NovelToon NovelToon

Possesif BADBOY

Part 1 Mabuk

Dentuman musik menggema di seluruh penjuru ruangan itu. Ruangan yang dipenuhi oleh manusia yang hanya menginginkan kebahagiaan dunia. Senggol sana sini sudah menjadi hal lumrah di tempat terkutuk bagi sebagian orang tersebut. Cahaya lampu yang temaram membuat pandangan mata tak begitu jelas, tapi mereka sama sekali tak menghiraukan hal itu.

Seorang gadis dengan rambut red brown sebahu, baru saja meneguk minuman berwarna bening tapi bukan air bening biasa, melainkan minuman haram yang bisa memabukkan. Entah berapa gelas yang sudah masuk ke dalam perutnya, membuat gadis mabuk berat.

"Ini dia? Cantik juga," celetuk seorang lelaki dengan banyak tato di lengannya.

"Keberuntungan buat kita bos," sahut temannya yang memiliki tato cukup banyak juga.

"Bawa dia!" titah lelaki yang dipanggil bos itu.

"Heh! Lepas! Lo siapa? Hahaha, Lo malaikat pencabutan nyawa ya? Ambil, ambil aja nyawa gue, gue udah siap masuk Syurga." Gadis itu berbicara dengan nada kurang jelas, dia bahakan tertawa dan tak berapa lama tawa itu lenyap berganti dengan suara tangis.

"Ayo ikut!" salah satu lelaki itu menarik paksa gadis tersebut, dia tak ingin membuat keributan jika membawa gadis itu dengan menggendongnya. Apalagi gadis itu terus mengoceh tidak jelas.

"Gak mau! Cabut nyawa gue di sini aja!" tolak gadis itu.

Disisi lain, masih di ruangan yang sama, seorang pemuda duduk di depan meja bartender, dia sedang mengobrol dengan pemilik club malam tersebut.

"Minum Ken!" si pemilik club memberikan segelas air bening ke hadapan pemuda itu.

"Gue lagi gak minun," tolak pemuda itu.

"Oke ngerti gue. Jadi, tujuan Lo kesini cuma buat ngawasin anak buah Lo doang?" tanyanya sedikit meledek.

"Hm, kemarin ada yang nyari gara-gara, gue cuma mau mastiin apa orang itu berani balik lagi atau gak," jawab Ken apa adanya, tak peduli dengan ejekan temannya itu.

Si pemilik club mengangguk, "Iya, gue kemarin gak di sini, jadi gak tahu, tapi anak buah gue udah cerita. Dia gak bakalan berani masuk sini lagi," sahutnya.

"Anak buah Gavin?" tanyanya penasaran.

Ken menggelengkan kepala, "Bukan," jawabnya.

"Gue lupa, Lo sama dia udah damai," sahut pemuda dengan rambut pirang itu, dia terkekeh seakan mengejek seorang Arken.

"Ck, Lo pikir sendiri, dia suami adek kandung gue!" Ken mendengus mendengar ejekan temannya itu.

Tawa lelaki berambut pirang itu pecah, tapi Ken hanya mendengus.

Tiba-tiba Ken melihat seseorang yang dia kenal, tepat di meja paling ujung, seorang gadis sedang ditarik paksa oleh dua orang lelaki. Matanya memancing menatap gadis itu lekat.

"Ger, Lo tahu gadis itu? Dia kesini sama siapa?" tanyanya pada pemilik club tersebut.

Gerry si pemilik club itu menatap kemana arah telunjuk Ken, "Gak, tapi tadi gue lihat dia kayaknya sama teman-temannya. Mereka dari tadi duduk di sana," jawabnya. "Lo kenal?" tanyanya.

Mendengar jawaban Gerry, Ken langsung mendekat ke arah meja gadis itu. Gerry yang melihat tatapan Ken tak biasa, memilih mengikuti temannya tersebut.

"Lepas! Atau Lo berdua habis di tangan gue!" ancam Ken pada dua lelaki bertubuh kekar itu. Ken sama sekali tidak takut dengan dua lelaki tersebut.

"Siapa Lo? Gak usah ikut campur!"

"Lo gak perlu tahu siapa gue! Cepatan lepas atau Lo berdua gue habisi!" ancam Ken, sama sekali tidak takut dengan dia preman itu.

Tanpa aba-aba, seorang dari dua lelaki itu langsung menyerang Ken, untung saja Arken bisa menghidari, hingga pukulan lelaki itu tak mengenai wajahnya.

Anak buah Ken yang kebetulan ada di sana, langsung mendekat saat melihat Arken adu jotos dengan orang tak di kenal. Mereka membantu ketuanya itu, hingga kedua lelaki itu tumbang. Kegaduhan memenuhi area club tersebut, membuat Gerry berdecak frustasi. Hingga tak lama anak buahnya pun mendekat.

"Bawa keluar mereka berdua! Inget wajahnya jangan sampai mereka masuk ke sini lagi!" titah Gerry pada anak buahnya dan langsung di turuti oleh mereka.

"Ck, Lo bikin tempat gue kacau Ken! Kalau bukan Lo udah gue tendang!" Gerry berdecak kesal melihat clubnya berantakan.

"Sorry, gue bakalan ganti semuanya," jawab Ken penuh sesal.

"Ck, gak perlu. Siapa cewek itu? Pacar Lo?" tanya Gerry pada Ken, sebab Ken bukan seseorang yang mau ikut campur urusan orang lain.

"Bukan, gue kenal sama dia. Thanks, gue bawa dia balik. Nanti kalo ada yang nyari Lo telpon gue." Dengan mudah Ken menggendong tubuh gadis itu dan membawanya keluar dari club tersebut.

