NovelToon NovelToon

Laras: The Beginning Of Temptation

Rutinitas

Di depan sebuah komputer terlihat seorang wanita sedang bekerja dengan sibuk. Fokusnya tidak pernah teralih dari layar komputer yang berada di depannya saat ini.

"Permisi, Bu. Ini ada beberapa berkas yang harus Ibu tanda tangan."

Tanpa memalingkan wajahnya untuk melihat pegawai yang membawa beberapa dokumen itu, wanita yang biasa di panggil Laras ini masih asik tengah sibuk bekerja. Ingin menyelesaikan beberapa tugas yang belakangan ini sering membuatnya lelah selama di kantor.

"Oh. Baik, tolong letakan saja diatas meja!" -Laras.

Namanya Laras, wanita karier berusia 35 tahun. Ia sudah lama bekerja di perusahan besar yang bergerak di bidang desainer busana ini kurang lebih 10 tahun. Hingga tidak heran, pengalaman membawanya sampai ia berada di titik saat ini.

Di bawah perusahaan besar yang bernama "Aoin" ini, Laras bekerja sebagai eksekutif yang menemui klien. Jika ada yang ingin bekerja sama dengan perusahaan tempat ia bekerja, Laras juga sering turun langsung ke lapangan.

Satu jam telah berlalu. Laras yang tadi merasa sangat sibuk dengan pekerjaannya, kini ia dapat menghembuskan nafas panjangnya ketika pekerjaan ia telah selesai di kerjaan.

Pyuuh~

"Akhirnya, selesai juga. Tinggal beberapa halaman lagi untuk aku koreksi hingga benar-benar maksimal." -Laras

Laras memperhatikan sekelilingnya. Di saat sudah tidak ada orang, Laras mengangkat kedua tangannya untuk sedikit saja setidaknya melakukan peregangan. Untuk menghilangkan rasa pegal-pegalnya selama tadi bekerja.

Keretek!

"Ah! ..."

"Enaknya ... Mungkin sebaiknya aku mengambil beberapa hari cuti, untuk tetap menjaga kesehatan fisik ku." -Laras

Laras tidak mendapatkan adanya orang sama sekali di dalam kantor, karena sebenarnya saat ini sudah memasuki jam-jam istirahat. Kemudian Laras melihat jam tangan kecil yang dipakai di lengan kirinya.

"Pantas saja sepi. Apa hanya aku, yang terlalu sering mengabdi kepada perusahan ini." Laras.

Di sebuah restoran yang tidak jauh dari kantor Laras. Ia sengaja mengambil meja paling pojok di lantai atas. Agar ia bisa melihat orang-orang yang berlalu-lalang keluar masuk resto.

Rutinitas seperti ini sudah cukup sering Laras lakukan. Untuk melepas kejenuhan usai bekerja. Dan, dari rutinitas membosankan yang secara terus menerus secara tidak langsung mengulang di keseharian Laras.

Banyak pemuda-pemudi, sepasang kekasih. Yang terlihat bahagia dengan hidupnya. Hal ini sudah seperti menjadi bahan tontonan Laras, ketika dirinya sedang istirahat makan siang.

Tiba-tiba, Laras teringat keluarga kecilnya. Sebuah foto keluarga sederhana menjadi hiasan wallpaper di ponselnya. Laras, Andi (suami), dan Dina (anak kandungnya yang baru berusia 10 tahun).

Laras langsung terpikirkan kepada Mas Andi. Ingin mencoba menghubunginya saat jam makan siang. Walaupun, sebenarnya Laras tahu. Bahwa menghubungi Mas Andi kali ini pasti tidak akan diangkat. Ia pasti selalu menjadikan kesibukan dia itu sebagai tamengnya.

"Biarin, ah ... Tidak ada salahnya mencoba." -Laras

Laras langsung menggulir ponsel miliknya. Banyak beberapa nama yang tersimpan di ponselnya terlewati, untuk mencari nama sang suami. Laras mulai melakukan panggilannya.

Tuut ...

Tuut ...

Tuut ...

[Nomor yang anda tuju tidak bisa dihubungi. Silahkan tinggalkan pesan berikut dan menekan angka 0 untuk melanjutkan ... Tuut!]

Laras kembali melihat layar ponselnya. Dan merasa, hal yang dia lakukan dan sudah tahu akan jawabannya jadi merasa percuma. Hingga akhirnya, sebuah hembusan nafas panjang keluar lagi dari mulutnya untuk yang kedua kalinya hari ini.

Pyuuh~

"Tahu akan begini, sebaiknya aku tidak menghubunginya." -Laras

Beberapa waktu jam telah berlalu. Kini sudah waktunya Laras pulang dari kantornya. Ia berjalan menuju basement parkir mobil di lantai paling dasar. Menghampiri mobil berwarna hitam miliknya.

Buurm~

Suara mobil Laras, perlahan menjauh meninggalkan area perusahaan menuju rumah. Setibanya Laras dirumah. Ketika Laras menuju garasi untuk parkir, ia melihat mobil Andi sudah berada disana.

"Mas Andi? ... Tumben dia sudah pulang jam segini." Laras.

Ketika Laras membuka pintu rumah, ia melihat Dina sedang makan sendiri di meja makan. Dina langsung menyambut kepulangan Ibunya dengan sebuah pelukan hangat.

"Aku pulang ..." -Laras

"Ibu! ..." Dina

Laras langsung memberikan beberapa ciuman di sekitar wajah Dina yang sedang ia peluk.

"Kamu sudah pulang? ... Siapa yang jemput kamu?" -Laras

"Tadi Papah, Bu ... Yang jemput Dina, terus Papah langsung istirahat." -Dina

Laras merasa sedikit kecewa.

"Kenapa Dina di biarkan untuk makan sendiri. Juga, bukankah seharusnya dia mengabari ku? Lantaran tidak menjawab panggilan ku tadi siang?"

Namun, Laras meletakkan dulu ego dia disamping. Ketika merasa atau ketika sedang bersama Dina. Setidaknya untuk sekarang.

"Makan kamu sudah habis?" -Laras

"Belum ..." -Dina

"Mau Ibu temenin makan?" -Laras

Dina mengangguk dengan cepat. Tanpa berpikir dua kali ketika sang Ibu mau menemani dia makan. Bahkan, ketika Laras sedang menemani dan mengajak Dina ngobrol. Raut wajah Laras tidak bisa berbohong. Ketika ia merasa semakin dinginnya hubungan rumah tangga dia.

Kejadian ini, bukan yang pertama kali. Laras sudah beberapa waktu merasakan hampanya hubungan rumah tangga. Bahkan, sampai detik ini ia masih menyimpan semua itu dan tidak pernah bercerita langsung kepada sang suami karena merasa tidak enak.

Di balik, rutinitas membosankannya Laras selama di kantor, ada kejenuhan dan kehampaan yang jauh lebih besar di dalam rumah tanggannya. Bahkan, Laras sendiri sering merasakan kurangnya perhatian dari Mas Andi.

Walau faktanya Laras tidak pernah menemukan Mas Andi melakukan macam-macam di belakangnya, namun fakta lain tentang perasaan kurangnya perhatian yang di berikan Mas Andi tidak bisa berbohong.

