NovelToon NovelToon

Kanvas Hati

BAB 1. AWAL BERTEMU

Sore itu langit berwarna jingga menandakan tidak lama lagi sang surya akan terbenam. Di salah satu kafe favorit anak muda jaman sekarang, tepatnya di tengah kota Jakarta.

Fandy berada di antara para pengunjung lainnya, yang sama-sama menikmati menu pilihan kafe ini.

Kopi Espresso pilihannya kali ini, wanginya tercium kuat, dia minum dengan perlahan, menikmatinya dengan sepotong donat lapis coklat bertabur kacang di atasnya.

Nikmat mana yang didustakan, kedua menu ini sungguh lezat rasanya, pantas saja menjadi salah satu menu favorit di sini.

Menikmati minum kopi pilihan, ditemani musik yang diputar pengelola kafe sebagai hiburan.

Fandy mengamati para pengunjung di sini, rata-rata pekerja kantor yang selesai jam kerjanya dan mahasiswa yang memanfaatkan waktu luang mereka untuk rileks sejenak dari rutinitas mereka.

Ada yang datang sendiri, ada yang berpasangan, dan ada juga yang beramai-ramai 4-5 orang banyaknya, duduk semeja berbincang santai hingga tertawa lepas.

Sedangkan yang datang sendiri, menikmati kopinya sambil membaca buku atau mengakses media sosial ditelepon genggamnya.

Terbesit ide melukis aktifitas mereka hadir di kepala Fandy, lalu mengambil buku sketsa dan pensil dari dalam tasnya.

Perlahan pensil menggambar objek yang berada di sekitarnya. Dia memperhatikan gerak-gerik mereka, mimik wajahnya satu persatu terlukis dibuku sketsa.

Pensil menggambar dengan lincah, tidak ingin melewatkan momen ini, ekspresi satu sama lainnya berbeda.

Ada yang tertawa bersama, ada yang berbincang serius dan ada juga pasangan kekasih yang sedang berdebat, di mana si perempuan tengah merajuk dan si lelaki berusaha membujuknya. Pemandangan unik pikir Fandy melihat semuanya ini.

Di salah satu kursi yang berada di ujung kafe tepatnya sebelah pojok, Fandy melihat ada seorang perempuan cantik rambut modis sebahu, masih dengan stelan pakaian kantor duduk termenung hanya memandangi kopi dan croissant di depannya.

Wajahnya terlihat sendu, entah apa yang terjadi pada dirinya. Fandy spontan ikut menggambar dirinya ke dalam buku sketsanya.

“Cantik, modis dan sepertinya dia seorang pekerja kantoran,” batinnya sesaat sebelum melukisnya.

“Ekspresi wajahnya terlihat sedih dan sepertinya dia sedang banyak pikiran, terlihat beberapa kali perempuan itu menghela napas panjang.” Fandy melukisnya dan memperhatikan detail yang dilakukan perempuan itu.

Cukup lama Fandy melukis perempuan itu, entah kenapa dia merasa tertarik dengan sosoknya. Cantik sungguh salah satu ciptaan Tuhan ini, ekspresi wajahnya agak misterius seolah menyimpan beban berat dalam hidupnya.

“Dia hanya datang sendiri? Menunggu kekasihnya yang tidak kunjung datang atau menunggu rekan kerjanya mungkin?” Fandy bertanya-tanya dalam hati, melihat perempuan itu masih duduk sendirian tanpa ada seorang pun menemani.

Tiga puluh menit Fandy menyelesaikan melukis perempuan tadi. Sekilas dia tersenyum saat melihat hasilnya.

Tampak hampir sempurna dimatanya, hanya kurangnya perempuan itu seperti enggan tersenyum.

Jika dia tersenyum, pasti lebih sempurna hasil lukisanku ini. “Seandainya muncul senyumnya, pasti lebih indah dan bagus hasilnya, karena terlihat cantik sekali seperti aktris ternama wajahnya,” batin Fandy membayangkannya.

Perempuan itu menyesap kopinya dan menggigit pelan croissantnya, tanpa sengaja matanya menatap Fandy dari jauh, seolah dia menyadari jika Fandy memperhatikannya sejak tadi.

