama situ, panas ni telinga tiap hari kalo jodohnya kayak Gus Zindan!! "
" Ayoo taruhan "
Di jarak yang lumayan jauh, dengan pandangan yang tertuju pada diva dan Gus Zindan, terdapat tiga gadis yang saling menatap.
" Taruhan apaan? " Sahut yang lainnya.
" Taruhan, pasti ni dua orang bakalan jodoh. "
" Kenapa kamu bisa mikir gitu? "
" Kamu pernah denger pepatah gak? Benci sama cinta itu beda tipis. Nahh kita bertiga kan tau nii seberapa benci diva sama Gus Zindan. Mereka tuh udah kayak musuh bebuyutan, nahh pasti suatu saat mereka jadi jodoh. "
" Ih kamu mah, ngapain coba percaya yang kayak gitu. "
" Ya karna udah banyak buktinya dilaaaa "
Dila memajukan bibirnya ke depan, mereka bertiga kembali menatap lurus ke depan, memperhatikan Gus Zindan dan diva yang masih sibuk bertengkar.
" Mustahil banget ga sii kalo jodohnya Gus Zindan itu diva? Kalian kan tau sendiri, Gus Zindan itu di jodohkan sama Ning Laura " celetuk sisi yang kembali menatap kedua temannya.
Mereka kembali saling pandang satu sama lainnya, mereka baru ingat bahwa Gus Zindan memang sudah di jodohkan dengan seorang Ning dari pondok pesantren lain.
" Ga ada yang mustahil di dunia ini, si. Pohon yang udah hampir mati aja bisa tumbuh subur lagi, bahkan bisa berbuah dengan manis. Walaupun seisi dunia menjodohkan Gus Zindan sama Ning Laura, kalo takdirnya Gus Zindan itu adanya di diva, bisa apa? " Celetuk Kayla dengan begitu bijaknya.
Kayla yang biasanya tampak seperti orang bodoh di antara teman-temannya, tiba-tiba saja bisa mengeluarkan sebuah kalimat yang membuat temannya terdiam, bungkam.
Dila dan sisi sekompak bertepuk tangan, menatap Kayla dengan tatapan takjub. Siapa sangka, Kayla bisa berpikiran dewasa dan mengeluarkan kata kata mutiara di mulutnya yang selalu pedas biasanya.
" Kenapa tepuk tangan? Ga ada yang lagi konser " sungut Kayla, ia langsung menyilangkan kedua tangannya di depan dada dan membuang wajahnya ke arah lain.
" Mamenes mamenes " Dila masih tampak heboh bertepuk tangan, bahkan sampai mengacungkan jari jempolnya dengan mata berbinar bangga menatap Kayla.
Terdengar dengusan kecil dari Kayla, ini salah satu alasan mengapa ia tidak ingin tampil dengan kepintaran di otaknya, karena ia salah teman. Lebih baik ia tampak bodoh, karena ketika tampil bijak, teman temannya akan langsung heboh.
" Tumben kay bijak gitu omongannya. Lagi ngincer ustadz mana? " Sisi menyenggol punggung lengan Kayla dengan kuat, membuat Kayla menatapnya dengan tajam.
" Ustadz mana? Kagak ada! Semua akan prettt pada waktunya. " Kayla langsung melangkahkan kakinya dengan santainya, kemudian kembali berlari lari kecil melanjutkan pemanasan dari pada nanti kena Omelan Gus Zindan, sama seperti diva.
**
Jam istirahat telah tiba, seluruh santri tampak berhamburan keluar dari kelas untuk melakukan aktivitas selanjutnya. Ada yang sibuk menghafal karena kebetulan nanti malam jadwalnya setoran hafalan, ada pula yang hanya duduk membentuk sebuah lingkaran hanya untuk menyebar gosip.
Salah satunya adalah diva dan teman-temannya. Mereka duduk membentuk lingkaran bukan untuk menghafal, melainkan untuk bergosip, apa saja yang sekiranya sedang menjadi topik trending di kalangan santri.
" Tau ga siii, katanya Gus Alip.... Adiknya Gus Zindan tuh punya pacar, dan pacarnya tuh salah satu santriwati di pesantren ini, tapi ga tau deh, siapa orangnya. "
" Yang pasti cantik " celetuk Kayla, ia mengangkat bahunya acuh tak acuh sembari mengunyah jajanan yang Minggu lalu di bawa oleh ibunya diva sebagai stok camilan untuk diva.
