NovelToon NovelToon

Nikah Dadakan Karena Warga

Nikah Dadakan Karena Warga

"kenapa harus aku ? aku juga ingin bahagia !" teriaknya di sebuah bukit di belakang rumahnya ,

"Bapak ! kenapa ibu tega padaku ?" Dia hanya bisa  menagis ,tanpa ada seseorangpun  yang berusaha menenangkannya .

Namanya  Reva Maharani umurnya  genap 20 tahun dan ia  baru lulus SMA tahun kemarin

Ia tinggal di sebuah desa bersama bapak  sambung ,ibu kandungnya dan juga  saudara tirinya yang bernama Dian

Bapak kandungnya  sudah lama meninggal semenjak ia masih kecil ,dan setelah ia masuk SD ibunya  menikah dengan lelaki yang sekarang menjadi bapak sambungnya

Ketika menikah dengan ibunya  ,bapak sambungnya membawa seorang anak perempuan yang umurnya lebih muda darinya ,namun bapak sambungnya selalu memperlakukan Reva dengan baik ,seperti pada putrinya sendiri .

Bapak tirinya  bekerja di sebuah pabrik penggilingan padi milik pak Ringgo ,

Pak Ringgo merupakan juragan tanah ,dan memiliki tiga pabrik penggilingan padi di desanya ,dan termasuk orang terkaya didesa tersebut.

Suatu saat  bapak tiri Reva   terlilit hutang ,karena dia harus menggantikan barang yang tidak sengaja dirusaknya saat dia sedang bekerja .

Pak Renggo sudah lama naksir dengan Reva, dia melihat peluang itu, dia  mendekati bapak  dan ibunya Reva ,dan dia menawarkan  bantuannya

dia akan  melunaskan hutang bapaknya dan akan  memberi uang cuma-cuma kalau Reva mau menikah dengan dia .

"Aku akan memberimu uang lima puluh juta ,dan akan melunaskan hutang hutang kamu ,jika anakmu Reva  mau menjadi istriku !" Pak Renggo memberi tawaran pada bapak dan ibunya

Mendengar tawaran yang sangat menggiurkan bapak dan ibunya yang terlilit hutang  tanpa berpikir panjang segera  menerimanya .

"Baiklah,kalau kamu setuju,malam ini aku akan datang kerumah kalian bersama penghulu ,dan uang lima puluh juta sebagai mahar untuk menikahi Reva." Ucapnya

Mendengar kata uang ,bapak dan ibu Reva  matanya menjadi ijo ,tanpa memikirkan kebahagian putrinya , mereka langsung menyetujuinya tanpa sepengetahuan Reva

Dengan tersenyum ,mereka pulang kerumah .

"Reva nanti kamu  nggak usah ke mana-mana!

Mendengar ucapan ibunya  ,Reva merasa heran ,karena tidak biasanya ibunya melarang Reva ,karena  sudah menjadi kesehariannya sepulang bekerja, sore dan malamnya Ia  mengajar ngaji di masjid di dekat rumahnya .

"Tapi Kenapa Bu ? Aku kan harus mengajar anak anak mengaji ,jawab Reva sopan .

"Untuk hari ini kamu libur dulu ! karena pak Ringgo mau datang ke sini ." Kata ibunya  memberi penjelasan padanya

"Pak Ringgo mau datang ke sini ? Tumben ! Memang mau apa dia mau kesini ?"

"Dia akan melamarmu,dan menikahi mu !" Ucap ibuku.

Mendengarnya aku menjadi sock,ia merasa tidak percaya apa yang ibunya  katakan.

"Hah ! Melamarku dan menikahiku ? aku nggak mau!"  jawab Reva  tegas

Pak Renggo adalah juragan tanah di desa dan merupakan yang terkaya didaerah itu

Walaupun dia sudah mempunyai tiga orang istri ,tapi matanya masih jelalatan ,apalagi setiap kali bertemu dengan Reva ,dia menatapknya dengan tatapan mesum .