Kehadiran Laras yang seharusnya menjadi seorang istri, jadi semakin jauh menurut Laras. Ketika keduanya saling sibuk bekerja. Jarang berkomunikasi. Bahkan untuk bertatap muka saja, itu hanya terjadi sekali setiap hari sewaktu mereka sarapan pagi bersama.

10 tahun lamanya Laras dan Andi menjalani hubungan rumah tangga seperti ini. Dan hebatnya, mereka masih bertahan.

Malam hari. Di dalam rumah yang Laras tempati, terlihat ia baru saja menyelesaikan beberapa pekerjaan rumah. Setelah memastikan anaknya sudah tidur di kamar yang terpisah, Laras ingin beristirahat sejenak. Memanjakan dirinya dengan membawa secangkir teh hangat yang berada di tangannya.

Duduk menyendiri di taman kecil pekarangan rumahnya. Seteguk demi teguk, Laras coba berusaha menikmati teh hangat itu. Dengan isi kepala, yang entah sedang memikirkan apa. Ia terlihat melamun.

Semenjak hari ini, Laras belum sempat melihat Mas Andi lagi. Apalagi berbicara. Yang Laras tahu, mungkin Mas Andi masih beristirahat tertidur di dalam kamar mereka.

Perlahan. Tidak terasa waktu demi waktu begitu cepat berlalu. Hingga jam kecil di tangan Laras sudah menunjukan pukul 11 malam. Waktunya Laras untuk segera beristirahat tidur. Ia perlahan bangkit, meninggalkan pekarangan rumah lalu masuk dan mengunci pintu.

Laras sempat terpikirkan sesuatu. Apakah dengan ia memakai sebuah lingerie kasual abu-abu miliknya akan membuat Mas Andi lebih sedikit memperhatikannya? Atau setidak, melirik Laras yang masih berusaha mendapatkan perhatian lebih dari suaminya itu.

"Apa aku harus melakukan ini?" -Laras

Ucapan ragu Laras itu terdengar pelan. Ketika dirinya sudah berada tepat di depan kamar tidurnya bersama Mas Andi. Perlahan Laras membuka pintu itu, untuk memastikan apakah Mas Andi sudah bangun. Karena Laras merasa Mas Andi sudah tertidur cukup lama.

Keree ... Ket!

Pyuh~

Ketika sudah sedikit membuka pintu itu, hembusan pelan nafas dari mulut Laras terdengar. Karena ia masih melihat Mas Andi yang tertidur pulas di atas kasur. Usaha kecil Laras untuk sekedar mendapat perhatian kecil dari suami, terasa sia-sia.

"Apa aku terlalu berharap? ... Ah, sudahlah. Mungkin ia merasa sangat lelah hari ini." -Laras

Ketika Laras sudah tidak memperdulikan lagi usahanya dan ingin segera tidur untuk menjalani rutinitas yang membosankannya di kantor, sebuah tangan kecil menari dan menahan Laras yang ingin masuk kedalam kamarnya.

Tiba-tiba Dina terbangun dari tidurnya dan sudah berada di belakang Laras. Ketika Dina terbangun seperti ini, ia harus di temani Laras untuk bisa kembali melanjutkan tidurnya.

"Bu ... Aku takut ..."

"Bisakah Ibu menemani Dina tidur?" -Dina

Laras menatap Dina dengan penuh rasa kasih sayang. Ia tidak ingin, anaknya terlambat kesekolah atau kekurangan waktu tidurnya di usianya saat ini. Laras membuat wajah mereka sejajar. Dan berkata pelan sambil tersenyum.

"Tentu Dina! Ayok kita kembali ke kamar ... Ibu akan membacakan mu dongeng!" -Laras

Sebuah senyum kecil merekah di wajah Dina sambil mengangguk. Ketika ia merasa tenang dan senang, karena Laras mau menemani, bahkan membacakannya sebuah dongen cerita.

Mereka berdua, Laras dan Dina telah berada di dalam kamarnya tiduran. Laras membacakan dongeng cerita agar membuat Dina cepat tertidur kembali. Laras bercerita dengan suaranya yang lembut dan menenangkan. Membuat Dina terpejam betah berada di bantalan lengan Laras.

"Pada suatu hari ... Hiduplah seorang peri kecil yang cantik. Ia memiliki sebuah istana yang harus di jaga dari ..." -Laras

1 jam telah berlalu. Waktu yang cukup lama untuk Laras dapat membuat Dina kembali tidur. Laras menatap dan memastika bahwa Dina benar-benar tertidur. Ia perlahan menyingkirkan tangannya dan menggantinya dengan sebuah bantal berwarna putih.

Kemudian, Laras yang masih merebahkan tubuhnya menatap langit-langit kamar di atas kepalanya. Ia memutuskan untuk tidur di kamar Dina. Setelah usaha kecil ia merasa gagal, dan ada timbul sedikit perasaan malu bila Mas Andi melihatnya memakai lingerie pada Laras.

Ia menjadi tidak percaya diri. Takut malah terkesan Laras yang terlalu berharap untuk mendapat perhatian lebih dari suaminya. Walau justru sebenarnya itu yang Laras inginkan.

Laras menghembuskan nafas pendeknya. Mengatur nafasnya untuk menjaga kesehatan mental yang ia miliki. Perlahan, mata Laras terpejam dengan sendirinya. Menanti esok hari. Rutinitas kantor yang menurut Laras itu membosankan dan tetap harus di jalani.

Keesokan harinya. Kesibukan Laras sebagai Ibu rumah tangga di mulai kembali. Mulai dari menyiapkan keperluan Dina sekolah, sarapan pagi, bersih-bersih rumah, bahkan mengantar Dina kesekolahnya. Semua itu dilakukan Laras seorang diri. Tanpa pernah, Laras meminta untuk di puji oleh Mas Andi.

Ketika Laras sudah menyelesaikan beberapa urusannya. Laras yang sudah rapih dengan pakaian kantornya, sedang menyiapkan sarapan untuk Dina makan sebelum berangkat. Di meja makan itu, sudah tersedia beberapa lauk pangan yang terlihat lezat.

Laras ingin kembali masuk kedalam kamarnya. Untuk mengambil tas kerja yang tidak sempat ia bawa.

"Sebentar, yaa, Nak ... Ibu mau mengambil tas Ibu di kamar. Kamu duluan saja makan-nya!" -Laras

Dina yang sudah memegang alat makan, merespon Laras dengan senyuman yang membuat Laras mecium pipinya.

"Baik Ibu ... Terimakasih!" -Dina

Muach!

"Anak pintar." -Laras

Laras mempercepat jalannya menuju kamar. Dan Laras mengetahui, bahwa Mas Andi sedang bersiap-siap memakai pakaian kantornya. Ketika sudah mendekati pintu kamar yang terbuka, Laras berkata sedikit lebih keras agar terdengar oleh Mas Andi yang berada di dalam.

"Sarapan paginya, sudah aku siapin Mas ..." -Laras

Ketika membuka pintu kamar, Laras merasa kaget. Dengan beberapa pakaian Mas Andi yang tergeletak disana secara sembarangan. Di saat Laras yang sudah menyiapkan dan melakukan pekerjaan rumah. Mas Andi tidak pernah merubah sikap teledornya ketika meletakan pakaian dengan sembarang.

