...🌼...
...•...
...•...
“Putus? Kenapa Sonia? Aku salah apa sampai kamu minta putus begini?” tanya Sean ketika gadis pujaannya itu meminta hubungan mereka berakhir.
“Aku hanya ingin sendiri dulu, Sean. Jangan hubungi aku lagi ya, aku tidak mau terikat hubungan lagi sama kamu. Jangan pernah menemui aku atau mencariku lagi.” Sonia melangkah pergi dari tempat dia berdiri, meninggalkan Sean yang saat itu kasih terpaku.
Sonia menyentuh foto di tangannya dan memeluk foto itu ketika ingatan masa lalu kembali berputar di kepalanya. Lima tahun lalu dia meninggalkan pria yang sangat dia cintai karena suatu alasan. Alasan yang tidak bisa dia sampaikan pada Sean dan hanya dia pendam seorang diri.
Selama lima tahun terakhir, dia menghabiskan waktu untuk kuliah dan bekerja di Bandung. Sementara Sean membangun bisnisnya di London dan selama itu pula tak ada komunikasi antara mereka. Ibarat kata, menghilang dari peredaran.
Ponsel Sonia berdering, ia melihat panggilan dari sahabatnya— Angel Ivana. Dengan cepat dia jawab agar sahabatnya itu tidak merepet.
“Ya Angel.”
“Keluar yuk, kita ke pasar malam, bosen nih di kos mulu.”
“Oke, aku siap-siap dulu ya.”
“Sip deh, aku jemput ya.”
“Iya, Ngel.”
Setelah panggilan berakhir, Sonia segera bersiap-siap dan menyimpan foto Sean kembali ke dalam kotak lalu menaruhnya di dalam lemari.
...***...
Sonia dan Angel bersahabatan sudah sejak lama, dari awal masuk kuliah sampai sekarang. Sudah dua tahun mereka lulus kuliah, namun belum ada tanda-tanda salah satu dari mereka akan menikah.
Angel sudah memiliki pacar, tapi tidak pernah ada kepastian untuk segera menikahinya. Sedangkan Sonia, gadis itu tidak memiliki kekasih. Cintanya sudah terhenti semenjak putus dari cinta pertamanya— Sean.
“Mau beli apa nih kita?” tanya Angel sembari mengedarkan pandangan ke gerai makanan.
“Beli jajanan pasar aja, yuk. Lagian aku udah nggak laper-laper banget,” tanggap Sonia.
“Beli cilor aja, kayaknya enak.”
“Yuk.”
Mereka berdua bergandengan tangan mendatangi tukang cilor. Setelah beberapa saat antre, akhirnya mereka mendapatkan pesanan dan memilih tempat duduk yang nyaman untuk menyantap cilor tersebut.
"Kamu kepikiran nggak sih, Son, di umur kita yang udah dua puluh empat tahun ini, kita belum nikah juga," ungkap Angel.
"Ya, kepikiran sih. Tapi mau gimana, jodoh itu yang belum mampir sama kita," jawab Sonia seraya terus memakan cilornya.
"Son, aku sempat berpikir buat jauhin Derren, deh." Sonia sontak menghentikan kegiatan makannya dan menatap lekat wajah Angel.
Sonia sangat tahu kalau Angel tidak bisa jauh dari Derren, apalagi mereka sudah sering berhubungan badan sejak awal kuliah sampai sekarang.
"Serius? Kenapa emang?" tanya Sonia tak menyangka.
"Capek aja, Son. Nggak pernah ada kepastian dari Derren soal hubungan kami. Kalo dipikir-pikir, aku cuma pelampiasan nafsu dia doang. Habis berbuat, ya ditinggalin, alasannya kerja lah, ada ketemu klien, banyak lah pokoknya. Pas bahas pernikahan, dia selalu aja ngelak," jelas Angel penuh kekecewaan.
"Ngel, kamu harus tekanin lagi sama Derren mengenai hubungan kalian. Ambil keputusan ketika pikiran kacau itu nggak baik, loh. Ntar malah nyesal kamu. Mending gini aja deh, kamu ajak itu Derren ketemu, minta waktu luang dia yang agak panjang buat bahas kelanjutan hubungan kalian. Bilang ke dia kalau ini adalah pembahasan terakhir dari kamu, minta kepastian sama dia."
Angel menarik napas dan memejamkan matanya sejenak. Dia bingung, apakah Derren mau memberikan waktu luang padanya untuk pembicaraan yang menurut Derren sepele?