" Yaiyalah, sekelas Gus Alip mana mungkin seleranya kayak kita gini. " Sahut sisi, dengan pena yang terjepit di antara jari telunjuk dan jari tengahnya.
" Kita? Kamu aja kali, si. Kami mah cantik " Dila menyeringai, usai mengatakan hal demikian.
Diva hanya diam menyimak teman temannya bercerita, ia tampak tidak minat sama sekali dengan gosip hari ini. Baik Gus Zindan maupun Gus Alip, tidaklah penting baginya, dengan siapapun mereka memiliki hubungan spesial, tidak ada untungnya bagi diva.
" Coba bayangkan, plot twist nya pacar Gus Alip itu salah satu di antara kita, tapi emang sengaja backstreet. " Ujar sisi Tampa memperdulikan perkataan Dila tadi yang menurutnya tidak penting untuk di bahas, temanya saat ini adalah Gus Alip, maka sisi tidak ingin topiknya berpindah ke lain arah.
Tiba tiba saja ketiga gadis itu menatap ke arah diva, membuat diva yang sedang asik mengorek upilnya, lantas kebingungan di tatapi oleh ketiga temannya.
" Apaan? Ngapa liatin aing? Mau upil? " Tawarnya dengan wajah isengnya.
Ketiga temannya langsung menyilangkan kedua tangan dan menggelengkan kepala.
" Astaga div, jorok banget sih! " Ketus Dila, dengan tatapan jijiknya.
Tidak di dalam kamar asrama, di kelas, bahkan di tempat terbuka seperti ini, diva selalu mengupil. Ia tidak pernah sekalipun terlihat menjaga image dimana pun tempatnya dan di hadapan siapapun.
Tingkah diva yang blak-blakan ini seperti menunjukkan dengan tegas bahwa tidak ada satupun orang di kalangan pondok pesantren ini yang menarik perhatiannya. Ia seperti tidak minat pada pria yang ada di pesantren tersebut.
" Jorok apaan? Ini tuh namanya lagi bersih bersih. " Jawabnya dengan enteng.
Dila memutar bola matanya dengan malas, selalu saja seperti itu jawaban dari diva ketika di tegur agar tidak mengupil di sembarang tempat.
" Okee, balik ke topik awal!! " Sisi langsung angkat bicara dengan tegas. Entahlah, sepertinya di antara teman temannya, hanya dialah yang begitu excited membahas gosip ini.
" Ayo kita buka bukaan aja disini, siapa di antara kita yang punya hubungan sama Gus Alip? " Ujar sisi lagi, setelah berhasil membuat teman temannya terdiam dan berfokus padanya.
Ketiga temannya justru dengan kompak langsung menggelengkan kepalanya, pertanda bahwa tidak ada satupun di antara mereka yang memiliki hubungan dengan Gus Alip.
Tubuh sisi seketika melemas, namun hanya sebentar saja karena setelah itu ia justru tampak menyeringai tipis.
" Yang jelas bukan aku. Aku mah sudah ada ayang bubub lingga " dengan songongnya diva menyahuti.
" Yang jelas bukan aku juga, aku ga suka Gus gusan, banyak aturan kalo nikah sama Gus gusan. Kan katanya kalo nikah sama yang paham agama, anaknya pasti bakalan banyak. Contohnya tetangga di samping rumahku. " Ujar Dila dengan tampang santainya pula, menimpali perkataan diva sebelumnya.
Sisi mengangguk anggukan kepalanya, ia langsung percaya pada kedua temannya itu. Selanjutnya ia beralih menatap Kayla yang hanya diam saja.
Mata sisi mulai menyipit, mencurigai Kayla yang tetap tampak tenang dan tak kunjung memberikan klarifikasi atau alasan apapun itu yang menunjukan bahwa bukan dia wanita yang memiliki hubungan dengan Gus Alip.
" Kay " panggilnya
Diva dan Dila sama sama menatap Kayla, mereka berdua juga tampak fokus menatap Kayla.