Walaupun Reva perempuan desa ,tapi wajahnya cantik ,kulit bersih dan bodynya juga bahenol ,dan Ia tergolong gadis tercantik di desa itu.

Mungkin wajah dan Kulitnya menurun dari ibunya  ,walupun ibunya sudah tua tapi dia terlihat masih cantik .

"Kamu harus mau Reva ! karena itu jalan satu-satunya , supaya bapak kamu terbebas dari hutang dan bisa terlepas dari ancaman penjara!"  sahut ibunya  memberi penjelasan

"Kenapa harus aku ? kenapa nggak Dian saja? Dia kan anak kandungnya ?"

Mendengar namanya disebut ,Dian kaget

Saat ini dia duduk dikursi tidak jauh dari tempat duduk Reva sambil memainkan hpnya .

"Aku nggak mau! Enak saja Aku  masih sekolah,lagian aku juga sudah punya pacar ! kamu saja !" Sahut Dian tidak terima

"Reva ,Dian itu masih sekolah ,dia tidak mungkin menikah ,lagian pak Renggo memilih kamu untuk dijadikan istrinya ." Ibunya kembali  berusaha memberi penjelasan .

"Lagi pula kalau kamu menikah dengannya ,hidup kamu akan terjamin ,dan kamu bisa menjadi orang kaya di desa ini ,tanpa cepek capek bekerja ."

"Aku nggak mau Bu ," jawab Reva tegas

"Mau nggak mau, kamu harus mau Reva!  Dan mulai sekarang kamu jangan keluar  rumah !"  ucap ibunya tidak kalah  tegasnya

"Bu ,aku nggk mau ,kenapa harus aku yang menikah dengan pak Renggo,Bapak kan yang punya hutang ." Reva berkata dengan nada memelas

"Karena sudah tidak ada jalan lain Reva ,kalau kita tidak bisa membayar hutang bapakmu ,maka bapakmu  akan di penjara ."

"Nggak bisa begitu juga dongk Bu , aku juga punya pilihan hidup  sendiri,aku juga ingin bahagia dengan pilihanku , jadi ibu  jangan memaksaku menikah dengan pak Renggo ." Reva menolak ,ia berusaha memberi penjelasan Pada ibunya

"Aku tidak mau tahu !  kamu harus menikahi sama pak Renggo!  dan malam ini dia akan melamarmu dan  menikahimu !"

Mendengar ucapan ibunya yang tegas ,Reva nampak sock karena Ia tidak menyangka kalau ini akan terjadi padanya.

Reva tahu sebenarnya sudah lama pak Renggo mempunyai niat yang tidak baik padanya ,dia sudah beberapa kali merayu bapak dan ibunya untuk bisa menikahi Reva ,tapi Reva selalu menolaknya.

Pak Renggo  umurnya kira-kira lebih tua dari bapak tirinya  dan istrinya pun juga sudah tiga, itu juga  yang resmi dinikahinya, entahlah yang tidak resmi Reva  juga tidak tahu karena setahunya  pak Renggo  orangnya suka main perempuan

"Malam  ini kamu jangan kemana mana ,kamu persiapkan dirimu ! karena nanti akan ada orang suruhan pak Renggo yang mau datang,

dia akan membawakan pakaian untuk kamu yang akan kamu gunakan nanti untuk pernikahan kamu nanti malam ,dan dia juga akan meriasmu !"

"Bu ,apakah ibu tidak sayang padaku ?" Tanya Reva dengan muka memelas

Sebenarnya ibu dan bapak tirinya sangat sayang padanya ,tapi mungkin karena tidak ada pilihan lain sehingga  bisa tega menikahkan Reva dengan pak Renggo .

"Reva ,bukannya aku tidak sayang padamu ,tapi ini terpaksa ,aku tidak mau kalau bapakmu masuk penjara ." ibunya dengan nada lembut mencoba memberi pengertian pada Reva

"Tapi tidak seharusnya ibu mengorbankan aku ,untuk menikah dengan pak Renggo !"