Anehnya saat Ken yang membawa, gadis itu tidak berontak sama sekali. Meski dia masih mengoceh tidak jelas.

"Jo! Lo bawa motor gue ke markas! Gue naik taksi!" titah Ken pada salah satu anak buahnya.

Setelah mengatakan itu, Ken pun langsung memesan taksi. Tak mungkin dia membawa gadis yang sedang mabuk berat itu menggunakan motor. Dia menatap penuh iba pada gadis itu. Dia tahu gadis tersebut menyimpan banyak luka, mungkin ini salah satu alasan dia mabuk hingga separah ini.

"Mau Lo bawa ke mana dia Ken?" tanya Ipang.

Ken menghela napas, dia pun bingung harus membawa gadis ini ke mana, ke rumah gadis itu tidak mungkin. Sudah pasti gadis ini akan lebih sakit jika pulang dalam keadaan seperti ini.

"Markas, dia lebih aman di markas," jawabnya setelah cukup lama terdiam.

"Lo yakin? Takutnya dia membahayakan Ken," sahut Ipang waspada.

"Gak, gue jamin dia gak membahayakan. Kalaupun iya, gue bakalan tanggung semuanya," sahutnya, membuat Ipang dan yang lainnya pasrah.

Tak lama taksi yang Ken pesan datang, dia pun langsung menawa gadis itu ke dalam taksi menuju ke markas. Sesampainya di markas, dia langsung membawa gadis tersebut ke dalam kamar pribadinya. Menyelimuti tubuh mungil gadis tersebut, memandangnya sebentar lalu meninggalkan gadis itu di dalam kamarnya.

"Mulai sekarang, Lo semua kalau lihat gadis itu dalam bahaya, harus bantu dia dan kasih tahu gue!" pesan Ken pada anak buahnya yang ada di markas malam itu.

"Siap bos!" sahut semuanya.

"Kasih tahu yang lain juga," sahutnya.

Bukan tanpa alasan Kenapa memberi pesan seperti itu, sebab dia merasa ada yang tidak beres dengan gadis itu. Apalagi saat tadi dia sedang di seret sama dua preman, sepertinya ada yang berniat tidak baik dengan gadis tersebut.

☘︎☘︎☘︎☘︎

Sinar matahari menerobos lewat celah jendela yang ada di sebuah kamar. Cahaya yang hanya segaris itu mampu membangunkan seseorang yang sedang terlelap di dalam kamar tersebut. Kedua bola matanya menyipit saat sinar matahari mengenai kedua bola mata cantinya itu.

Seorang gadis dengan rambut red brown itu mengerjakan matanya. Dahinya mengernyit saat menyadari dia berada di ruangan asing. Tiba-tiba jantungnya berdetak tak menentu, pikirannya sudah kemana-mana. Saat itu juga dia memeriksa pakaian yang dia kenakan.

Masih utuh. Dia pun bersyukur, berarti semua ini tak seperti yang dia pikirkan.

"Gue dimana?" tanyanya pada diri sendiri.

Merasa penasaran, dia pun bangkit dari tidurnya. Menatap sekeliling kamar. Dahinya kembali mengernyit saat menyadari jika dia berada di dalam kamar seorang cowok, terlihat dari pakaian yang menggantung di balik pintu.

Clek

"Eh, udah bangun?" tanya si pemilik kamar saat masuk dan mendapati gadis yang semalam dia tolong sudah berdiri di depan pintu.

"Ini gue bawa sarapan sama seragam sekolah. Lo sekolah kan sekarang?" Cowok itu yang tak lain adalah Ken, memberikan dua buah paper bag berisi makanan dan juga pakaian untuk gadis itu.

"Kenapa gue ada di sini? Ini gue dimana? Apa yang Lo lakuin?" tanya gadis itu penuh selidik.

Ken menghela napas, dia lupa jika semalam saat membawa gadis ini, dia dalam keadaan mabuk sudah pasti tidak ingat semuanya. "Lo mabok di club, gue bingung mau bawa kemana, yaudah gue bawa ke sini," jawabnya.

"Ngapain Lo bawa gue ke sini? Lo pasti punya niat jahat sama gue kan?" tuding gadis itu.

Ken melebarkan bola matanya mendengar tuduhan gadis itu, "Ck, harusnya Lo berterimakasih sama gue Luna! Lo tahu gak semalam hampir aja di lecehin sama dua preman, kalau gak ada gue entah jadi apa Lo semalam," jawabnya kesal.

Luna mendengus, "Gak usah peduli sama gue! Lo bukan siapa-siapa! Minggir gue mau balik!"

Luna mendorong tubuh Ken, mencoba untuk keluar dari kamar tersebut, tapi dengan mudah Ken mengunci pintu itu, sialnya pintu tersebut menggunakan sandi yang langsung terkunci saat pintu tersebut tertutup.

"Yakin Lo mau pulang dalam keadaan gini? Gak masalah?" tanya Ken.

"Ck, apa peduli Lo? Kita bahkan gak saling kenal. Buka gak pintunya? Atau gue teriak!" ancam Luna.

"Ck, dasar cewek! Dipermudah malah pilih yang ribet," sahut Ken sama sekali tak peduli dengan ancaman Luna.

"Bukain pintunya gue mau balik!" teriak Luna, tapi Ken mengabaikan itu, dia justru duduk di sofa dan meletakkan paperbag tersebut di sana.

"Sarapan dulu, terus mandi ntar gue anterin ke sekolah. Tas Lo dalam perjalanan ke sini," sahutnya santai, mencoba bersabar menghadapi sikap gadis itu.