"Aku coba deh, semoga aja dia mau. Tapi kalo dia masih bertele-tele, aku udah bertekad buat ninggalin dia. Toh, kehidupan masih harus berjalan dong."
"Nah, gitu dong, baru namanya Angel Ivana."
Mereka menghabiskan waktu di pasar malam sambil menenangkan pikiran masing-masing, karena besok mereka akan kembali berkutat dalam rutinitas harian.
Sonia bekerja di Green House milik pengusaha terkenal bernama Vanno Adrian. Dia mendapatkan posisi sebagai sekretaris, karena memang kemampuannya sangat bisa diandalkan. Sedangkan Angel bekerja sebagai karyawan biasa di sebuah perusahaan yang bisa dibilang tidak terlalu besar.
...***...
Sean Gelano Aznand, itulah nama yang dibaca oleh Carla. Sean tengah membaca berkas milik Carla.
"Good, kamu bisa mulai bekerja di sini sebagai sekretaris saya. Saya tidak mentolerir apapun mengenai pekerjaan, jadi saya harap kamu bisa profesional dalam bekerja," terang Sean dengan nada yang begitu tegas dan dingin.
"Baik, Pak. Saya pasti akan profesional dan tidak akan mengecewakan perusahaan ini."
"Baiklah, selamat bekerja, Nona Carla." Sean mengulurkan tangannya dan dengan cepat disambut oleh Carla.
"Terima kasih, Pak."
Setelah Carla keluar dari ruangannya, Sean kembali berkutat dengan laptop miliknya.
Sean hidup sendiri di rumahnya sendiri. Dia memiliki seorang ayah dan ibu tiri, juga adik kandung laki-laki yang kini berusia 24 tahun. Namun sayangnya, Sean tidak pernah akur dengan keluarganya itu, terutama dengan ayah kandungnya, Endro Trial Aznand.
Sean yang merasa bosan, langsung menutup laptop dan membuka laci meja kerjanya. Menatap sebuah foto, di mana ada dirinya dengan seorang perempuan dengan latar pantai yang indah.
"Apa kamu masih mengingatku, Sonia?" tanya Sean sambil menatap foto gadis tersebut.
Sean kembali menutup laci itu dan berjalan ke dekat jendela. Dia melihat pemandangan kota dari dalam gedung.
Klek!
Pintu ruangannya dibuka oleh seorang pria, lalu dengan santai pria itu duduk di sofa dan menyalakan rokok. Sean ikut bergabung dengan pria itu lalu mereka merokok bersama.
"Masih memikirkan gadismu itu?" tanya Kenzo sedikit menebak.
"Memang apalagi yang bisa aku pikirkan selain dia?"
"Dasar kau bodoh, Sean. Kalau memang kau masih mencintai dia dan sangat merindukannya, kau tinggal temui dia saja."
"Kalau segampang ocehanmu itu, ya tidak masalah. Tapi semua tidak semudah itu, bodoh."
"Kenapa kau tidak pernah mau menemuinya? Bukankah kau mencintai gadismu itu?"
"Ya, aku memang mencintainya. Tapi butuh waktu yang tepat untuk menemui dia." Selalu saja begitu jawaban dari Sean, padahal Kenzo sangat tahu kalau Sean bisa saja menemui gadis impiannya tersebut kapan saja.
Alamat Sonia juga sudah dia ketahui, bukan hal berat untuknya menempuh perjalanan dari Jakarta ke Bandung.
"Jangan sampai kau menyesal saat gadis itu dimiliki oleh orang lain, Sean. Karena kesempatan apapun yang kau sia-siakan tentu akan membuat penyesalan hebat dalam hidupmu." Sean mencerna kata-kata dari Kenzo. Apa yang sahabatnya katakan itu memang benar adanya.
Kenzo Everaldo dan Sean sudah bersahabat sejak kecil. Mereka bukan orang yang berasal dari keluarga biasa. Mereka berdua juga pekerja keras dan mencapai kesuksesan dengan usaha mereka sendiri.
"Aku akan memikirkan kapan waktu yang tepat untuk menemuinya."
"Jangan terlalu lama berpikir."
"Oke, kau tenang saja, Ken."
...🌼...
...•...
...•...
Sean dan Kenzo menghabiskan malam mereka di klub malam. Hal yang bisa membuat keduanya rileks hanyalah minuman.
Di tengah kemabukan mereka, seorang wanita berpakaian minim tiba-tiba mendekati Sean dan tanpa malu langsung duduk di pangkuannya. Sean, dengan kasar, mendorong wanita itu hingga terjerembab ke lantai.
