"Maukah kau menikahi putriku, nak?" tanya seorang ibu yang saat ini sedang mengalami kecelakaan. Ia ditolong seorang CEO muda yang bernama Zain yang kebetulan berada di lokasi kecelakaan.
"Bunda, jangan tinggalkan Zara bunda...! pekik seorang gadis yang berusia 18 tahun namun masih mengenakan seragam SMA.
Zara adalah gadis yang memiliki keterlambatan berpikir. Namun tubuhnya cukup mendukung dengan kepolosan nya. Pikirannya setara dengan gadis yang masih berusia 15 tahun.
Isak tangis Zara memenuhi ruangan itu saat dirinya baru saja dinikahi oleh Zain Raihan Indra Wibowo. Awalnya Zain menolak permintaan nyonya Sarah karena ia sendiri sudah memiliki kekasih.
Namun mengetahui siapa sebenarnya nyonya Sarah, iapun berubah pikiran karena perusahaannya sendiri saat ini sedang goyah. Ia butuh suntikan dana yang tidak sedikit. Perusahaan milik nyonya Sarah menjadi pilihan terakhirnya baginya untuk kembali bangkit.
"Bundaaaaaa.....!" teriak Zara begitu suster menutupi wajah ibundanya yang sudah menghembuskan nafas terakhir.
Zain memeluk tubuh mungil itu dan menenangkan Zara yang merupakan istri kecilnya yang baru dinikahinya.
"Om, Zara mau bersama bunda. Zara hanya punya bunda...!" ucap Zara persis seperti anak kecil dengan sesenggukan.
"Zara sekarang sudah bersama saya, kenapa Zara menangis? Zara harus iklas melepaskan bunda," bujuk Zain menenangkan Zara.
"Tidak mau. Zara tidak kenal sama om. Zara mau bunda," pekik Zara membuat Zain harus menahan dirinya saat ini karena ia selama ini tidak suka dengan gadis cengeng.
"Zara. Apakah kamu tidak ingat kalau kita baru saja melangsungkan pernikahan? Itu berarti kamu adalah tanggungjawab ku sekarang," ucap Zain yang belum tahu jika ia sedang berhadapan dengan seorang gadis yang telat mikir alias tulalit.
"Tuan Zain Raihan. Apakah kita bisa bicara sebentar?" tegur pengacara Gunawan. Pengacara Gunawan adalah pengacara khusus di perusahaan milik nyonya Sarah.
"Baiklah." Raihan mengikuti langkah pengacara Gunawan keluar dari ruang rawat nyonya Sarah karena tempat itu sudah tidak ada lagi pasien. Namun Zara masih menangis di sofa panjang karena ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan saat ini.
"Tuan, ada yang harus saya katakan pada anda bahwa istri anda yaitu nona Zara mengalami kemunduran berpikir yang tidak sesuai dengan usianya.
Walaupun saat ini usianya sudah menginjak 18 tahun namun pikirannya masih seperti anak usia 15 tahun. Jadi saya harap anda jangan dulu memaksanya untuk memperlakukan dirinya layaknya seorang istri," jelas tuan Gunawan membuat Zain tercengang.
"Jadi aku menikahi wanita tulalit?" Zara menepuk jidatnya karena ia baru paham apa yang baru saja terjadi barusan. Bagaimana ia sulit sekali membujuk istri kecilnya itu.
"Nyonya Sarah akan menyerahkan sebagian warisannya untuk menantunya yang siap menjaga putrinya. Namun jika di lain hari anda mencampakkan putrinya maka, harta yang sudah anda miliki akan diambil alih kembali oleh istri anda Zara. Besok anda bisa ke perusahaan nyonya Sarah untuk menandatangani beberapa kontrak perjanjian pernikahan," ucap pengacara Gunawan.
Zain tidak bergeming. pikirannya masih tertuju pada istrinya Zara yang memiliki keterlambatan berpikir yang tidak sesuai dengan usianya atau retardasi.
Retardasi mental atau sekarang sering disebut disabilitas intelektual atau tunagrahita, adalah kondisi gangguan pada perkembangan otak yang menyebabkan seseorang memiliki kemampuan intelektual dibawah rata-rata dan mengalami kesulitan dalam beradaptasi dengan kehidupan sehari-hari seperti ketrampilan sosial, ekonomi dan komunikasi.
