NovelToon NovelToon

Bukan Upik Abu

Bukan Upik Abu Eps 1

Ruang keluarga setelah makan malam besar. Regina membantu Ibu Mertua membereskan meja makan, sementara Kak Mira dan Kak Sandra, ipar-ipar Regina, duduk di sofa, mata mereka sesekali melirik sinis.

"Wah, rajin sekali ya, Regina. Ibu sampai dibantu begini. Yang lain kan biasanya sudah menarik selimut," ucap Kak Mira, menghela napas panjang, pura-pura sibuk dengan ponselnya. Nada bicaranya bagai lebah yang menyengat, manis namun beracun.

"Ah, nggak apa-apa, Kak Mira. Sudah jadi kebiasaan Regina membantu Ibu," balas Regina, senyumnya setipis sutra, menumpuk piring kotor dengan hati-hati.

"Iya, kebiasaan. Tapi memang beda ya, kalau yang satu ini kan pintar sekali mengambil hati. Lihat saja penampilannya, selalu rapi dan wangi. Padahal... ya, tahulah," timpal Kak Sandra, matanya menyapu Regina dari ujung rambut hingga ujung kaki, tatapannya setajam belati.

Regina hanya menghela napas pelan, namun senyumnya tak luntur. Ia memilih membungkam, tak ingin menyulut api.

"Sudah, sudah. Regina ini memang anak baik, Mira, Sandra. Kalian ini ada-ada saja. Regina, Nak, sini istirahat dulu. Biar Ibu saja yang lanjut," Ibu Mertua muncul dari dapur membawa nampan berisi teh hangat. Tatapannya yang semula lembut kini berubah tajam, bak elang melindungi anaknya.

Regina dengan cepat mengambil alih nampan dari tangan Ibu Mertua. "Tidak apa-apa, Bu. Biar Regina saja. Ibu kan sudah capek seharian memasak dan menyiapkan segalanya."

"Tidak apa-apa, Nak, ayo duduk," ucap Bu Nani, sang ibu mertua, mengiring Regina ke sofa, di mana kedua menantunya yang lain sudah menunggu dengan tatapan menilai.

Mira adalah istri Indra, anak pertama Bu Nani. Indra bekerja sebagai supervisor di sebuah CV elektronik. Mira sendiri berprofesi sebagai marketing kendaraan bermotor, menjual mimpi kemewahan pada setiap konsumennya.

Sandra adalah istri Bagas, anak kedua Bu Nani. Bagas bekerja di salah satu minimarket berlogo merah, biru, dan kuning. Sandra, anak seorang lurah di kota B, kota tetangga tempat tinggal Bu Nani, memilih bersantai di rumah, menikmati limpahan rezeki dari sang suami. Baginya, hidup adalah panggung dan ia adalah primadonanya.

Regina adalah istri Bima, anak ketiga Bu Nani. Bima hanyalah lulusan SMK, berbeda dengan kedua kakaknya yang sempat mencicipi bangku kuliah meski tak sampai selesai karena terbentur biaya. Bima, menyadari keterbatasan sang Ibu, memilih mengubur mimpinya dan langsung bekerja. Bahkan, selama bersekolah di sekolah menengah kejuruan, ia mampu membiayai sekolahnya sendiri.

Suami Bu Nani telah berpulang karena penyakit jantung yang menggerogotinya. Kala itu, biaya pengobatan melambung tinggi, sementara akses ke kota bagai mimpi di siang bolong, terutama saat hujan mengguyur jalanan, mengubahnya menjadi kubangan lumpur yang menghalangi harapan.

Bima bekerja sebagai mandor bangunan. Proyek yang tengah ia awasi adalah sebuah gedung yang digadang-gadang akan menjadi mall pertama dan terbesar di daerah C.

"Aduh, liburan kemarin seru banget ya, Mira. Kita harus sering-sering liburan ke luar negeri gini," ucap Sandra sambil melihat-lihat foto di ponselnya.

"Betul, Sandra. Biar nggak penat sama kerjaan. Lagian, sayang kan kalau punya uang banyak tapi nggak dinikmati," Mira mengangguk setuju.

"Nikmati hidup itu nggak harus ke luar negeri terus, Mira. Yang penting bisa berkumpul sama keluarga," timpal Ibu Mertua.