Fandy hanya tersenyum tipis padanya, untungnya sketsanya sudah selesai, jadi mungkin dia tidak tahu jika Fandy melukisnya diam-diam.

Perempuan itu hanya menatap Fandy sekilas tanpa ekspresi dan melanjutkan meminum kopinya.

Mata Fandy masih memperhatikannya, seakan enggan berpaling darinya. Entah mengapa Fandy merasa sedikit tertarik dengan sosoknya, agak misterius pikirnya.

“Sangat cantik, tampak anggun berwibawa, riasan natural wajahnya masih ada padahal sudah jam pulang kantor,” tatap Fandy intens seolah memindai perempuan itu.

Tanpa Fandy sadari perempuan itu menatap balik ke arahnya, dahinya tampak berkerut, sorot mata indahnya tajam memindai balik intens Fandy.

Spontan mereka saling menatap satu sama lain meskipun dengan jarak yang tidak begitu jauh. Fandy tersenyum canggung seolah tertangkap basah seperti pencuri.

“Lelaki itu dari tadi seperti memperhatikan gerak-gerikku, siapakah dia? Kenapa dia melihatku terus-menerus?” Apa dia mengenaliku?” Cyra bertanya-tanya dalam hati.

“Aku tidak mengenalinya, karena baru pertama kali aku melihatnya di kafe ini. Tapi kenapa matanya enggan berpaling dan terus memperhatikanku?”

“Ah, tidak peduli lelaki itu siapa, dan apa memang kenal denganku yang penting dia tidak menggangguku.” Cyra lalu fokus menikmati kopi Latte dan croissantnya, melepas tatapannya pada lelaki itu.

Cyra Ramanda, seorang perempuan cantik yang bekerja sebagai manajer di salah satu perusahaan periklanan.

Dia termasuk pengunjung setia Twin Coffee, kafe yang hits di Jakarta Selatan ini. Dirinya hampir setiap hari singgah di kafe ini setelah jam pulang kantor.

Tidak terasa dua jam berlalu, Fandy melukis hampir semua pengunjung kafe ini. Wajah mereka tergambar nyata di buku sketsanya, penyelesaian akhir biar nanti dilakukan di rumah pikirnya.

Harapan Fandy semoga saja salah satu hasil gambar hari ini ada yang berminat atau bisa untuk dijual di tempat dia biasa menjual semua karya lukisan yaitu di kawasan Blok M Square. Tempatnya mencari rezeki selama ini.

Bakat melukis Fandy makin terlihat jelas saat duduk di bangku SMA kelas 1. Kebetulan ada ekstrakurikuler seni lukis di sekolahnya saat itu.

Fandy tidak ingin melewatkan kesempatan yang ada. Semoga bakat melukisnya makin berkembang di sini.

Pak Budi guru seni lukis Fandy saat itu pernah berkata. ”Fandy, Bapak lihat bakat melukismu ada karena beberapa hasil gambarmu bagus. Tingkatkan lagi kemampuanmu itu hingga mahir, percayalah melukis bisa menghasilkan uang suatu saat nanti.”

Fandy hanya heran saat itu, tetapi sekarang terbukti hasilnya sedikit demi sedikit.

Fandy Randistra, seorang pelukis jalanan. Lelaki berparas tampan, agak cuek dalam penampilan, humoris dan romantis, miskin, hidup sebatang kara karena sudah tidak mempunyai orangtua.  

Keduanya wafat karena kecelakaan di jalan tol saat dirinya remaja dan juga dia merupakan anak tunggal. Semangatnya yang selalu optimis, hanya mengandalkan lukisannya untuk mencari nafkah.

Sebenarnya paman dan bibi dari pihak ayah dan ibunya bersedia menanggung biaya hidup dan pendidikannya kala itu, tetapi Fandy menolak, beralasan tidak ingin menyusahkan keluarga besarnya.

Otomatis dia berjuang sangat keras mencari nafkah sejak kelas 1 SMP untuk kehidupan sehari-hari dan sekolahnya.

Masa mudanya banyak dihabiskan di jalan tidak seperti remaja lain seusianya yang bermain game online atau kumpul bersama di kafe.