" Jangan tanya aku, udah jelas aku ga minat cinta cintaan. Kan aku udah bilang, semua cinta itu akan prettt pada waktunya. " Celetuknya, wajahnya tampak begitu datar.
Mendengar perkataan Kayla, sisi langsung menghela nafasnya lega. Ia kembali tampak bersemangat dan begitu senang, sehingga membuat teman temannya menatapnya dengan curiga.
" Kalo di antara kalian ga ada yang jadi pacarnya Gus Alip, yaudah aku aja. "
" Idih " refleks Dila begitu saja.
" Mengakui Tampa di akui itu sakit loh, si. "
" Bodo amat! Selagi pacar kandungnya belum muncul, aku mah bisa ngakui kalo Gus Alip pacarku. " Celetuknya dengan songongnya, ketiga temannya hanya geleng geleng kepala saja.
**
" Engga umi, gosip itu bohong. Mana mungkin Alip punya pacar. "
Di sisi lain, di sebuah ruangan terdapat beberapa orang yang sedang menyidang satu orang. Orang tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah Gus Alip.
Ternyata berita gosip tersebut sudah menyebar dan terdengar sampai ke telinga kyai habib, hingga Gus Alip kini di sidang oleh anggota keluarganya.
" Kalau kamu memang ga punya pacar, kenapa bisa timbul rumor seperti itu? " Tanya kyai habib dengan tegasnya.
Di umurnya yang sudah begitu tua, ia tetap saja bisa tampil tegas, walaupun penyakitnya sering kumat hanya karena sering marah pada Gus Zindan yang terus saja berusaha menolak dengan keras perjodohan darinya.
" Ya Alip juga ga tau, Kek. Ngapain juga Alip pacar pacaran, buang buang waktu dan ngabisin tenaga aja. " Jawabnya, sedari tadi Alip terus berusaha untuk menjelaskan pada keluarganya bahwa rumor yang tersebar itu hoax, tidak jelas dan tidak benar adanya.
Namun tentu saja kyai habib tidak langsung mempercayai hal itu, bagaimana pun juga api tidak akan hidup jika tidak di sulut.
Gus Zindan duduk santai di sofa, dengan kaki kanan yang di letakkan di atas kaki kiri. Tubuhnya pun tampak menyandar di sandaran sofa.
" Kalian berdua ini ada saja tingkahnya! Yang satu terus menerus menolak untuk di jodohkan, yang satunya lagi ada rumor pacaran sama santriwati di pondok pesantren sendiri!! Bisa cepat meninggal kakek lama lama!! " Kyai habib menatap tajam kedua cucunya.
Sang istri langsung berusaha menenangkan sang suami dengan memegangi punggung tangannya, seraya mengelusnya dengan lembut.
" Ya lagian jaman udah semaju ini masih aja ada sistem perjodohan. Bukannya Zindan ga menghargai kakek ataupun ga menghormati kakek, tapi stop normalisasikan perjodohan. Zindan punya hak untuk memilih. " Jawab Zindan, begitu dirinya di sindir.
Zindan memang terkesan melawan dan kasar, tapi ia memang sudah benar benar merasa muak di jodoh jodohkan. Akibat dari adanya rumor perjodohan ini, ia jadi tidak bisa mengejar cintanya.
Selain itu, akibat perjodohan ini, wanita yang ia cintai harus di banding bandingkan hanya karena wanita itu adalah seorang wanita biasa, sederhana, bukan dari kalangan paham agama.
" Kakek juga ga akan melarang kamu untuk memilih! Tapi pastikan keluarga kita setara sama keluarga perempuan itu. Mau taruh dimana muka keluarga kita kalok istri kamu itu perempuan biasa biasa aja, yang keluarganya ga jelas! "
" Harus banget setara? Kita mati juga di masukan ke dalam tanah, Kek. Ga ada bedanya sama yang lainnya. Jadi apa bedanya antara keluarga kita sama keluarga sederhana lain? Kakek boleh bicarain tentang kesetaraan asal ketika meninggal nanti kakek di kuburnya ga di tanah, tapi di tumpukan emas! "
Usai berkata demikian, Gus Zindan langsung pergi begitu saja meninggalkan keluarganya serta suasana yang masih berada dalam ketegangan. Kyai habib bahkan tampak begitu emosi, bahkan emosinya nyaris meledak.