"Iya, Bu. Tapi kan beda rasanya kalau bisa liburan mewah, menginap di hotel bintang lima, belanja barang-barang branded," ucap Sandra mencibir pelan.

"Apalagi kalau suami penghasilannya besar, jadi kita nggak perlu mikir dua kali buat menghamburkan uang," Mira menambahkan, sambil melirik ke arah Regina.

"Liburan di Indonesia juga banyak tempat yang bagus kok, Kak. Yang penting bisa refreshing," Regina berusaha tidak terpancing, tetap fokus meniup segelas teh yang masih mengepulkan asap.

"Iya sih, tapi kan nggak se-eksklusif liburan ke Eropa atau Amerika. Lagian, kalau liburan di Indonesia, nanti ketemu sama... orang-orang yang itu-itu saja," Sandra tertawa sinis, menekankan kata "orang-orang" dengan nada merendahkan.

"Eh, Sandra, lihat deh gelang berlian baru aku ini. Bagus kan? Suamiku yang beliin pas ulang tahun kemarin," Mira menyela sambil memamerkan gelangnya.

"Wah, cantik banget! Pasti mahal ya?" Sandra mengagumi gelang itu.

"Lumayan lah. Tapi kan sebanding sama kualitasnya. Berliannya asli semua," ucap Mira dengan bangga.

Regina hanya tersenyum, karena ia sangat tahu kualitas gelang yang dimiliki Mira. Itu hanyalah sebuah cinderamata yang dijual sebagai oleh-oleh, kilaunya pun tak mampu menutupi kepalsuannya.

Sandra melirik Regina yang tertawa dalam hati. Ia memandang remeh Regina.

"Kamu kenapa? Menertawakan kita ya? Padahal kamu juga nggak punya barang-barang branded seperti aku dan gelang berlian seperti Kak Mira," ucap Sandra sinis, membolak-balikkan lengan Regina, seolah mencari sesuatu yang berharga di sana.

Regina hanya diam, bagai karang yang kokoh diterjang ombak. Mereka tidak tahu saja, semua yang disebutkan Sandra, ia memilikinya. Barang-barang itu tersimpan rapi di rumah orang tuanya, dan hanya ada segelintir orang yang mampu memilikinya, sebuah kemewahan yang tersembunyi di balik kesederhanaannya.

Ada yang mau tahu kelanjutan kisah nya?

Bukan Upik Abu Eps 2

Pagi itu cerah, namun mentari seolah enggan menyinari hati Regina. Keluarga berkumpul, wajah-wajah mereka dilukiskan dengan kepanikan dan amarah yang membara. Regina sendiri duduk di sudut sofa, tatapannya kosong seperti sumur yang telah lama ditinggalkan.

"Bagaimana ini? Mana pengantin pria?" tanya penghulu, suaranya memecah keheningan yang sudah berlangsung hampir satu jam. Waktu terasa seperti jarum yang menusuk-nusuk kesabaran.

Hanya Arya, sang pengantin pria, yang belum menampakkan diri. Keluarganya sudah lebih dulu tiba di kediaman mempelai wanita, membawa serta harapan yang kini terasa seperti pasir yang lolos dari genggaman.

Drap... drap...

Suara langkah kaki memecah keheningan yang menyesakkan. Itu Rian, kakak dari pengantin laki-laki.

Rian ingin berbicara, namun kata-kata itu terasa berat di lidahnya, seperti batu yang menghalangi aliran sungai. Tapi ia tahu, semua harus ia katakan sekarang, jika ia tak ingin keluarganya menanggung malu yang lebih dalam.

"Arya..., Arya pergi bersama Natasya," jawabnya ragu. Suaranya nyaris tak terdengar, seperti bisikan angin yang membawa berita buruk. Kebenaran itu bagai petir di siang bolong, menghancurkan harapan yang tersisa.

"Apa? Bagaimana bisa, Rian? Kenapa kamu tidak mencegah adikmu?" ucap Ibu Rian, suaranya pecah seperti kaca yang terjatuh, sembari mengguncang tubuh anak pertamanya.