Ini merupakan kontak mata pertama mereka sejak kemarin. Andi yang sudah rapih dengan setelannya, terlihat sedikit membenarkan seragam kantornya. Setelah tidak merasa ada yang salah, Andi menjawab perkataan Laras dengan padat, singkat, dan jelas.

"Iya." -Andi

Andi berjalan melewati Laras. Sedangkan Laras, masih terdiam berdiri mematung melihat beberapa pakaian Andi yang masih tergeletak di sana-sini.

Perkataan Laras menghentikan langkah Andi. Dan dengan perasaan yang tidak merasa bersalah, Andi kembali memungut pakaiannya dan meletakannya di mesin cuci dapur.

"Pakaiannya kalau sudah tidak di pakai, tolong letakan di mesin cuci, yaa, Mas ..." -Laras

Andi kembali mengambil beberapa pakaian itu tanpa menjawab perkataan Laras. Dan berlalu pergi meninggalkan Laras sendiri di dalam kamar.

Laras membenarkan rambutnya kebelakang, karena terlihat sedikit berantakan. Dan sedikit terlihat mengatur nafasnya.

Semakin lamanya mereka menjalin rumah tangga, Laras merasa semakin tidak di hargai oleh Mas Andi. Tidak pernah bertanya apakah Laras merasa lelah? Bahkan untuk hal-hal kecil seperti ini, ia tidak pernah mau belajar untuk memperbaikinya.

Dan sering kali, hal-hal ini membuat Laras geram. Walau itu tidak Laras katakan, tapi ekspresi Laras seperti menunjukan hal lain.

Maka dari itu, Andi langsung menurut. Tidak pernah membantah Laras, tapi dengan perasaan sedikit terpaksa. Itu terlihat dari Andi yang tidak pernah menjawab ucapan-ucapan Laras ketika menyuruhnya.

Setelah urusan di rumah telah selesai. Laras mengantar Dina menuju sekolahnya dengan mobil pribadi milik Laras. Ketika mereka telah sampai di halaman sekolah Dina, sudah ada guru yang menyambut. Menunggu kehadiran Dina dan Laras.

"Pagi, Bu ..."

"Pagi, juga ..." Laras

Dina langsung mencium tangan Laras dan Ibu guru. Laras mendekatkan wajahnya sejajar dengan Dina. Memberikan nasihat agar Dina menjadi murid yang baik.

"Ibu tinggal, yaa ... Kamu baik-baik disini, oke?" -Laras

Senyum manis Laras membuat suasana pagi hari itu menjadi sangat cerah. Walau sudah memasuki usia 35 tahun, kecantikan Laras tidak pernah hilang sedikit pun.

"Baik, Bu ... Permisi ..." -Laras

"Mari ..."

Laras pergi meninggalkan mereka. Ketika ia sudah berada di tempat parkir mobil, ponsel di dalam tas Laras tiba-tiba berdering.

Drrtt ...

Drrtt ...

Laras melihat sebuah nama sahabatnya yang tertera di depan layar ponselnya. Laras merasa bingung, kenapa sahabatnya tiba-tiba menghubunginya sepagi ini.

"Maya? Tumben-tumbenan dia nelpon ... apa ada yang penting?" -Laras

Kemudian Laras menerima panggilan itu. Ketika Laras mencoba mendengar apa yang ingin Maya katakan, tiba-tiba suara tangisan Maya membuat Laras kaget.

Huhu ...

Aaaaa ...

Laras ...

"Maya? ... Ada apa May?" -Laras

"Gua baru aja di putusin La! Gua pengen ketemu lu ... Gua pengen cerita ... Huhuuu ..." -Maya

Mendengar itu, membuat Laras sedikit mengeluarkan suara seperti tertawa. Tapi kecil. Karena hal ini, bukanlah hal yang baru pertama kali terjadi.

Selama bersahabat dengan Maya, ia selalu menjadi korban perselingkuhan. Yang berakhir dengan hubungannya yang tidak lanjut.

"Lu baru aja ketawa, La?" -Maya

"Nggak, kok! ... Nggak ..." -Laras

"Ih, jahat banget sumpah! ... Aaaa" -Maya

"Yaudah, oke-oke maaf! Mau ketemu kapan, paling-paling gua bisa nanti sore ... Itu juga bawa Dina paling, nggak apa-apa?" -Laras

"Yaudah, nggak apa-apa ..."

"Nanti gua kabarin lagi tempatnya. Terimakasih, yaa ... Muaach! Byee!" -Maya

Lagi-lagi, Laras dibuat tertawa oleh tingkah sahabatnya ini.

"Haha, iyaa ... Bye." -Laras

Percakapan itu berakhir. Kini, Laras sudah mempunyai janji untuk bertemu dengan Maya nanti sore. Laras lagi-lagi menghembuskan nafas dan menggeleng-gelengkan kepalanya sebelum kembali masuk kedalam mobil.

Pyuuh~

Bersambung ...

Pertemuan

Setelah menjalani rutinitas yang membosankan di kantor, akhirnya jam pulang Laras dari perusahaan besar bernama "Aoin" itu tiba. Sudah waktunya Laras untuk menjemput Dina pulang dari sekolahnya.

Ketika berada di basement dan sedang memanaskan mobilnya, Laras teringat sesuatu akan janjinya untuk bertemu dengan Maya sahabatnya hari ini.

"Astaga! ... Hampir saja aku melupakan janji dengan Maya." -Laras

Laras mengecek ponsel miliknya, dan sekilas melihat jam tangan kecil kotak yang sedang ia pakai.

"Sudahlah. Dia juga belum mengirimkan lokasinya. Lebih baik, aku menjemput Dina terlebih dahulu ..."

Saat mobil Laras sudah ia rasa cukup panas, Laras langsung mengendarai mobil pribadi berwarna hitam itu keluar dari area perusahaan. Menuju ke tempat Dina bersekolah.

Beberapa menit berlalu. Laras yang sedang menunggu di gerbang sekolah akhirnya melihat Dina sedikit berlari ketika ingin menghampirinya.

"Ibu ..." -Dina

"Pelan-pelan sayang ... Jangan lari. Nanti jatuh!" -Laras

Mereka berdua 'pun berpelukan. Melepas rindu yang sempat tertahan dari masing-masing di depan seorang guru yang baru saja mengantar Dina. Seorang guru yang sudah mengantar Dina kepada Laras, izin mengundurkan diri untuk pamit pulang.

"Kalau begitu ... Saya izin pulang, yaa, Bu ..."

"Iyaa, terimakasih banyak!" -Laras

Kemudian, Laras dan Dina pergi meninggalkan area sekolah. Mengendarai mobil lewat jalan tol yang panjang dan lurus. Mata hari, bersinar cukup cerah hari ini. Di tengah-tengah perjalan Laras, ia menerima sebuah pesan.

Sebuah pesan dari Maya yang menunjukan lokasi tempat mereka akan bertemu di sebuah cafe umum pusat kota.

Ceting~

"Ini kita mau kemana, sih, Bu ... Kok belum sampai-sampai?" -Dina

Laras melihat pesan itu. Dan menggunakan map untuk pergi ke area tempat perjanjian mereka.

