"Apakah ada yang ingin kamu beli sebelum pulang? Singgah untuk makan malam misalnya?"
"Boleh, deh! Kebetulan aku juga sedang lapar."
"Ingin makan apa?"
"Terserah."
Bumi menghela napas panjang ketika mendapatkan jawaban dari calon istrinya. Kenapa, sih, perempuan itu susah ditebak? Tidak bisa to the point saja kalau menginginkan sesuatu. Jika ditawari, pasti menolak. Nih, Bumi coba kalau tidak percaya.
"Nasi padang?"
Rania yang sedang fokus pada ponsel mengerut. "Ini sudah malam, aku tidak bisa makan berat. Nanti berat badanku bertambah dan gaun pengantin yang sudah dipesan bisa saja tidak muat saat aku pakai dihari H."
"Berlebihan, Rania. Makan berat satu kali tidak akan membuat tubuhmu langsung mengembang seperti adonan roti."
"Bahkan aku tidak pernah mengomentari bentuk tubuhmu, 'kan?" Lanjutnya.
Menurut Bumi, Rania terlalu perfeksionis dalam segala hal, terutama pada dirinya sendiri. Sampai terkadang Rania tidak sadar kalau apa yang dia lakukan bisa saja menyiksa dirinya sendiri. Contohnya seperti saat ini.
Bumi membasahi belah bibirnya. "Jadi, mau makan apa? Atau langsung pulang saja?"
"Tapi aku lapar, aku ingin makan," Rania mengerucutkan bibir dan memandang luar jendela mobil. Ada banyak pedagang yang sedang melayani pembeli, rata-rata setiap gerobak pasti ada antrian pembeli. Mungkin karena hari ini adalah hari Minggu, banyak anak muda yang keluar dan mencari udara segar. "Bagaimana kalau salad sayur?"
"Dari tadi pagi kamu belum makan makanan berat, kamu akan pingsan besok ditempat kerja," Sebelum Rania menyahut, Bumi sudah lebih dulu menyela. "Jika kamu tidak mau makan karena gaun itu, lebih baik kita batalkan saja. Memakai gaun sewa sepertinya tidak seburuk itu."
"Hei!"
"Maka turuti omonganku. Ingin makan, atau gaun impianmu itu aku batalkan."
Pemaksaan! Rania hanya bisa menggerutu dalam hati. Mana berani, nanti Bumi akan mengancam lebih buruk saat Rania melawan lebih jauh. Maka, setelah mempertimbangkan sedikit, Rania pun berkata.
"Ya sudah! Aku ingin nasi Padang! Tapi jangan salahkan aku kalau uangmu berkurang karena aku akan makan banyak nantinya!"
Bumi tersenyum miring. "Bukan masalah besar untukku."
Dan benar saja perkataan Rania saat dimobil tadi. Rania memakan semua hidangan yang sudah disediakan, bahkan nasi putih sudah tambah dua kali. Bumi sampai terkejut melihat Rania mampu menghabiskan banyak makanan, dia saja dari awal mengambil belum tambah lagi.
Bumi tersenyum sambil memperhatikan Rania. "Makan apapun yang ingin kamu makan, jangan sampai kamu sakit karena menahan diri untuk tidak menikmati banyak makanan. Aku tidak akan berkomentar jika tubuhmu terlihat berisi. Bukankah itu malah terlihat sexy?"
Rania menghela napas mendengar kalimat terakhir Bumi. Ia kembali menyuap makanan, dan jujur saja, ini terasa sangat nikmat. Apa mungkin karena satu bulan ini Rania menjalani diet? Bisa jadi.
"Aku hanya ingin memiliki tubuh langsing saat kita menikah nanti agar terlihat cantik saat foto pernikahan, itu akan abadi dan dilihat oleh anak dan cucu nantinya."
Soal pernikahan, mereka ber-dua sudah menyiapkan dari jauh hari, dan sekarang tinggal menunggu sekitar satu Minggu lagi acaranya digelar. Bumi dan Rania sengaja memilih tanggal cantik untuk pernikahan mereka.
Menjalin hubungan sejak masa sekolah menengah pertama tidak begitu mudah jalan yang mereka lalui. Sempat ada penolakan dari orang tua Bumi saat awal-awal diperkenalkan, orang tua Rania pun sempat menolak karena ingin putri sulungnya fokus bekerja dan membiayai kuliah adiknya sampai tamat. Namun karena perjuangan ke-dua-nya, Rania dan Bumi mendapatkan restu, bahkan satu langkah lagi menuju pelaminan.