Fandy menjalani semuanya dengan semangat dan tidak mengeluh. Dia percaya takdir dan nasibnya akan berubah lebih baik di masa depan.

Setelah menghabiskan kopi dan donatnya, Fandy bergegas merapikan buku sketsa dan pensil lalu memasukkannya kembali ke dalam tas punggungnya. Dia melangkah keluar ingin pulang.

Saat dia berjalan di depan meja perempuan itu, tanpa sengaja seorang pelayan yang sedang membawa pesanan kopi menabrak Fandy yang berpapasan dengannya.

Reflek Fandy berusaha menghindar, tetapi tubuhnya justru menimpa perempuan cantik itu dengan posisi diatasnya.

Malangnya, bibirnya menyentuh bibir perempuan cantik ini seperti mengecup. Keduanya merasa terkejut, mata saling menatap seolah terpana satu sama lain.

Fandy memuji dalam hati. ”Betapa indahnya mata dan wajah cantiknya."

Perempuan ini pun membatin. ”Lelaki yang tampan dan mempesona.”

“Bang maaf, boleh bangun sebentar,” ucapnya canggung.

Saat Fandy ingin bangun, perempuan ini menunduk. Tanpa sengaja, bibir Fandy justru mengecup kening dia.

Keduanya kembali terkejut, perempuan ini reflek mendongak kepalanya lagi. Bibir Fandy justru kembali mengecup bibirnya.

BAB 2. MELUKIS ULANG KE KANVAS

Keduanya salah tingkah, sama-sama berusaha saling memisahkan diri. Fandy tersenyum canggung, sedangkan perempuan cantik ini seperti malu dan serba salah.

“Maaf ya Kak, situasi tadi sungguh saya tidak sengaja.” Fandy meminta maaf, merasa tidak enak hati.

“Tidak apa-apa Bang, lupakan saja. Permisi.” Cyra mendahului Fandy untuk pulang seakan malu.

“Ya Tuhan. Kenapa insiden tadi sampai terjadi?” batin Cyra seperti tidak percaya, tetapi tersenyum tipis.

Fandy juga berjalan ke parkiran untuk mengambil motornya lalu lanjut pulang.

Saat di motor, dirinya spontan tersenyum, teringat insiden mencium dahi dan mengecup bibir perempuan tadi. “Rezeki anak sholeh,” batinnya.

Lima belas menit kemudian Fandy sampai di rumah. Tempat tinggal sederhana seluas 60 m2 merupakan harta terakhir peninggalan mendiang kedua orang tua untuknya. 

Fandy duduk di kursi jati ukiran jepara, kursi favorit almarhum ayahnya, lalu membuka tas dan mengeluarkan buku sketsanya.

Membuka lembar demi lembar hasil gambar dan mengamati setiap detailnya. Mata fokus melihat satu demi satu gambar yang terekam dalam sketsanya itu.

“Lukisan perempuan cantik ini paling istimewa menurutku, sebaiknya aku menggambarnya ulang di atas kanvas dan memberinya warna sebagai sentuhan akhir,” batinnya menganalisa.

Fandy lalu mengambil stok kanvas yang ada, pensil dan alat lukis lain, bersiap melukis ulang gambar perempuan cantik itu. Matanya melihat ke buku sketsa.

Pensil pun bergerak lincah menggambar, mulai dari bentuk wajah cantiknya seperti perempuan turki parasnya, lentiknya mata, bibir mungil, hidung, alis mata, putih leher dan rambut indahnya yang lurus sebahu.

Dilanjutkan ke arah tubuh proporsionalnya, setelan kantor mewah yang dipakai menambah aura wanita karir sukses di matanya.

Ekspresi wajah yang sendu seperti sedang memikirkan sesuatu tergambar kembali dengan jelas.

“Ya Tuhan, perempuan ini meski hanya sebuah lukisan tapi cantiknya sungguh nyata. Wajahnya terlihat sedih dan seperti sedang menahan sesuatu.”

