NovelToon NovelToon

Cek Khodam Online

Bab 1

Ahmad Dhani kosong, Hamam Mustofa kosong, Gayatri khodam nya jin kepala banteng, Purwanto khodam nya macan bir*hi, Deni waluyo kosong.

"C*k Janc*k"

Umpatan kasar disertai decak kesal seketika meluncur dari bibir seorang pemuda yang lagi nonton cek khodam online yang baru-baru ini Efyepe di aplikasi tik tuk.

Bukan tanpa alasan, ia merasa janggal saat host mengatakan jika ia tidak ada khodam nya atau jin pendamping yang membersamai nya.

Dia bernama Deni waluyo, seorang pemuda yang beberapa waktu lalu aktif di sosial media untuk mengikuti live streaming yang berlangsung setiap pukul 11 malam itu.

"Apa mungkin ada ritual yang terlewat ya?

Atau aku memang gak punya bakat manggil demit ya? Perasaan yang lain kok gampang banget punya khodam." Deni bergumam seraya menatap langit-langit kamar. Ia bingung sekaligus heran padahal segala macam ritual sudah dia lakukan, mulai dari mandi kembang tujuh rupa, melakukan semedi di kuburan tua, sampai mendatangi tempat-tempat yang di anggap keramat. Tapi boro-boro dapet khodam. Sakti nggak, masuk angin, iya.

Deni mendesah, ia nyaris berada di titik putus asa. Semangat nya luntur kayak cucian yang direndam tujuh hari tujuh malam. Usaha nya gagal total, bahkan sesaat kemudian ia kembali teringat saat peristiwa tadi siang, tepatnya saat ia tidak sengaja berpapasan dengan Lek To, salah satu orang pintar di desa nya.

"Wah, rapi sekali, mau kemana lek?"

"Mau pergi ke rumah pak Bahlil Den."

"Pak Bahlil yang terkenal kaya raya di desa sebelah itu ta lek?"

"Iya. Pak Bahlil yang mana lagi. Nih liat, kemarin aku dikasih hadiah sepeda motor baru dari beliau." Lek To memasang wajah sombong ketika pamer motor KAWAKI yang belum ada plat nomor nya.

Sebenarnya hati kecil Deni merasa iri, tak di pungkiri ia juga ingin sekali memiliki nasib beruntung kayak Lek To, salah satu orang yang sukses dalam hal per dukunan. Bahkan berkat profesi nya itu Lek To bisa membeli sawah serta tanah yang berhektar-hektar.

Belum lagi kerjaan Lek To terlihat mudah, ia tinggal duduk manis di depan tembikar untuk menyuruh jin perewangan nya membereskan segala macam pekerjaan yang berbau mistis.

Berawal dari situ Deni mulai tergoda untuk mengikuti jejak Lek To.

Tidak peduli jika suatu saat ia mendapat julukan sebagai seorang dukun. Nyata nya dukun sukses dan kaya raya mulai jadi trend di kalangan para anak muda jaman sekarang.

Malam sudah mulai larut, tapi Deni belum merasa ngantuk, ia sedang asyik-asyiknya berkhayal menjadi seorang crazy rich. Maklum aja, dia cuma seorang bujangan sad boy yang selalu gagal dalam hal percintaan. Bukan karena wajahnya jelek, meskipun gak punya perut kotak-kotak, tapi Deni mendapat julukan bujang paling tampan di desa nya.

"Kalo aku udah kaya, pasti aku bakal segera melamar Vira" Gumam nya sambil membayangkan kembang desa yang digadang-gadang mirip artis Anya Geraldine itu.

Ditengah-tengah pikiran nya yang sedang halu membayangkan pujaan hati nya, tiba-tiba Deni merasa ada yang menyentuh kakinya yang tertutup selimut. Sentuhan yang disinyalir dari gerakan tangan yang sedang meraba.

Glek!

Deni tersentak, bulu kuduknya tiba-tiba berdiri semua, apalagi sentuhan itu terus naik ke pangkal paha. Sontak saja Deni menyibak selimut dengan cepat, namun saat itulah gerakan itu menghilang.

"Tadi apa ya?" Pekik Deni sambil mencari.

Ia masih duduk diam di atas ranjang, matanya memindai ke segala sudut ruang, hingga ekor matanya menangkap sekelebat bayangan yang masuk ke dalam lemari.