"Sabar, yaa sayang ... Kita akan cari makan dulu, sekalian Tante Maya mau ketemu kita!" -Laras

"Tante Maya? ... Asik!" -Dina

Dina sudah cukup lama tidak bertemu dengan Tante Maya. Dan ia jadi bersemangat ingin segera bertemu. Karena ketika sedang bersama Maya, Dina sering tertawa.

Sebuah senyum merekah di wajah manis Laras saat menyetir, ketika melihat anaknya merasa sangat senang. Dan Laras, kembali fokus mengendarai mobilnya.

Beberapa waktu kemudian. Ketika Laras dan Dina sudah sampai dan tengah berada di dalam cafe. Mencari-cari dimana keberadaan Maya yang berkata sudah memesan meja, ketika mereka sedang berbicara di telepon.

"Dimana, sih? ... Gua udah sampe di dalam ..." -Laras

Lalu kemudian, dari kejauhan, terlihat seorang wanita yang sedang berdiri. Wanita itu melambai-lambaikan tangan memberi kode agar Laras melihatnya. Wanita itu berdiri di samping salah satu meja yang berada di outdor dan seperti mengatakan sesuatu namun tidak terdengar oleh Laras.

Setelah beberapa usaha berlalu, akhirnya Laras melihat Maya yang sedang berusaha memberikan kode dari kejauhan. Mereka 'pun bertemu. Memesan makanan sambil mendengar curhatan dari Maya.

Dan benar saja dugaan Laras. Lagi-lagi, Maya telah jadi korban perselingkuhan dari perbuatan lelaki hidung belang. Maya sempat menangis ketika bercerita namun masih sempat tertawa. Karena keberadaan Dina disini, justru membantu memecah suasana sedih dari hati Maya.

Maya yang berhubungan secara LDR dengan mantannya, mendapati mantan Maya itu berselingkuh dengan perempuan lain. Maya tahu kabar ini dari salah satu temannya yang berada di satu kota yang sama dengan mantannya.

Sebuah foto dan video yang dikirim teman Maya itu menghancurkan dan membuat Maya bersedih untuk yang kesekian kalinya. Dan hal ini, sebenarnya sudah sering terjadi bagi Maya. Dan curhatannya, menjadi bahan makanan untuk Laras yang sering mendengarkan dia.

Laras mencoba menenangkan Maya. Membuat perasaan di hatinya menjadi sedikit lebih baik dengan beberapa motivasi yang ia bagi. Laras membagi pandangannya, dari seorang istri yang sudah menikah selama 10 tahun. Walau sebenarnya, pernikahannya sendiri masih perlu restorasi.

"Gua gatau lagi La, mau percaya lagi apa nggak sama lelaki." -Maya

"Sabar May ... Dengan begini juga 'kan, mental lu secara nggak langsung, tumbuh kebal jadi kuat ..." -Laras

"Yeeuu ... Ngeledek, lu, yaa?" -Maya

Laras tertawa kecil. Obrolan itu jadi hangat kembali. Ketika Maya, telah meluapkan kekesalannya hari ini. Dan orang yang bisa mendengarkan Maya, cuma Laras. Sahabat terbaik baginya.

"Pelan-pelan ... Makan-nya Dina sayang ..." -Maya

Maya terus mencubit pipi Dina, karena merasa gemas. Dan ada rindu yang sama untuk Dina. Melihat mereka akrab seperti ini, membuat Laras terpikirkan sesuatu. Tentang Mas Adi yang belum sempat ia buatkan makan sore. Laras merasa harus mengabarinya, meski ia tahu. Pesan yang Laras kirim hanya akan dibaca.

"Astaga ... Gua hampir lupa!" -Laras

Ia langsung membuka tasnya dan mencari ponsel miliknya. Untuk mengabari ke Mas Andi, bahwa ia dan Dina akan pulang sedikit terlambat hari ini.

Tiba-tiba, sebuah perkataan dari Maya yang seharusnya Laras tidak ingin Dina mendengarnya terucap secara spontan.

"Suami lu ... Masih kaya kulkas? Dingin ..." -Maya

Laras langsung mengedipkan matanya dengan cepat. Memberi kode isyarat bahwa disini masih ada Dina anak kecil. Laras sama sekali tidak ingin, hubungan rumah tangganya di ketahui oleh anak kesayangan satu-satunya ini.

Ssst!

Maya langsung terdiam dan mengecilkan perlahan suaranya. Ketika Dina hampir saja bisa jadi mendengar ucapan Maya.

"Ops! ... Maaf." -Maya

Laras langsung mengalihkan pembicaraannya namun tetap sedikit menjawab pertanyaan dari Maya. Agar suasana tidak menjadi absurd.

"Hmm ... Kalau waktunya nggak sempet, mungkin dia, gua bawain makanan dari cafe ini. Biar bisa dibawa pulang." -Laras

Maya mengangguk mengerti ucapan Laras. Dan kembali menyubit pipi Dina yang masih sibuk sendiri ketika sedang makan.

Di tempat parkir cafe. Ketika Laras dan Maya sudah menyelesaikan perbincangannya. Mereka kembali ke tempat mobil mereka berada masing-masing.

"Thank's, yaa La ... Buat hari ini. Gua jadi ngerasa lebih baik." -Maya

Laras merasa sedikit lebih berguna menjadi sahabat Maya, setelah mendengar rasa ungkapan apresiasi Maya walau hanya lewat kata-kata. Laras tersenyum kepada Maya dan memeluknya sebelum masuk kedalam mobil.

"Sama-sama ..."

"Ayok sayang, cium tangan Tante Maya ..." -Laras

Dina 'pun mencium tangan Tante Maya. Namun Maya, semakin gemas melihatnya. Memeluk Dina, mencium keningnya, bahkan lagi-lagi mencubit pipinya.

"Tolong jaga Ibu, yaa ... Turutin semua perkataan Ibu." -Maya

"Baik, Tante!" -Dina

Lagi-lagi, sebuah senyum merekah muncul di wajah manis Laras ketika melihat kedekatan mereka. Di iringi, sebuah tawa kecil yang ikut meramaikan suasana.

Mereka berdua 'pun saling masuk kedalam mobil masing-masing yang berada bersebelahan. Maya membunyikan klakson mobilnya sekali karena lebih dulu meninggalkan Laras.

"Waktunya, pulang~" -Laras

Beberapa waktu kemudian. Setelah Laras dan Dina baru saja memasuki halaman rumahnya dan memarkirkan mobil. Terlihat, mobil Mas Andi sudah berada di posisinya sejak awal. Lalu kemudian Laras membuka pintu. Dan berkata:

"Aku pulang~" -Laras

Tidak ada suara apapun disana. Kalimat Laras tidak ada yang menanggapi. Laras melihat jam di tangannya. Padahal, waktu baru menunjukan pukul 7 malam. Laras sama sekali tidak melihat tanda-tanda keberadaan Mas Andi.

"Apa dia sudah tidur?"

Laras mengantar Dina terlebih dulu ke kamarnya. Setelah mengantar Dina di kamar. Laras menemukan beberapa baju yang berserakan di atas sofa. Baju itu, adalah bekas seragam yang telah di pakai Mas Andi hari ini.