"Pergilah, jalang! Aku tidak membutuhkanmu," usir Sean dengan kejam. Sean tidak pernah menyentuh wanita manapun dan berhubungan badan dengan bebas. Karena baginya, hubungan seperti itu sangat tidak bermoral.
Wanita itu menatap Sean dengan kesal, lalu beralih duduk di samping Kenzo. Kenzo hanya terkekeh kecil melihat tingkah sahabatnya itu.
"Kapan temanmu itu bisa membuka hatinya untukku?" tanya Gladis lalu meneguk minuman milik Kenzo hingga tandas.
"Sudah kubilang berulang kali, percuma saja kau mendekatinya," jawab Kenzo sambil tertawa. "Dia masih mengharapkan gadis dari masa lalunya itu."
"Halah, wanita itu sudah lama menghilang dari hidupnya. Kenapa juga masih diharapkan? Harusnya dia bersyukur, ada aku yang cantik dan seksi ini mau menjadi kekasihnya," celetuk Gladis dengan kesal.
Kenzo menarik Gladis agar duduk wanita itu di pangkuannya.
"Ngapain sih?" tanya Gladis berusaha berontak.
"Nikmatin aja. Lagian Sean nggak bakalan mau nyentuh kamu. Aku akan kasih kamu kenikmatan luar biasa," bisik Kenzo nakal, sambil meraba tubuh Gladis dengan liar.
Terpancing oleh sentuh tersebut, Gladis akhirnya membalas setiap sentuhan Kenzo. Mereka saling memadu ciuman panas, berbaur dengan suasana bising klub malam itu. Sean yang melirik pemandangan tersebut memilih pergi ke kamar mandi dengan langkah gontai.
Di ruang VIP, Kenzo dan Gladis melanjutkan permainan mereka hingga mencapai puncak kenikmatannya. Hampir satu jam berlalu, mereka memilih pergi ke hotel bintang lima milik Kenzo dan menghabiskan malam di sana.
Sementara itu, Sean pulang ke rumah diantar sopir yang telah Kenzo siapkan. Tubuh Sean terkulai lemas di sofa, pikirannya tetap dipenuhi bayang-bayang gadis yang tak pernah bisa ia lupakan.
"Aku akan menemuimu jika waktunya sudah tepat. Aku pasti akan menemuimu, Sonia," gumam Sean sebelum akhirnya terlelap.
...***...
"Son, kamu bisa pikirkan lagi lamaranku ini. Aku tidak main-main soal hubungan," desak Vanno Adrian pada sekretarisnya, yang kini berdiri di hadapannya.
"Maaf, Pak. Aku benar-benar belum terpikir untuk menikah dan belum siap," tolak Sonia dengan suara halus namun mantap.
Vanno— CEO Green House itu telah lama menunjukkan ketertarikan pada Sonia. Ia selalu memperlakukan Sonia lebih istimewa dibanding karyawan lain tapi Sonia hanya menanggapi dengan sikap profesional. Tak memberikan harapan apapun pada bosnya itu.
"Apa ada pria lain di hatimu saat ini, Sonia?" tanya Vanno serius.
"Iya, Pak. Aku sudah mencintai pria lain. Sampai detik ini, cinta ini tetap untuk dia," jawab Sonia tanpa ragu.
"Tapi aku tidak pernah melihatmu bersama siapa pun. Apa ini hanya alasanmu menolakku?" tanya Vanno lagi.
Sonia selalu menjawab dengan jawaban yang sama setiap kali dia mengungkapkan perasaannya.
"Demi Tuhan, Pak. Aku memang sudah mencintai seseorang sejak masa sekolah. Walau pun sekarang kami tidak bersama lagi, cinta ini sudah habis untuk dia. Maafkan aku, Pak. Aku tidak bisa menerima cinta Bapak." Vanno menarik napas panjang, menatap Sonia dalam-dalam.
"Beruntung sekali pria itu, Sonia. Pria mana pun akan sangat beruntung mendapatkanmu," ujar Vanno serius.
Sonia hanya bisa menunduk, tak sanggup menatap mata bosnya karena merasa sungkan.
"Tapi aku tidak akan menyerah begitu saja," lanjut Vanno. "Aku akan terus berusaha mendapatkan hatimu. Tidak peduli cintamu habis untuk pria mana. Yang jelas, cintaku masih utuh untukmu."