"Ngomong-ngomong, apa setelah menikah aku harus keluar dari pekerjaan?" Menambah piring ayam pop untuk ke-dua kalinya. Ya, biarkan Rania mengisi perut sampai puas sekarang.
"Itu terserah kamu saja, aku tidak memaksa dan memberikan aturan ketat. Aku tidak mau kamu merasa kehilangan jati diri setelah menikah denganku."
Rania bekerja sebagai florist disalah satu toko bunga yang ada dikota ini. Gajinya lumayan karena setiap hari toko selalu ramai, tak jarang Rania mendapatkan bonus lebih dari bos-nya. Sedangkan Bumi, ia bekerja sebagai agen properti disebuah perusahaan.
Rania meraih botol air mineral kemudian meneguknya beberapa kali. Sambil meletakkan botol air mineral, Rania pun berkata. "Sepertinya tidak apa-apa kalau berhenti bekerja. Lagipula aku sudah cukup lelah bekerja, aku ingin merasakan bagaimana rasanya dinafkahi."
Begitu kalimat berakhir, tawa lembut mengudara dari ke-dua belah pihak. Padahal tidak ada yang lucu dari kalimat Rania. Dia memang sudah bekerja keras selama ini, rela tidak kuliah demi adiknya. Kata ayah dan ibu, mereka tidak bisa menguliahkan dua-duanya sekaligus, berakhir Rania yang harus mengalah.
Sudah bekerja pun Rania masih saja tidak bisa menikmati hasil jerih payahnya sendiri. Ayah dan ibu Rania memaksanya untuk membagi uang untuk Ambar.
"Sudah?" Bumi bertanya sembari mengelap mulut menggunakan tisu. Ia pun bertanya setelah memastikan bahwa Rania sudah menyelesaikan acara makan.
Kepalanya mengangguk-angguk. "Sudah."
Bumi segera membayar. Dan benar saja seperti dugaan, uang yang harus ia keluarkan tidak sedikit, menyentuh angka satu juta. Tapi nominal itu tidak membuat Bumi merasa menyesal, ia bersikap santai dan membayarnya, baru setelah itu mereka pulang.
"Sampai jumpa."
Bumi tersenyum manis ke-arah Rania. "Sampai jumpa satu Minggu lagi. Aku pasti akan rindu bertemu denganmu selama satu Minggu ini, bisa jadi aku akan meriang esok hari."
"Sangat berlebihan," Katanya. Tapi meski begitu, Rania tetap tersenyum malu.
"Aku tidak berlebihan—,"
"Sudah sudah! Sana pulang! Nanti semakin larut tidak berani pulang sendiri, lagi. Akan repot jika minta ditemani pulang."
"Kamu pikir aku anak kecil?"
"Ya ya, sudah sana, pulang!" Mengibaskan tangan didepan wajah Bumi. Rania benar-benar mengusir Bumi sekarang.
"Baiklah, aku akan pulang sekarang. Jangan rindu padaku, rindu itu berat, biar aku saja yang menanggung rindu."
"Sepertinya aku pernah mendengar kalimat itu."
"Ya. Aku mendengar kalimat itu saat Laras menonton film diruang tengah bersama teman-temannya kemarin."
Rania tertawa singkat. "Lain kali cari kata-kata yang lebih romantis. Tapi harus kamu yang membuatnya sendiri, jangan membaca atau mendengar gombalan orang lain."
"Dan aku langsung menyerah," Mengangkat ke-dua tangannya ke udara. "Aku tidak akan bisa merangkai kalimat manis untukmu. Yang aku bisa hanya memberikan kepastian dalam bentuk tindakan."
"Ya, terserah, tuan! Lebih baik sekarang pulang dan istirahat."
"Baiklah," Bumi memandang wajah Rania dengan senyuman terpatri dibibirnya. Entah kenapa tidak ada kata bosan menjalani hubungan dengan Rania, malah, Bumi merasa jatuh cinta berulang kali setiap memandang wajah perempuan itu.
Merasa dirinya terus ditatap, Rania membalasnya dengan berani. "Jangan menatapku atau nanti kamu akan jatuh cinta lebih dalam."