Laras mengambil kumpulan pakaian itu, seraya masih memegang box berisi nasi dan lauk yang telah ia pesan di cafe tadi. Ketika melihat kamarnya, Laras tidak melihat Mas Andi, ia malah tidak sengaja bertemu dan berpapasan dengan suaminya di lorong kecil yang menuju kamar mandi.

Terlihat Andi baru saja selesai dari membersihkan tubuhnya. Laras mencoba bertanya, memastikan tentang apakah ia sudah makan sore ini atau belum. Seharian ini, mereka baru saja dapat bertatap muka secara langsung seperti ini.

"Maaf Mas, aku pulang agak telat. Ini aku bawakan makanan." -Laras

"Kamu letakan saja di meja makan. Aku mau pakai baju." -Andi

Suami Laras itu langsung pergi meninggalkan Laras. Yang masih membawa beberapa tumpukan pakaian kotor yang baru saja Andi pakai hari ini. Serta nasi box yang sudah dengan sengaja ia pesan untuk Andi. Laras meletakan pakaian itu di mesin cuci.

Juga, meletakan nasi itu di atas meja makan. Sesuai permintaan Mas Andi. Ia mengecek pesan di ponselnya yang sampai saat ini hanya terbaca oleh suaminya.

Laras menatap lama kamarnya sendiri yang sudah tertutup pintunya. Dari meja makan, hembusan pelan suara nafas Laras tiba-tiba terdengar.

Pyuuh~

Kemudian, Laras pergi menuju kamar Dina. Membersihkan dan mandi bersama anaknya sebelum mereka tidur. Perlahan demi perlahan waktu terus melaju dengan cepat. Tidak terasa, Laras yang sudah menidurkan Dina, beranjak dari tempat tidur anaknya.

Laras ingin melihat apakah nasi yang sudah ia pesan telah dimakan. Dan ingin melihat apakah Mas Andi benar-benar sudah tertidur.

Persis apa yang sudah Laras pikirkan. Ketika Laras membuka pintu kamarnya, ia melihat Mas Andi sudah tidur. Ia berjalan ke meja makan untuk memastikan apakah nasi itu sudah di makan.

Lagi-lagi, Laras tertampar oleh realita yang sudah ia bayangkan. Nasi yang sudah ia belikan sama sekali tidak tersentuh. Tidak bergerak dan bergeser sedikit pun. Persis sama ketika Laras pertama kali meletakan itu.

Perlahan Laras memegang nasi box itu. Ia membukanya. Berusaha berpikir positif dan berharap nasi itu sudah tidak ada lagi di boxnya. Tapi lagi-lagi usaha dan harapannya sia-sia. Nasi itu sudah sangat dingin. Tidak ada yang menyentuhnya sama sekali.

Ingin sekali rasanya Laras berteriak saat ini. Untuk sekedar membuat Mas Andi sedikit saja menunjukan perhatiannya seperti dulu. Atau jika memang itu terlalu sulit, Laras ingin berteriak untuk membuat Andi mendengar jeritan hatinya. Walau suara itu mungkin yang akan Mas Andi dengar sangat pelan. Tapi setidaknya suara itu masuk ke telinganya.

Untuk yang kesekian kalinya, Laras menampung amarahnya sendiri. Mencoba tidak perduli dengan apa yang sedang terjadi kepada batinnya.

Pyuuh~

Lagi-lagi Laras berhembus. Karena bagi dirinya, hanya dengan cara itu ia mampu untuk setidaknya sedikit mengurangi perasaan resah dia. Di sela-sela perasaan seperti tidak di hargai muncul kembali pada diri Laras. Namun kali ini terasa lebih besar.

"Tidak bisakah, aku juga merasa lelah ... Atas apa yang sudah aku kerjakan?"

Keesokan harinya. Di dalam perusahan Aoin. Saat ini masih memasuki jam kantor. Dan masih banyak orang-orang yang bekerja di dalam perusahaan besar ini, berlalu lalang mengerjakan tugasnya masing-masing.

Tap ...

Tap ...

Tap ...

Terdengar suara orang yang berjalan dengan sedikit cepat. Orang ini ingin pergi menuju ruangan Bosnya untuk meminta tanda tangan atas proyek yang akan ia kerjakan.

Terlihat juga, di sebuah lorong-lorong perusahaan. Laras yang sedang membawa beberapa tumpukan berkas, juga ingin pergi menemui Bos di ruangannya untuk meminta tanda tangan.

Di moment yang bersamaan. Di saat mereka harus bertemu di satu jalan yang lurus memanjang, mereka secara kebetulan bertemu dan bertabrakan.

Bruuk!

Semua berkas yang mereka berdua bawa, jatuh berantakan. Berserakan hingga memenuhi lantai kantor yang mereka pijak.

Karena merasa harus cepat-cepat, mereka berdua kembali berusaha merapihkan masing-masing berkas yang mereka bawa. Dan secara tidak sengaja pula, sebuah tangan pria yang baru saja bertabrakan dengan Laras menyentuh tangannya.

Ketika mereka berdua yang sedang sama-sama berjongkok mengambil berkas. Melihat satu sama lain. Pandangan mereka sejajar. Bertemu dengan jarak yang bisa di bilang dekat dan menatap lama.

Deru nafas masing-masing dari mereka, dengan samar cukup terdengar. Dan Laras merasakan sebuah perasaan yang tidak bisa ia sendiri jelaskan. Mungkin, karena kedua tangan mereka masih bersentuhan sampai saat ini.

Beberapa saat kemudian, kesadaran Laras menghancurkan moment drama itu. Mereka kini telah selesai mengambil berkas yang jatuh dan kembali berdiri.

Pira itu tersenyum menatap Laras dan mulai memperkenalkan dirinya. Karena merasa bersalah sudah menabrak Laras, pria itu mengucapkan permohonan maaf sekalian berkenalan.

"Maafkan aku karena tidak melihat dan sudah menabrak mu. Apakah kamu tidak apa-apa?"

Karena sempat merasakan perasaan yang tidak bisa Laras jelaskan beberapa detik lalu. Laras tiba-tiba menjadi gugup.

"A-ah, iyaa. Tidak apa-apa ... Ini salah ku juga karena bertindak ceroboh." -Laras

Pria itu tersenyum. Mengulurkan tangannya untuk lebih sopan memperkenalkan dirinya.

"Perkenalkan ... Namaku, Riko!"

Laras menerima jabatan tangan itu, lalu melepaskannya kembali. Dengan sedikit perasaan gugup, Laras mencoba berusaha tersenyum memandang Riko dan berkata.

"Laras!"

Tidak lama setelah itu, datang sekertaris Bos perusahaan yang melihat mereka untuk langsung menghadap keruangan Bos.

"Permisi ... Mbak Laras, dan Pak Riko ... Di mohon untuk langsung segera menuju keruang Pak Bos."

Mereka berdua saling pandang. Karena merasa aneh kenapa tiba-tiba mereka bisa di panggil bersama secara tepat waktu. Mereka berdua pun berjalan bersama akhirnya, untuk menuju dan menghadap langsung Bos besar perusahaan Aoin yang bergerak dalam bidang desainer busana.