"Gue mau balik!" teriak Luna lagi.

Ken menghela napas, gadis itu sangat keras kepala sekali. "Lo boleh keluar dari sini kalo udah sarapan dan ganti baju. Kalau gak mau, Lo bakalan di sini sampai besok," sahut Ken membuat Luna melebarkan kedua bola matanya.

"Apa sih yang Lo mau?" tanya gadis itu. Kesal sekaligus takut dengan pemuda do hadapannya ini.

"Ya itu, yang gue katakan tadi." Ken berdiri dari duduknya. "gue keluar, tiga puluh menit lagi gue balik, kalo Lo belum sarapan dan belum ganti baju, Lo gak akan gue biarin keluar dari sini."

Ken membuka pintu kamar tersebut menggunakan sidik jari, dan dia berlalu tanpa mendengar jawaban Luna. Entahlah kenapa dia bisa melakukan itu, dia hanya mengikuti insting saja, tidak lebih.

"DASAR PEMAKSA!" teriak Luna kesal setelah pintu kamar tersebut tertutup.

Mau tak mau dia memilih menuruti perkataan Ken, dia ingin segera keluar dari tempat tersebut. Entah tempat apa ini, mungkin apartemen atau rumah pemuda itu? Tapi sepertinya bukan rumah pemuda itu.

Dia menikmati sarapan tersebut tanpa minat, bukan karena sarapannya yang tidak enak, tapi karena kesal dengan pemberi sarapan itu. Meski tak berminat makanan yang Ken beli tadi akhirnya dia habiskan. Selesai dengan sarapannya, dia mencoba mencari di mana ponselnya. Ingin menghubungi sahabatnya, dan menanyakan kenapa dia berada di sini, kenapa tidak berada di rumah sahabatnya?

"Ini tas gue, tapi mana ponselnya?" dia melihat isi dalam tas tersebut, hanya ada dompet tapi entah kemana ponsel miliknya.

"Entar gue tanya sama cowok resek itu," putusnya lalu memilih masuk ke dalam kamar mandi, dia ingin mandi karena jujur tubuhnya terasa lengket, bahkan badanya tercium aroma alkohol yang smangat menyengat.

Luna sudah berganti pakaian dengan seragam yang Ken belikan tadi. Anehnya Ken tahu ukuran baju miliknya, bukan hanya itu, Ken juga membelikan dalaman yang pas di tubuhnya. Entah darimana dia tahu smeua ukuran pakaiannya itu, tapi tentu Luna tak akan menanyakan hal tersebut.

Tepat seperti ucapannya, Ken kembali masuk ke dalam kamar tersebut setelah tiga puluh menit berlalu. Pemuda itu terlihat lebih rapi dari sebelumnya, sepertinya Ken juga baru saja mandi dan berganti pakaian.

"Hp Lo, selamalan gue charger, soalnya batrenya habis." Ken menyerahkan ponsel yang sejak tadi Luna cari.

"Lo bukain hp gue kan?" bukannya berterimakasih Luna justru menuduh Ken.

"Menurut Lo?"

"Ck, Lo terlalu ikut campur urusan pribadi gue! Inget Lo bukan siapa-siapa dan gak berhak ikut campur!" Luna memeriksa ponselnya, tapi tak ada sesuatu yang aneh di sana.

Ken menghela napas, "Gue anter ke sekolah, tas sekolah Lo ada di bawah."

Ken kembali membuka pintu kamar tersebut, dan keluar dari sana diikuti oleh Luna.

Gadis itu memandang sekitar, meneliti setiap sudut yang dia lewati. Dia belum paham berada dimana saat ini, tapi saat mereka menuruni anak tangga, dia baru paham ketika di bawah sana banyak cowok dengan kegiatan mereka masing-masing. Ditambah dinding di sana dipenuhi dengan lukisan kalajengking.

Ya, ini adalah markas.

Sama sekali tak menyangka cowok yang berjalan di depannya ini seorang anggota geng motor.

"Siapa yang ambil tas dia? Mana bawa sini?" Ken bertanya pada mereka yang duduk di sana.

"Ini bos," salah seorang anak buah Ken memberikan tadi tersebut pada Luna.

"Thanks, gue cabut!" ucap Ken setelah Luna menerima tas miliknya.

Lagi-lagi Luna merasa heran dengan Ken, kenapa bisa pemuda itu mendapatkan tas miliknya yang jelas-jelas ada di rumah. Bahkan buku yang ada di dalamnya pun, semua buku pelajaran hari ini. Ingin bertanya tapi dia sungkan, dan malas banyak bicara di hadapan pemuda itu.

"Gue ke sekolah sendiiri," celetuk Luna saat mereka sudah berada di luar markas.

Ken yang baru saja akan menaiki motornya menolah, "Gak, Lo berangkat bareng gue!" putusnya.

"Lo pemaksa banget sih? Gue ogah bareng Lo! Gue udah pesen taksi!" tolak Luna.

"Terserah Lo! Silahkan keluar dari sini kalo itu mau Lo!" sahut Ken santai. Dia bahkan membiarkan Luna berjalan mendekati gerbang.

Ken memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, senyum di bibirnya terbit saat melihat Luna berusaha membuka gerbang tersebut tapi tidak berhasil. "Satu, dua, ti..." belum juga dia menyelesaikan hitungannya, Luna sudah lebih dahulu teriak.

"KEN BUKAIN PINTUNYA!"

Part 2 Sakit

Ken terkekeh mendengar teriakan gadis itu. Dia pun berjalan menghampirinya. "Gak bisa buka ya?" ledeknya.

"Gue bisa telat!" seru Luna kesal.