Rian terdiam, lidahnya kelu. Ia melihat raut wajah kekecewaan yang terpancar dari keluarga Regina, bercampur dengan amarah yang membara seperti api yang siap membakar habis segalanya. Bahkan, dari mata ayah dan ibunya sendiri, terpancar kekecewaan yang lebih tajam dari pedang.

Sebelumnya...

"Berhenti di depan," ucap Arya, nadanya datar tanpa ekspresi.

"Kenapa?" tanya Rian, alisnya bertaut. Namun, ia tetap menuruti permintaan adiknya itu. Perlahan, ia mulai mengurangi kecepatan dan berhenti di pinggir jalan. Tak lama, sebuah mobil putih berhenti di sebelah mobilnya, memecah keheningan jalanan.

"Natasya?" gumam Rian, matanya membulat.

Natasya melambaikan tangannya pada Rian, senyumnya bagai duri yang menusuk hatinya.

Arya membuka jas putihnya, simbol pernikahan yang kini terasa seperti lelucon pahit, dan memasukkannya ke mobil milik Rian. "Aku nggak bisa menikah dengan Regina," ucapnya sambil berlari kecil memasuki mobil milik Natasya, meninggalkan Rian yang terpaku dalam kebingungan.

Rian terdiam, otaknya belum mampu mencerna setiap kata yang diucapkan oleh Arya. Kata-kata itu bagai bom waktu yang baru saja meledak di dalam kepalanya. Setelah mobil yang dikendarai Natasya pergi, barulah kesadarannya pulih.

Rian memukul setir mobil dengan keras, melampiaskan amarah dan frustrasinya. "Akh... bodoh kamu, Rian! Apa yang harus aku katakan pada ayah dan ibu? Akh... sialan kamu, Arya!" geram Rian, suaranya bergetar menahan emosi yang meluap-luap.

Rian segera melajukan mobilnya menuju rumah Regina, pikirannya kalut bagai benang kusut. Entah apa yang nanti akan ia ucapkan, yang penting ia harus sampai di rumah calon iparnya itu secepat mungkin.

Bugh...

Sebuah pukulan telak menghantam pipinya, bagai palu godam yang meremukkan tulang.

Ayah Rian memukul anak pertamanya, amarahnya meledak bagai gunung berapi. Ia tak bisa berkata-kata, hanya desisan geram yang keluar dari bibirnya.

Orang-orang di sekitarnya segera memegangi tubuh Pak Seno, mencegah amarahnya berlanjut.

Rian hanya diam, memegangi pipinya yang terasa sakit dan panas. Namun, ia tahu jika rasa sakit ini tak sebanding dengan rasa malu yang kini menghantui kedua orang tuanya akibat ulah sang adik.

"Ke mana dia?" tanya Regina dengan wajah datar, tatapannya setajam belati. Nampak jelas ia tengah menahan tangis dan amarah yang siap meledak kapan saja.

"Pergi bersama Natasya," ucap Rian pelan, suaranya bagai bisikan angin yang membawa berita duka. Namun, kata-katanya masih dapat didengar oleh semua orang yang hadir.

Regina mengangguk pelan, lalu ia berjalan pelan menaiki tangga, menuju kamarnya yang berada di lantai atas. Langkahnya gontai, seolah beban dunia berada di pundaknya.

Di dalam kamar, Regina menangisi nasibnya yang malang. Mengapa pria yang ia pilih untuk menjadi imamnya justru melukainya sedalam ini, bahkan tega lari dengan mantan pacarnya? Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya yang sudah sembab.

Sayup-sayup, Regina mendengar seruan "Sah!" dari lantai bawah rumahnya. Suara itu bagai petir yang menyambar hatinya. "Apa? Siapa yang menikah?" gumam Regina dalam hati, bingung dan penasaran.

Ia mematut wajahnya di cermin, melihat pantulan dirinya yang kacau balau. Wajahnya pucat, matanya sembab, dan bibirnya bergetar. Ia mengambil tisu untuk menyapu sisa air matanya, mencoba mengembalikan sedikit harapan yang tersisa.

Suara pintu diketuk, memecah lamunannya. Ia dengan malas berdiri dan membuka pintu kamarnya.

Di balik pintu, sang ibu terlihat tenang dan bahagia, senyumnya merekah bagai bunga di musim semi. Di belakangnya ada Maria, seorang utusan MUA yang tadi pagi meriasnya.