"Tidak perlu diperingati, karena memang sudah terjadi. Aku mencintaimu sangat dalam. Jika diibaratkan mungkin seperti hamparan laut, sangat luas dan tidak ada batasnya."
"Lebay dan mulai melantur. Sepertinya kamu mengantuk karena terlalu banyak makan," Sambil memutar bola matanya malas. "Jika kamu tidak mau pergi, maka biar aku yang pergi lebih dulu," Memutar tubuhnya dan langsung meninggalkan mobil Bumi didepan gerbang. Tanpa menolah satu kali lagi, Rania hilang dari pandangan bumi dalam waktu singkat.
Dan benar saja, setelah Rania masuk rumah, mobil yang dikendarai Bumi mulai bergerak menjauh. Rania yang diam-diam mengintip dari balik tirai pun menghela napas lega.
"Mbak—,"
"Astaga!" Rania memegang dada dan memutar tubuhnya ke arah sumber suara. Hal itu benar-benar membuatnya terkejut, karena dia pikir sudah tidak ada orang yang masih terjaga. Beberapa lampu juga sudah dimatikan sebenarnya.
"Kamu baru saja pulang?"
"Iya, Bu."
"Katanya hanya mencari cincin, kenapa sampai malam? Apa tempatnya sangat jauh?"
Belah bibir Rania terkatup rapat begitu menyadari bahwa Mina sedang menyindirnya. "Kami jalan-jalan dulu sebelum pulang, kamu sengaja menghabiskan waktu bersama karena mulai besok kita tidak akan bertemu sampai hari pernikahan."
"Tapi pulang malam bersama pria yang belum menjadi suami akan menjadi omongan tetangga. Kamu tahu itu, 'kan?"
"Kami tidak melakukan apapun selain belanja dan jalan-jalan—,"
"Dikasih tahu menyahuti terus!"
Rania terdiam setelah Mina menyentak keras, ibu nya terlihat sangat emosi, dan Rania tidak tahu kenapa. Apakah ada yang salah? Bukankah Rania dan Bumi sudah terbiasa pulang malam saat menghabiskan waktu bersama? Kali ini Mina terlalu emosional menurutnya.
Memperbaiki letak paper bag ditangan kanan. "Aku ingin ke kamar dan istirahat. Kalau ibu butuh sesuatu, panggil aku saja."
Baru dipijakan kaki ke-dua, Rania menghentikan langkahnya saat suara Mina kembali terdengar.
"Adikmu perlu membeli laptop baru untuk kuliah, laptop yang lama sudah rusak dan tidak bisa digunakan lagi."
"Lalu, apa urusannya denganku?" Bertanya tanpa membalikkan tubuhnya menghadap Mina.
"Tentu saja menjadi urusanmu!"
Tangan dibawah sana mengepal. "Aku tidak mau. Satu Minggu lagi aku akan menikah, tentu uang yang aku kumpulkan selama ini akan aku gunakan untuk biaya pernikahan," Memutar tubuh dan menatap wajah Mina. "Ayah dan ibu saja tidak memikirkan biaya pernikahanku. Jadi, untuk apa aku memikirkan orang lain?"
"Ambar bukan orang lain! Dia adikmu!"
"Jika tidak ada pembahasan lain yang ingin dibicarakan, aku pergi dulu."
Rania kembali memutar tubuh dan mulai melangkah menjauh. Ia biarkan teriakan Mina memenuhi ruang tamu, rasanya tidak akan ada habisnya meladeni Mina, itu akan membuatnya semakin sakit hati dan emosi.
Begitu sampai dikamar, Rania melempar paper bag ke sembarang arah dan dibiarkan teronggok diatas lantai. Kemudian Rania melempar tubuhnya ke atas ranjang, lalu menutup wajah menggunakan ke-dua lengan.
"Sampai sekarang ibu masih saja mementingkan kepentingan Ambar daripada aku. Padahal, aku sudah banyak mengalah dan menuruti keinginan ibu, tapi ibu tetap tidak menyayangiku."
Helaan napas terdengar diheningnya ruang kamar, bersamaan dengan gerakan tangan terkulai diatas kasur, sedangkan sorot matanya menatap langit-langit kamar.
"Apa mungkin aku anak pungut? Tapi tidak mungkin, banyak orang yang bilang kalau aku sangat mirip dengan ibu sewaktu muda. Jadi seratus persen aku adalah anak ibu dan ayah."