Ternyata, Riko adalah bagian eksekutif juga. Namun ia tidak bekerja di kantor perusahaan yang sama dengan Laras. Riko bekerja di anak perusahaan cabang Aoin, masih dalam satu nama. Sedangkan Laras, bekerja di perusahan Aoin pusat.

Riko di panggil kesini untuk mengerjakan proyek yang akan datang beberapa bulan lagi. Bos perusahaan, menunjuknya secara langsung untuk dapat bekerja sama dengan Laras.

Bos perusahaan sendiri, merasa hanya mereka berdualah yang tepat untuk menjalankan proyek besar di salah satu event yang akan di selenggarakan di Mall ternama.

Di dalam acara event itu, juga banyak brand-brand desainer besar yang ingin bersama mengajak kolaborasi langsung untuk memasarkan produk-produk dari masing-masing perusahaan. Brand-brand besar ini, ingin bekerjasama langsung di bawah nama besar Aoin.

Setelah mendengar penjelas secara langsung di dalam ruangan Bos. Laras dan Riko keluar secara bersama. Mereka berjalan menuju tempat meja kerja mereka masing-masing.

"Mohon Bantuannya, yaa, Bu Laras." -Riko

Riko menunduk memberi hormat kepada Laras. Dan hal itu, malah membuat Laras tidak enak. Padahal, Laras juga masih perlu sama-sama belajar untuk menjalankan sebuah proyek seperti ini.

"Ah, tidak ... Jangan seperti ini. Saya juga masih perlu belajar." -Laras

Laras yang mempunyai perasaan tidak enakan. Malah merasa canggung jika Riko terlalu memujinya. Ketika mereka berdua sedang berjalan sambil berbicang, tiba-tiba langkah kaki Laras goyang tidak seimbang.

"Eh?" -Laras

Membuat Laras harus terhuyung dan hampir terjatuh, jika saja Riko tidak cepat sigap menangkap tubuh Laras. Kini Laras sudah sepenuhnya berada di dalam dekapan Riko.

Hingga suara jantung Riko, bisa Laras dengar dengan sangat jelas. Lagi-lagi, perasaan Laras yang tidak bisa ia jelaskan itu muncul kembali. Membuat ia tidak bisa berkata apa-apa, ketika wajah mereka sangat dekat saling pandang.

Bersambung ...

Malam yang Sunyi

Jam kerja masih berlangsung. Laras yang sudah tersadar dari lamunannya, melepaskan pegangan Riko. Kini Laras merasa semakin canggung dengan Riko. Pria yang baru saja menjadi partner di kantornya hari ini.

Sudah dua kali hari ini, Laras melakukan tindakan ceroboh yang membuat dirinya merasa tidak enak dengan Riko.

"Maaf, aku tidak sengaja. Itu terjadi begitu saja dan aku hanya reflek." -Riko

Tidak ingin berlama-lama di dalam situasi seperti ini, Laras langsung mengajak Riko untuk melihat beberapa koleksi-koleksi busana yang baru saja rilis musim ini dari Aoin.

"Tidak apa-apa. Hmm ... Mari kita lihat beberapa koleksi-koleksi busana di perusahaan ini sebagai bahan bertimbangan untuk pekerjaan kita nanti." -Laras

Dan akhirnya, Laras dan Riko 'pun pergi kesebuah tempat di dalam perusahaan, yang menjadi lokasi dari penyimpanan koleksi-koleksi busana mewah.

Terlihat ada dua orang pekerja yang sedang menjaga tempat itu di depan pintu kaca. Ketika melihat Bu Laras datang, kedua pekerja itu tersenyum dan memberi salam hormat kepada Bu Laras dengan sedikit membungkuk.

Laras merespon tindakan pekerja itu dengan senyumannya yang elegan. Dan dengan sapaan kecil yang hangat. Kedua pekerja itu langsung membuka pintu kaca yang sedang mereka jaga, agar Bu Laras dapat masuk ke dalam.

Merasa harus mengucapkan sesuatu sebelum masuk, Laras dengan rasa rendah dirinya mengatakan kalimat.

"Permisi~" -Laras

Ketika mereka berdua telah berada di ruang walk-in closet perusahaan, ada sistem rak khusus yang menggunakan mesin untuk menyimpan beberapa pakaian yang berharga tinggi.

"Wow!" -Riko

Riko melihat beberapa kabinet yang sangat mewah. Rak-rak berbaris yang membungkus gaun mewah untuk menjaga kualitas bahan. Di ruangan yang luas ini, terdapat perbandingan yang cukup jauh. Di banding, anak perusahaan cabang Aoin tempat Riko bekerja.

"Apakah, ini semua milik perusahaan?" -Riko

"Tidak semua. Sebagian, ada yang milik perusahaan lain. Yang sudah membuat kontrak dengan Aoin untuk bersama di pajang di acara event nanti." -Laras

"Untuk sistem penyimpanan disini, cukup mewah. Berbeda dengan anak perusahaannya sendiri." -Riko

"Benarkah?" -Laras

Setelah Laras mengajak Riko berjalan-jalan untuk melihat beberapa koleksi gaun mewah yang akan di bawa pada acara event, Riko ingin mengajak Laras untuk melihat koleksi gaun di perusahaan tempatnya bekerja.

"Apakah, kamu ingin melihat beberapa koleksi di perusahaan tempat ku bekerja juga? Kurasa ada beberapa model yang cocok untuk bahan event disana." -Riko

Awalnya Laras sempat ragu. Ia juga sempat melirik jam tangan kecil yang dipakai di lengan kirinya. Karena ini menyangkut pekerjaan, Laras pun bersedia. Bekerja secara profesional.

"Baiklah ..." -Laras

Kemudian, mereka berdua pun pergi meninggalkan walk-in closet besar itu. Menuju basement perusahaan, tempat mereka berdua menyimpan kendaraan.

Sebelum sampai di area basement. Ketika Laras dan Riko sedang jalan bersama di dalam perusahaan. Terlihat beberapa kali Riko yang selalu membuka pintu masuk untuk Laras. Membuat Laras berjalan dengan sempurna, dan terlihat elegan.

Walau Laras merasa sempat tidak enak, tapi Laras tidak mengatakan itu. Setiap perhatian-perhatian kecil dari Riko seperti ini, mulai terasa di Laras. Layaknya seperti seorang ratu yang berjalan dengan pengawalnya.

Riko melakukan itu bukan tanpa alasan. Entah itu hanya perihal pekerjaan, atau hanya ingin membuat Laras menunjukan senyumnya. Alasan itu, hanya Riko yang mengerti. Laras sempat terpikirkan sesuatu ketika sekilas melihat punggung Riko dan ketika mendapatkan perhatian-perhatian kecil darinya.

"Orang ini ..." -Laras

Beberapa menit berlalu, selama mereka berjalan akhirnya Laras dan Riko sampai di basement. Mereka berjalan masuk ke dalam mobilnya masing-masing.

Kemudian, terlihat Laras sedang kesulitan untuk menghidupkan mobilnya. Hal itu, di perhatikan Riko yang sudah berada bersiap mengemudi di dalam mobilnya. Suara mobil berdengung terdengar beberapa kali.

Euung ...

Eungg ...