Ken tersenyum menatap gadis itu, "Gue anter, atau Lo gak akan bisa keluar dari sini," ucapnya memberikan pilihan.

Luna mendengus, "Dasar pemaksa!" serunya.

"Tinggal pilih apa susahnya, hm?"

"Ck, terserah Lo!"

"Gue cuma mau mastiin Lo selamat sampai tujuan, makanya gue anter Lo ke sekolah. Takutnya preman semalam masih berusaha nyariin Lo," sahut Ken mencoba menjelaskan.

Akhirnya Luna menyerah, lebih baik dia ke sekolah diantar oleh cowok itu daripada berada di tempat asing ini lebih lama lagi. Apalagi setelah mendengar penjelasan Ken, membuatnya sedikit takut. Oke, kalau saja di tempat ini tidak ada Ken, dia mungkin akan betah. Tapi di sini ada Ken, alasan terkuat yang membuat dia tidak betah di sana.

Ken mengantar Luna ke sekolah, selama perjalanan sama sekali tidak ada obrolan. Sesekali Ken mengerjai gadis itu dengan cara mengegas motornya dengan kencang, dan membuat Luna reflek memeluknya. Dia tahu gadis itu menggeruduk, tapi Ken membiarkan saja. Dia hanya tersenyum menanggapi.

Sesampainya di depan gerbang sekolah, Ken memperhatikan gadis itu yang sudah masuk ke area sekolah tanpa mengucapkan terimakasih atau apapun. Dia teringat awal pertemuan mereka yang tidak di sengaja.

Kala itu, Ken sedang pergi ke rumah rekan bisnisnya bersama adik perempuannya yang ternyata teman sekolah Luna. Saat itu dia dan adiknya tak sengaja melihat Luna sedang adu mulut dengan Papanya, bahkan Papanya sempat menampar wajah Luna di depan matanya.

Dan seharian itu, Luna ikut bersama mereka karena adek perempuan Ken yang mengajak. Hingga berakhir Ken mengantarkan Luna pulang. Awalnya dia iba dengan gadis itu setelah kejadian tersebut.

Tak pernah menyangka jika semalam mereka kembali bertemu di tempat yang tak disangka, bahkan Luna hampir saja menajdi korban pelecehan. Miris sekali hidup gadis itu. Tapi entah kenapa dia suka sekali menggodanya.

Ken tersadar dari lamunannya saat mendengar klakson mobil, ternyata sejak tadi dia berhenti di depan gerbang sekolah tanpa sadar. Setelah itu dia pun berlalu dari sana.

☘︎☘︎☘︎☘︎

"Luna! Lo baik-baik aja kan?" tanya sahabatnya saat gadis itu baru saja masuk ke dalam kelas.

"Hm, seperti yang Lo liat," jawab Luna. Dia duduk di bangkunya.

"Lo semalam kemana? Kita cariin Lo udah gak ada? Kita khawatir sama Lo Lun?" tanya Gadis salah satu teman Luna.

"Kita cari ke rumah Lo juga kata bibi Lo gak pulang Lun," sahut Sera.

"What? Kalian ke rumah gue? Ck, udah gue bilangin gak usah ke rumah, ngapain?" Luna berdecak, kesal karena teman-temannya tidak menurut akan peringatannya. Sudah pasti dia akan kena masalah setelah ini.

"Sorry Lun, kita panik soalnya. Tapi seriusan Lo kemana sih? Kok tiba-tiba ngilang?" kini Mauren yang bertanya, sebab pertanyaan dua temannya sama sekali belum di jawab oleh Luna.

"Kalian tahu gak, gue hampir aja dilecehin sama preman, untung aja ada yang nolongin gue. Sumpah kalian tega banget ninggalin gue!" Luna kesal dengan ketiga sahabatnya itu.

"Kita gak ninggalin Lo ya, Lo nya aja yang mabok. Kita pamitan waktu mau ikut party, dan Lo bilang iya, jadi kita tinggalin sebentar, eh pas kita balik Lo nya gak ada," sahut Mauren tak mau disalahkan.

"Ck, gara-gara kalian gue ketemu cowok ngeselin!" Luna menelungkup menyembunyikan wajahnya. Kepalanya terasa pening, karena pagi-pagi emosinya sudah meledak.

Luna masih kesal dengan pemuda itu. Mereka tidak saling mengenal, tapi kenapa Ken seakan-akan mengenalnya begitu dekat. Padahal mereka juga baru dua kali bertemu.

"Terus Lo tidur dimana semalam Lun? Gak tidur di kolong jembatan kan?" belum menyerah, Gadis kembali bertanya.

"Ck, tidur di kamar lah, ngapain gue tidur di kolong jembatan?" sahut Luna sewot. Sengaja tak ingin memberi tahu sahabatnya jika dia tidur di markas Scorpion. Tak mau mereka berfikir yang tidak-tidak, selain itu dia juga bukan tipe gadis yang mudah curhat dengan siapapun bahakan dengan teman akrabnya sekalipun.

"Kirain Lo di usir terus tidur di kolong jembatan," sahut Gadis enteng.

"Sialan Lo!" Luna menatap Gadis kesal, sedangkan Gadis yang ditatap malah menyengir tak bersalah.

☘︎☘︎☘︎☘︎

Sore hari, sepulang sekolah Luna memutuskan untuk langsung pulang ke rumah. Dia sengaja pulang sendiri dan menolak saat Gadis ingin mengantarnya. Meski rasanya berat untuk pulang, tapi mau tak mau dia harus tetap kembali ke rumah jika tidak mau masalah akan makin besar nantinya.