"Sebenarnya aku tidak tega ,tapi Setelah ibu pikir pikir ,kalau kamu menikah dengan pak Renggo ,masa depan kamu akan lebih terjamin ,kamu nggk usah capek capek bekerja di pasar ,karena semua kebutuhanmu sudah di cukupi semua olehnya ." Ibunya berusaha memberi pengertian

"Tapi dia itu sudah tua Bu ,dia juga sudah punya istri tiga ."

"Kalau masalah itu ,kamu nggk usah dipikirkan ,yang penting dia memberi kehidupan yang bercukupan untuk hidupmu ."

"Tapi kenapa harus aku Bu ? Kenapa tidak ibu saja ,umur kalian kan tidak beda jauh ." ucap Reva kesal ,mendengar ucapan Reva ibunya mendelik .

"Ngawur kamu !  ibumu ini sudah menikah  ,mana mungkin menikah lagi , jadi kamu yang harus menikah dengannya!" Ucapnya tegas .

"Tapi  ,Aku nggak mau menikah dengan pak Ringgo ,Bu ." Reva berusaha merengek pada ibunya supaya dia mau menggagalkan rencananya itu

"Aku tidak mau dibantah Reva ! Sekarang kamu istirahatlah terlebih dahulu ! Sebelum orang suruhan pak Renggo datang !" Ujar ibunya  tanpa mau mendengarkan Reva

"Selamat ya, Kak Reva ! sebentar lagi kamu akan menjadi istrinya pak Ringgo ,orang terkaya di desa ini!'  Dian mengejek Reva

Sebelum dia pergi meninggalkan ruangan itu.

Mendengar ejekannya itu Reva  menatapnya tajam,rasanya aku ingin menjitak kepalanya

Kabur dari rumah

"Aku harus ,kabur aku nggak mau menikah,dengan tua bangka itu ." sepeninggal ibunya dari kamarnya Reva nampak terdiam ,dia berfikir untuk mencari jalan untuk bisa keluar dari pernikahan yang akan di rencanakan dua jam kedepan .

Malam itu gelap gulita. Bulan tertutup awan tebal, seolah langit pun ikut berduka atas nasib Reva. Di dalam kamarnya yang sempit, Reva duduk memeluk lutut, tubuhnya gemetar menahan tangis yang tak kunjung reda. Matanya bengkak, suaranya serak, tapi hatinya masih keras—ia tak akan menyerah.

*“Aku juga ingin bahagia…”* bisiknya pelan, mengulang teriakannya di bukit tadi sore.

Di luar, suara motor mulai terdengar mendekat. Lampu sorot menyala dari halaman depan. Orang suruhan Pak Ringgo datang—membawa pakaian pengantin, riasan, dan mahar yang telah disepakati. Reva tahu, waktu semakin sempit.

Ia menoleh ke jendela kamarnya yang menghadap ke belakang rumah—tepat ke arah bukit tempat ia tadi menjerit frustasi. Di sanalah satu-satunya jalan keluar baginya.

"Aku harus ,cepat kabur ,sebelum aku benar benar menikah dengan pak Ringgo ."

Dengan cepat, Reva mengambil tas kain kecil yang biasa ia gunakan untuk mengajar ngaji. Ia memasukkan beberapa potong pakaian, uang tabungan hasil mengajar dan hasil kerjanya di pasar —hanya sekitar tiga ratus ribu rupiah—dan sebuah foto kecil dirinya bersama almarhum ayah kandungnya dan juga ibunya . Foto itu satu-satunya kenangan yang ia miliki.

"Aku harus hati - hati ,aku nggk mau kalau ibu sampai tahu ,dan mengagalkannya ."

Ia membuka jendela perlahan, berhati-hati agar tidak menimbulkan suara. Udara malam menusuk kulitnya yang hanya berbalut kaus lengan panjang dan celana training. Tapi ia tak peduli. Lebih baik kedinginan daripada terpenjara dalam pernikahan paksa.