Sampai ketika beberapa menit telah berlalu. Laras akhirnya sadar mengapa mobilnya tidak mau hidup. Laras melakukan hal ceroboh lainnya ketika ia lupa untuk mengisi bahan bakar bensin.

"Astaga ... Bagaimana bisa aku lupa hal seperti ini?" -Laras

Melihat diri Laras yang tampak kesusahan, Riko pun turun dari mobilnya. Berjalan mendekati mobil Laras dan bertanya apa masalahnya. Terdengar suara kaca pintu mobil Laras yang di ketuk.

Tok ..

Tok ..

Tok ..

Laras membuka kaca mobil, agar mendengar suara Riko yang berdiri di samping kaca mobilnya. Berulang kali juga terlihat ekspresi resah di wajah Laras ketika ia menaikan rambut pendeknya kebelakang. Membuat kulit putih bersih di lehernya sekilas terlihat.

"Ada apa, Bu?" -Riko

"Soal itu ..." -Laras

Riko melihat jarum pada bahan bakar bensin mobil Laras sudah berada di posisi merah. Walau awalnya ragu, Riko menawarkan untuk Laras berangkat bersama menaiki mobilnya.

"Hmm .. Bagaimana, kalau kita pergi bersama menggunakan mobil saya?" -Riko

Entah mengapa, perkataan itu sedetik membuat Laras merasa kaget. Ia langsung teringat tentang Mas Andi. Walau sebenarnya ini hanya keperluan perkerjaan, tapi Laras merasakan hal lain.

"Ah, tidak perlu ... Saya bisa menaiki TO (sebuah angkutan berbasis online)" -Laras

Namun Riko, tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Dimana ia bisa bersama duduk bersebelahan dengan Laras. Ia pun bertanya sekali lagi untuk memastikan jawaban Laras.

"Apa Ibu Laras yakin? ..." -Laras

Laras diam beberapa saat. Memikirkan jika bersama dengan Riko, itu sebenarnya bisa menghemat waktu dan tidak ada salahnya juga. Di tengah perasaannya yang gelisah, Laras melihat dan memegang cincin kawinnya.

Dan pada akhirnya, Laras pun menyetujui ajakan Riko untuk pergi bersama. Melihat beberapa gaun di perusahaan tempatnya bekerja. Mereka berdua pun akhirnya berangkat bersama menggunakan mobil Riko.

Disisi lain. Terlihat Andi sedang sibuk dengan pekerjaan di kantornya. Beberapa halaman lembar kerjanya yang ia buka, terlihat menumpuk di hadapannya. Sepertinya ada tanda-tanda bahwa ini akan menjadi hari kerja yang panjang untuk Andi.

Seorang Bos berpenampilan rapih masuk keruangan Andi dengan tiba-tiba. Ia ingin mengatakan kepada Andi untuk lembur hari ini. Untuk membuat beberapa laporan yang cukup terbilang banyak.

Ketika pria itu masuk, Andi sontak berdiri memberi hormat kepada atasannya itu. Dan merapihkan pekerjaan yang berada di meja saat itu terlihat sedikit berantakan.

"Pak, Andi. Tolong lembur hari ini yaa. Perusahaan kita sedang di kejar waktu." -Bos Andi

Pira itu membawa beberapa map yang akan di serahkan untuk Andi kerjakan hari ini. Ia memberikan pekerjaan tambahan untuk hari ini.

"Ini dokumen-dokumen yang harus kamu cek!" -Bos Andi

Seraya tersenyum dan tetap bersikap sopan, Andi menjawab permintaan Bosnya itu yang sangat membebankan Andi sebenarnya. Bagaimana lagi, orang itu adalah yang mengupahkan Andi selama ini. Andi harus menuruti semua permintaannya.

"Baik, Pak. Saya akan usahakan hari ini semuanya selesai." -Andi

"Baiklah. Terimakasih sebelumnya ... Untuk urusan ini, saya percaya sama kamu." -Bos Andi

Pria gemuk itu tersenyum dan pergi meninggalkan ruangan Andi, setelah semua urusannya pekerjaan telah diserahkan kepada Andi. Suara pintu yang di tutup kemudian terdengar.

Cekelek!

Andi menghela nafas panjang. Dan duduk kembali di kursi kerjanya. Memegang bagian depan kepalanya, yang membuat ia sedikit lelah dan merasa penuh tanggung jawab.

Sebuah ponsel Andi yang tergeletak di hadapannya, hampir tidak tersentuh olehnya akibat banyaknya pekerjaan. Dimana ia sewajarnya mengabarkan kalau hari ini ia harus kerja lembur mengabari Laras.

Beberapa saat kemudian, seorang pekerja perempuan yang menjadi Office Girl di perusahaan itu datang membawakan Andi sebuah kopi. Perempuan itu di minta oleh si Bos untuk membawakan Andi kopi.

Bermaksud agar Andi tetap fokus mengerjakan pekerjaannya dari niat baik sang Bos perusahaan. Suara pintu dan suara wanita terdengar dari luar ruangan Andi.

Tok ...

Tok ...

Tok ...

"Permisi ..."

"Ya. Silahkan masuk" - Andi

Perempuan itu membuka pintu ruang kerja Andi. Membawa nampan berisi secangkir kopi dengan senyum di wajahnya. Sekilas, Andi sempat menatap wajah wanita itu. Dan, kembali lagi mengerjakan pekerjaan yang ada di hadapannya.

"Permisi Pak ... Saya disuruh mengantar kopi keruangan ini."

Dengan sikap yang dingin seperti kepada Laras, Andi kembali menjadi kepribadian yang bersikap cool. Ia berbicara sambil mengerjakan pekerjaannya.

"Letakan saja disana ..." -Andi

Kemudian, wanita itu meletakan cangkir berisi kopi di meja kerja Andi. Ketika wanita itu hendak ingin pergi meninggalkan ruangan Andi. Tiba-tiba Andi yang sibuk di tengah pekerjaannya bertanya.

"Tunggu!" -Andi

"Hm?"

"Saya baru melihat kamu di kantor ini. Apa kamu baru bekerja disini?" -Andi

Wanita yang merasa malu itu menunduk dan menangguk pertanyaan Andi.

"Benar, Pak ..."

"Siapa nama kamu?" -Andi

"Mia, Pak" -Mia

Andi tersenyum dan mengatakan terimakasihnya karena telah di bawakan kopi untuknya. Dan ia sepertinya harus bilang itu.

"Terimakasih, yaa, Mia" -Andi

Mia pun tersipu malu saat menatap Pak Andi. Ia merasa tidak pantas jika terlalu lama berada di ruangan ini.

"Sama-sama Pak ... Kalau tidak lagi yang di perlukan, saya izin pamit" -Mia

Kemudian, Mia pun pergi meninggalkan ruangan itu. Dan Andi, melamun cukup lama. Seraya, terus memperhatikan cangkir yang berisi kopi itu. Sebelum ia kembali melanjutkan pekerjaannya.

Disisi lain. Riko dan Laras sedang pergi menuju kantor perusahaan yang menjadi tempat Riko bekerja.

Selama di dalam perjalanan mereka, Riko malah lebih sering fokus memperhatikan Laras yang duduk di sebelah kursinya sambil bermain ponsel. Di banding fokus menyetir mobilnya.