Sonia terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apalagi.
...***...
Setelah membersihkan diri, Sonia berbaring sejenak. Jam 2 dini hari, ia harus bangun untuk memenuhi pesanan kue pelanggan. Selain bekerja di perusahaan Vanno, Sonia juga mengambil sampingan dengan membuka orderan kue. Cukup laris dagangannya karena memang kue buatan Sonia sangat enak.
Kriingg... Kriingg...
Bunyi alarm membangunkannya. Sonia segera bangkit, mengambil air wudhu dan menunaikan shalat tahajud. Setelah itu, ia menuju dapur, mulai meracik adonan dengan tangan terampil dan hati yang penuh ketulusan.
Semua pesanan rampung pukul lima pagi. Sonia kembali mengambil air wudhu untuk menunaikan shalat subuh. Kemudian mengemas kue-kue itu dengan rapi dan menyiapkan diri berangkat ke kantor.
Sebagian pesanan diambil pelanggan langsung, sebagian lagi dikirim lewat ojek online. Setelah semua terkirim ke pelanggan, ia melanjutkan aktifitas menuju kantor Vanno.
Begitu tiba di halaman, Vanno menghampirinya. Sonia menghela napas, berusaha tersenyum, sadar bahwa interaksi mereka selalu mengundang bisik-bisik di kalangan karyawan.
"Kita harus siap-siap untuk rapat penting hari ini, Sonia. CEO dari Jakarta akan datang siang ini," ujar Vanno memberikan informasi.
"Baik, Pak. Tapi kenapa harus disampaikan di sini? Bisa dibicarakan di ruangan, kan," jawab Sonia, berusaha menjaga jarak.
"Sekalian ingin masuk bersama," jawab Vanno santai.
Sonia hanya mengangguk, memilih berjalan di belakang. Vanno berusaha mensejajarkan langkah, namun Sonia tetap menjaga jarak. Di belakang mereka, lirikan dan bisik-bisik karyawan lain tak dapat dihindari.
"Aduh, pasti jadi bahan gosipan lagi," gumam Sonia dalam hati.
"Sonia, apa nanti kamu punya waktu? Saya ingin mengajakmu makan malam," ajaknya.
Sonia meremas ujung roknya— gugup.
"Hm, saya banyak pesanan kue malam ini, Pak. Mungkin tidak ada waktu untuk makan malam," tolak Sonia halus sambil menunduk.
“Iya Sonia. Selalu begitu jawaban kamu.” Vanno hanya memberikan senyuman kekecewaan atas penolakan Sonia.
Sonia memasuki ruangannya sendiri dan menghembuskan napas lega setelah menahan hati berada di dekat Vanno. Dia sangat sungkan ketika pria itu terus mendekatinya, sudah muak ia dengan omongan karyawan wanita yang juga mengagumi Vanno.
“Coba aja hubungan aku sama Sean baik-baik aja, mungkin sekarang aku akan bahagia sama dia. Kenapa sih, hubungan kami harus terkendala karena Om Endro? Kenapa Om Endro harus masuk dalam hidup aku?” Sonia merutuki takdir yang telah membuat dia berpisah dari Sean.
Sonia menyingkirkan semua hal yang mengganggu pekerjaannya saat ini, ia kembali fokus mempersiapkan semua keperluan rapat siang ini.
Waktu siang yang dinantikan datang, Sonia berjalan di belakang Vanno menuju ruangan rapat yang mana tamu mereka telah datang. Sonia terpaku melihat Sean berdiri dan menyalami Vanno, berbeda dengan Sean yang tampak biasa saja walau jelas di hati pria itu bahwa dia merindukan Sonia juga.
Selama ini, Sean memang sudah mengetahui keberadaan Sonia, hanya saja dia tidak mau menemui gadis itu lantaran permintaan Sonia terakhir kali— tidak boleh mencari dirinya lagi.
Rapat dimulai tanpa hambatan dan tidak sekalipun Sean melirik Sonia. Mereka bersikap seolah tidak mengenal satu sama lain.
...🌼...
...•...
...•...
Rapat berjalan lancar, kerja sama antara perusahaan Sean dan Vanno terjalin dengan baik. Bisnis ini saling menguntungkan kedua belah pihak tentunya.
Vanno mengajak Sean berbincang terlebih dahulu di ruangannya sebelum Sean kembali ke Jakarta. Vanno sangat tahu bahwa Sean bukan orang yang gampang diajak bekerja sama.