“Tiba-tiba hatiku ini makin mengaguminya, wajah dalam lukisan atau saat bertemu langsung di kafe tadi sama cantiknya, apalagi tadi aku sempat merasakan kening dan bibirnya meski hanya sesaat,” dalam hati Fandy merasa bahagia.

Jemari Fandy terus bergerak di atas kanvas, melukis wajahnya hingga selesai. Selesai goresan pensil, lalu dilanjutkan sentuhan akhir yaitu pewarnaan.

Fandy mengambil kuas, cat minyak dan palet. Lalu, perlahan mewarnai mulai dari wajah, rambut, leher, tangan dan badan.

Kuasnya menyapu perlahan, warna yang diberi disesuaikan seperti aslinya yang terlihat jelas di kafe tadi. Satu jam lebih dibutuhkan menyelesaikan lukisan perempuan itu.

Hasilnya sungguh mendekati sempurna. ”Wow... keren hasilnya, tapi aku tidak akan menjualnya, hanya untuk koleksi pribadiku saja tinggal diberi bingkai pasti makin oke,” batinnya yakin.

“Akhirnya selesai sudah lukisan perempuan cantik. Gambar lainnya akan kupilih satu-persatu, jika ada yang bagus akan kugambar ulang di kanvas dan diwarnai," pikirnya.

"Dapat minimal dua sampai tiga lukisan akan kujual di Blok M Square,” ucap Fandy membuka kembali buku sketsanya, memilih lagi satu per satu gambar yang ada.

Pilihannya lalu jatuh ke sekelompok lima orang mahasiswa yang berdiskusi serius sambil menatap laptop, di antara mereka ada dua orang yang tertawa lepas bercanda sambil memegangi perutnya.

Sedangkan tiga orang lagi tampak asyik berbincang sambil menahan senyum. Sangat natural ekspresi mereka di mata Fandy.

Kanvas kosong mulai dia gambar lagi, pensil mulai bergerak pelan. Memastikan garis pada lukisannya tidak terlalu tebal agar mudah dihapus.

Jika tidak sesuai seperti gambar sebelumnya. Sehingga sentuhan akhir tidak mengganggu pengecatan, jadi tidak akan terlihat setelahnya.

Ekspresi kelima mahasiswa tadi tergambar semua, goresan pensil Fandy benar-benar baik, dan matanya menatap detail gambar dibuku sketsa. Hasilnya baik, sekarang lanjut ke proses pewarnaan.

Satu demi satu bagian yang akan diwarnai Fandy perhatikan dengan detail. Memastikan tidak ada yang terlewat sedikit pun agar hasilnya tidak mengecewakan.

Lukisan lima mahasiswa ini memakan waktu lebih banyak dibandingkan perempuan cantik tadi.

Dua jam lebih akhirnya lukisan ini selesai. Hasilnya sangat bagus dan sangat layak masuk untuk koleksi lukisan Fandy yang memang untuk komersial.

Satu gambar terakhir Fandy pilih yaitu kafe itu sendiri Twin Coffe. Kafe favorit anak Gen Z dan pekerja kantor dengan menu yang kekinian dan variatif serta konsep desain interior Instagramable.

Berada di lokasi strategis selatan Jakarta ini memang punya daya tarik tersendiri, yang membuat nyaman pengunjungnya untuk bersantai atau bekerja sambil menikmati menu pilihannya.

Tiga orang pekerja di meja reservasi yaitu: barista, pelayan dan kasir, satu orang lagi untuk petugas kebersihan.

Semuanya ini tergambar baik dibuku sketsa Fandy. Mereka bekerja sebagai tim yang solid, pelayanan terbaik dan apresiasi ke pengunjung terlukis dari senyum ramahnya para staf kafe.

Goresan pensil bergerak sesuai jari Fandy mengarahkan. Satu jam lebih berlalu, selesai dirinya menggambar lalu dilanjutkan pewarnaan dengan cat minyak.

Kuas menyapu rata ke semua sisi gambar, perlahan-lahan Fandy sapu agar hasilnya maksimal, empat puluh menit kemudian selesai sudah lukisan terakhir hari ini.

Dia lalu melihat jam di dinding, waktu sudah menunjukan pukul 12 malam.

