Ada cinta yang datang seperti hujan pertama—membawa kesejukan, menumbuhkan harapan, dan menghidupkan jiwa yang lama kering.
Namun ada pula cinta yang hadir seperti api—membakar tanpa ampun, meninggalkan abu dan luka yang tak pernah sembuh.
Inilah kisah tentang cinta yang menjadi candu.
Tentang dua hati yang bersatu dalam kebahagiaan singkat, lalu terpisah dalam luka yang dalam.
Tentang pilihan, pengkhianatan, dan takdir yang tak pernah bisa dilawan.
Dan di balik semua itu, ada seorang lelaki yang rela hancur, hanya karena satu nama yang terpatri di hatinya: Raisa.
Kabut tebal menyelimuti kota kecil sore itu. Jalan-jalan berliku yang menurun tajam tampak sepi, hanya sesekali mobil jeep tua melintas. Di atas motor hitam yang melaju kencang, seorang pria muda dengan sorot mata kelam memacu kendaraannya seolah sedang berpacu dengan sesuatu yang tak terlihat. Dialah **Irvana Byan Dzaka**, lelaki yang membawa luka lebih berat daripada beban dunia.
Angin gunung menampar wajahnya, tapi bukan udara dingin yang membuat tubuhnya bergetar, melainkan bara emosi yang terus membakar dadanya. Setiap detik, bayangan seorang gadis terus menghantuinya. Gadis yang pernah ia genggam erat, yang dulu membuatnya percaya bahwa cinta adalah segalanya.
Irvan menghentikan motornya di tepi tebing. Dari sana, pemandangan kota terlihat seperti hamparan lampu kecil yang berkelap-kelip di kejauhan. Indah, tetapi bagi Irvan, semua itu terasa kosong. Ia membuka botol bir, meneguk isinya dengan gerakan kasar. Setetes demi setetes jatuh ke tanah, bercampur dengan sisa embun sore.
Tangannya gemetar. Matanya merah, basah, tapi bukan karena angin, melainkan karena luka yang tak pernah bisa sembuh. Ia menatap kosong ke bawah, lalu menutup mata, dan seketika ingatan itu kembali...
*Kilasan itu datang begitu cepat, sehangat sinar matahari sore. Tawa seorang gadis*, ***Raisa Almira***, *saat berlari di padang bunga. Wajahnya bersinar ketika menoleh ke arah Irvan. Genggaman tangan yang erat, janji-janji manis terdengar abadi. Dan kemudian... senyum itu berubah menjadi dingin, mata itu menjauh, dan semua yang dulu indah hancur berkeping-keping*.
Irvan membuka matanya dengan kasar. Botol bir yang masih separuh penuh dilemparkannya ke tanah. Pecahannya berhamburan, mencerminkan hatinya yang sama retaknya.
"Kenapa--- Raisa?!" suaranya pecah, parau, seperti teriakan yang tertahan terlalu lama. "Kenapa kau meninggalkanku?!"
Langit sore ikut muram, gumpalan awan gelap menutup matahari. Seolah alam pun mengerti kepedihan seorang lelaki yang cintanya direnggut begitu saja
Bagi Irvan cinta bukan lagi keindahan. Cinta adalah kutukan yang membakar, luka yang merobek, dan api yang tak pernah padam dalam dada.
\*\*\*\*\*
**Jakarta, beberapa tahun lalu**.
Langit sore kala itu begitu jernih, seakan kota kecil di pegunungan ini sedang memamerkan keelokannya. Udara dingin bercampur aroma tanah basah setelah hujan siang tadi, membuat suasana semakin segar.
Di tengah hiruk-pikuk pasar yang ramai, seorang pria muda dengan tubuh tinggi tegap menuntun motornya perlahan. Dialah Irvan, pemuda yang dikenal keras kepala dan penuh api, anak angkat seorang politisi berpengaruh di kota itu. Wajahnya tegas, tapi matanya menyimpan kerinduan yang tak seorang pun tahu.
