"Siapa namamu nak?" Ustadz mahmud bertanya ramah.
"Athur Louise Kaelan."
"Berapa nominal mahar yang akan kau berikan?"
Tidak langsung menjawab, laki-laki itu mengambil dompetnya. Di sana hanya ada beberapa lembar. Kemudia mengambilnya dan memberikannya pada Ustadz mahmud.
"Hanya ada ini."
Ustadz Mahmud menghitung, lalu melihat ke arah laki-laki itu. Terlihat ada sedikit rasa kecewa di raut wajahnya. Tersenyum kearahnya sambil menyelesaikan pengisian data.
"Tidak apa-apa nak, yang penting kamu ikhlas. Besar kecil nominal mahar itu tidak masalah, insya Allah semua akan berkah ketika kita sebagi pria memberikan mahar dengan rasa ikhlas."
Wanita di sebelahnya menoleh mendengar tutur Ustadz Mahmud. Sedangkan Ustadz Mahmud mencatat nama, mahar alamat yang tertera di ktp Athur . Semuanya untuk melengkapi data agar memudahkan mereka jika akan mendaftarkan pernikahan secara resmi. Nama pria asing itu saja baru dia tahu, bagaimana mungkin bisa menikah tanpa saling mengenal terlebih dahulu. Mungkin seperti itu kini yang sedang di pikirkannya.
Setelah semua data yang di perlukan di rasa cukup. Acara sakral tanpa adanya rencana akhirnya akan segera di mulai. Dimana banyak wanita mengimpikan pernikahan dengan pria yang di cintainya. Berbada nasib dengan Rara dia harus menikah karena di grebek warga.
Tak ada gaun mewah, maka up MUA tidak ada pelaminan. Hanya baju sederhana Muslim berwarna putih yang di kenakan wanita itu. Pancaran wajah polos tanpa make up tapi terlihat manis dan cantik. Ada sedikit rasa kagum, walaupun sederhana auranya terlihat anggun.
"Saya terima nikah dan kawinnya Rara Armellita binti Abraham Danzell dengan mas kawin tersebut di bayar tunai." ucap lantang seorang pria yang sama sekali tak di kenal Rara.
"Sah." sahut warga serempak.
Buliran bening jatuh tak tertahankan lagi. Entah permainan takdir seperti apa yang saat ini sedang di hadapi gadis itu. Sedih itu pasti, tapi dia sendiri tak bisa di jelaskan seperti apa perasaannya saat ini. Hanya menunduk diam tanpa kata, pikiran kosong namun air matanya terus jatuh.
"Baik nak, kalian sekarang sudah sah secara agama. Kalian bisa mendaftarkan pernikahan kalian nanti di bantu oleh perangkat."
Pria yang barus aja mengucapkan ijab mengangguk faham dengan arahan Ustadz Mahmud tersebut. Namun, tak ada jawaban dari gadis yang baru saja menyandang status istri dengan sekejap. Wanita itu masih tak bergeming, entah apa yang sedang di pikirkan.
"Ini balasan kenapa kau berani mendekati Alden." senyum tipis yang tak terlihat oleh siapapun di tengah para warga memandang dua manusia di sana.
"Nak. Nak Rara," Ustadz memanggil Rara, melihat tak ada respon dari gadis itu.
Masih tetap tak ada jawaban. "Sayang, kau baik-baik saja?" pertanyaan macam apa itu. Pasti perasaan gadis itu tidak baik-baik saja, ibu itu pun tahu namun dia hanya ingin berusaha menyadarkannya. Tanganya mengusap lembut punggung Rara.
Akhirnya wanita itu merespons dan menoleh memandangi perempuan paruh baya di sampingnya. Tanpa berkata dia lalu memeluknya sangat erat, terisak dalam dekapan hampir tak terdengar. Bagaimana pun juga dia seorang ibu tahu perihnya perasaan Rara saat ini.
Laki-laki di hadapan Ustadz beralih menatap seseorang dengan tatapan tajam namun tidak bisa di tebak. Hampir satu jam mereka menenagkan Rara dan pada akhirnya wanita itu sudah mulai tenang. Semua warga pun sudah bubar dari tempat pak Ustadz.
*
Rara Armellita, nama itu kini sudah terikat kuat dengan status istri. Menatap langit malam tanpa adanya bintang dan bulan, hanya di temani suara rintik hujan. Pikiranya menerawang jauh entah kemana.
"Ehem," deheman lembut membuyarkan pikiran laki-laki itu.
"Ada apa?"