Reva melompat turun dari jendela, kakinya mendarat di tumpukan daun kering. Ia menahan napas, menoleh ke arah rumah. Tak ada yang keluar. Suara tawa,bapak ibu dan Dian terdengar dari ruang tamu—mereka sibuk menyambut tamu dari Pak Ringgo.

"Aku harus cepat cepat pergi dari sini ,"

Tanpa menunggu lama, Reva berlari ke arah bukit. Kakinya tergelincir di tanah licin, tapi ia bangkit lagi. Ia tak boleh gagal. Di puncak bukit, ia berhenti sejenak, menoleh ke belakang. Rumahnya tampak kecil dari sini, tapi cahaya lampu yang terang menyala terasa seperti penjara yang siap menelannya hidup-hidup.

*“Maafkan aku, Bu… Tapi aku tak bisa jadi tumbal hutang Bapak.”*

Ia melanjutkan larinya, menyusuri jalan setapak yang hanya diterangi cahaya redup dari ponsel lamanya. Tujuannya: terminal desa. Ia tahu, setiap jam lima pagi ada angkot yang berangkat ke kota kabupaten. Dari sana, ia bisa naik bus menuju kota besar—tempat ia tak dikenal, tempat ia bisa memulai hidup baru.

Tapi sebelum itu, ia harus melewati ladang jagung milik Pak Harun, melewati jembatan bambu yang rapuh, dan menghindari anjing-anjing penjaga di sepanjang jalan.

Tiba-tiba, suara teriakan menggema dari kejauhan.

**“Reva! Reva, kembali! Kamu mau ke mana?!”**

Itu suara ibunya. Mereka sadar ia kabur.

Jantung Reva berdebar kencang. Ia menambah kecepatan, napasnya tersengal-sengal. Ia tak boleh tertangkap. Kalau tertangkap, malam ini juga ia akan dipaksa menikah—tanpa restu, tanpa cinta, hanya demi uang dan hutang.

Saat melewati jembatan bambu, kakinya terpeleset. Ia hampir jatuh ke sungai kecil di bawah, tapi berhasil menahan diri dengan memegang erat tiang jembatan. Tangannya lecet, lututnya berdarah, tapi ia tak menyerah.

Di kejauhan, suara motor mulai mendekat. Mereka mengejarnya.

Reva menoleh—ada dua motor. Salah satunya dikendarai Bapak tirinya, yang lain oleh tetangga yang mungkin disuruh ibunya.

*“Aku harus lebih cepat…”*

Ia melompati pagar bambu, menyusup ke kebun kopi yang gelap. Daun-daun basah membasahi bajunya, nyamuk menggigit kulitnya, tapi ia terus berlari. Sampai akhirnya, di balik semak-semak, ia melihat sesuatu yang membuat napasnya tertahan.

Sebuah warung kecil di pinggir jalan—masih buka. Di depannya, sebuah angkot tua terparkir. Sopirnya sedang duduk sambil minum kopi.

Reva ragu sejenak. Tapi ini satu-satunya kesempatan.

Dengan napas tersengal, ia keluar dari semak dan berlari ke arah warung.

**“Pak… Pak, tolong… saya mau ke terminal. Saya… saya kabur.”**

Sopir angkot itu menatapnya heran, lalu melihat ke arah jalan—ia mendengar suara motor mendekat.

Tanpa banyak tanya, pria paruh baya itu mengangguk. **“Naik! Cepat!”**

Reva melompat masuk ke dalam angkot. Pintu belum sempat ditutup, sopir itu sudah menginjak gas. Ban angkot berdecit di jalan berbatu, meninggalkan kejaran yang semakin dekat.

Di kaca belakang, Reva melihat ibunya berdiri di pinggir jalan, menangis sambil memanggil namanya. Bapak tirinya terlihat marah, menendang batu ke arah angkot yang menjauh.

Reva menunduk, air matanya jatuh di atas foto ayahnya.