Sang ibu masuk ke kamar Regina, lalu menuntunnya untuk duduk di meja rias. Maria memulai aksinya, membersihkan make-up yang sudah tujuh puluh persen memudar, bagai menghapus kenangan pahit yang baru saja terjadi.

Kuasnya dengan lincah menari di atas wajah mulus milik Regina, bagai seorang pelukis yang sedang menciptakan sebuah karya seni. Ya, Regina memang rajin merawat wajahnya, bukan dengan skincare mahal, namun lebih karena warna kulitnya yang kuning langsat, warisan dari sang ibu.

"Nah, sudah cantik lagi," ucap Maria dengan suara yang dibuat selembut mungkin, dan tak lupa tangannya melambai dengan gemulai.

Sang ibu tersenyum, matanya berbinar. "Ayo, kita temui suamimu," ucap sang ibu, menggandeng lengan Regina dengan penuh kasih sayang.

Satu demi satu anak tangga dilewati oleh ibu dan anak itu, bagai mendaki gunung yang terjal. Tak... tak... tak... Suara high heels yang dikenakan oleh Regina memecah keriuhan di lantai bawah, bagai denting lonceng yang mengumumkan kedatangan seorang ratu.

Mata Regina bertemu dengan mata sang pria yang kini telah menjadi suaminya. Bima, ya, si supir pribadi ayahnya, kini menjelma sebagai suaminya. Transformasi yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.

Sang ibu menuntun anaknya untuk duduk di sebelah Bima, yang kini sudah menjadi menantunya. Bima segera memegang kepala Regina dengan lirih, sentuhannya lembut bagai belaian angin.

Dengan khusyuk, Bima berkata, "Allahumma inni as'aluka khairaha wa khaira ma jabaltaha alaihi, wa a'udzubika min syarriha wa syarri ma jabaltaha alaihi." Artinya: "Ya Allah, aku memohon kepada-Mu kebaikannya dan kebaikan watak yang Engkau ciptakan padanya, dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukannya dan keburukan watak yang Engkau ciptakan padanya."

Air mata Regina luruh, bagai hujan yang tak dapat dibendung lagi. Matanya yang merah menatap pria yang kini telah menjadi suaminya, Bima.

Dengan hati-hati, Bima memasangkan cincin miliknya yang kebesaran di jari mungil Regina. Cincin itu bagai janji yang belum sempurna, namun penuh dengan harapan.

"Untuk sementara ini dulu ya, nanti kita keluar cari cincin kawin," ucap Bima lirih, suaranya bagai bisikan doa.

Regina hanya terdiam, membisu dalam kebingungan. Bima dengan pelan menyalimkan tangannya pada wajah Regina yang mematung, sentuhannya lembut namun terasa asing.

Ia tahu, ini sangat tidak mungkin baginya dan Regina, tapi hatinya lah yang menuntunnya untuk mau menjadi suami pengganti anak majikannya. Hatinya bagai kompas yang menunjuk ke arah yang tak terduga.

Bukan Upik Abu

Jangan lupa tinggalkan jejak di kolom komentar ya...

Bukan Upik Abu Eps 3

Malam pengantin adalah malam terindah yang dinanti setiap pasangan yang telah sah menjadi suami istri. Namun, malam itu terasa hambar bagi Regina dan Bima.

Dua tubuh saling membelakangi, duduk di tepi ranjang queen size. Keheningan menggantung di antara mereka, setebal tirai yang menutupi jendela.

"Apa maumu?" tanya Regina ketus, memecah sunyi.

"Ini tidak gratis, Nona," jawab Bima sambil menyunggingkan senyum tipis.

"Lalu?"

"Aku tidak mengajakmu membuat kesepakatan. Aku hanya menyetujui kesepakatan dengan ayahmu," ucap Bima, kemudian beranjak ke jendela, menyibak tirai dan menatap bulan purnama yang bersinar sempurna, bagai mata uang perak di langit malam.

"Kamu tidak ingin beristirahat, Nona? Apa kamu mau mengenakan gaun berat itu sampai besok pagi?" goda Bima, suaranya bagai beludru yang menusuk.

"Ehm..." Regina ragu. Jari-jarinya meremas ujung gaun yang seharian ini membebaninya.