Tidak mau ambil pusing, Rania bergerak mengubah posisinya menjadi duduk. Lebih baik ia segera cuci muka dan sikat gigi, besok masih harus bekerja sebelum berpamitan pada pemilik toko bunga.
......................
Hari berganti, diawali dengan Rania yang sedang merias diri didepan cermin. Sebenarnya ia sudah menyelesaikan riasan, hanya tinggal memoleskan lipstik, lalu memakai parfum.
"Hari terakhir kerja," Bibir merah muda itu melengkung membentuk sebuah senyuman diakhir kalimat. Detik selanjutnya, Rania menarik tas selempang miliknya, lalu berjalan keluar kamar untuk sarapan.
Saat Rania turun dilantai satu, ternyata makanan sudah berjajar diatas meja. Ibu, ayah, lalu adik perempuannya juga sudah duduk dan menyantap sarapan dengan tenang.
Rania meletakkan tas selempang dikursi, baru kemudian ia mendudukkan dirinya. Belum lama tangannya terangkat mengambil nasi, suara Anton terdengar menyapa.
"Ayah dengar dari ibu, kamu tidak mau membelikan laptop baru untuk Ambar. Apa benar?"
Tangan kanan Rania berhenti diudara. Detik selanjutnya, Rania kembali menarik tangannya dan menyentuh meja.
"Aku memang tidak mau membelikan dia laptop baru."
Ayah menatap putri sulungnya lamat-lamat. "Kenapa? Ambar sangat membutuhkan laptop itu untuk kuliah, dia akan lulus sebentar lagi."
"Lalu?"
"Maksudmu?"
"Urusannya denganku apa, ayah? Dia yang kuliah, harusnya dia bisa membelinya sendiri tanpa merepotkan aku. Ayah juga masih bekerja, 'kan? Kenapa tidak ayah saja yang membelinya?"
"Apa kakak tidak kasihan pada ayah—,"
"Kalau kamu kasihan, kenapa kamu tidak menabung dari awal kuliah? Apa kamu juga tidak kasihan padaku? Aku bekerja dan tidak diperbolehkan kuliah sepertimu, apa kamu tidak malu menjadi beban? Bisanya hanya meminta dan merengek—,"
"RANIA!"
"Jangan memarahi adikmu!"
Rania tertawa hambar saat mendengar bentakan dari ayah dan ibu bergantian ditujukan padanya. Ya, itu semua mereka lakukan hanya untuk membela Ambar. Bahkan ayah sedang memeluk Ambar sekarang, entah sejak kapan adiknya menangis terisak.
Rania berdecih, lalu beranjak dari duduknya. Tanpa sepatah kata, Rania mulai meninggalkan ruang makan, tak peduli tenggorakan ibunya akan sakit karena terlalu banyak berteriak dipagi hari.
Rania berharap waktu satu Minggu tidak lama lagi, ia sudah tidak betah tinggal dirumah ini, ia ingin segera pergi dan tinggal jauh dari keluarga yang selalu membuatnya sakit.
Sebelum bekerja Rania menyempatkan diri untuk mampir membeli bubur ayam dan teh hangat dipinggir jalan untuk sarapan, letaknya tidak jauh dari toko bunga tempatnya bekerja.
Walaupun tidak bisa menikmati makanan, Rania tetap memaksa setiap sendok bubur tertelan agar ia tidak lemas nantinya.
Rania sedikit menyayangkan bagaimana ia mengawali hari dengan suasana hati kurang baik. Padahal, hari ini adalah hari terakhir Rania bekerja.
Lonceng toko terdengar pertanda pintu dibuka dari luar. Ajeng, si pemilik toko yang sudah bersiap sejak tadi pun menoleh, ia segera mengulas senyuman begitu mendapati Rania berjalan mendekat.
"Tumben sedikit telat. Apa jalan raya sudah macet?"
Bergerak melepaskan tas selempang. "Tidak. Aku mampir sarapan diwarung bubur ayam depan sana sebelum ke sini, mungkin itu yang membuatnya lama. Buburnya sangat panas," Bisiknya diakhir kalimat.
Ajeng tertawa mendengar bisikan Rania. "Bagus, dong! Itu tandanya baru dimasak, bukan sisa kemarin yang dijual lagi."