Saat itulah, matanya tanpa sengaja menangkap sosok yang berbeda dari kerumunan. Seorang gadis mengenakan gaun sederhana warna putih, dengan syal tipis yang menari tertiup angin. Raisa. Senyumnya begitu lembut saat berbicara dengan seorang penjual bunga tua. Ia mengangkat tangan untuk menyingkirkan helai rambut yang jatuh di pipinya, gerakan kecil yang membuat waktu seakan terhenti.
Bagi Irvan, dunia yang ramai mendadak sunyi. Hanya gadis itu, hanya wajah itu, yang ada di hadapannya.
Irvan berdiri kaku. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena takut, melainkan karena rasa yang aneh, asing, tapi begitu kuat. Ia bahkan tidak sadar ketika motornya hampir ditabrak oleh mobil yang lewat.
"Hey! Mau mati kau, ha?!" teriak si supir.
Irvan tersadar, buru-buru menepikan motornya. Tapi tatapannya tetap tak lepas dari Raisa. Gadis itu sudah berjalan menjauh, membawa seikat bunga di tangannya. Irvan tahu, ia tak bisa membiarkannya berlalu begitu saja.
Dengan langkah tergesa, ia mengikuti dari belakang, menjaga jarak agar tak terlihat. Setiap langkah Raisa meninggalkan jejak samar dalam ingatannya.
Sampai akhirnya, Raisa berhenti di dekat sebuah perpustakaan tua. Ia berbalik, matanya tanpa sengaja bertemu dengan tatapan Irvan.
Waktu berhenti.
Raisa menatapnya dengan keheranan, tapi bukan ketakutan. Ada sesuatu di mata gadis itu-- rasa penasaran, mungkin juga kehangatan. Senyum tipis mengembang di bibirnya, cukup untuk membuat dada Irvan bergetar hebat.
Irvan terdiam, terpaku. Itu adalah pertemuan pertama, dan sejak saat itu, nama Raisa terpatri di dalam hatinya.
~
Sejak hari itu, bayangan Raisa selalu hadir dalam benak Irvan. Senyum tipisnya, tatapan matanya yang singkat, seolah menempel dalam ingatan.
Irvan mulai sering mencari alasan untuk melewati jalan menuju perpustakaan tua, berharap bisa melihat Raisa lagi. Dan benar-- hampir setiap sore, gadis itu datang, duduk di bangku panjang di depan perpustakaan sambil membaca buku atau sekadar menatap langit.
Awalnya Irvan hanya berani mengamati dari jauh. Tapi semakin hari, rasa itu makin tumbuh, seperti api kecil yang tak bisa dipadamkan.
Sampai akhirnya, kesempatan datang.
Suatu sore, hujan turun deras. Raisa yang baru keluar dari perpustakaan kebingungan karena lupa membawa payung. Angin membuat gaun putihnya basah, rambut panjangnya menempel di wajah. Saat itulah, sebuah motor berhenti di hadapannya.
Irvan, dengan wajah basah kuyup, mengulurkan jaket kulitnya tanpa banyak bicara.
"Pakailah. Kalau tidak, kau bisa sakit."
Raisa sempat ragu, menatapnya dengan alis berkerut. Tapi ada sesuatu dalam sorot mata Irvan-- kejujuran, ketulusan, dan entah kenapa, rasa aman. Perlahan ia menerima jaket itu, memakainya dengan hati-hati.
Untuk pertama kalinya, bibir Raisa membentuk senyum penuh, bukan hanya tipis. Senyum itu membuat jantung Irvan hampir meledak.
"Terima kasih---" suara Raisa lembut, nyaris tenggelam dalam suara hujan.
Sejak saat itu, mereka mulai berbicara. Awalnya singkat, lalu semakin panjang. Tentang buku yang Raisa baca, tentang kehidupan kota kecil yang kadang terasa membosankan, tentang mimpi-mimpi yang masih samar.
Hari demi hari, pertemuan mereka tak lagi kebetulan. Mereka mulai saling menunggu, saling mencari. Di bawah langit senja, di bangku kayu dekat perpustakaan, atau di jalan kecil penuh bunga liar--- Raisa dan Irvan menciptakan dunianya sendiri.