Gus Zindan tau bahwa cara bicaranya sudah begitu salah, karena lawannya adalah seseorang yang lebih tua darinya, orang yang seharusnya ia patuhi dan berbicara dengan nada sopan.
Tapi Gus Zindan sudah begitu emosi, semua yang ada di kepalanya ia keluarkan karena sudah menahannya begitu lama. Jengah! Tentu saja itu yang ia rasakan.
Andai bisa memilih ulang, maka ia pun tidak ingin terlahir dari keluarga yang bernasab seperti ini, karena membuatnya begitu tercekik pada aturan aturan yang ada seperti menikah dengan lawan jenis yang senasab.
Gus Zindan tau bahwa cinta itu bisa tumbuh perlahan lahan seiring waktu berjalan, tapi Gus Zindan tidak bisa menjamin bahwa ia bisa jatuh cinta mengikuti alur waktu dan meyakinkan diri dengan alasan semua akan bisa ketika terbiasa.
**
" Plisssss ini ustadz gala kapan balik nya sih, betah amat umrohnya. Udah muak banget ini belajar penjas sama Gus Zindan. "
Mendengar keluhan diva, membuat ketiga temannya yang masing masing fokus belajar mengerjakan PR, lantas beralih padanya.
Diva sudah tiduran di lantai, dengan posisi tubuh yang sangat tidak singkron, meliuk liuk bak ulat di bunga. Rambutnya pun sudah acak-acakan, berhubung mereka berempat berada di dalam kamar asrama, jadi tidak ada yang memakai hijabnya satupun.
" Sabar div, orang sabar ujiannya Gus Zindan. " Sisi menahan tawanya, ia pun sama pusingnya seperti diva.
Bayangkan saja, entah ada berapa pertemuan mata pelajaran dengan Gus Zindan, yang tentunya menimbulkan rasa bosan, apalagi Gus Zindan begitu kaku, sulit di ajak bercanda.
" Udah lah div, jangan ngeluh terus. Kerjain gih, biar cepet selesai. Semakin banyak mengeluh cuman buat pr kamu ga siap siap. " Titah Kayla pula. Ia kembali fokus mengerjakan tugasnya sendiri usai memberikan peringatan pada diva.
Terdengar helaan nafas berat dari seorang gadis yang sedari tadi hanya mengeluhkan pr yang banyak itu, bahkan hingga menggeret geret nama Gus Zindan.
Dila menahan tawanya, melihat wajah diva yang ketara sekali jengahnya.
" Kalau kata sopo, yang sabar ya bosss " celetuknya, Dila pun pada akhirnya kembali fokus mengerjakan pr nya.
Bukannya tidak mau mengerjakan pr bersama sama, ataupun tidak mau memberikan contekan pada diva, tapi sedari awal mereka kenal, mereka sudah membuat perjanjian bahwa di pertemanan mereka tidak ada yang namanya mencontek.
Jika ada sesuatu yang tidak di pahami, maka bisa bertanya, tapi bukan berati bisa meminta jawaban dan berujung mencontek. Salah satu alasan mereka membuat perjanjian tersebut adalah agar mereka bisa sama sama pintar dan memahami pelajaran, agar saat ujian tidak kebingungan mengerjakan soal hanya karena sudah terbiasa mencontek.
Nilai positif lainnya adalah tanpa sadar mereka membiasakan diri untuk bersikap jujur. Mengerjakan tugas sendiri, dengan tidak mencontek teman adalah salah satu perbuatan jujur, nilai urusan belakangan.
" Kangen lingga plizzzz, bawain lingga di depan ku dong teman teman yang baik hati dan tidak sombong. " Diva bangkit dari tidurannya yang tidak beraturan, ia meletakkan kepalanya di atas meja belajar mini bongkar pasang di depannya dengan tangan sebagai bantalan.
" Malas ah, minimal official dulu lah statusnya. " Dila melirik sebentar, untuk melihat komuk wajah diva ketika di beri sindiran.
" Tau tuh, hts dilarang kecintaan, nanti endingnya asing. " Sahut sisi pula.