Sesampainya di rumah, benar saja Mamanya sudah menunggu kedatangan gadis itu. Bahkan tanpa banyak tanya, wanita berusia empat puluh tahunan itu langsung menarik rambut Luna.

"Dasar anak tidak tahu diuntung! Semalam tidur dimana kamu, hah? Tidur di rumah laki-laki! Iya? Jawab Mama Luna!" tanpa merasa kasihani dan iba, Dania menjambak rambut Luna.

"Akkh, sakit Mama! Luna minta maaf Ma, tolong lepasin!" Luna tak bisa berbuat apapun, kepalanya terasa panas dan rambut dikepalanya seakan ingin copot akibat jambakan dari sang Mama.

"Jawab Mama dulu! Semalam kamu kemana? Kenapa Mauren kesini nyariin kamu! Berarti kamu pergi sama laki-laki, kan? Jawab Mama Luna!" teriak wanita itu.

"Aku jelasin semuanya pun Mama gak akan percaya, kan? Jadi untuk apa aku jelasin," jawab Luna. "Akhh, sakit Ma!" terik Luna lagi saat sang Mama kembali menarik rambutnya.

Brak

Dania mendorong tubuh putrinya itu hingga terkapar di lantai. Wanita itu tak peduli dengan suara tangis Luna. Entah terbuat dari apa hati wanita itu, padahal Luna adalah anak yang dia lahirkan dari rahimnya sendiri. Alasan apa yang membuat Dania seperti itu tak ada yang tahu, hanya dia dan Tuhan saja yang tahu.

"Kakak kenapa? Kakak jangan nangis! Nanti Io ikutan nangis." Seorang bocah berusia sekitar lima tahun mendekati Luna dan memeluknya.

Luna menghapus air matanya, dia mencoba tersenyum saat mendapatkan pelukan dari adiknya. Dia pun membalas pelukan tersebut, "Kakak gak nangis, Io gak boleh nangis ya, katanya jagoan," tuturnya lembut, tak ingin membuat sang adik bersedih.

Leo mengangguk, "Io gak akan nangis Kak, Io kan jagoan. Io akan jagain Kak Luna, bial gak ada yang jahatin kakak lagi," sahut bocah kecil itu, wajah sedihnya kini sudah berubah.

Luna memeluk adiknya tersebut, lalu menggendong tubuh mungil Leo dan membawanya ke kamar. Untung saja tadi Leo tidak melihat saat sang Mama menyiksanya.

"Leo alasan Kakak tetap bertahan di rumah ini, makasih ya sayang." Dia mengecup seluruh wajah Leo dengan gemas. Jika tidak ada Leo, mungkin dia sudah meninggalkan rumah ini sejak lama. Dia sayang dan sangat sayang dengan Leo, yang kehidupannya hampir sama dengannya, kurang kasih sayang dari kedua orang tua.

"Leo harus jadi anak baik ya," ucapnya setelah mencium seluruh wajah Leo.

Dia mengantar Leo ke kamarnya, tidak hanya mengantarkan saja tapi dia memilih bermain sebentar dengan Leo. Mungkin dengan cara seperti ini dia akan menghilangkan rasa sakitnya.

Tak lama pengasuh Leo datang, "Den Leo, ayo mandi, udah sore nanti Mama marah kalo Den Leo belom mandi," seorang wanita berumur sekitar tiga puluh tahunan mendekat ke arah mereka berdua.

"Io mandi dulu ya Dek, gambarnya terusin nanti ya," bujuk Luna.

"Mandi sama kakak," sahut Leo.

"Let's go!" Luna mengepalkan sebelah tangannya ke udara. "Mbak biar Leo mandi sama aku aja," ucapnya pada pengasuh Leo.

"Baik Non, kalau gitu saya siapkan bajunya,"

Tanpa mengganti seragam miliknya, Luna langsung masuk kamar mandi memandikan Leo. Seperti biasa jika seharian saja Leo tidak bertemu dengan Luna, bocah itu pasti merengek. Semuanya harus Luna dan Luna. Mulai dari mandi, bahkan makan pun harus dengan Luna.

"Yeay! Kakak kena!" Leo bermain air dengan buih sabun, dia bahkan mengusap buih sabun itu ke wajah Luna.

"Mata Kakak pedih dek, duh. Gimana ini kalo mata kakak sakit?" Luna pura-pura kesakitan, padahal buih itu tidak pedih di mata, jadi tidak masalah jika terkena mata.

"Maaf Kakak, Io salah. Sini Io basuh mukanya." Leo mengusap wajah Luna, tapi seketika Luna langsung mengoles bisa ke wajah bocah itu.

"Kakak culang! Io jadi kena busa, kalau sakit gimana?" bocah kecil itu merengek.

"Coba buka mata sayang, gak bakalan sakit kok," titah Luna.

Perlahan Leo membuka mata, "Benal gak pedih!" serunya.

Mereka berdua terlihat seru bermain di dalam kamar mandi. Pengasuh Leo hanya menatap keduanya dengan senyuman. Dia bahagia jika ada Luna di rumah, sebab Leo gak akan rewel dan merengek minta pergi bermain dengan teman-temannya.

"Luna!"

Di tengah asyiknya bermain dengan Leo, sebuah suara yang amat dia kenali masuk ke dalam gendang telinga. Suara yang begitu menggelegar, membuatnya menghela napas.

"Io mandinya lanjut sama Mbak ya, Kakak di cariin Papa. Gak apa-apa kan Dek?" Luna menatap Leo yang masih asyik bermain sabun, adiknya itu menatapnya sebentar lalu mengangguk.

"Iya Kakak, tapi nanti janji main sama Io lagi ya," pintanya.