"Ya, mungkin. Tapi enak kok, tidak mengecewakan sama sekali, mungkin juga karena aku dalam keadaan lapar," Tak lama, Rania mengeluarkan sesuatu dari dalam tas selempang miliknya, lalu ia taruh diatas meja tepat didepan Ajeng.
"Apa ini?" Seraya mengambil keras diatas meja dan membuka untuk melihat isinya. "Kamu akan menikah? Besok?"
"Bukan besok juga, mbak. Itu sudah ada hari, jam, dan tanggalnya yang tertera."
"Iya, tapi sama saja! Ini tidak lama lagi."
Mengulas senyuman. "Aku mengundang mbak Ajeng untuk datang. Jangan sampai lupa?"
"Tentu saja aku tidak akan melupakannya!" Ajeng berdiri dan memeluk tubuh Rania. "Selamat, ya? Semoga lancar sampai hari H."
"Terimakasih."
"Oh, dan apakah kamu juga akan berhenti bekerja setelah menikah?" Tanya Ajeng setelah pelukan ke-dua-nya terlepas.
"Sepertinya iya. Hari ini aku akan bekerja sekalian meminta ijin untuk berhenti bekerja, jadi, hari ini adalah hari terakhir aku bekerja."
Mendadak Ajeng menekuk wajahnya. Rasanya jadi sedih, karena sudah lama ia dan Rania bekerja bersama dibawah atap yang sama. Tidak akan lagi Ajeng temui karyawan baik dan bertanggung jawab seperti Rania, kalaupun ada, pasti rasanya akan berbeda. Ajeng mengusap sudut mata yang tiba-tiba saja dibasahi likuid bening.
"Kenapa berhenti? Tunda saja punya momongan, dan bekerja lebih lama untuk dirimu sendiri. Jangan terlalu mengandalkan laki-laki."
"Tapi aku sudah cukup lelah untuk bekerja. Mbak Ajeng sendiri juga tahu, 'kan? Aku bekerja sejak lulus sekolah menengah pertama. Jadi, aku rasa sudah cukup, saat ini tinggal menikmati nafkah dari suami."
Sedikitnya Ajeng juga tahu apa alasan Rania bekerja setelah lulus sekolah menengah pertama dibanding melanjutkan sekolah lebih jauh, alasannya adalah orang tua Rania hanya ingin membiayai putri bungsunya. Katanya karena Rania tidak sepintar adiknya.
Ya, mungkin memang benar. Tapi menurut Ajeng, Rania adalah anak pekerja keras, mau berusaha, dan tidak malu bertanya. Awal-awal bekerja, Rania sedikit kesusahan, dan terkadang menangis di toilet belakang toko. Ajeng tahu sebenarnya, tapi tidak pernah membahas lebih lanjut pada Rania.
Rasa lelah dan tertekan saat hari pertama bekerja memang ada, Ajeng juga pernah merasakannya dulu saat bekerja ikut orang, tepatnya sebelum mendirikan toko bunga.
"Terserah kamu aja, deh. Lagipula kalau memang suami kamu bisa menanggung semua kebutuhan dan menafkahi dengan baik, ya, lebih baik santai dirumah saja. Aku juga kalau punya suami yang mau menanggung semua biaya hidupku, sudah pasti aku akan menutup toko."
"Tapi aku tidak yakin mbak Ajeng akan rela menutup toko hanya untuk bersantai dirumah," Katanya sambil tertawa renyah. "Orang yang terbiasa bekerja keras, lalu santai, pasti badannya akan terasa sakit karena terlalu banyak tidur."
"Termasuk kamu?"
"Aku tidak. Aku bukan pekerja keras seperti mbak Ajeng."
Ajeng mengibaskan tangan kanannya diudara, hidungnya kembang-kempis karena malu. "Kamu juga pekerja keras, jangan memujiku secara berlebihan, nanti aku akan jadi orang sombong karena terlalu banyak menelan pujian."
Rania tertawa melihat ekspresi Ajeng, terlihat merah seperti kepiting rebus. Padahal dipuji sesama perempuan. Bagaimana kalau Ajeng dipuji seorang pria? Rania tidak bisa membayangkan bagaimana ekspresi Ajeng.
"Jadi, harus mulai darimana aku bekerja?"
Mendengar hal itu, spontan pandangan Ajeng menyapu sekitar, coba melihat pekerjaan apa yang harus dilakukan oleh Rania.
"Aah. Kamu membereskan tangkai ini saja, sudah berserakan dimana-mana. Nanti tidak enak kalau ada pelanggan datang tapi keadaan toko masih berantakan."