"Bantu aku," akhirnya kata itu lolos dari bibir mungil Regina, lirih seperti bisikan angin.

Bima tersenyum tipis. Ia sudah mengerti, namun sengaja menunggu Regina memintanya. Sebelumnya, Regina memang sudah masuk ke kamar mandi sebelum membuka percakapan. "Aku mau membersihkan diri," ucapnya. Namun, beberapa menit di dalam sana, tak terdengar gemericik air mengalir. Tak lama, Regina keluar dari kamar mandi, masih mengenakan gaun putih yang berat itu.

Bima meraih resleting gaun di bagian punggung Regina. Benar saja, resleting itu macet. "Oh... jadi, ini yang membuatnya urung membersihkan diri," gumam Bima dalam hati.

Bima berjalan menuju kamar mandi. Regina heran dengan sikap pria yang selalu bersikap dingin padanya itu. Pintu kamar mandi tidak ditutup. Regina memiringkan kepalanya, mencoba melihat apa yang dilakukan pria itu.

Tak terlihat oleh mata Regina, Bima sudah keluar dari kamar mandi dengan telapak tangan terbuka, seolah meminta sesuatu. Pria itu berjalan ke belakang tubuh Regina. Sesaat, Regina merasakan hawa dingin seperti ada cairan yang tumpah di punggungnya.

Regina mencoba bergerak, namun dengan cepat ditahan oleh tangan Bima. Kreeeeek... bunyi resleting yang akhirnya terbuka. Hawa dingin langsung menyapa kulit punggungnya. Sesaat, Regina lupa siapa yang membantunya membuka resleting.

Bima menatap punggung mulus nan putih di hadapannya, bagai kanvas kosong yang mengundang sentuhan. Tangannya perlahan terangkat, ingin menyentuh, namun imannya masih kuat menahan. Ia menarik tangannya dan berdeham.

"Sudah, mandi sana," ucapnya, lalu berjalan menuju ranjang dan merebahkan diri dengan lengan menutupi mata.

Regina tersadar. Ia segera mengangkat roknya dan masuk ke dalam kamar mandi. Mendengar pintu kamar mandi terkunci, Bima menghela napas kasar. Ia meraih segelas air putih di atas meja dan meneguknya hingga tandas.

Ceklek....

Terdengar suara pintu kamar mandi terbuka. Aroma sabun menguar, mengusik penciuman Bima yang sedari tadi hanya berbaring, berusaha menormalkan sesuatu di bawah sana.

"Bersihkan dirimu," ucap Regina, meletakkan handuk baru di perut Bima. Sentuhan itu bagai sengatan listrik yang membuatnya tersentak.

Bima langsung beranjak dan menyampirkan handuk tersebut di bahunya, lalu berjalan menuju kamar mandi.

Regina mengambil satu bantal, lalu berjalan ke arah sofa, meletakkan bantal dan selimut yang baru saja diambilnya dari lemari. Kemudian, ia keluar dari kamar menuju dapur, hendak mengambil sesuatu.

Bima sudah selesai. Ia keluar dari kamar mandi mengenakan boxer pendek dan mengeringkan rambutnya yang masih basah. Pandangannya mengedar mencari sesuatu, namun hampa.

Suara pintu terbuka menampilkan sosok wanita. Tubuhnya mungil, tidak kurus, namun tidak gemuk juga. Ia tampak kesulitan menutup pintu karena tangannya tengah memegang nampan berisi makanan dan minuman. Aroma bakso menusuk hidung Bima, membangkitkan selera.

Regina menangkap sosok pria dari ekor matanya. Dengan malas, ia berteriak, "Tolonglah," ucapnya, suaranya bagai desahan tertahan.

Dengan cepat, Bima mengambil nampan dari tangan Regina. Regina pun menutup pintu. "Oh... lumayan berat, pantas saja suaranya seperti itu," gumam Bima lirih.

Mendengar seperti ada suara, Regina pun menegurnya, "Apa?" tanya Regina pada Bima. Bima hanya menaikkan kedua bahunya, tanda ia tak tahu.

Kening Regina bertaut heran. Lalu, tanpa sengaja, pandangan matanya jatuh pada boxer yang dikenakan oleh Bima boxer dengan gambar kartun Spons berwarna kuning, tak lupa sesuatu yang menonjol di bagian tengah.