"Iya sayang, yaudah kakak keluar ya." Luna pun keluar dari kamar mandi, tak ingin Papanya menunggu terlalu lama.

"Mbak, di lanjutin ya, aku mau ketemu Papa." Luna berlalu dari kamar Leo, sebelum benar-benar keluar dia menghela napas panjang, menyiapkan diri bertemu dengan sang Papa.

"LUNA!" teriak Papanya.

"Ngapain teriak-teriak sih Pa? Aku di kamar Leo." Luna menatap wajah Papanya yang terlihat begitu menyeramkan saat ini.

Plak

Tanpa mengucap sepatah kata pun, Papanya langsung menampilkan pipi mulus Luna. Tamparan tersebut bahkan membuat tubuh Luna oleng, dan hampir saja terjatuh di lantai jika tidak berhasil menahan bobot tubuhnya.

Perih, itulah yang dia rasakan. "Sssh sakit Pa," lirihnya.

"DASAR ANAK KURANG AJAR! Bangun kamu!" tanpa perasaan sang Papa menarik lengan Luna supaya berdiri.

"Sakit Pa," lirihnya lagi. Air matanya jatuh tanpa dia inginkan. Sakit di pipi dan juga lengannya tak seberapa, dibanding sakit hatinya yang begitu dalam. Kedua orang tuanya memperlakukan dia layaknya binatang.

Plak

Sang Papa menampar nya kembali, meski tak sekuat tadi tapi tetap saja kedua pipinya terasa panas dan perih. Bahkan bekal telapak tangan sang Papa terlihat jelas disana.

"Mau jadi PELACUR kamu, iya? Seperti...."

"Stop Papa!" Dania keluar dari kamarnya, dan langsung memotong ucapan sang suami.

"Urus anak kamu itu DANIA! Jangan sampai dia jadi wanita murahan seperti ibunya!" tuding lelaki itu tanpa perasaan.

"PAPA! STOP BILANG SEPERTI ITU!"

Luna yang merasa punya kesempatan, memilih lari dan masuk ke dalam kamarnya, meninggalkan kedua orang tuanya yang sedang adu mulut. Tapi belum juga langkah kakinya masuk sepenuhnya ke dalam kamar, suara sang Papa kembali menggema.

"Kalau sampai saya tahu kamu tidur sama laki-laki lagi, saya bun*h kamu!" ancam lelaki paruh baya itu.

Luna tak menjawab, dia justru masuk ke dalam kamar dengan membanting pintu.

Brak

Luna menangis sejadi-jadinya di balik pintu. Hati dan perasaannya hancur, ditambah seluruh tubuhnya sakit karena kekerasan yang dia terima. Ini memang bukan kali pertama dia mendapatkan perlakuan buruk seperti itu bahkan pernah merasakan lebih dari ini, tapi rasanya tetap sama, sakit.

Lalu apa yang harus dia lakukan agar semuanya ini berakhir?

Part 3 Diculik?

"Gue mau stop kerja sama dengan Viper," celetuk Ken tiba-tiba.

"Lo serius Ken?" sahut Johan salah satu inti Scorpion.

Ken menganggukkan kepala, "Hm," balasnya.

"Apa alasannya?" tanya Johan lagi.

"Gue pengen stop di dunia hitam Jo," jawabnya.

Saat ini mereka sedang berada di markas Scorpion tepatnya di dalam ruangan yang biasa mereka gunakan untuk bekerja. Hanya ada inti Scorpion yang jumlahnya sekitar tujuh orang. Di luar ruangan tersebut ada banyak anak Scorpion lainnya.

Mereka bertujuh memang sengaja mengadakan rapat, sesuai permintaan Ken. Dia bermaksud memberitahu rencananya pada mereka, bukan hanya itu Ken juga membahas bagaimana cara bisa keluar dari lingkaran hitam bersama Viper.

Viper sendiri sebuah geng motor yang tidak begitu terkenal di kalangan anak jalanan lainnya. Mereka lebih terkenal dalam dunia hitam, banyak yang bersekutu atau bekerjasama dengan geng tersebut. Mereka bisa dikatakan bukan geng motor biasa yang hanya berkecimpung dijalankan, seperti balapan dan adu kekuasaan. Mereka justru lebih tersembunyi lagi saat beraksi.

"Gak semudah itu Ken," sahut Raka salah satu inti Scorpion.

"Bener, banyak resiko yang menanti kita kedepannya," sahut Ipang.

"Gue akan ambil resiko itu," yakin Ken. Dia memang sudah berencana meninggalkan dunia hitam yang selama ini digelutinya, ingin kembali ke kehidupan normalnya.

"Gue yang memulai, dan gue juga yang harus mengakhiri," celetuk Ken.

Dulu Scorpion di tangan Arga-kakak sepupu Ken, tidak pernah bekerja sama dengan geng yang berkecimpung di dunia hitam. Mereka hanya sering mengadakan balapan dan aktivitas motor lainnya. Paling mentok merayakan kemenangan di club malam, tapi saat Scorpion berada di tangan Ken, dia justru membawa geng motor tersebut bekerja di dunia hitam.

Seringkali mereka menghadapi bahaya besar hanya untuk mendapatkan keuntungan besar. Bahkan mereka rela bertaruh bahwa demi pekerjaan itu.

"Gue rasa keputusan Ken udah bener. Kita bekerja di dunia hitam, bukan hanya nyawa kita yang jadi taruhan, tapi keluarga dan orang terdekat kita juga," ucap Satria salah satu anggota tertua di Scorpion.