Tanpa lama, ia segera melompat turun dan mendekati lemari yang tertutup. Tiba-tiba muncul dorongan yang seolah-olah memaksa dirinya untuk membuka.

Meskipun Deni juga semakin ngeri saat mengingat kalau malam ini adalah Jum'at Kliwon.

Krieeett!

Pintu lemari berhasil terbuka, tapi Deni tak menemukan apapun di dalam. Ia menduga itu cuma halusinasi semata. Namun saat hendak menutup nya, dari pantulan kaca tiba-tiba muncul penampakan sosok wanita berwajah menyeramkan dengan pay*dara gundal gandul.

"Hwaaa susuu, eh Hantuuuu!"

Secepat kilat Deni lari tunggang langgang ke kamar ibu nya. Ia menggedor pintu sekeras mungkin, sembari memegangi icibos karena nyaris terkencing-kencing.

"Bu ada setan bu! Ada setan!" Teriak Deni begitu ketakutan.

Mendengar suara gaduh itu, Sulastri buru-buru membuka pintu dengan mata melotot dan bertolak pinggang.

Tengah malam begini teriak-teriak! Kamu pikir ini di hutan hah?" Berang Sulastri yang galaknya melebihi banteng ngamuk.

"Ada setan di kamar ku bu."

Setan gundulmu! Mana ada setan yang berani masuk ke rumah kita!" Sambar Sulastri tak percaya.

"Buktinya barusan mbak wewe masuk ke kamarku" Pengakuan Deni membuat Sulastri diam sesaat, ia melipat tangan di depan dada. Tentu saja, ekpresi ibunya membuat Deni gak punya nyali.

"Kalo emang ada yang berani masuk ke rumah ini berarti kamu patut dicurigai." Ucap Sulastri dengan tatapan mengintimidasi.

"Lah! Kok aku bu?"

"Lah iya, sekarang ngaku! Kamu habis ngapain?"

"E e enggak, aku gak ngelakuin apa-apa." Deni beralasan, ia lebih memilih berbohong dari pada harus terkena amukan ras terkuat di bumi. Meskipun naluri seorang ibu tidak bisa dibohongi.

"Oo, gak mau ngaku ya? Ibu dapat laporan dari mbok yem katanya kamu pergi ke kuburan tua. Ngapain haa?" ujar Sulastri sambil memelintir telinga Deni sampai meringis kesakitan.

"Aw aw aw, sakit bu! Galak amat sama anak sendiri."

Wajah memelas yang dipasang Deni membuat ibunya merasa tidak tega. Ia melepaskan tarikan telinga nya sambil komat kamis memberi nasihat kepada putra satu-satunya.

"Udah, gak usah mikir aneh-aneh, sekarang tidur. Besok anter ibu ke pasar."

"Lah, mana bisa? Aku kan harus kerja. Ibu tau sendiri gimana perangai juraganku yang pelit itu."

"Salah kamu sendiri ngapain masih kerja disana. Sudah ibu bilang berapa kali? Kamu gak usah kerja ikut orang, gajinya gak seberapa tapi effort nya gak kira-kira. Lebih baik bantu ibu jualan di pasar."

"Ck! Perasaan ibu sama pak haji sama aja." Gumam Deni yang masih bisa di dengar ibunya.

"Ngomong lagi yang keras?"

"Eh enggak bu, anakmu ini cuma bercanda."

"Pokoknya ibu gak mau tau, besok kamu yang anter. Ibu lagi males naik angkot." Sambung Sulastri sambil menutup pintu kamar.

Suasana kembali sepi senyap. Ia masih bergidik ngeri teringat setan berdaster yang memiliki tete yang ukuran nya gak ngotak.

"Ck! Gara-gara si setan tobrut itu. Aku jadi gak berani tidur di kamar. Lagian ngapain dia pake nongol segala." Gerutu Deni kesal.

Bab 2

Cahaya matahari perlahan muncul di ufuk timur, suara kicauan burung membahana di angkasa membuat Deni terbangun dari tidurnya. Sambil mengucek mata, ia segera bangkit menuju kamar mandi.

Akan tetapi pagi ini Deni tampak kurang bersemangat, ia masih mencela hasil cek khodam yang semalam tidak sesuai dengan harapan. Masalahnya Deni sudah terlanjur sesumbar kepada teman-teman nya di tempat kerja kalo ia akan jadi pemuda sakti, Deni khawatir jika mereka tau kenyataan yang sebenarnya, dia bakal di bully habis-habisan.