Pantas saja tubuhnya terasa lelah dan mata mengantuk. Tiga kanvas yang sudah selesai sentuhan akhir Fandy letakkan di atas meja makan, dibiarkan hingga kering dulu catnya.

Terakhir, Fandy merapikan semua peralatan melukis yang tadi dipakai. Membersihkan sisa-sisa cat di lantai sampai bersih.

“Selesai sudah semuanya. Hari ini benar-benar menguras energi, semoga lelahku terbayar dan lukisan hari ini bisa cepat laku terjual... Aamiin.” Fandy tulus berdoa dalam hati.

Ternyata hari sudah malam, Fandy memutuskan tidak mandi saja mau lanjut cepat istirahat. Ingin cepat tidur agar besok segar lagi tubuhnya dan beraktifitas seperti biasanya.

Saat matanya ingin terpejam, tiba-tiba muncul bayangan sosok perempuan cantik di kafe tadi, tangannya melambai dan senyum hampa pada Fandy. Spontan dia kaget dan terasa seolah nyata. Fandy mengabaikannya saja, lalu tidur lagi.

Pagi harinya saat mentari terbit hangat menyapa, Fandy terbangun dan merasa semalam memimpikan perempuan cantik itu.

Entah mengapa mimpi itu seakan nyata, Fandy tidak tahu apakah akan terjadi sesuatu atau sebuah firasat.

Perempuan cantik itu menangis tersedu-sedu dan meminta tolong pada Fandy. “Semoga ini hanya mimpi,” batinnya.

Setelah mandi dan sarapan sekadarnya, Fandy menyusun rapi dua kanvas yang dia letakkan di meja makan semalam.

Satu kanvas perempuan cantik dirinya biarkan masih di meja, nanti sepulang kerja baru Fandy pasang ke dalam bingkai.

Fandy mengambil koleksi enam lukisan lain di kamar, lalu membungkus rapi bersama dua kanvas tadi dengan buble wrap, dan dimasukkan ke kotak yang sedikit lebih besar dari lukisannya untuk memberi ruang gerak yang cukup.

Semuanya sudah rapi, lalu Fandy ke teras belakang mengeluarkan Vario merah kesayangan untuk siap-siap bekerja mencari rezeki. Kanvas dalam kotak lalu dia ikat kuat di jok motor.

Setengah jam jarak yang ditempuh dari rumah ke Blok M Square. Akhirnya sampai juga Fandy di lapak, menegur sapa sesama pelukis yang lebih dulu sampai.

Fandy membuka kotak besar tadi, mengeluarkan delapan kanvas totalnya termasuk lukisan hasil semalam dan koleksi lukisan lama, lalu dia susun rapi di lapak biasa dirinya menjual lukisan.

“Ya Tuhan, semoga hari ini lukisanku ada yang beli dan ada pengunjung yang minta dilukis juga... Aamiin,” doanya lirih.

BAB 3. BERTEMU KEMBALI

Lapak pelukis di Blok M Square ini tidak seramai dulu. Pelukis pernah sehari mendapat omzet hingga puluhan juta. Harga yang ditawarkan bervariasi tergantung media lukisnya.

Jika pengunjung minta dilukis foto hitam putih menggunakan media kertas tarifnya sekitar Rp 300.000 sampai dengan Rp 500.000.

Pengunjung ada juga yang minta dilukis mendekati aslinya, tarifnya sekitar Rp 2 juta bahkan lebih jika menggunakan media kanvas.

Untuk hari ini Fandy tidak berharap muluk-muluk, satu saja lukisan terjual, atau ada orang datang minta dilukis itu sudah cukup untuknya makan sehari-hari.

Selesai menata susunan lukisan dengan rapi, lalu Fandy duduk santai menunggu calon pembeli.

Dua jam lebih menunggu, tidak lama ada dua orang perempuan cantik datang melihat-lihat koleksi lukisan jualan Fandy. Otomatis dia berdiri menyambut keduanya.

Terkejut Fandy saat menyapa, salah satunya ada yang tidak asing dimatanya, ya benar ternyata dia perempuan cantik di kafe itu.