Dunia di mana hanya ada mereka berdua.
Namun di balik kebahagiaan itu, ada bayangan gelap yang terus mengintai. Raisa bukan gadis biasa. Ia adalah putri dari keluarga terpandang, dunia yang penuh aturan dan kehormatan. Sementara Irvan hanyalah pemuda keras kepala yang tumbuh di jalanan, tanpa nama besar untuk melindunginya.
Mereka tahu, cinta itu berbahaya. Tapi semakin mencoba menjauh, semakin kuat pula api yang membakar hati.
Cinta itu sudah menjadi candu.
Dan seperti semua candu, cepat atau lambat akan menuntut harga yang mahal.
...----------------...
**Next Episode**
\*\*\*
**Haaay, assalamualaikum semuanya**!
**Selamat datang di novel terbaruku**.
**Di karya kali ini, aku mencoba menghadirkan sebuah kisah yang berbeda dari sebelumnya-- kisah tentang cinta, luka, dan perjalanan hati yang mungkin bisa membuat kalian ikut hanyut bersama setiap halamannya**.
**Aku berharap, lewat cerita ini, kalian bisa merasakan setiap emosi yang kutulis; tawa, tangis, amarah, sekaligus harapan**.
**Terus dukung aku ya... karena tanpa kalian, tulisan ini tak akan berarti apa-apa. Semoga kalian menyukai novel ini, dan semoga setiap kata yang kalian baca bisa menyentuh hati kalian**.
**Selamat menikmati perjalanan kisahnya**.
Pagi harinya, ayah Raisa yang bernama Dharma Kusuma, seorang ketua partai sekaligus politikus ternama di kotanya, telah berhasil memenangkan suara rakyat. Dharma dan Raisa berdiri di balkon atas, menyaksikan rakyatnya bersorak, menari, bahkan menabuh gendang untuk merayakan kemenangan itu.
Di sana, tak sengaja Raisa menangkap sosok pria yang tidak asing baginya. Dia adalah Irvana. Irvan bersama para sahabatnya juga ikut menari, merayakan kemenangan tersebut. Rasa penasaran membuat Raisa akhirnya bertanya kepada sang ayah.
"Papa, siapa lelaki itu sebenarnya? Kenapa dia juga ada di gerombolan mereka?"
Dharma terkekeh kecil sebelum menjawab pertanyaan Raisa.
"Dia namanya Irvana. Dia anak angkat Darwis, sahabat Papa. Anak itu baik dan selalu bisa membuat orang lain senang," ujar Dharma, lalu kembali melanjutkan ceritanya. "Meskipun hanya anak angkat, dia selalu tulus dan sangat menyayangi Darwis seperti ayah kandungnya sendiri."
Meski sudah beberapa kali bertemu, Raisa masih menyimpan rasa penasaran tentang siapa sebenarnya Irvan itu. Senyum tipis terukir di wajahnya saat melihat Irvan menari dengan jenaka, menggoyangkan pinggulnya ke depan. Raisa yang baru pulang kuliah dari London memang belum mengenal banyak orang di kotanya. Sosok Irvana menjadi orang luar pertama yang benar-benar mampu menarik perhatiannya.
_-_
Malam hari.
Darwis dan Irvan diundang makan malam di rumah Dharma. Tak ada yang menyangka bahwa malam itu akan menjadi pertemuan mengejutkan. Raisa dan Irvan sama sekali tidak tahu bahwa mereka akan dipertemukan kembali-- Irvan pun tak pernah menduga bahwa Raisa adalah putri dari sahabat ayah angkatnya.
Saat makan malam, Dharma meminta Irvan naik ke lantai atas untuk memanggil ibunya agar ikut bergabung. Dengan langkah mantap, Irvan menaiki tangga menuju kamar Ratna Wulandari, nenek Raisa yang akrab ia panggil Nenek Ratna. Hubungan keduanya sangat dekat, sehingga seperti biasa Irvan masuk tanpa mengetuk pintu.