"Ti ... tidak. I ... itu," gugup, takut tatapan pria sampingnya seakan ingin memangsanya hidup-hidup. Laki-laki itu membuang muka, melihat expresi wajahnya.
"Katakan?" satu kata namun terdengar sangat tegas.
Menunduk sedikit takut, juga bingung ingin memulai dari mana, "Em ..., itu. Apa luka itu baik-baik saja?"
"Hemm,"
Bagi Rara jawaban itu sangat tidak memuaskan, jelas tadi dia melihat jika perban di lengannya merah karena darah segar. Tapi laki-laki itu malah sangat santai seperti tidak terjadi apa-apa. Ada rasa kawatir bagaimana selayaknya manusia memperlakukan sesama manusia, bukan karena suka atau status.
"Nan ... nanti, Anda bisa tidur di kamar saya. Biar saya tidur bersama kedua adikku, jika memerlukan sesuatu panggil saja kami."
"Hemm,"
Athur menghela nafas, mendengar ucapan dari gadis yang baru saja sudah mengubah statusnya beberapa jam yang lalu. Rara sedikit memberanikan diri, ekor matanya melirik. Menunggu beberapa saat, tapi tak ada respons lain.
"Huh dasar, sudah numpang songong lagi."
"Kamu sedang apa de?"
"Itu Kak," tunjuknya.
"Andai saja ibu sama bpk masih ada ya kak. Mungkin tidak ada kejadian seperti ini."
Perkataan adiknya seakan meremas hatinya, dia sendiri berfikir sama. Semua dengan kata andai hanya mimpi bagi mereka. Namun kenyataanya ini semua nyata. Menyeka sedikit genangan di matanya dengan cepat.
"Sudah ayo kita masuk," dengan sedikit buru-buru membawa adiknya masuk sebelum sang kakak memergoki mereka.
"Kak, kenapa buru-buru sih?"
"Husss, brisik."
*
Bug!
"Bangsat!"
"Auw,"
Bug!
"Anjing lo!''
Perkelahian antara sahabat, karena kesal semua rencananya gagal. Bukan karena benci, sampai dia tega memukul laki-laki yang sering membantunya saat dia membutuhkan. Sungguh dia benar-benar egois dengan semuanya.
"Sudah apa-apaan kau ini hah!"
"Jangan ikut campur! Dia lolos karena kecerobohannya."
"Sudah, Cukup!" bentaknya melerai perkelahian mereka. Akhirnya bisa juga mereka melerainya, membawa yang salah satunya menjauh.
"Brengsek! Ini semua gara-gara kalian."
"Jangan hanya salahkan mereka. Kamu juga salah."
"Coba tadi kau datang tepat waktu pasti semua ini tidak bakal terjadi."
"Ah ... sial."
Mereka sedikit takut, melihat kemarahan sahabatnya. Namun ada benarnya juga apa yang di katanya pria itu. Mereka tidak sepenuhnya salah, andai saja tadi dia datang tepat waktu pasti semua ini tidak akan terjadi.
"Athur, lihat sejauh mana kau akan pergi dan bersembunyi."
*
RARA Armellita gadis yang baru genap 17 tahu berapa hari yang lalu, dia dari keluarga yang sederhana. Setiap hari dia bekerja setelah pulang sekolah. Semenjak di tinggal kedua orang tuanya beberapa tahun yang lalu meninggal dunia akibat kecelakaan.
Sejak saat itu dunianya seakan begitu sangat berat. Dia harus tetap kuat dan baik-baik saja karena ada kedua adiknya. Bahkan pernah ingin putus sekolah karena tidak memiliki biaya. Akan tetapi pihak sekolah justru menyemangati dan memberikannya bantuan agar tetap melanjutkan sekolah.
Dunia mungkin kejam terhadapnya, tapi kita sebagai manusia tidak pernah tahu seindah apa di depan sana. Memiliki saudara tapi kondisinya juga sama seperti mereka. Budhenya sedikit kasar dan pelit, pamanya sering membantu secara diam-diam karena tidak tega dan menganggap seperti anak sendiri.
"Ra, gimana mau kan malam minggu nanti jalan? Sekali-kali Ra,"
"Eh lo itu ngajak pergi apa maksa sih ...,"
"Ya,ellah lo cimui ikut nyamber aja,"
"Plak!"
"Auw," ringisnya sambil mengusap pergelangan tanganya.
"Enak aja Lo ngatai gue cimui. Emak bapak gue kasih nama bagus gitu Lo ganti sembarangan."