Dia juga terkejut melihat Fandy seolah malu, tetapi berusaha senyum dan bersikap normal seperti temannya pada Fandy.

Fandy yang mendadak gugup, senyum canggung tetapi mencoba bersikap seperti penjual lukisan pada umumnya.

“Siang Kak, ada yang bisa saya bantu?” Fandy bertanya pada dua perempuan cantik ini.

“Lukisan Abang bagus-bagus saya suka, mahal tidak ya harganya?” temannya perempuan cantik memuji dan bertanya.

“Lukisan yang mana satu Kak? Tunjuk saja salah satu nanti saya kasih tahu harganya,” mata Fandy menoleh ke perempuan cantik satunya, melihat dia berdiri di sebelah temannya sedang fokus menatap lukisan pemandangan alam di depannya.

“Lukisan kafe ini saya suka sekali Bang, berapa ya harganya? Boleh ditawar jika saya berminat?” tanyanya lagi.

“Oh yang itu ya, Rp 2.000.000 Kak. Boleh kurangnya sedikit saja, karena medianya kanvas jadi agak mahal sedikit,” jelas Fandy sambil tersenyum.

“Wah mahal juga ya, begini saja karena minat serius saya tawar di Rp 1.500.000 boleh Bang?”

“Begini saja ya, jika Kakak benar minat serius saya kasih harga terakhir di Rp 1.750.000. Nanti saya kirim di alamat yang diberikan. Bagaimana Kak?”

Calon pembeli ini menarik lengan perempuan cantik itu dan berbisik seperti meminta pendapatnya, Fandy berdiri menunggu dan melihat ke arah keduanya.

“Cyra, aku suka sekali lukisan kafe itu. Dikasih harga di Rp 1.750.000 sudah termasuk dikirim abangnya ke alamat yang aku kasih nanti, menurutmu mahal tidak?"

“Bagus memang lukisannya, dan kupikir sesuai dengan harganya, kalau Nia minat serius tidak apa-apa, kamu beli saja,” jawabnya.

“Ok. Terima kasih Cyra cantik dan baik hati, matamu sama jelinya denganku kalau soal lukisan. Kamu sendiri ada yang minat dan ingin dibeli juga tidak?”

“Ada yang aku suka, itu di sebelah sana lukisan pemandangan alam. Belum pasti beli atau tidaknya. Kamu saja dulu tidak apa-apa,” keduanya asyik berbisik-bisik.

Lagi-lagi mata Fandy menatap intens ke perempuan itu, dia juga begitu meski sedang berdiskusi, matanya melihat lurus ke arah Fandy.

Otomatis mereka berdua saling bertatapan mata, saling tersenyum manis. “Aku suka momen ini, sangat jarang dipandangi perempuan cantik, lama-lama kagumku bisa berubah jadi cinta,“ batin Fandy.

Tidak lama kemudian kakak pembeli tadi memberikan kartu namanya, tertera namanya Nia Rahma Supervisor di PT. Gilvy Indonesia, sebuah perusahaan periklanan.

“Nanti Abang kirim ke alamat kantor saja. Kabari dulu kalau mau kirim takutnya, saya lagi ada meeting diluar kantor. Mana no rekeningnya, bayarnya saya transfer melalui m-banking ya?”

“Baik Kak, jika sudah dikemas rapi lukisannya, nanti saya langsung kirim ke kantornya. Ini Kakak silahkan langsung Scan QR,” tunjuk Fandy pada aplikasi bank ditelepon genggamnya untuk pembayaran.

Nia mengetik transaksi bayar ditelepon genggamnya. “Sudah berhasil masuk ya Bang transfernya, tolong dicek dan jangan lupa dikirim ke alamat kantor saya.”

Fandy lalu mengecek laporan transfer uang, berhasil masuk benar adanya. “Oke Kak sudah masuk, terima kasih ya sudah membeli lukisan kafe. Saya usahakan hari ini dikirimnya dan kabari Kak Nia dulu sebelum jalan,” ujar Fandy.

“Sama-sama Bang, ditunggu ya lukisannya."

“Ayo Cyra, kita lanjut makan habis ini terus kembali ke kantor lagi.” Terdengar Nia menyebut nama perempuan cantik itu, ternyata Cyra namanya.