Dari dalam kamar mandi terdengar suara gemericik air. Irvan pun memanggil,
“Nenek, apa kau di dalam?”
Tak ada jawaban, rupanya suara air menutupi panggilannya. Tak lama, pintu kamar mandi terbuka. Seketika Irvan dan Raisa sama-sama menjerit.
"Aaaa…!"
Irvan terperanjat melihat sosok bidadari dengan hanya berbalut handuk, sementara Raisa terkejut karena mendapati Irvan berdiri tepat di depan pintu kamar mandi. Setelah teriakan itu, keduanya sama-sama terdiam, saling menatap dengan mata melebar, lalu hampir bersamaan bertanya dengan nada tak percaya.
"Kau?"
Irvan yang pertama memecah keheningan.
"Kau… sedang apa di sini?"
Raisa mengerutkan kening, balik bertanya dengan nada penuh tanda tanya.
"Seharusnya aku yang bertanya. Sedang apa kau di sini? Ini kamar nenekku."
Irvan yang akan kembali menjawab, tiba-tiba Nenek Ratna masuk ke kamar dengan wajah heran, menatap keduanya yang tampak bersitegang.
"Hei, kalian berdua sedang apa? Kenapa ribut di sini? Ayo turun, Papamu sudah menunggu untuk makan malam. Irvan, bantu Nenek menuruni tangga."
"Iya, Nek," jawab Irvan singkat, lalu segera menuruti Nenek Ratna. Sesekali ia menoleh ke belakang, masih tak percaya bahwa Raisa, gadis yang diam-diam ia kagumi, ternyata tinggal di rumah ini. Lebih dari itu, yang membuatnya semakin terkejut, Raisa adalah anak dari sahabat ayah angkatnya sendiri.
.
Makan malam di meja panjang itu terasa canggung. Meskipun Dharma, Darwis dan Nenek Ratna tampak asyik bercanda, suasana di antara Raisa dan Irvan masih tegang. Keduanya hanya diam, sibuk menyuap makanan sambil sesekali saling melirik dengan sejuta pertanyaan yang berputar di kepala masing-masing.
Hingga tiba-tiba, suara Dharma memecah keheningan.
"Benar begitu, kan, Raisa?"
Raisa yang sejak tadi tak mengikuti jalannya obrolan langsung terperanjat. Bingung harus menjawab apa, ia hanya bisa tersenyum kikuk lalu mengangguk pelan.
"Hehe… iya, Pah," sahutnya singkat.
Sesudah itu, pandangannya kembali terarah pada Irvan yang duduk di seberangnya, seolah ingin membaca isi pikirannya.
.
Selesai makan malam, Darwis dan Irvan berpamitan untuk pulang. Irvan dan Raisa berusaha menjaga sikap agar tidak menimbulkan kecurigaan, meski jelas ada kecanggungan di antara mereka.
Setelah kepergian Darwis dan Irvan, Dharma menyuruh semua anggota keluarga masuk ke dalam rumah, lalu mengunci pintu rapat-rapat. Namun rasa penasaran masih menggelayuti hati Raisa. Ia segera berlari menaiki tangga menuju balkon kamarnya. Dari sana, ia melihat Irvan berjalan di samping Darwis, larut dalam percakapan.
Sambil melangkah pulang, Irvan tak mampu menahan keinginannya untuk bertanya.
"Dad, siapa sebenarnya Raisa itu?"
Darwis terkekeh kecil, menoleh sebentar sebelum menjawab.
"Raisa itu anak Dharma."
Irvan mengernyit heran.
"Tapi… kenapa aku tidak pernah melihatnya selama ini?"
"Dia tinggal di London bersama pamannya," jelas Darwis tenang. "Selama ini dia kuliah di sana."
Percakapan itu berlanjut ringan hingga langkah mereka tiba di depan rumah. Jarak rumah Dharma dan Darwis memang tidak begitu jauh, hanya beberapa menit berjalan kaki.
Namun malam itu, Irvan sulit memejamkan mata. Wajah Raisa terus menghantui pikirannya sejak pertemuan pertama hingga momen tak terduga saat makan malam tadi.