"Saya berharap hubungan bisnis ini semakin baik dan saling menguntungkan bagi kita," harap Vanno dengan balasan anggukan oleh Sean.
"Iya, saya juga berharap demikian," jawab Sean singkat.
Sonia memasuki ruangan Vanno yang sebelumnya sudah diberi izin untuk masuk. Pandangan Sean terkunci pada Sonia, seakan menaut rindu yang telah lama tidak bisa dia lepaskan.
"Permisi, Pak. Ini berkas dan file yang Bapak minta tadi," ujar Sonia sambil menyerahkan dokumen yang ia pegang kepada Vanno.
"Oke, kamu boleh kembali bekerja. Semua sudah lengkap di sini. Terima kasih, Sonia," ucap Vanno setelah memeriksa dokumen yang diberikan Sonia.
"Iya, Pak. Saya permisi," jawab Sonia tanpa menoleh ke arah Sean sama sekali.
Sonia meninggalkan ruangan bosnya itu dan kembali berkutat dengan pekerjaannya secara profesional.
Tak terasa, kini sudah pukul 5 sore dan Sonia bersiap untuk pulang, ia harus menyelesaikan pesanan kue dari pelanggannya yang akan diambil nanti malam.
Sonia bergegas menuju area parkiran motor karyawan, ia menghembuskan napas kasar saat melihat ban motornya kempes.
"Kenapa harus sekarang sih kempesnya? Kan bisa nanti aja pas di rumah. Ah ... nyari masalah banget sih motor ini, pesanan banyak lagi buat nanti malam," gerutu Sonia melihat motornya. Ia harus membawa motor itu ke bengkel terlebih dahulu, yang pastinya akan membuang banyak waktu.
"Mari saya antar pulang. Motormu bisa diantar oleh orang suruhan saya nanti," terdengar suara tegas di belakangnya. Sonia menoleh dengan ragu karena sangat kenal dengan pemilik suara tersebut.
Ia terdiam saat melihat Sean berdiri di depannya dengan jarak yang sangat dekat, namun Sean hanya menunjukkan ekspresi datar dan dingin.
"Nggak usah, Pak. Saya bisa kok pulang dengan ojek nanti," tolak Sonia dengan lembut, ada kesedihan dalam nada bicaranya tapi dia tahan sebisa mungkin.
"Saya tidak suka ditolak. Kamu tau itu. Mari ikut saya."
“Tapi—”
“Ikut saja, saya hanya ingin mengantarmu pulang,” tegas Sean lagi ketika melihat keraguan dari Sonia.
Sonia mengangguk lalu mengikuti Sean karena ia tahu Sean adalah orang yang suka memerintah dan tidak bisa ditolak begitu saja.
Sean membuka pintu mobil untuk Sonia. Dengan perasaan tak biasa, Sonia masuk ke dalam mobil hitam tersebut. Tanpa mereka sadari, dari kejauhan ada sepasang mata yang mengamati dengan tatapan cemburu.
"Kenapa Sonia mau pergi dengan Sean? Sedangkan setiap kali aku mengajaknya pulang bersama, dia tidak pernah mau," gumam Vanno saat rasa cemburu mulai menggerogoti hatinya.
Semua karyawan di perusahaan itu menatap Sonia dengan tatapan yang beragam ketika ia memasuki mobil.
"Beruntung banget Sonia, bisa semobil sama Pak Sean," kata salah seorang perempuan yang bekerja di Green House.
"Pasti di-booking sama Pak Sean. Dia kan selalu deketin bos-bos besar, contohnya direktur kita tuh," sahut yang lain dengan nada julid.
"Iri banget liat Sonia."
Di dalam mobil, jelas ada ketegangan di antara mereka berdua.
“Tidak perlu tegang begitu, Sonia. Jangan bersikap seolah kita berdua tidak pernah menjalin hubungan saja. Atau memang di hatimu sudah tidak ada aku lagi?” kata Sean yang tidak mengalihkan pandangannya dari jalanan.
Sonia tidak menjawab, dia hanya menghela napas dan menatap ke arah luar jendela mobil.
“Kenapa diam? Apa perkataanku tidak berharga untuk kamu jawab lagi sekarang?” tanya Sean kembali dan kali ini Sonia menoleh.
“Aku tidak punya jawaban untuk pertanyaan kamu, Sean.” Sean tertawa kecil dan melirik Sonia sebentar sebelum kembali menatap jalanan.
“Sampai detik ini, aku masih diliputi satu pertanyaan Sonia. Kenapa kamu meninggalkan aku begitu saja?”