"Iya Bang, gue mikirnya sebelum berumahtangga, gue harus lepas dari dunia ini dulu, gue gak mau anak dan istri jadi taruhannya nanti," sahut Ken.

"Kalau gitu kita cari cara biar gampang lepas dari Viper, tanpa membuat mereka sakit hati," sahut Satria.

"Sebelum itu, kita punya satu kerjaan buat kawal bos mafia dari bandara ke tempat biasa besok malam. Dan gue udah nyanggupin itu," ujar Ken mengingat pertemuan terakhirnya dengan ketua geng Viper beberapa hari yang lalu.

"Kita ikut keputusan Lo Ken," sahut Satria menepuk pundak Ken. Dia percaya Ken bisa mengatasi semua masalah ini.

"Hm, makasih Bang," Ken menganggukkan kepala sebagai tanda hormat pada Satria yang lebih tua darinya.

"Hm, Jo! Lo udah nemuin siapa yang kemarin nyerang anak-anak di club Gerry?" atensi Ken kini beralih pada Johan.

Johan mengangguk lalu menggeleng, "Mereka gak diketahui identitasnya Ken, gue curiga itu dari Viper," jawabnya.

"Kenapa begitu?" tanya Ken heran.

"Siapa lagi yang bisa menyamar sebaik itu kalau bukan Viper? Kayaknya mereka udah mencium kalau kita mau keluar dari mereka," jawab Johan masuk akal.

Ken menghela napas, lalu menghisap batang nikotin yang sejak tadi dia nikmati, menyemburkan asap yang dihasilkan ke udara dengan bebas, "Belum juga gue ngomong, mereka udah tahu duluan," sahutnya.

"Gue bilang apa, salah satu anggota kita ada yang jadi mata-mata Viper, tapi gua gak tahu itu siapa. Bisa saja salah satu dari kita atau dari anggota lain," sahut Ipang yang sejak tadi menyimak.

Ken menatap ke arah Ipang lalu menatap keenam anggota inti Scorpion secara bergantian, lalu menghela napas membenarkan jika yang dikatakan Ipang ada benarnya. Sebab dia pernah membahas akan mengakhiri kerjasama itu dengan Ipang beberapa hari yang lalu.

"Tapi gue yakin bukan diantara kalian," ujarnya percaya diri.

"Lagian kita ngapain jadi mata-mata Viper, kita tahu gimana mainnya Viper," sahut Satria dan dibenarkan oleh yang lain.

☘︎☘︎☘︎☘︎

Tok.. Tok.. Tok

"Non, disuruh turun untuk makan malam!" seru Bi Sri salah satu Art di rumah Luna.

Pintu kamar Luna terbuka, menampakkan seorang gadis dengan pakaian serba minim. Tang top dan celana bahan pendek di atas lutut.

"Astaghfirullah, Non, kenapa wajahnya kaya gitu?" Bi Sri terkejut melihat wajah Luna yang membiru. Dia tidak tahu kejadian tadi sore, sebab sedang belanja di pasar.

Luna tersenyum samar, "Bibi kaya gak tahu aja," jawabnya. "dibawah siapa aja Bi?"

"Ya Allah Non, yang sabar ya Non, Bibi cuma bisa doakan semoga nanti Non Luna dapat jodoh yang bener-bener sayang sama Non. Non udah menderita dari kecil," air mata Bi Sri tiba-tiba lolos tanpa diminta.

"Amiin, tapi Bibi gak perlu nangis, aku aja gak nangis," sahut Luna. Dia tidak mau dikasihani oleh orang lain.

"Aku gak mau makan di bawah Bi, tolong nanti bawakan ke kamar ya," pintanya.

"Tapi Non, yang minta Non Luna turun itu Den Leo, di bawah gak ada Bapak, cuma Den Leo sama Nyonya," sahut Bi Sri.

"Hm, baiklah aku turun aja kalo gitu." Dia langsung menutup pintu kamar dan turun ke pantai bawah bersama Bi Sri.

Sesampainya di meja makan, sang Mama hanya melirik sekilas tanpa bertanya. Seakan kehadiran Luna tak ada artinya sama sekali.

Berbeda dengan sang Mama, Leo justru menyambut dengan ruang kehadiran sang Kakak, "Kakak! Suapin Io ya!" pintanya membuat Luna tersenyum dan mengangguk.

Luna pun tidak menyapa sang Mama, dia memilih mengabaikan lirikan mamanya tersebut. "Io harus makan banyak ya, biar pinter," sahutnya dan ikut duduk di sebelah bocah berumur lima tahun itu.

"Sama Mbak aja Den, biar Kakak Luna makan dulu ya," bujuk pengasuh Leo.

"Udah gak apa-apa Mbak, aku bisa nanti makannya," sahut Luna sama sekali tidak keberatan.

Pengasuh Leo itu pun mengangguk, dia tetap duduk di sebelah bocah itu sambil, sesekali mengusap mulut Leo yang belepotan.

"Itu akibatnya kalau gak mau nurut sama Papa. Sakit rasakan sendiri," celetuk wanita dengan rambut disanggul itu.

Luna yang merasa sang Mama membahana tentangnya, menoleh sekilas lalu kembali menyuapi Leo tanpa mengucap sepatah kata pun.

"Besok Papa akan atur pertemuan dengan orang yang akan menikah sama kamu, jangan sampai kabur. Kalau kamu kabur, Papa bakalan marah besar, bukan cuma sama kamu tapi sama Mama juga," ucap Dania lagi.

"Ini hidup ku Ma, aku gak suka dijodohkan dengan orang itu. Aku mau cari pasangan sendiri," kali ini Luna menyahut. Dia memang tidak mau jika dijodohkan, apalagi yang dia tahu Papanya akan menjodohkannya dengan orang yang sudah memiliki istri.