Rara justru menggelengkan kepala melihat dua sahabatnya bertengkar nggak jelas. Gadis itu masih asik menikmati bekal makanan yang tadi di bawanya. Membiarkan keduanya larut dalam perdebatan.
"Awas aja lo Ra."
Seorang siswi yang memperhatikan bahkan mendengar percakapan mereka. Mengepalkan tanganya erat, kesal marah melihat betapa dekatnya mereka. Terseyum sinis dengan penuh arti.
"Bagaimana Ra, bukankah sekarang jadi lebih menarik. Alden tidak akan lagi mendekatimu jika tahu statusmu."
"Ah ... rasanya aku bahagia," memeluk bantal membenamkan wajahnya. Dalam pikiranya dia sangat bahagia karena lelaki yang di taksirnya sejak lama tidak akan bisa mendekati Rara lagi.
"Tapi bagaimana aku membongkar jika Rara sudah menikah ya?"
"Ah, itu pikir nanti saja. Yang penting sekarang Rara sudah tidak bisa lagi dekat dengan Alden."
*
Di rumah sederhana seorang gadis remaja sudah bergelut dengan aktifitasnya. Dia juga di bantu oleh adik perempuanya, menyiapkan sarapan agar tidak terlambat sekolah. Seperti biasa hanya menu sederhana yang mereka bisa nikmati.
"Dino, kau masih belum siap-siap!" pelan tapi menekan dengan sedikit tegas.
"Iya kak jangan marah, ini Dino mau pergi mandi."
"Cepat! Kakak hari ini ada piket harus berangkat pagi."
"Iya iya kakakku sayang ...," Dino pun beranjak pergi ke arah belakang menyambar handuk.
"Biar nanti berangkat sama aku saja kak."
"Loh kamu juga kenapa belum siap Nin?"
"Kakak lupa yah? Hari ini kan ada acara study tour ke bali." Nina berusaha mengingatkan sang kakak.
"Maaf kakak lupa."
"Nggak apa-apa kak. Kakak nggak usah sedih, Nina juga kan mabuk perjalanan. Jadi emang kemauan Nina juga nggak pengin ikut." Nina bergelayut manja pada sang kakak.
Tanpa mereka sadari semua interaksinya di perhatikan oleh seseorang yang berdiri di ambang pintu. Pria itu ternyata sudah bangun sejak pagi. Karena aroma masakan yang sedikit pedas menusuk hidungnya.
Ketika dia ingin keluar, justru melihat sang istri yang terlihat lembut tapi juga bisa tegas pada adiknya Pria itu masih bersandar di ambang pintu. Wajah datarnya masih fokus pada kedua insya yang sedang duduk di ruang tengah.
"Eh Bang jangan dilihatin terus, Kakakku memang Cantik!" celetuk bocah belasan tahun itu mengejutkan dirinya.
"Kenapa Abang lihat aku seperti itu?" tanyanya bingung yang di tatap Athur.
Sedangkan Athur masih diam seribu bahasa. Memperhatikan sosok Pria di hadapannya, yang seperti tidak ada takutnya. Yang di tatap malah santai sambil mengeringkan rambut.
"Sekolah di mana kamu?" setelah lama memperhatikan akhinya pertanyaan itu lolos dari bibirnya.
"Aku sekolah di SMP Harapan. Kenapa memang?" matanya melirik ke Ahtur.
"De ...,"
Kedua lelaki yang sedang berhadapan menoleh ke sumber suara. Dino meringis memperlihatkan deretan giginya yang tidak begitu rapih. Dia tahu tatapan kakaknya saat ini. Bergegas pergi ke kamarnya, sedangkan Ahtur sama dengan wajah datarnya.
"Eh Mas, udah bangun? Maaf kami berisik yah?"
Athur masih memperhatikan perempuan di hadapanya dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Wanita itu mengenakan seragam sekolah SMA. Namun, yang di tatap justru risih, menunduk malu.
"Tidak."
"Kamar mandi di mana?"
"Eh Iya, ayo ku antar," Rara yang bingung awalnya tersadar, kemudian berjalan di depan mengantarkan Athur.
"Ini mas," tunjuk Rara.
"Saya masuk dulu yah." Athur hanya membalas anggukan.
Di dalam kamar mandi, Athur cukup lama. Bukan masalah tidak bersyukur. Tetapi sedikit tidak nyaman ketika dia melihat sekeliling ada beberapa lubang kecil. Athur pun mendekati lubang itu ternyata dari luar orang bisa melihat aktifitas siapa saja yg ada di dalam.