"Apa aku bohong aja ya, kalo misalnya nanti mereka tanya?" Deni bergeming sambil menimbang-nimbang, ia sudah tak punya alasan lain untuk mengelak, sampai mendatangkan setan di telinga kanan dan kirinya.

"Udah tinggal bohong aja, daripada kamu di kecengin terus, apa gak makin jatuh harga dirimu itu. Lagi pula temenmu juga gak bakal tau." Bisik setan merah bertanduk di pundak sebelah kiri.

"Istighfar Den, mereka mungkin gak tau tapi tuhan maha tau. Lagian apa kamu gak kasihan tuh sama malaikat atid, tangannya sampe keram gara-gara nulis amal burukmu." Timpal setan putih yang hinggap di pundak kanan.

Deni masih diam, ia tenggelam dalam dua hasutan, antara harga diri atau berterus terang dengan resiko yang harus ditanggung sendiri.

"Halah gak usah di pikirin, emang kau tak ingat sama taruhan yang sudah kau sepakati."

Deni mengangguk-anggukkan kepala, ia membenarkan bisikan di telinga sebelah kiri. Sepekan yang lalu Deni dan kawan-kawannya sudah membuat taruhan. Jika ritual yang ia lakukan gagal, maka Deni wajib mentraktir gorengan selama seminggu ini.

"Den! Cepetan ibu udah kesiangan ini." Panggilan lantang dari sang ibu membuyarkan lamunannya. Ia kembali bersiap sebelum berangkat mengantar ibu nya.

Sepuluh menit kemudian, motor Deni melaju dengan kecepatan sedang. Terlepas dari rasa kemelut yang masih bergelanyut, batin Deni juga sebenarnya di sambangi rasa senang. Ia berharap di pasar nanti bisa berjumpa dengan pujaan hatinya.

Bukan suatu hal yang mustahil, orang tua Vira memang memiliki ruko sembako di pasar itu, bahkan kebetulan lokasi nya berdekatan dengan ruko ibunya berjualan. Namun sayangnya, Deni tidak bisa lebih dari sekedar memandang. Sebab cintanya yang satu ini terkendala restu orang tua.

Bukan lagi rahasia umum, baik orang tua Deni dan orang tua Vira memang terkenal tidak akur, mereka sering bertengkar di tempat umum, masalah kecil bisa menjadi besar jika keduanya bersinggungan. Hal itulah yang menjadikan kisah cinta Deni begitu tragis melebihi kisah istri-istri yang tersakiti di indosuar.

Setelah tiba di gang pasar, Deni menepikan motornya di bahu jalan. Tepat beberapa meter dari tempat berhenti, pandangan Deni langsung tertuju pada seorang gadis cantik jelita yang tidak lain kalo bukan Vira, yang masih sibuk melayani pembeli di ruko seberang.

Pemuda itu termangu, dunia serasa berhenti berputar ketika Vira melayangkan senyum manis meski bukan untuk dirinya. Apalagi ketika angin berhembus tiba-tiba menghempaskan rambutnya yang tergerai panjang dengan gerakan slowmo, Deni tak berkedip, dirinya seakan membayangkan sedang kejar-kejaran bersama Vira seperti di film-film India.

Bayangan itu membuat Deni tertawa cekikikan, hingga tanpa sadar aktivitas nya diperhatikan oleh ibunya.

"Lah, ini anak kesambet setan dimana coba. Deniii!" Panggil Sulastri dengan nada cukup keras hingga Deni terkejut.

"Ngagetin aja ibu nih, ah!"

"Katanya mau kerja, kenapa masih bengong disini?"

"Anakmu dari tadi ngeliatin anak gadisku terus Sul!" Ucap perempuan yang berdiri di sebrang jalan.

Tidak salah lagi, wanita yang menyahut itu adalah Sri, alias ibunya Vira.

"Heh! Sal Sul Sal Sul, kalau manggil nama yang lengkap! Dasar Srintil! Kata siapa anakku ngeliatin anak situ? Jangan kege-eran deh! Emangnya di pasar ini perempuan cuma anaknya situ doang?" Sambar Sulastri dengan ketus.

"Terus aku harus manggil situ siapa? Syahrini? Lagian siapa juga yang kege-eran. Aku pun juga gak minat punya mantu daei anak situ."