"Aaaaaaaaaakh..." teriak Regina sembari menutup mata dengan tangannya.

"A-apa? Kenapa?" tanya Bima heran.

Regina menunjuk sesuatu. Mata Bima mengikuti arah telunjuk Regina, yang tepat menunjuk bagian pusaka miliknya. Bima langsung berbalik badan, memakai handuk yang sedari tadi ia pegang, dan melipatnya ke perut.

Regina berjalan menuju lemari besarnya, membuka pintu, dan mencari sesuatu. Setelah dapat, ia memberikan kain tersebut pada Bima, tak lupa menutup pintu lemarinya.

Bima menerima kain itu. Setelah dibentangkan, ternyata kaos hitam dan sarung. Ia segera memakainya. Pas dan nyaman di tubuhnya.

Tunggu, ia merasa ada hal yang salah. Ia menatap tajam Regina yang tengah duduk di lantai menikmati makanannya. Menyadari ada yang memperhatikannya, ia pun menoleh pada Bima. "Apa?" tanya Regina ketus.

Bima menunjuk pada kaos dan sarung yang ia pakai, seolah menuntut Regina menjelaskan sesuatu. Regina paham. "Oh... itu baju aku, kalau sarungnya punya abang Temon," ucap Regina sambil meniup bakso yang baru disendoknya.

Bima mengangguk paham. Temon adalah kakak pertama Regina, nama aslinya Rizky Pratama. Entah mengapa Regina memilih memanggilnya dengan panggilan Temon.

Di bab lain nanti, kita bahas tentang Rizky Pratama, ya.

Bima berjalan, lalu duduk bersila di samping Regina. Regina mendekatkan semangkuk bakso di hadapan Bima, lengkap dengan kondimen pelengkapnya. Bima langsung meracik baksonya dengan kecap dan sesendok penuh sambal yang merah merona, bagai bara api yang siap membakar lidah. Tak lupa, ia memeras jeruk nipis ke dalam mangkok.

Melihat sesendok penuh sambal yang sudah mendarat cantik di mangkok Bima, Regina menggelengkan kepalanya. "Jangan banyak-banyak, nanti sakit perut. Itu cabai setan," ucap Regina mengingatkan, suaranya lembut bagai bisikan angin malam.

Bima hanya mengangguk sambil mengaduk bakso yang sudah diraciknya. Ia mengambil sesendok kuah untuk mencicipinya.

Slurrrrrp... uhuk uhuk...

Bima tersedak. Ia memukul pelan dadanya. Regina menuangkan air putih dan segera menyodorkannya pada Bima. Air putih itu diteguk sekali teguk hingga tandas, bagai oase di tengah padang pasir.

"Pelan-pelan, aku nggak minta," ejek Regina, bibirnya melengkung membentuk senyum tipis.

Bima memandang Regina dengan malas. Ia kembali mengambil bakso miliknya dan menikmatinya perlahan. Terdengar gemericik air hujan di atas genting, menambah hawa dingin yang menusuk tulang. Suara hujan bagai melodi sendu yang mengiringi kebersamaan mereka.

Mentari pagi belum sepenuhnya merekah, namun jam alarm milik Regina sudah mengusik telinga Bima. Tepat jam lima subuh.

Bima duduk, merenggangkan ototnya sejenak. Ia menatap sekeliling, mendapati sosok berpakaian putih tengah duduk di atas sajadah, dengan kitab suci di tangannya. Cahaya subuh menyinari wajahnya, memancarkan ketenangan.

Bima tersenyum tipis. Ia beranjak dan menuju kamar mandi. Saat ia keluar dari kamar mandi, sosok itu sudah menghilang. Ia hanya menemukan sajadah yang tadi digunakan oleh Regina terlipat rapi di atas ranjang, lengkap dengan sarung, kopiah, dan Al-Quran. Benda-benda itu seolah menyimpan jejak kehadirannya.

Tanpa ragu, ia memakai sarung dan peci, lalu membentangkan sajadah. Ia pun memulai salat dua rakaatnya.

Bukan Upik Abu

Jangan lupa tinggakan jejak di kolom komentar ya, like mu semangatku ❤

 

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!