*“Aku akan bahagia, Buk… dengan caraku sendiri.”*

Angkot itu melaju kencang menuju terminal. Fajar mulai menyingsing di ufuk timur. Hari baru dimulai—dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Reva merasa bebas.

Namun, di balik kebebasan itu, ia tahu: perjuangannya belum selesai. Di kota nanti, ia harus bertahan hidup sendiri. Tapi setidaknya… ia masih punya pilihan.

Dan itu lebih berharga daripada uang lima puluh juta sekalipun.

Nekat ke Jakarta

Angkot tua itu berhenti di terminal kabupaten tepat pukul satu dini hari

"kamu mau kemana nak ?" kenapa kamu kabur dari rumah kamu ?" tanya sopir angkot itu begitu sampai di terminal

"Aku mau ke ibu kota pak ,aku kabur karena aku tidak mau dinikahkan paksa dengan lelaki yang sudah tua dan sudah mempunyai tiga istri ,untuk membayar hutang bapak tiriku ."

"Astaghfirullah,masih saja ada orang di jaman sekarang ini yang seperti itu ."

"Tapi sekarang masih terlalu pagi ,belum ada bis yang kekota ,nanti adanya jam 6 pagi ,kalau begitu kamu nunggu di warung langganan bapak saja ,biar kamu aman ." kemudian bapak sopir angkot itu mengantarkan Reva kewarung di terminal yang buka 24 jam dan menitipkan Reva disana ,kemudian Reva memberikan ongkos angkot ,namun tidak diterima semuanya ,hanya di terima sebagian saja untuk ganti bensin ,setelah itu sopir angkot pergi kembali kerumahnya .

Reva tidur sebentar di warung itu ,dia segera terbangun , Udara masih dingin, kabut tipis menyelimuti atap-atap bangunan, dan suara ayam berkokok terdengar dari kejauhan. Reva terbangun tubuhnya lelah, kakinya nyeri, tapi matanya bersinar—penuh tekad.

Setelah berpamitan dengan pemilik warung ,Reva segera bergegas menuju loket yang sudah buka .

Ia menoleh ke arah timur, tempat matahari perlahan muncul dari balik bukit. Di sana, di balik cahaya fajar, ia melihat harapan. Bukan kekayaan, bukan kemewahan, tapi kebebasan untuk menentukan hidupnya sendiri.

Dengan uang dau ratus lima puluh ribu di saku dan tas kecil di punggung, Reva membeli tiket bus jurusan Jakarta. Ia tak punya rencana pasti—hanya tahu bahwa di kota besar, orang tak saling mengenal, dan masa lalu bisa dikubur dalam diam.

Bus berangkat pukul enam. Reva duduk di kursi paling belakang, dekat jendela. Ia menatap pemandangan desa yang perlahan berganti menjadi sawah, lalu perbukitan, lalu jalan raya panjang yang tak berujung. Setiap kilometer yang dilalui membuatnya semakin jauh dari Pak Ringgo, dari ibunya yang tega, dari Dian yang sinis… dan dari takdir yang ingin dipaksakan padanya.

***

Jakarta menyambutnya dengan hiruk-pikuk yang asing. Suara klakson, asap kendaraan, gedung-gedung tinggi yang menjulang, dan lautan manusia yang berlalu-lalang tanpa peduli satu sama lain. Reva turun di terminal Kampung Rambutan, bingung, tak tahu harus ke mana.

Ia menghampiri seorang penjual nasi uduk di pinggir jalan. “Mbak, kalau cari kos murah, di mana ya?” tanyanya dengan suara pelan, masih gugup.

Penjual itu menatapnya sejenak, lalu tersenyum. “Kamu dari luar kota, ya? Coba ke daerah Cipayung atau Pondok Gede. Di sana banyak kos-kosan buat anak magang atau buruh pabrik. Seratus lima puluh ribu per minggu.”