"Sialan tu orang mau apa? Atau jangan-jangan dia pikir aku gadis itu?"
*
"Hai apa yang kalian lakukan di sini?"
"Ka ... ka ... kami tidak," belum selesai ucapan Rara.
"Pak ini tidak bisa di biarkan, udah seret saja mereka berdua ke rumah pak ustad secarang."
"Perbuatanya membuat malu kampung ini." sahut salah satu warga lalu menyeret gadis di dalam tidak lupa mereka juga menarik pria yang ada di dalam kamarnya
"Jangan ...,! Jangan bawa kakakku." Teriak gadis berusia belasan tahun memohon pada warga yang ingin membawa kakaknya.
"Kak." Dino memukul bahu kakaknya yang sudah beberapa kali dia panggil tapi tidak menyahut.
"Kakak sedang melamun apa?"
"Tidak."
"Kakak itu tidak pandai berbohong."
Memang benar yang di katakan Dino dia tadi sedang melamun kejadian kemarin. Rara berfikir bagaimana bisa warga tahu jika saat itu ada pria asing di rumahnya. Sedangkan waktu sudah menunjukan tengah malam. Rara juga masih ingat betul ketika di bantu Dino dan Nina membawa pria itu tidak ada siapapun yang melihatnya.
"Sudah jangan ngelantur. Kakak nggak lagi ngalamun cepat makan trus berangkat sekolah. Ingat jangan buat gara-gara lagi atau kakak akan memasukanmu ke pesantren."
"Iya iya bawel kakak. Bisanya ngancem trus."
Athur masuk dengan wajah segar, rambut yang masih basah. Aura ketampanannya benar-benar mengagumkan. Rara, Dino dan Nina mereka terpukau baru menyadari jika pria itu tampan.
Rara menyadari ada sesuatu yang mengalir di lengan pria itu bergegas pergi. Dino Nina saling pandang melihat Kakaknya pergi mereka masih belum sadar. Mengikuti arah langkah sang kakak pergi.
Athur duduk di tepi ranjang, melihat kearah lengannya di rasa sedikit nyeri dan perih. Entah kapan dan bagaimana tiba-tiba saja Rara sudah ada di sebelahnya. Menyeka darah yang mengalir sedikit di lengannya dan membersihkan luka.
Rara yang merasa sedang di tatap, "Maaf sedikit sakit."
Athur masih diam, memperhatikan wanita di sampingnya tidak lain adalah istrinya. Setelah semua selesai di bersihkan Rara bangun dan beranjak pergi. Namun, tiba-tiba saja pergelangan tanganya di cekal membuatnya berhenti.
"Terima kasih."
Rara terseyum manis begitu tulus, memang yang di lakukannya tulus. "Ayo sarapan dulu Kak, aku harus pergi ke sekolah."
Athur bangkit dan mengikuti Rara tanpa menyahut. Kemudian mereka duduk di ruang makan sederhana. Menu yang terhidang sayur kangkung tempe tanpa tepung dan sayur kuah.
"Maaf hanya bisa masak sederhana. Tapi ini sudah sangat nikma bagi kami." Rara berkata yang melihat Athur dari tadi diam memandangi menu yang ada di meja makan.
Menoleh, sadar jika Rara tadi memerhatikannya. "Tidak apa-apa?"
"Bang, entah aku mau pangggil kamu apa? Walaupun aku masih bocil. Tapi aku tahu apa itu pernikahan. Kami hanya hidup bertiga kakakku sudah sangat susah untuk memenuhi kebutuhan rumah ini. Jadi mohon hargai apa yang ada, dan jangan sakiti Kakakku. Walaupun hanya pernikahan sirih."
Rara dan Nina menatap Dino yang asik menguyah makanannya. Tidak di sangka adiknya yang sering buat kekacauan dia justru mengatakan hal sama sekali tidak pernah terlintas di pikiran mereka Dino yang merasa di perhatikan menoleh, dengan mulut penuh.
"Kenapa kak? Aku gantengkan?" sambil memainkan alisnya naik turun.
"Ih narsis," ujar keduanya tertawa dengan tingkah sang adik.
"Hahahahah ..."
"Nin, Kakak berangkat dulu ya."
"Buruan kak, tadi ngajak berangkat cepat. Eh ... giliran aku usah siap malah lelet." sindir Dino kakinya menendang kecil beberapa kali sambil menunggu Rara.