Diva kian bertambah murung dan lemas tak memiliki semangat. Dalam hati ia mencibiri perkataan perkataan kedua temannya yang jelas jelas memberikan sindiran, namun mau bagaimana lagi, sampai sekarang lingga tak kunjung memberikan kejelasan pada hubungan mereka.
" Yang nikah aja bisa cerai, div. Apalagi cuman hate'es, semua akan prettt pada waktunya. " Kayla dengan santainya menimpali, namun matanya tidak pernah beralih sedikitpun dari buku tulisnya, dengan jari yang bergerak lincah mengisi jawaban untuk setiap pertanyaan.
" Kalian mah bisa bilang gini karna kalian ga ngerasain jadi aku, ngerasain gimana baiknya lingga.... Gimana cara dia ngetreat aku.... Effort dia ke aku... Kalo kalian yang ada di posisi aku, kalian juga pasti bakalan kecintaan sama dia. " Diva menenggelamkan kepalanya di antara kedua tangannya di atas meja belajar mini bongkar pasang miliknya.
Sebagai remaja yang labil, yang masih begitu Maruk pada percintaan, diva terlihat begitu melebih lebihkan, ia kelihatan begitu kecintaan dan begitu merindukan lingga, hingga hampir di setiap kegiatan maupun kalimatnya, pasti ada sangkut pautnya dengan nama lingga.
" Kagak juga, kalo aku jadi kamu... Justru aku bakalan berfikir matang buat jatuh cinta ke dia. Bayangkan aja, orang bodoh mana yang ngecrush-in seseorang tapi ga tau orangnya yang mana, cuman tau namanya doang. "
Kayla menutup bukunya, merapikan beberapa bukunya yang berserakan, serta pena dan printilan lainnya.
" Dey! Diam lah! Lupain yang bagian itu plisss, ya wajar aja lah dia ga tau muka aku dulu, kan aku jarang keluar kelas dulu. " Balas diva. Kayla memutar bola matanya dengan malas.
Dila dan sisi hanya bisa menjadi pendengar saja, sebab mereka berasal dari SMP yang berbeda dengan Kayla dan diva.
Pikiran diva tiba tiba kembali mengingat kejadian itu.... Kejadian konyol dimana lingga hendak menyatakan perasaannya pada diva namun malah salah orang.
Flashback on.....
" Div, tadi di kantin ada yang cariin kamu tau "
Diva yang tadinya sedang asik mengobrol dengan Kayla, lantas menatap pada satu circle teman temannya yang baru saja kembali dari kantin.
Wajah diva tampak kebingungan, benar benar seperti orang bodoh. Teman temannya yang baru saja kembali dari kantin ini justru mengatakan suatu kabar yang sangat aneh untuk di dengar.
" Siapa? " Tanyanya dengan wajah penuh tanda tanya dan kelihatan begitu polos.
Dulu diva memang gadis yang polos, tidak banyak tingkah, bukan juga sosok gadis yang lasak. Ia lebih sering menghabiskan jam istirahat nya di kelas dengan memakan bekal yang telah di siapkan oleh orang tuanya, atau paling tidak untuk bercerita dengan Kayla, walaupun topik pembahasan mereka suka ngalur ngidul.
Kalaupun keluar kelas, paling paling hanya untuk membeli gorengan di kantin, kemudian kembali ke kelas untuk menyantapnya di dalam kelas.
Jadi ketika ada seseorang yang menyukainya atau apapun itu sejenisnya, diva tentu saja bingung.
" Bang lingga, anak dua belas 2 MIPA. " Jawab salah satu di antara mereka.
Kening diva tampak berkerut bingung, ia tidak kenal dengan makhluk bernama lingga itu, entah seperti apa wajahnya pun diva tidak tau.
" Lingga? Memang nya di sekolah ini ada yang namanya lingga? "
" Ada cuy, makanya jangan di kelas aja biar bisa punya banyak kenalan. "
Diva memutar bola matanya dengan malas, tak hanya diva, Kayla pun ikut tampak kebingungan karena ia sama seperti diva. Bahkan dimana ada diva maka di situ ada Kayla.
" Kau tau.... Tadi tuh di kantin temennya ada yang nanyain kau, penasaran yang namanya diva tuh yang mana. "
" Terus? " Wajah diva masih menampilkan ekspresi yang sama yaitu bingung sekaligus penasaran.