Suasana pasar yang ramai jadi semakin ramai karena ada dua emak-emak sedang adu mulut membela anaknya masing-masing. Bahkan suara keduanya menarik perhatian orang-orang di sekitar pasar. Deni yang masih disana hanya bisa diam membisu. Ia tak menyangka jika perkelahian dua emak-emak akan terulang kembali.

Melihat riak wajah keduanya tampak sangat tidak suka seolah mengubur harapannya dengan sang pujaan hati.

"Lah! emang saya mau punya mantu anak situ? Di luar sana juga banyak perempuan yang ngantri jadi istri anak saya." Sewot Sulastri tak mau kalah.

Di kubu sebrang, Vira ikut mendekat, gadis itu juga merasakan hal yang sama seperti Deni, ia malu sebab orang tuanya kembali bertengkar di tempat umum.

"Sudah bu, malu dilihat orang."

"Nggak! Gak ada kata malu, mereka harus tau nduk, kalo yang deketin kamu itu rata-rata Abdi negara, bukan karyawan macam anaknya Sulastri itu." Pekik Sri percaya diri.

"Heh! sini maju, aku udah gemes pengen ngeruwes mulutmu." Sulastri semakin naik pitam, ia menggulung lengan baju sambil berjalan menghampiri rivalnya. Alih-alih mundur, Sri juga melakukan hal yang sama.

Deni dan Vira semakin panik, mereka berusaha menahan ibunya masing-masing. Tapi situasi sudah tak terkendali, aksi tarik ulur kembali terjadi, ditambah banyak mulut yang membuat suasana makin memanas.

Hampir saja mereka saling baku hantam dan jambak-jambakan, beruntung ada petugas keamanan yang datang membantu. Deni segera menarik lengan ibunya meninggalkan kerumunan, Vira juga melakukan hal yang sama. Tapi keadaan masih belum berakhir, Sulastri yang merasa tidak terima, masih meluapkan kekesalannya.

"Kenapa sih ibu masih berkelahi sama ibu Sri, baru juga kemarin kalian bertengkar gara-gara rebutan BH."

"Kemarin urusannya beda sama yang sekarang Den! Kemarin dia duluan yang mulai. Masa BH yang udah ibu beli main diambil aja sama dia. Tadi emang kamu gak denger Srintil itu bilang apa? Ibu gak terima Den! Lagian ngapain kamu senyum-senyum sendirian? Jangan bilang kalo omongan si Srintil itu benar? Kamu bengong dari tadi ngeliatin anaknya?"

Deni melotot, ia cepat-cepat menggeleng, ia lebih memilih bohong daripada urusan gak kelar-kelar.

"E-enggak! Aku gak liatin Vira kok."

"Yaudah, buruan berangkat kerja, nanti kamu telat."

Deni mengangguk kemudian salim kepada ibunya untuk meminta restu. Namun sebelum motornya benar-benar pergi, dirinya menatap kosong ke atas langit yang membentang luas tanpa awan.

"Vir, Kalo ibu kita seperti ini terus, apa mungkin bajuku dan bajumu bisa satu jemuran yang sama suatu saat nanti?" Gumam Deni dengan perasaan gundah.

Tak lama ia kembali fokus menuju tempat kerjanya, kini ia harus menyiapkan mental untuk berhadapan dengan bos nya yang terkenal garang dan super pelit.

Sambil memacu kendaraan Deni berdoa agar keterlambatan nya hari ini bisa ditolerir. Meskipun ia masih ragu-ragu sebab ia juga sudah memakai segala macam alasan saat terlambat di hari-hari sebelumnya.

Tepat beberapa meter sebelum sampai di ujung gerbang, rupanya sudah berdiri pria paruh baya yang mondar-mandir sambil melayangkan pandangan ke arah jalan.

"Mati Aku!"

Bab 3

Deni menepuk jidat, seketika itu rasa panik langsung menghampiri. Apalagi ketika pria itu berdiri disana dengan tatapan sangar hingga kumis tebal nya nampak bergertar.

Mau tidak mau Deni pun terpaksa mendekat dengan mempersiapkan mental.