Reva mengangguk. Ia membeli sebungkus nasi uduk, lalu berjalan kaki menyusuri trotoar yang penuh genangan. Kakinya lecet, tapi ia tak menyerah. Setelah berjalan hampir satu jam, ia menemukan sebuah kos kecil berdinding tembok retak, dengan papan tulis bertuliskan: **“Kos Putri – Rp150.000/minggu – Listrik + Air”**.

Pemiliknya seorang ibu paruh baya bernama Bu Siti. Matanya tajam, tapi suaranya lembut. “Kamu sendirian?” tanya Bu Siti sambil memeriksa tas Reva.

“Iya, Bu. Saya mau cari kerja di sini,” jawab Reva jujur.

Bu Siti menghela napas. “Anak seumuran kamu biasanya masih sekolah. Tapi… aku nggak akan tanya banyak. Asal kamu jujur, bayar tepat waktu, dan nggak bawa laki-laki masuk, silakan tinggal.”

Reva mengangguk cepat. “Terima kasih, Bu.”

Kamar yang ia dapat sempit—hanya cukup untuk kasur tipis, lemari kecil, dan sebuah meja. Tapi bagi Reva, ini istana. Ini miliknya. Tak ada yang bisa memaksanya di sini.

***

Hari-hari pertama di Jakarta berat. Reva melamar ke mana-mana: toko kelontong, warung makan, bahkan pabrik tekstil. Tapi tanpa ijazah resmi—karena ia belum sempat mengambil ijazah SMA—banyak yang menolaknya.

“Kamu lulusan mana?” tanya seorang pemilik warung.

“SMA, Bu. Tapi… ijazahnya belum saya ambil,” jawab Reva jujur.

Wanita itu menggeleng. “Maaf, sayang. Kami butuh yang bisa bikin laporan keuangan. Minimal punya ijazah.”

Reva pulang dengan hati hancur. Tapi malam itu, ia tak menangis. Ia menulis di buku kecil yang dibawanya:

*“Hari ke-3 di Jakarta. Belum dapat kerja. Tapi aku tidak boleh menyerah. Aku kabur bukan untuk kembali.”*

Pada hari keempat, nasib mulai berpihak. Di depan sebuah minimarket, ia melihat pengumuman: **“Dicari Kasir dan Packing Barang – Wanita, Jujur, Rajin – Gaji Rp2,5 juta/bulan.”**

Ia langsung masuk. Pemiliknya, seorang pria Tionghoa paruh baya bernama Pak Herman, menatapnya dengan alis terangkat. “Kamu masih muda. Kenapa nggak sekolah lanjut?”

“Saya sudah lulus, Pak. Tapi… ada alasan pribadi saya harus kerja sekarang,” jawab Reva, suaranya mantap.

Pak Herman diam sejenak, lalu tersenyum. “Aku lihat matamu. Kamu butuh kerja, bukan cuma cari uang. Baik. Coba kerja seminggu dulu. Kalau cocok, kamu saya ambil tetap.”

Reva hampir menangis karena lega. “Terima kasih, Pak!”

***

Pekerjaannya berat. Ia harus datang pukul tujuh pagi, pulang jam sembilan malam. Kadang ia packing barang sampai tangan lecet, kadang ia melayani pelanggan yang kasar. Tapi ia tak pernah mengeluh. Setiap rupiah yang ia dapat, ia simpan separuh—untuk biaya hidup, separuh lagi untuk masa depan.

Ia juga mulai mengikuti les malam di balai warga dekat kosnya. Guru-guru sukarela mengajar baca-tulis, dasar komputer, dan bahkan persiapan ujian kesetaraan. Reva mendaftar ujian Paket C—setara SMA—dan belajar setiap malam setelah pulang kerja.

Suatu malam, saat ia sedang belajar di teras kos, Bu Siti mendatanginya dengan secangkir teh hangat.

“Kamu beda dari anak kos lain,” kata Bu Siti pelan. “Mereka main HP, nongkrong, pacaran. Kamu malah belajar terus.”

Reva tersenyum. “Saya ingin punya masa depan, Bu. Bukan cuma bertahan hidup.”