Siapa sih yang tidak penasaran ketika di hadapkan dengan kabar seperti ini, sekalipun orangnya acuh tak acuh, pasti tetap memiliki sedikit rasa penasaran, walaupun hanya sedikit.
" Masak di pikir Abang Abang itu.... Si anggun itu kau. Kan oon " ujar ayu menyeletuk dengan hebohnya.
Suaranya yang melengking dan cempreng, membuat teman temannya langsung was was dan menutup mulut ayu dengan tangan mereka, takut ada yang mendengar obrolan mereka.
" Gimana maksudnya? " Tanya diva yang masih tidak paham.
" Is ya gitu lah intinya tuh bang lingga itu nyariin kau, tapi dia cuman tau nama mu, ga tau muka mu, karna katanya pernah liat kau pas Bawak acara siroh kemarin. "
" Ohh, gitu. " Diva manggut-manggut, paham atau tidaknya ia memilih untuk terlihat seperti orang yang sudah paham saja, dari pada memancing emosi teman temannya.
Tak ada lagi percakapan ataupun obrolan mengenai hal tersebut, ayu dan yang lainnya sibuk menyantap gorengan yang mereka bawa dari kantin tadi, apalagi kondisinya masih hangat.
Para siswa laki-laki yang hendak masuk ke kelas bahkan hingga harus putar balik, pasalnya sebagian besar siswi di kelas itu duduk tepat di depan pintu. Mereka juga tau, larangan duduk di depan pintu, namun rasanya kurang afdol saja jika tidak duduk di depan pintu sehari saja.
" Bukannya bang lingga lagi deketin indah ya? Adek kelas yang cantik kali itu. "
Tiba tiba saja Rahma buka suara dan kembali membahas topik yang sudah sempat berhenti dan berakhir.
Karena ucapan Rahma, mereka tampak kembali heboh dan bersemangat untuk membahas hal tersebut.
" Iya Weh, denger denger si lingga tuh pacaran sama adek kelas yang namanya indah. "
" Apa pulak, ga bener itu gosip nya. Aku udah nanya sandi, katanya bang lingga sama indah itu ga pacaran, tapi indahnya aja yang berharap pacaran sama bang lingga. Kalo bang lingga sih cuman nganggap indah itu sebagai adeknya. " Celetuk melati tiba tiba saja. Ia berbicara dengan begitu panjang lebarnya.
" Cuman di anggap adek wehh, bayangkan aja. Indah yang secantik itu aja cuman di anggap adek, bah jadi kita yang jelek ini di anggap apa ya kira kira kalo Deket sama dia. " Celetuk ayu kembali heboh.
Anggun refleks menepuk paha ayu agar merendahkan nada bicaranya sedikit saja, takut jika pihak yang di bicarakan ternyata tak sengaja dengar.
" Pelankan ngapa suaramu, udah kayak pake toa bah, sekalian aja pake toa Sono. "
Ayu menyengir kuda mendapatkan teguran dari anggun, ia pun lantas kembali duduk dengan anggunli, dan tidak banyak berbicara lagi, dari pada terkena amukan dari anggun.
Waktu terus berlalu jam pulang pun sudah tiba, suara lonceng menggema ke seluruh penjuru lingkungan sekolah, membuat para murid bersilih ganti keluar kelas untuk menuju jemputan mereka masing masing.
Disaat semuanya sudah sibuk berpulangan, tersisa lah diva dan Kayla di kantin, mereka sengaja pulang terakhir, apalagi jemputan mereka belum tiba hingga mengharuskan mereka menunggu lebih lama lagi.
" Itu Ling cewe yang kau cari. "
Kayla menyipitkan matanya dengan tajam, menatap dua pria yang berjalan santai menuju kantin hingga duduk di salah satu kursi.
Kalau diva dan Kayla belum pulang karena menunggu jemputan, maka lingga dan Ipan belum pulang karena mereka memang selalu pulang terakhir, mereka memang selalu berada di kantin dan bermain gitar menunggu sore tiba.
" Diva! "
Diva reflek mendongakkan kepalanya, ia yang tadinya sibuk mengubel meja di depannya yang terdapat bolongan, tampak kebingungan ketika ada yang memanggil dirinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!