"Iya bentar De. Maaf Rara tinggal sekolah, kalau butuh apa-apa panggil aja Nina." Athur hanya menangguk.
Pandanganya masih memperhatikan kedua manusia yang sedikit berlari sampai tak terlihat lagi. Di rumah sederhana itu kini hanya ada Nina dan Athur. Nina sedikit canggung, bagaimanapun mereka masih belum saling kenal satu sama lain.
Nina baru saja selesai membereskan meja makan. Berjalan menuju kamar, namun di kejutkan dengan suara berat seseorang di luar. "Assalamualaikum,"
"Walaikumsalam," sahutnya dengan sedikit gugup berjalan ke arah pintu.
"Paman, ayo masuk."
Narto lelaki berkisaran empat puluh lima tahunan kini duduk di ruang tamu. Dia adalah adik laki-laki dari ibu Rara. Nina sedikit gugup, karena tidak biasanya Narto datang pagi ke rumahnya.
"Nin, Paman dengar Rara membawa pria ke rumah apa itu benar?" Nina menunduk belum menjawab, bingung mau mulai dari mana.
"I ...,"
"Semua salah paham."
Sebelum Nina menjawab Perkataannya sudah di potong terlebih dahulu. Athur kini sudah di samping mereka. Entah sejak kapan pria itu ada di sana.
"Apa kau laki-laki itu?" Athur menangguk lalu duduk berhadapan dengan Narto.
Kedua lelaki beda usia saling berhadapan sedangkan Nina berada di samping Narto. gadis itu memperhatikan tatapan Pamannya lalu beralih pada Athur. Suasana sedikit mulai tegang, Nina hanya diam menjadi pendengar. Jika di tanya dia baru akan menjawab, dia merasa sedang di introgasi oleh Pamannya.
Lama mereka berbincang samapai akhirnya Narto faham dengan semua penjelasan Nina juga Athur. Entah harus sedih atau bahagia mengetahui keponakannya menikah muda. Akan tetapi dari pembicaraannya, Narto bisa menyimpulkan jika Athur
pria yang bertanggung jawab.
"Ya sudah, Paman pulang dulu."
"Iya paman hati-hati." Nina meraih tangan Narto lalu menciumnya. Narto pun mengusap lembut pucuk kepala Nina sambil terseyum.
"Nak Athur Paman percaya kamu orang baik. Tolong jaga putri paman. Jika kamu kelak masih tidak menginginkan pernikahan ini kembalikan putri paman dengan baik-baik."
"Baik Paman. Athur juga minta maaf atas kejadian yang tidak di inginkan ini. Sekali lagi maaf." Athur sedikit membungkukan badannya meminta maaf.
"Semua sudah terjadi mungkin menang ini jalan kalian. Terima atau tidak kenyataannya kalian sudah sah menjadi suami istri."
Athur memejamkan mata mendengar kata suami istri. Tak pernah terbayangkan bagaimana perasaan orang tuanya jika mengetahui anak lelakinya sudah menjadi kepala keluarga. Disamping itu juga, tanggung jawab yang di pikulnya sudah tidak sama seperti remaja lagi.
*
Bel istirahat berbunyi, remaja berambut panjang di kucir kudu dan yang satu di biarkan tergerai mereka berjalan ke arah kantin. Gadis itu Rara dan satunya sahabat sebangkunya Aurora. Biasa di juluki dua Rara, ya karena panggilan mereka Ra temen-temannya menjuluki Dua Rara.
Tak jauh di belakang mereka ada 4 remaja tak kalah dari perhatian siswa siswi di sekolahnya. Mereka adalah siswa terpopuler, karena ketampanannya. salah satu di antara mereka berjalan dengan tebar pesona.
"Jalan pake mata nggak sih lo."
"Sorry, he he he,"
"Mana dia pake mata Al, orang dari tadi caper mulu."
"Ah, elah lo Jun. Bilang aja sirik." ujar Niko memutar bola matanya malas.
"Hah, gue sirik sama lo." tunjuk Juna tidak setuju.
"Muka gue itu lebih tampan dari lo. Muka pas-pasan aja sok sokan." timpal Juna tak mau kalah dengan mata melotot.
"Ribut mulu kalian, brisik." sentak Arjun lalu berjalan cepat bersama Alden meninggalkan keduanya. Mereka berdua memang suka sekali Adu mulut. Hampir setiap jam jika bersama, tapi jika tidak ada salah satu di antara mereka hari-hari terasa sepi.
"Hai tunggu," Juna dan Niko berlari mengejar Alden dan Arjun yang sudah berjalan cukup jauh.