"Benerin genteng bocor lagi? Atau pipa rumah mampet lagi?" sindir juragan yang menyinggung keterlambatan nya

"Enggak sih pak haji, rumah saya aman sentosa. Tapi tadi pagi, saya diminta ibu mengantar ke pasar. Yah, daripada saya dikutuk jadi katak, jadi saya anterin aja." jawab Deni sambil cengengesan

Juragan Rozikin atau biasa di panggil pak haji itu diam tak bersuara. Ia masih menimbang-nimbang hukuman apa yang pantas untuk Deni. Ekspresi pria itu tentu saja membuat Deni merasa tak nyaman. Ia tau keterlambatan nya hari ini tidak akan dimaafkan.

"Ehem. Jadi, mau potong gaji apa lembur?" Dua pilihan itu membuat Deni nggaruk tengkuknya. Jelas ia tak mau milih keduanya.

"Saya lembur aja lah pak haji, daripada potong gaji." Balasnya dengan lesu.

Juragan Rozikin langsung tersenyum sebelum mempersilahkan Deni masuk sambil menepuk-nepuk pundak Deni sembari berujar.

"Nah! Sering-seringlah kamu telat kayak gini, biar nanti ada yang jaga ternak-ternakku."

Ya, bos memang berkuasa, dia bisa bertindak seenaknya. Sudah memasuki tahun kedua Deni menjadi karyawan tetap haji Rozikin, bersama dua sahabatnya, Dimas dan Tegar, Deni bekerja merawat ayam petelur dan mengantarnya ke pasar-pasar.

Sambil mendorong cipluk, motor matic kesayangan, Deni memasuki gerbang. Pada saat yang sama, dua kawannya sudah menyambut Deni dengan senyum yang mencurigakan.

"Kamu gak bawa gorengan ta Den?" Sambut Tegar yang melihat Deni datang dengan tangan kosong.

"Lah, ngapain juga aku bawa gorengan".

"Ck, ck, ck, pura-pura aja terooss, kamu lupa sama taruhan kita? Kalo hasil cek khodam nya gagal, kamu janji traktir gorengan selama seminggu".

Sebenarnya Deni udah tau maksud teman-temannya. Dia juga gak keberatan kalo cuma gorengan. Tapi kalo selama seminggu, tentu isi dompetnya auto meronta-ronta.

Nasib ekonomi bulan ini benar-benar minim, bahkan sulit membedakan dompet dan irisan bawang (sama-sama bikin nangis).

"Halah! Cek khodam yang fyp itu hasilnya gak akurat, mana ada cuma kirim nama sama weton bisa di cek khodamnya. Kalian jangan percaya begituan." Timpal Deni berbohong. Padahal tiap malam selalu tidur larut gara-gara gak mau ketinggalan live streaming nya.

"Yang bener? Jadi gimana? Bukannya semalem hasilnya masih kosong? Jelas Hostnya bilang punyamu kosong." Sambar Dimas yang mencari kejujuran.

Itulah yang ku maksud Dim, jelas aku udah punya, mana mungkin usahaku sia-sia".

"Hilih aku gak percaya. Berani gak nanti malam kita buktikan?" sambung Tegar

"Eh, kalau nanti malam aku gak bisa Gar, khodamku ini malu-malu kucing buat menampakkan diri. Apalagi aku disuruh lembur sama pak haji". Jawab Deni mengelak, ia bersyukur karena hukuman dari juragan bisa dijadikan alasan.

"Eh, bisanya kapan? Udah gak sabar ini pengen liat kesaktianmu".

"Tenang Gar, semua butuh proses. Ntar kalo udah tiba waktunya, tak jamin kalian bakal sungkem sama aku". Sambing Deni dengan wajah jumawa.

Setelah itu obrolan berakhir, merka melanjutkan aktivitasnya masing-masing. Hingga saat mereka lagi sibuk, pak haji mendekati Deni dan menyuruhnya.

"Den! Antar dua kotak telur ke tempat mbak Susan sekarang ya". Sontak saja Deni meneguk ludahnya kasar, matanya membelalak lebar, sebab itulah yang bikin dia frustasi.

"Duh! Emang harus saya ya pak haji?"

"Iya, kamu, siapa lagi? Yang biasa anter kesanan kan kamu".

"Tapi pak haji?"

"Gak ada tapi-tapian! Cepet antarin sekarang".