-_-_-_
Pagi ini, Irvan masih terlelap ketika suara dering telepon tiba-tiba memecah keheningan. Tidurnya terusik. Dengan mata setengah terpejam, ia meraba ponsel yang tergeletak di atas nakas tanpa sempat melihat siapa peneleponnya.
"Ya, halo?" ucapnya malas.
"Irvan, kau ada di mana sekarang, Nak?"
Begitu mendengar suara Nenek Ratna, seketika mata Irvan terbuka lebar. Ia refleks bangkit duduk, meski ponselnya masih menempel di telinga.
"A-aku--- aku di rumah, Nek. Ada apa?" jawabnya gugup.
"Bisa kau datang ke rumah sekarang? Nenek butuh bantuanmu," suara Nenek Ratna terdengar lembut namun tegas.
"Baik, Nek. Aku ke sana sekarang," balas Irvan cepat, tanpa pikir panjang.
"Baiklah, Nenek tunggu, ya."
Begitu panggilan berakhir, Irvan langsung melompat dari tempat tidur dan bergegas menuju kamar mandi. Ada semangat berbeda yang membuat langkahnya terasa lebih ringan pagi itu.
~
Tak butuh waktu lama, Irvan sudah tiba di halaman rumah Dharma dengan motor sport kesayangannya, kendaraan yang selalu menemaninya ke mana pun ia pergi. Dengan langkah santai, ia memasuki rumah itu dan segera melihat Nenek Ratna duduk tenang di sofa ruang keluarga.
"Hai, Nek. Ada apa kau memanggilku kemari?" tanya Irvan sambil menjatuhkan diri manja, meletakkan kepalanya di pangkuan sang nenek.
"Bantu Nenek membereskan ruang buku di atas. Apa kau keberatan?" jawab Nenek Ratna sambil tersenyum lembut.
Irvan langsung bangkit duduk, wajahnya berbinar.
"Oh, tentu saja tidak keberatan! Justru aku sangat bahagia kau memanggilku kemari."
Namun sebelum ia melanjutkan ucapannya, pandangannya tertumbuk pada sosok yang baru saja menuruni tangga. Raisa. Gadis itu tampil kasual dengan celana jeans ketat dan kaus tanpa lengan, memperlihatkan sedikit kulit perutnya. Penampilan sederhana itu justru membuat Irvan terdiam, matanya terpaku tanpa bisa berkedip.
...----------------...
Next Episode...
Kini Irvan sudah berpindah ke ruang buku sesuai perintah Nenek Ratna. Rak-rak kayu tua penuh buku berjajar rapi, beberapa masih berdebu seolah jarang tersentuh. Irvan berdiri di depan salah satunya, sibuk menyusun buku sesuai urutan, ketika tiba-tiba suara dehem lembut terdengar dari arah pintu.
"Ehem..."
Irvan sontak berbalik cepat. Jantungnya berdegup kencang begitu melihat Raisa berdiri di sana, wajahnya dihiasi senyum hangat.
"Hai..." sapa Raisa ringan.
"Y-ya, hai..." balas Irvan gugup, matanya sekilas bertemu tatapan Raisa sebelum buru-buru kembali sibuk merapikan buku.
Raisa memperhatikan gerak-geriknya, bibirnya melengkung tipis. Hening sesaat, lalu ia kembali membuka suara.
"Kau sangat dekat dengan Nenek, ya?" tanyanya lembut, seolah ingin mencairkan suasana.
Irvan hanya menoleh sebentar, tersenyum singkat, lalu menjawab, "Iya."
Raisa melangkah perlahan, pandangannya menyapu rak-rak tinggi sebelum kembali menatap Irvan.
"Hmm... kau suka membaca juga?" tanyanya sambil mendekat.
Irvan mengangkat bahu pelan. "Kadang. Kalau sempat."
Raisa tersenyum tipis, lalu memperhatikan caranya menata buku yang terlalu hati-hati. "Kau selalu seteliti ini dalam segala hal?"