“Jangan bertanya lagi, aku gak ada jawaban untuk itu.”
“Oke. Terserah kamu.”
Mobil berhenti tepat di depan rumah Sonia. Dia tinggal di kompleks perumahan yang cukup bagus, Sean menahan lengan Sonia saat hendak turun.
“Ada apa? Kalau mau menanyakan masa lalu, kamu tidak akan dapat jawaban apapun, Sean.”
“Aku tidak meminta jawaban, hanya ingin mengatakan padamu kalau aku rindu, Sonia. Apa tidak ada pelukan seperti dulu untukku?” Sonia terdiam mendengar permintaan mantan kekasihnya itu.
“Apa kamu benar-benar sudah melupakan aku, Sonia?” Karena tidak ingin ditanya lagi, Sonia memeluk Sean dengan membenamkan wajahnya di ceruk leher pria itu.
Sean membalas pelukan tersebut sembari memejamkan mata. Sangat rindu ia dengan sentuhan dan pelukan Sonia. Sean merasakan area lehernya basah dan mengalir hingga ke dada. Ia tahu kalau saat ini Sonia tengah menangis.
“Aku tidak pernah melupakan kamu, Sean. Aku juga rindu tapi aku terlalu malu untuk menemui kamu lagi,” tangisnya pada Sean.
“Kenapa malu? Harusnya saat hatimu ingin aku, temui saja aku. Aku selalu berdiri menanti kamu.” Tangisan Sonia semakin menjadi mendengar perkataan Sean.
Sean menangkup wajah gadisnya itu dan mengecup kedua mata Sonia yang basah. “Tidak perlu malu, Sonia. Selama lima tahun, aku selalu menunggu kamu kembali.”
“Maaf Sean.” Kembali pria itu memeluk Sonia hingga tangis Sonia reda.
“Sana masuk, kamu perlu istirahat yang cukup agar tidak kelelahan.”
“Iya, aku masuk dulu, kamu hati-hati.” Sean mengangguk.
Sonia melambaikan tangan saat turun dari mobil Sean lalu memasuki rumah dan membersihkan diri. Ia langsung menunaikan ibadah shalat Maghrib, setelah itu mulai berkutat dengan pekerjaan sampingannya.
Sonia disibukkan dengan membuat kue pesanan pelanggan setianya. Selama empat jam, akhirnya semua kue selesai dibuat. Kini sudah menunjukkan pukul 11 malam.
"Buat apa ya kue malam-malam begini? Apa dia lagi ngadain pesta? Mana pesanan dia banyak," pikir Sonia sendiri, karena biasanya pelanggan memesan kue untuk pagi atau siang hari, tapi berbeda dengan pelanggan ini, yang selalu memesan kue untuk malam hari.
Sonia menghubungi orang yang memesan, karena orang tersebut ingin menjemputnya sendiri. Ia menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa ruang tamu, merasa sangat kelelahan.
Tak lama, ada yang mengetuk pintu rumah, segera saja dia membukanya dan terlihat seorang pria berbadan tegap dan tampan tersenyum padanya.
"Saya mau ambil pesanan atas nama Rani," kata pria itu.
"Oh, baik, tunggu sebentar," jawab Sonia lalu masuk ke dalam rumah untuk mengambil pesanan kue yang sudah ia kemas dengan rapi dan memberikannya pada pria itu.
Setelah memberikan uang, pria tersebut pergi meninggalkan rumah Sonia. Sonia pun merasa lega dan merebahkan tubuhnya yang lelah di atas kasur. Pekerjaannya hari itu sudah selesai dan menutup hari dengan tidur nyenyak.
"Buat apa kau kue sebanyak ini, Sean?" tanya Kenzo yang baru saja memasuki mobil. Mobil Sean diparkir agak jauh dari rumah Sonia, jadi gadis itu tidak tahu kalau yang memesan kue selama ini adalah Sean.
"Kuenya sangat enak, cobalah!" jawab Sean. Kenzo mencoba buatan Sonia, memang sangat enak dan nikmat.
"Jadi selama ini kau order atas nama si Rani?"
"Iya, aku selalu menyuruh Rani yang mengambilnya." Kenzo geleng-geleng kepala dengan kelakuan sahabatnya itu.
"Menyusahkan si Rani saja kau ini. Dasar pengecut."
"Memang apalagi tugas pembantu kalau bukan untuk aku susahkan." Mereka berdua tertawa sambil menyantap kue-kue itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!