Lalu keduanya pamit meninggalkan lapak. Fandy amati kedua perempuan tadi berjalan perlahan menjauh dari lapaknya.

Bertemu lagi dengan Cyra sungguh tidak terduga. “Cyra namanya, cantik seperti orangnya,” batin Fandy makin mengagumi.

Leganya Fandy setelah salah satu lukisannya ada yang terjual juga. Semoga calon pembeli datang lagi dan lukisan kembali terjual harapnya.

Nia dan Cyra memutuskan makan di restoran cepat saji ayam goreng KFC, makanan favorit keduanya jika sedang berada di Blok M Square ini. Setelah memesan menu yang dipilih, keduanya lanjut makan sambil berbincang santai.

“Cyra, pelukis tadi tampan ya aku perhatikan. Hasil lukisannya juga bagus, kan?” Nia dengan antusiasnya membahas si pelukis itu.

“Matamu jeli juga ya kalau lihat lelaki tampan. Iya benar aku mengakui keduanya, selain dia tampan lukisannya memang benar bagus.” Cyra ikut memuji pelukis tadi.

“Kapan-kapan kita ke lapaknya lagi ya, aku ingin dilukis secara langsung di sana. Kira-kira kamu mau juga dilukis tidak Cyra?”   

“Hah!... langsung dilukis di tempat begitu ya. Kupikir-pikir dulu Nia. Menjadi pengalaman pertamaku nanti misalkan jadi.” Cyra masih menimbang apakah mau dilukis atau tidak.

“Iya boleh, kamu pikirkan saja dulu. Nanti jika setuju kita datang lagi ke sana."

"Oh iya!... kuperhatikan akhir-akhir ini kamu sering melamun Cyra," tambah Nia.

"Kenapa? Apa ada masalah di rumah? Apa sama pacarmu? Bos Gilang marah-marah ke kamu?” bertubi-tubi Nia bertanya sampai bingung Cyra untuk menjawabnya.

“Maaf Nia, aku enggan membahasnya saat ini. Nanti saja ya, sekarang kita fokus habiskan ayam goreng lezat ini terus kembali ke kantor oke.” Cyra menolak bercerita, meskipun mereka berteman dekat lima tahun terakhir ini.

“Baiklah aku mengerti, jika ada hal yang mendesak atau masalah yang tidak bisa kamu tangani sendiri tolong jangan ragu bercerita padaku oke!” Nia mengalah, tidak ingin memaksa Cyra untuk menceritakan masalahnya.

“Iya Nia terima kasih ya untuk pengertiannya.”

Mereka melanjutkan makannya hingga habis. Dua puluh menit kemudian selesai makan mereka berjalan menuju parkiran.

Saat berjalan melewati restoran tanpa sengaja keduanya berpapasan dengan pelukis tampan tadi yang sepertinya ingin masuk ke restoran tempat mereka makan juga.

“Abang pelukis, mau makan di KFC ya?” tanya Nia saat mereka saling berhadapan dekat restoran yang dimaksud.

“Iya Kak, perutnya bunyi dari tadi ini minta diisi makanan secepatnya. Kak Nia sudah selesai makan ya?" tanya Fandy juga.

“Iya Bang sudah selesai, ini langsung mau kembali ke kantor. Oh iya!... jangan lupa kiriman lukisanku oke.”

“Siap Kak Nia tenang saja. Hari ini pasti saya kirim.”

“Bagus, saya tunggu. Kami langsung saja ya. Sampai ketemu lagi Bang. Permisi ya.” Pamitnya sopan.

“Ayo Cyra kita lanjut ke parkiran!” Nia menarik lengan Cyra, lantai depan Fandy licin karena petugas kebersihan mengepel saat itu, tanpa sengaja Cyra terpeleset.

Tubuh Cyra akan jatuh ke lantai, tetapi saat Fandy melihatnya refleks dia menahannya.

Cyra kini berada di atas tubuh Fandy, tanpa sengaja bibirnya mengecup bibir Fandy. Entah sadar atau tidak, bibir Fandy justru membalas kecupannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!