Irvan terdiam sejenak, lalu mengangguk. "Mungkin--- Iya."
Raisa terkekeh kecil. "Lucu sekali jawabanmu. Seolah kau takut salah bicara."
Irvan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Aku--- tidak terbiasa banyak ngobrol."
"Oh begitu---" Raisa menautkan alisnya, pura-pura berpikir. "Lalu--- apa kau tidak pernah punya teman perempuan sebelumnya?"
Pertanyaan itu membuat tangan Irvan berhenti sejenak di atas buku yang hendak disusunnya. Ia menunduk, wajahnya agak memerah. "T-tidak---" jawabnya lirih.
Raisa menatapnya lekat, matanya berbinar geli sekaligus penasaran. "Benarkah? Jadi--- aku perempuan pertama yang bicara cukup lama denganmu?"
Irvan menelan ludah, lalu mengangguk pelan tanpa berani menatap matanya.
Raisa terkekeh lagi, kali ini lebih lepas. "Kau benar-benar unik, Irvan."
Irvan hanya bisa tersenyum canggung, sementara telinganya mulai terasa panas.
Raisa bersandar ringan di meja kayu dekat rak, matanya tak lepas dari wajah Irvan yang masih sibuk pura-pura merapikan buku. Senyumnya samar, lalu ia berkata pelan,
"Kau sungguh aneh--- aku ingat saat pertama kali kita bertemu di depan perpustakaan. Kau sering duduk di bangku panjang itu, kan?"
Irvan berhenti sejenak, tangannya menggenggam punggung buku lebih erat. Ia mengangguk pelan tanpa menoleh. "Iya---"
Raisa mengingat dengan jelas, matanya berbinar saat menatapnya. "Dulu--- kau justru banyak bicara. Tentang buku, tentang mimpi, bahkan hal-hal kecil yang kulihat sepele. Tapi sekarang---" ia menatapnya penuh arti, "kau lebih banyak diam."
Irvan tersenyum canggung, matanya menunduk. "Aku--- mungkin waktu itu tidak sadar sedang terlalu banyak bicara."
Raisa terkekeh kecil. "Dan sekarang sadar, lalu jadi gugup begini?"
Irvan menggigit bibir bawahnya, bingung harus menjawab apa. "Aku--- tidak tahu. Mungkin, ya."
Suasana hening sesaat. Raisa menatapnya lama, senyumnya tak hilang. Ada sesuatu dalam cara Irvan menunduk itu yang membuatnya semakin ingin menggali.
"Kau tahu, Irvan---" ucap Raisa lembut, "aku lebih suka versi dirimu yang dulu. Yang berani bercerita apa saja tanpa takut terlihat aneh."
Irvan akhirnya menoleh, matanya bertemu tatapan Raisa. Ada getaran aneh di dadanya, membuat kata-katanya keluar terbata, "Kalau--- kalau aku mulai bicara banyak lagi, apa kau tidak akan bosan?"
Raisa tersenyum manis, kepalanya sedikit dimiringkan. "Tidak. Justru aku menunggu itu."
Raisa melangkah pelan, kini berdiri tak jauh dari Irvan. Tatapannya lembut, namun juga penuh rasa ingin tahu.
"Irvan---" panggilnya pelan.
"Iya?" jawab Irvan cepat, seakan takut Raisa marah.
Raisa menatap lurus ke matanya. "Kenapa kau secanggung ini sekarang? Dulu kau bisa bicara apa saja dengan mudah, bahkan tanpa kupancing pertanyaan. "Tapi sekarang--- kau seperti menutup diri."
Irvan terdiam lama. Kedua tangannya menggenggam buku yang sama dari tadi, seolah itu satu-satunya pegangan agar tak semakin gugup. Akhirnya ia menarik napas panjang.
"Aku--- berbeda sekarang karena---" suaranya tertahan, lalu ia memaksakan diri untuk melanjutkan, "karena kau bukan gadis biasa, Raisa."
Raisa mengerutkan kening, lalu tersenyum samar. "Maksudmu?"