Kepala Rania mengangguk-angguk dan mulai mengerjakan perintah Ajeng. Baru menyentuh sapu, suara Ajeng kembali terdengar.
"Setelah selesai membersihkan ruangan bagian dalam, bagian depan juga, ya? Setelah itu baru merangkai bunga untuk pesanan nanti siang."
"Siap!"
...----------------...
[Ibu: Saat pulang tolong belikan martabak telur untuk Ambar. Hari ini dia kurang enak badan, belum makan dari siang dan menginginkan martabak telur untuk dimakan.]
Rania langsung menghela napas begitu selesai membaca pesan dari ibunya. Ini pukul enam sore, Rania baru keluar dari toko dan akan pulang sebentar lagi. Berharap mendapatkan pesan dari Bumi, Rania malah membaca pesan dari Mina yang tidak jauh-jauh berhubungan dengan Ambar.
Tanpa membalas pesan, Rania menyimpan ponsel didalam tas selempang, lalu bergerak memakai helm. Meki begitu Rania akan membelikan martabak telur dipinggir jalan nanti. Ya, daripada harus menghadapi situasi menyebalkan karena pesanan Ambar tidak ia bawa.
Sekitar lima menit berkendara, Rania berhenti dipinggir jalan untuk membeli martabak telur. Selain martabak telur, Rania juga membeli terang bulan, jaga-jaga kalau keinginan Ambar berubah. Siapa yang tahu?
"Baru pulang kerja, neng?"
Rania yang tadinya melamun menatap jalanan, kini maniknya bergulir pada penjual yang sedang membuatkan pesanan miliknya.
"Iya, pak."
"Sepertinya kamu masih muda, seumuran dengan anak saya. Bedanya dia tidak mau bekerja dan memaksa ingin kuliah. Untung saja jualan selalu ramai setiap hari, jadi saya bisa menuruti keinginan dia," Jeda sejenak. "Tapi akhir-akhir ini saya pusing. Entah lihat dari siapa, tiba-tiba dia meminta handphone baru. Yang mahal itu, loh. Mana mampu saya, neng."
Jujur saja Rania tidak tahu harus merespon bagaimana. Yang pasti, Rania sedikit iba kepada bapak penjual itu. Sudah terlihat renta namun masih harus berjualan dan berjuang untuk anaknya.
"Memangnya bapak tidak menolak?" Setelah menimbang sedikit lama, Rania memutuskan untuk bertanya.
Bapak penjual itu memutar setengah tubuhnya untuk menatap Rania sejenak. "Bagaimana caranya menolak? Kalau menolak pasti anak saya akan mengamuk dan barang dagangan saya pasti akan diacak-acak."
"Saya tidak punya anggota keluarga yang lain, hanya dia yang saya punya. Jadi sebisa mungkin saya ingin membahagiakan anak saya," Sambungnya.
Rania sedikit terenyuh mendengar penuturan bapak penjual. Terlepas dari sikap anaknya yang kurang ajar, tapi bapak itu masih mau berusaha membahagiakan anaknya, mengusahakan apapun bagaimana caranya.
Tidak seperti Rania. Dia benar-benar dilepas dan tidak dipedulikan lagi oleh ayahnya. Merelakan satu anak demi anak yang lain, membiarkan salah satu anaknya bekerja keras sendirian.
"Neng, ini pesanannya sudah selesai."
"Ah, iya," Rania segera berdiri dan menerima uluran plastik berisi pesanannya. "Ini uangnya. Untuk bapak saja semua, tidak perlu dikembalikan."
Manik penjual itu melebar melihat kertas berwarna merah yang diberikan, ia menatap Rania dengan pandangan tak percaya.
"Ini terlalu banyak. Sebentar, saya ambilkan kembalian—,"
"Tidak perlu, sudah tidak perlu. Anggap saja itu rejeki bapak dari Tuhan dengan saya sebagai perantara."
Penjual itu tersenyum dan membungkukkan badannya beberapa kali. "Makasih, neng. Semoga Tuhan mengganti lebih banyak."
"Terimakasih, pak. Dan, do'akan semoga pernikahan saya lancar, ya?"
"Amin! Semoga kamu dan calon suami kamu diberikan rejeki lebih banyak. Semoga pernikahan kalian langgeng sampai maut memisahkan."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!