Bu Siti mengangguk. “Kalau kamu butuh bantuan, bilang saja. Aku punya teman di kantor kelurahan. Mungkin bisa bantu urus surat-surat biar kamu bisa ambil ijazah asli nanti.”

Air mata Reva hampir jatuh. “Terima kasih, Bu…”

***

Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama.

Pada minggu kelima, saat Reva sedang melayani pelanggan di minimarket, seorang pria berpakaian rapi mendekat. Ia membawa foto—foto Reva saat masih di desa, sedang mengajar ngaji di masjid.

“Kamu Reva Maharani, kan?” tanya pria itu.

Jantung Reva berhenti sesaat. Ia mengenali pria itu—salah satu kaki tangan Pak Ringgo.

“Siapa kamu?” tanya Reva, berusaha tenang.

“Aku utusan Pak Ringgo. Dia tahu kamu kabur. Tapi dia nggak marah. Malah kasihan. Dia bilang, kalau kamu pulang, hutang bapakmu dilunasi, dan kamu tetap jadi istrinya dengan segala kemewahan.”

Reva menatap pria itu dengan dingin. “Sampaikan pada Pak Ringgo: aku lebih suka makan nasi uduk di emperan jalan daripada makan nasi kebuli di rumahnya sebagai istri keempat.”

Pria itu tersenyum sinis. “Kamu pikir kamu bisa lari selamanya? Desa kecil, Jakarta besar—tapi Pak Ringgo punya koneksi di mana-mana. Bahkan di sini.”

Reva tak gentar. “Kalau dia mau cari aku, silakan. Tapi aku nggak akan pernah kembali. Aku lebih baik mati daripada dijual oleh keluargaku sendiri.”

Pria itu terdiam, lalu pergi.

Tapi Reva tahu—ini belum berakhir.

***

Malam itu, ia tak bisa tidur. Ia takut Pak Ringgo benar-benar menemukannya. Tapi ia juga tak mau lari lagi. Ia sudah terlalu lelah kabur.

Keesokan harinya, ia menghadap Pak Herman. “Pak, saya mau minta tolong. Kalau ada orang tanya saya, tolong bilang saya sudah pindah kerja.”

Pak Herman mengangguk. “Aku nggak tahu urusanmu, tapi aku lihat kamu pekerja keras. Aku lindungi kamu selama kamu jujur.”

Reva menggenggam tangan Pak Herman. “Terima kasih, Pak.”

***

Hari demi hari berlalu. Tak ada lagi utusan Pak Ringgo. Mungkin ia menyerah. Atau mungkin sedang menunggu waktu yang tepat.

Tapi Reva tak peduli. Ia fokus pada hidup barunya. Ia lulus ujian Paket C dengan nilai memuaskan. Ia naik gaji jadi tiga juta. Ia bahkan mulai menabung untuk kuliah—meski hanya di kelas karyawan.

Suatu sore, saat ia berjalan pulang, seorang anak kecil menangis di pinggir jalan. Tas sekolahnya robek, buku-bukunya berceceran. Tanpa pikir panjang, Reva menghampiri, membantunya mengumpulkan buku, lalu memberinya uang untuk beli makan.

Anak itu menatapnya dengan mata berbinar. “Kakak baik banget…”

Reva tersenyum. “Dulu, aku juga pernah ditolong orang saat aku sendirian.”

Di saat itulah ia sadar: kebahagiaannya bukan datang dari uang, bukan dari pernikahan, tapi dari kebebasan memilih—dan dari kebaikan yang ia berikan pada dunia.

Ia mungkin bukan istri juragan tanah. Tapi ia adalah Reva Maharani—gadis desa yang berani melawan takdir, yang memilih jalan sendiri, dan yang percaya bahwa bahagia itu hak, bukan hadiah dari orang lain.

Dan di tengah hiruk-pikuk Jakarta yang kejam, ia akhirnya menemukan damai—dalam dirinya sendiri.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!