"Kamu tidak akan pernah bisa melawan Papa. Turuti saja biar hidup kami tetap aman!" setelah mengatakan itu Dania pun meninggalkan meja makan karena makannya juga sudah habis.

Luna menghela napas, dia tetap akan menolak perjodohan itu bagaimanapun caranya. Biarlah jika nanti sang Papa memukulnya lagi, yang terpenting dia tak mau jadi boneka sang Papa untuk memperbanyak uang lelaki itu. Ya, dia akan dinikahkan dengan salah satu rekan bisnisnya.

Selesai menyuapi Leo, Luna langsung ke kamar, dia bahkan tidak menikmati makan malam sedikitpun. Perutnya memang lapar, tapi dia sedang tidak nafsu makan.

Sesampainya di kamar, dia langsung berganti pakaian. Tepatnya hanya menutup tang top dengan cardigan dan menutup celana pendeknya dengan celana jeans panjang.

"Bi, tolong jangan bilang Mama kalau aku keluar ya," ucap Luna pada Bi Sri yang kebetulan saat itu sedang berada di ruang tamu.

"Mau kemana malam-malam begini Non?" tanyanya khawatir.

"Mau ke rumah Gadis Bi, pengen nginep di sana," jawabnya.

"Yaudah, hati-hati ya Non, Bibi gak akan bilang kalau Non Luna pergi," sahut Bi Sri.

Setelah berpamitan dengan Bi Sri, Luna pun keluar rumah dengan berjalan kaki. Dia sengaja meminta Gadis menjemputnya, tapi entah kenapa Gadis belum membalas pesannya sejak tadi. Akhirnya dia memilih jalan kaki, dan menunggu Gadis di taman yang tak jauh dari kompleknya.

Setelah menunggu beberapa saat di taman, Gadis tak kunjung datang. Justru temannya itu mengirim pesan jika dia tidak bisa menjemputnya, membuat dia menghela napas.

"Tahu gini tadi pesen ojek aja," celetuk nya kesal. Dia sudah menunggu cukup lama di taman, tapi malah Gadis tak bisa datang.

Dia pun langsung memesan ojek online.

Beberapa menit berlalu, ojek online yang dia pesan belum juga datang, tapi justru orang lain yang datang, membuatnya mendengus melihat siapa yang datang.

"Lo ngapain di taman malam-malam begini?" tanya orang tersebut yang tak lain adalah Ken.

"Ck, peduli apa Lo? Kita bahkan gak saling kenal," sahut Luna, sewot.

Ken sebenarnya tidak berniat bertemu dengan Luna, tapi sepertinya Tuhan menakdirkan mereka bertemu saat ini. Sebab, setelah dari bengkel tadi, Ken tidak sengaja melewati jalan yang dekat dengan perumahan Luna, dan berakhir di tempat ini karena tadi dia sempat melihat keberadaan Luna di sana.

"Gue anter pulang gimana?" Ken tidak mempedulikan sikap sewot Luna, justru menawarkan tumpangan.

"Gak butuh," sahut Luna sewot.

Kena menatap, dahinya mengernyit saat menyadari wajah gadis itu lebam dan membiru, "Siapa yang nyakitin Lo? Bokap Lo lagi?" tanyanya.

Luna mendengus, dia malas meladeni Ken yang menurutnya ngeselin. Kebetulan saat itu ojek yang dia pesan juga datang. Dan dia segera meninggalkan Ken menuju ojek online tersebut.

"Luna! Biar gue anter! Gak usah naik ojek." Ken mengejar gadis itu, tapi Luna seakan tak peduli.

"Gak bisa Mas, dia udah pesen ojek dan gak bisa di cancel!" seru tulang ojek tersebut, membuat Ken memincingkan matanya.

Ken mendengus membiarkan Luna pergi bersama ojek online tersebut. Meski dia sedikit khawatir apalagii saat melihat wajah Luna yang lebam.

Selama perjalanan menuju rumah Gadis, Luna terlihat melamun. Entah apa yang dia pikirkan, hingga tukang ojek tersebut berhenti, tapi dia mengernyit saat melihat sekitar. Mereka berhenti tepat fi depan sebuah gedung terbengkalai, dan sekita hanya ada hutan yang sepi dan gelap.

"Loh, kenapa berhenti di sini Pak? Lagian kenapa kita lewat sini sih? Jalan ke rumah Gadis perasaan gak lewat sini deh," tanya Luna, dia takut di tempat gelap seperti ini.

Bukannya menjawab, tukang ojek tersebut justru terbahak. "Woy! Kita dapat mangsa!" serunya entah pada siapa.

Dan dalam hitungan detik, ada tiga orang yang keluar dari bangunan kosong tersebut. Mereka terbahak bersama.

Melihat itu nyali Luna langsung menciut, dia berniat kabut dari tempat itu, tapi tak bisa sebab tukang ojek tadi sudah menahan tangannya.

"Lepas! Tolong! Tolong!" Luna berteriak sekuat tenaga, tapi sepertinya percuma, sebab mereka berada di tengah hutan. Bahkan dia baru sadar jika jalan yang ada di hadapannya hanya jalan kecil yang sepertinya jarang dilewati orang.

"Teriak aja, gak akan ada yang denger! Hahaha!"

"Apa mau kalian hah!" Luna memberontak, berusaha melepaskan diri tapi tenaganya tidak cukup kuat melawan si tukang ojek.

"Bawa masuk! Kita pesta malam ini!" titah salah satu dari orang itu.

"Lepas! TOLONG!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!