Entah karena Laras merasa di perhatikan atau tidak, dan dengan sengaja atau tidak. Laras tiba-tiba berbatuk kecil sekali sambil terus menatap layar ponselnya.

Ekhem!

Dan karena hal itu pula, Riko langsung dengan cepat kembali memfokuskan dirinya untuk menyetir. Beberapa waktu kemudian, tibalah mereka berdua di perusahaan Riko bekerja. Dan melihat-lihat semua koleksi gaun yang ada disana.

Ketika sedang melihat beberapa baris gaun yang terpajang di salah satu ruangan, Riko menanyakan pendapat dari Bu Laras.

"Bagaimana, menurut Ibu? Apakah gaun-gaun dengan model klasik seperti ini, layak untuk di pamerkan?" -Riko

Laras melihat-lihat gaun yang berada di hadapannya. Dan sesekali memegang bahan dari gaun tersebut. Dari beberapa banyaknya produk yang Laras lihat. Ada satu yang menarik perhatiannya.

"Kurasa, dari semua gaun yang berada disini. Ini yang paling cocok. Untuk mengangkat tema "Putri" di acara event nanti." -Laras

Kemudian, tanpa sadar atau tidak, Riko langsung mengambil gaun yang menurut Laras bagus itu. Dan mencocokannya dengan Laras yang berada di sampingnya.

"Lihatkan ... Saya rasa, bukan seorang putri pun pantas memakai yang seperti ini ..." -Riko

Mendengar itu, membuat Laras merasa malu. Ia menunduk dan mengalihkan pandangannya dari Riko yang terus melihatnya sambil tersenyum manis.

"Ah, maafkan saya ... Bu. Saya tidak bermaksud ..." -Riko

"Sudahlah ... Kita ambil ini saja untuk di bawa ke perusahaan." -Laras

Mereka pun memutuskan untuk membawa gaun itu. Dan, karena jam kerja telah berakhir, Laras pun bermaksud ingin segera pulang. Namun merasa bingung ketika mobilnya masih kehabisan bensin.

Selama mereka berjalan keluar perusahaan yang menjadi tempat Riko bekerja, Laras memikirkan hal yang tidak-tidak, tentang perkataan Riko tadi.

"Sadar Laras ... Apa yang kamu pikirkan."

Kini Laras dan Riko telah berada di luar area perusahaan. Setelah melakukan pekerjaan yang cukup melelahkan hari ini pun. Mereka berdua merasa lega.

Pikiran tentang mobil Laras yang menghantuinya, terus terbesit. Laras merasa pusing kenapa masalah-masalahnya tidak pernah berjalan dengan baik.

Riko yang melihat itu dan sadar apa yang tengah Laras pikirkan, mengucapkan sesuatu. Riko sebenarnya telah menyuruh orang bengkel langganannya, untuk menderek dan mengisi bensin mobil Laras. Ketika Laras sedang sibuk bermain dengan ponselnya, Riko berkata tiba-tiba.

"Ibu Laras tidak perlu khawatir. Saya sudah menyuruh orang bengkel untuk mengurus mobil Ibu ..." -Riko

Laras yang bingung dengan ucapan Riko. Menatapnya dengan penuh keheranan.

"Hm?"

"Mobil Ibu sudah diisi bahan bakarnya oleh orang-orang bengkel langganan saya. Karena saya tidak tahu alamat Ibu, saya menyuruh mereka meletakan mobil itu kembali di perusahaan Aoin." -Riko

Mendengar Riko yang terus membantunya, membuat Laras menjadi tidak enak dan merasa berhutang budi atas kebaikan Riko.

"Astaga ... Benarkah? Sebenarnya kamu ..." -Laras

"Tidak, apa ... Anggap saja ini sebagai salam perkenalan kita hari ini, karena saya sendiri merasa senang bisa bekerja sama dengan Ibu Laras." -Riko

"Apa maksudnya senang? ... Bukankah, ini hanya sebuah pekerjaan yang wajar?"

Kalimat itu terucap di pikiran Laras ketika mereka saling bertatapan muka secara langsung. Riko selalu tersenyum ketika Ibu Laras melihatnya.

"Tetap saja ... Saya jadi merasa tidak enak" -Laras

Riko tersenyum lagi ketika melihat ekspresi Laras saat ini di hadapannya. Hari ini, Riko benar-benar sangat berlaku baik kepada Laras.

"Apa perlu saya mengantar Ibu Laras lagi ke Aoin?" -Riko

"Ah, tidak-tidak. Saya akan naik TO saja sekarang ... Dan harusnya, mobil jemputan saya sudah datang ..." -Laras

Beberapa menit kemudian, mobil yang dimaksud Laras tiba untuk mengantarnya menuju Aoin. Dan Laras mengucapkan terimakasih untuk hari ini karena telah banyak di bantunya.

"Kalau begitu ... Saya pamit. Terimakasih sebelumnya." -Laras

"Sama-sama." -Riko

Kemudain, Laras menaiki TO itu. Dan meninggalkan Riko yang masih berdiri melihat kepergian Laras.

Beberapa jam telah berlalu. Kini Laras sudah berada di rumahnya. Duduk menyendiri di taman kecilnya memakai lingerie favoritnya sambil memegang secangkir teh.

Setelah mendapatkan hari yang menyenangkan, kini Laras malah di hadapkan oleh realita yang sunyi dari sebuah rumah tangga. Dimana Mas Andi yang seharusnya terlihat di dalam, tapi tidak ada.

Beberapa kali perasaan senang, resah, dan takut mulai silih berganti berada di dalam pikiran Laras. Setelah melihat kamar mereka kosong tidak ada orang, Laras memutuskan untuk tidur bersama Dina lagi malam ini.

Ponsel yang sedari tadi Laras pegang, tiada henti-henti ia periksa. Ragu untuk bertanya mengenai suaminya sendiri. Melihat, respon Mas Andi yang selalu dingin kepadanya.

Pyuuh~

Laras mulai merebahkan tubuhnya di samping Dina yang sudah tertidur pulas. Membelai pelan dengan mesra rambut anaknya. Di tengah-tengah kesunyian ini, suara pesan masuk baru saja berbunyi dari Mas Andi.

Celenting~

"Aku lembur."

Sebuah pesan yang sangat singkat baru saja di baca oleh Laras. Walau ia merasa bingung, kenapa Mas Andi baru sempat mengabarinya sekarang. Melihat jam besar di dinding sudah menunjukan pukul 10 malam. Laras membalas pesan singkat itu dengan sama cueknya.

"Baiklah. Aku mengerti." -Laras

Anehnya, ketika melihat nama Mas Andi, Laras malah sekarang teringat sosok Riko. Pria yang membuat Laras merasa lebih hidup kembali. Lewat perhatian-perhatian kecil yang di berikan untuknya.

Sorot mata merasa senang ketika menatapnya, dan perasaan aneh yang tidak bisa Laras ceritakan. Lalu, sebuah kalimat yang datang entah dari mana, terucap di dalam kepala Laras sebelum memejamkan matanya.

"Apakah, aku benar-benar sudah merasakan apa yang namanya kebahagian?"

Bersambung ...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!