Irvan menunduk, suaranya nyaris berbisik. "Kau anak ketua partai utama di kota ini. Semua orang mengenal keluargamu. Sementara aku--- hanya Irvan. Seorang pemuda biasa, yang tak pernah tahu bagaimana harus bersikap di hadapan seseorang sepertimu."
Raisa menatapnya dalam diam. Hatinya sedikit tergetar mendengar kejujuran itu, bukan karena statusnya disebut, melainkan karena cara Irvan mengatakannya begitu polos.
"Jadi---" itu alasanmu jadi kaku? Karena kau pikir aku--- terlalu tinggi untukmu?" tanya Raisa, kali ini lebih serius.
Irvan mengangkat wajahnya perlahan, menatap sekilas sebelum buru-buru mengalihkan pandangan. "Iya. Aku takut salah bicara. Takut terlihat--- tidak pantas."
Raisa terdiam sesaat, lalu tersenyum tipis. "Padahal, aku lebih suka kau yang apa adanya. Yang dulu, di bangku depan perpustakaan."
Raisa maju lebih dekat lagi, hingga jarak mereka tak sejauh tadi. Tatapannya serius tapi lembut, membuat Irvan semakin salah tingkah.
"Tapi... Aku sering melihatmu kalau bersama Nenek Ratna. Kau bisa tertawa lepas, bercerita panjang, bahkan terlihat sangat riang dan apa adanya. Tapi kenapa-- saat bersamaku kau jadi seperti ini? Canggung, hati-hati, seolah takut sekali salah langkah."
Irvan menelan ludah, jemarinya gelisah memutar buku di tangannya. "Karena-- Nenek Ratna berbeda. Beliau sudah mengenalku sejak kecil, tahu semua kebodohan dan kekuranganku. Aku tak perlu menyembunyikan apa pun darinya."
Ia berhenti sejenak, lalu menunduk dalam. Suaranya terdengar lirih. "Tapi kau, Raisa-- aku baru mengenalmu. Dan aku tahu siapa Papamu, status kita berbeda, Raisa."
Raisa terdiam. Tatapannya melembut, lalu senyumnya perlahan muncul. "Jadi, kau lebih memikirkan status daripada jadi dirimu sendiri?"
Irvan menoleh sekilas, wajahnya memerah. "Aku-- aku hanya tidak tahu harus bersikap bagaimana."
Raisa menatapnya lama, seakan ingin membaca isi hatinya. Lalu dengan suara lembut namun mantap ia berkata, "Ya sudah, kalau begitu, anggap saja aku seperti Nenek Ratna. Anggap saja aku orang yang bisa mendengarkan ceritamu."
Irvan masih terdiam. Kata-kata Raisa menggema di kepalanya, tapi lidahnya kelu. Ia menatap lekat wajah gadis itu, tanpa sadar matanya menyimpan kekaguman yang tak bisa ia sembunyikan.
Dalam hatinya, ia heran__bagaimana mungkin seorang putri dari keluarga terpandang bisa bersikap sesederhana ini? Raisa tidak pernah menyinggung status, tidak merendahkan dirinya, justru sebaliknya, memberi ruang yang menenangkan.
Irvan hendak membuka suara. Nafasnya teratur, seolah mengumpulkan keberanian. Namun sebelum kata-kata itu sempat keluar, suara langkah tergesa memecah suasana.
Seorang pembantu muncul di ambang pintu. "Nona Raisa, maaf mengganggu-- Tuan memanggil Anda ke bawah."
Raisa menoleh cepat, lalu mengangguk. "Baik, sebentar lagi saya turun."
Ia kembali menatap Irvan sejenak, matanya memberi isyarat seakan masih ada yang ingin ia katakan. "Kita lanjutkan nanti, ya." ucapnya singkat, tersenyum samar sebelum beranjak keluar.
Irvan hanya mampu menatap punggung Raisa yang menjauh, bibirnya hampir berucap namun tertahan. Ia menarik napas panjang, merasakan ruang buku itu tiba-tiba kembali hening__menyisakan degup jantungnya yang belum juga tenang.
...----------------...
Next Episode...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!