Di kantin Alden menemukan gadis yang di carinya dari tadi. Ternyata remaja itu sedang duduk bersama temannya. Berjalan mendekat kearah mereka, di susul oleh temannya di belakangnya.
"Hai cantik melamun apa sih?"
Rara terkejut, pasalnya Alden dengan tiba-tiba duduk di sampingnya sambil menyenggol bahunya. Aurora yang sedang asyik menikmati makanan juga tak kalah terkejut. Tidak tahu dari mana asalnya sudah ada dua manusia duduk di sampingnya. Salah satunya mengambil gorengan miliknya.
"Plak. Enak aja main comot makanan orang."
..."Dih pelit amat lu. Tu masih banyak juga, satu aja," kali ini berhasil sebelum di ambil Aurora. Gorengannya sudah masuk dalam mulut Niko....
..."Hai ...," Aurora tak terima dia memukul Niko beberapa kali....
"Plak! Plak! Plak!"
"Duh, galak banget lo jadi cewe. Pantes aja lo masih jomblo yang deketin lo pasti kabur duluan." ledek Niko asal sambil menangkis pukulan Aurora.
"Sialan mulut lo, gue robek juga." kesel Aurora.
"Ra," Panggil lembut Rara pada temannya.
"Iya cantik kenapa?" sahut Juna menggoda Rara.
"Hei mulut lo gue robek juga." kesal Alden.
"Hiiih, kalian ngapain sih di sini. Ganggu kita aja. Ayo Ra kita pindah, ada manusia tak di undang solanya ngeri gua di sini." celetuk Aurora kesel yang sudah tidak mood untuk makan.
Aurora bangkit dan menarik Rara pergi meninggalkan empat sekawan yang sangat menyebalkan menurutnya. "Ra tunggu, gimana ajakan gue besok?" tanya Alden yang melihat gadis itu sudah melangkah sedikit menjauh.
"Maaf Al, aku nggak bisa."
"Sama gue aja Al," sahut gadis di sebrangnya tiba-tiba.
Alden menoleh kearah sumber suara. Ternyata dia adalah Angel gadis yang tak kalah popular di sekolah itu karena kecantik juga tubuhnya yang bagus. Angel duduk di samping Alden, langsung memeluk tanganya manja.
"Ngapain lo, gue udah bilang jangan ganggu gue." ujar Alden berusaha menyingkirkan tangan Angel.
Ketiga temannya hanya diam, mereka tahu hubungan keduanya. Tidak ingin ikut campur, hanya fokus makan sampai bel berbuyi tanda masuk kelas. Suasana kantin yang ramai kini sudah sepi, siswa siswi berlari ke kelas masing masing.
*
"Apa ada kabar tentang Athur?"
"Belum."
"Bug! Prang!" suara pukulan keras dan bunyi pecahan botol yang di lepar kesembarang arah.
"Cari sampai dapat!"
"Kita juga udah cari. Lo coba cari juga jangan hanya nyuruh." kesal karena merasa dia merasa tidak di hargai.
"Apa lo bilang barusan." Lelaki itu menatap tajam kearahnya.
"Udahlah ngapain kalian berantem. Ngak ada gunanya." lerai salah satunya.
Mereka baru tersadar dengan ucapannya. Bertengkar justru hanya menyita waktu saja. Bukan malah cepat menemukan tujuannya mereka justru membuang waktu yang tidak jelas.
Tidak mungkin tidak ada sebab lelaki itu sampai berani melukai Athur. Pasti ada sesuatu di atara keduanya yang membuat hubungan mereka seperti musuh. Dendam seperti apa yang di simpan sampai tega ingin mencelakai Athur.
*
Berbeda lagi dengan suasana di kampung tempat Athur kini berada. Lelaki itu merasa jenuh, hanya berdiam di rumah. Hari yang sudah menunjukan waktu malam pukul delapan. Dia masih belum melihat Rara berada dirumahnya.
"Kakakmu kemana?" Dino yang merasa di sana sendiri menengok kekanan kekiri tidak ada orang.
"Abang tanya aku?" tunjuknya pada diri sendiri.
"Iya siapa lagi"
"Ya kali aja lagi tanya sama yang tak kasap mata." jawabnya buat Athur melotot tajam kesal. Bisa-bisanya adik iparnya itu malah bercanda.
Menghela nafas, "Kakakmu kemana?"
"Kakak siapa Bang? Gue punya dua!" sahutnya pelan namun penuh penekanan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!