Terpaksa Deni menerima tugasnya dari juragan. Ia segera meyiapkan pesanan untuk pelanggan yang bernama mbak Susan. Seorang pria kemayu pelanggan setia haji Rozikin. Hanya saja pelayanannya agak lain, dia selalu minta pelayanan khusus dari Deni, bahkan kalo bukan Deni yang mengirimkan nya akan di komplain.

Gak mau lama-lama, Deni berangkat ke tempat kediaman mbak Susan, alias Susanto. Kedatangan Deni pun langsung disambut oleh seorang peia dengan dandanan menor ala-ala biduan. Perasaan Deni makin gelisah saat pria itu selalu memandang ke arahnya.

"Eh, ada Deni, bawa telur ya Den." Sapa mbak Susan ramah, namun bikin Deni menahan mual.

"Iy-iya mbak".

"Kok mbak sih!"

"M-maksud saya mas, eh nyai." Ralat Deni salah menyebut.

"Ada berapa telurnya pak haji Den?"

"Ada dua nyai". Jawab Deni hingga membuat mbak susan tertawa geli.

"Eh maksud saya dua peti." Ralat nya

Entah mengapa, tiap berhadapan dengan wanita jadi-jadian ini perasannya tak karuan. Kepala nya mendadak pusing. Lidahnya kelu hingga salah bicara.

"Kalo gitu saya pamit nyai".

"Eh, mau kemana, sini dulu lah". Mbak Susan pun menarik tangan Deni dengan kasar menuju sofa.

"S-sampean mau apa mbak?" tanya Deni terbata.

"Gak usah buru-buru, sini nyai kasih pijat plus-plus".

"Duh, Plus-plus apaan maksud nyai?"

"Plus saya bikinin kopi maksudnya". Sambung Susan dengan manja.

Deni semakin bergidik ngeri, ucapan mbak Susan berhasil buat otaknya traveling. Karena enggan maka Deni segera bangkit untuk pergi.

"Eh, mau kemana ganteng". mbak Susan mencoba menahan langkah Deni sehingga dia kembali terhempas ke sofa

"Saya mau kerja mbak". Mbak Susan tidak menggubrisnya. Tangannya justru mulai meraba dan memijat pundak Deni.

"Ih, jangan begini mbak, saya geli".

"Nggak papa Den, awalnya aja geli tapi lama-lama enak kok".

Suara serak-serak gak enak pun meluncur dari bibir mbak Susan membuat Deni menggeliat, ia merasa geli dan tidak nyaman. Beruntung, saat situasi terdesak, ia mendapat ide untuk melarikan diri.

"Duh nyai, saya tiba-tiba mules, kayaknya saya kecepirit dikit ini". Deni meringis sambil memegangi perutnya hingga mbak Susan menjauhi nya.

"Ish, kamu jorok banget sih".

"Maaf ya nyai, kebanyakan makan sambel nih".

Akting ala kadarnya ternyata berhasil membuat mbak Susan percaya hingga mengijinkan Deni pulang.

***

Hari sudah beranjak sore. Sebelum memasuki malam, Dimas dan Tegar segera menyudahi pekerjaannya. Mereka siap-siap pulang hingga menyisakan Deni.

Deni yang dapet tugas lembur mulai merasakan takut. Setiap melihat sudut yang tidak terjangkau cahaya membuat nyalinya ciut. Apalagi masih terbayang bayang si setan tobrut.

"Gar! Kamu serius mau pulang? Tungguin aku disini lah" pinta Deni dengan wajah memelas.

"Maaf Den, aku gak bisa, kan kamu yang disuruh lembur sama pak haji. Lagian aku capek." Ucap Tegar menolak

"Dim, malam ini ikut aku lembur ya? Kamu boleh nebeng hotspot deh"

"Duh, gak bisa, aku dapet jatah ronda

"Ck! Tega amat kalian sama kawan sendiri".

"Suruh aja jin khodam mu nemenin" balas Tegar yang bikin Deni makin tersudut.

"Yaudah aku jujur. Sebenernya aku emang gagal Gar, Dim."

"Nah! Aku bilang juga apa, kamu ketahuan bohong kan. Pakek alesan khodam malu segala" sungut Tegar kesal.

"Tapi ada masalah lain ini".

"Masalah apaan? Masalahnya kamu gak mau traktir kami gorengan?"

"Bukan itu. Masalahnya semalem aku tiba-tiba didatengin setan tobrut!"

"Setan Tobrut?" teriak Dimas dan Tegar barengan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!