...----------------...
Ditempat pemakaman, lagi-lagi Zara meratapi kematian ibundanya di atas pusara. Ketiga sahabatnya Zara mencoba membujuk gadis imut itu namun rasanya sia-sia.
"Zara. Bunda loe udah tenang di alam kubur...! Jangan terus meratapi kepergian nya, kasihan bunda loe nggak tenang di alam sana," bujuk Andin.
"Zara mau bersama bunda. Zara takut tinggal sendiri. Tidak ada yang menyayangi Zara selain bunda," ucap Zara kembali meraung.
"Ada kami bertiga yang akan menjaga dan menemani kamu kok. Kami siap nginap di rumah kamu agar kamu tidak kesepian," bujuk Inara.
"Aku tidak mau kalian. Aku ingin bersama bunda ku. Pergi dari sini....! Aku tidak mau melihat kalian...!" usir Zara membuat kepala pelayan Zara yaitu bibi Vera meminta ketiga gadis itu meninggalkan Zara.
"Maaf nona-nona...! Biarkan nona Zara sendirian saat ini. Ia butuh waktu untuk menerima kematian ibunya. Silahkan kalian pulang...!" ucap Bibi Vera.
"Baik bibi. Maafkan kami. Kalau begitu kami permisi dulu...!" ucap Naila.
Raihan yang sejak tadi diam menghampiri istrinya itu. Ia membangunkan Zara yang masih bersimpuh di atas pusara ibunya yang penuh dengan taburan bunga.
"Ayo sayang, kita pulang...! Kamu tidak sendiri karena ada aku yang akan menggantikan bundamu," ucap Zain membuat Zara menghentikan tangisnya dan menatap wajah Zain dengan tatapan sendu.
"Emangnya om siapa? Kenapa Zara harus bersama Om? Kata bunda Zara tidak boleh ikut sama orang yang tidak dikenal," ucap Zara sesekali terisak.
Zain menarik nafasnya agar tidak terpancing emosi menghadapi gadis seperti Zara. Padahal sudah berapa kali ia harus menjelaskan kepada Zara tentang status mereka.
"Nona Zara. Sekarang, om ini adalah suami kamu sayang. Kamu boleh tinggal dengannya. Nona mau tinggal di rumah nona atau di rumah om ini?" tawar bibi Vera.
Zara masih belum paham tentang hubungan suami istri dalam arti yang sebenarnya. Ia sedang berpikir sesaat untuk meloading informasi yang baru ia terima.
"Apakah suami istri itu seperti dua orang yang menjadi orangtua? Ayah dan bunda? Seperti itukah?" tanya Zara.
"Benar nona. Seperti ayah dan bunda nona," jelas bibi Vera terlihat sabar.
Zara melihat lagi wajah Zain yang terlihat seperti kulkas empat pintu. Lalu mencoba menerima status itu sebagai hal baru yang harus ia perankan.
Tanpa banyak bicara, Zain langsung menggandeng tangan Zara menuju mobilnya. Ia cukup lelah menghadapi kekacauan seharian ini untuk mengurusi orang yang baru ia kenal dan kini menjadi bagian dalam hidupnya seorang gadis tulalit.
"Om. Kita mau ke mana?" tanya Zara saat melihat mobil mewah itu tidak melintas ke arah rumahnya.
"Ke rumahku. Kamu harus berkenalan dengan keluargaku. Ada kedua orangtuaku dan juga nenekku. Aku juga anak tunggal sama sepertimu," jelas Raihan tanpa melihat wajah cantik istri kecilnya.
"Apakah mereka akan menyukaiku?" tanya Zara polos.
"Tergantung sikapmu..!" ketus Zain.
"Kata bunda Zara harus sopan pada orang yang lebih tua," ucap Zara kembali sedih.
"Bagus." Zain bersandar di jok mobil dan memejamkan matanya. Asisten pribadinya Chiko mengantar pasutri itu ke mansion mewah milik orangtuanya Zain.
Tidak lama kemudian mobil itu sudah memasuki kediaman Zain. Pria tampan itu turun duluan lalu diikuti oleh Zara yang sedang menatap bangunan mewah itu.
"Sama rumahnya ya seperti rumah Zara," batin Zara. Zain menarik tangannya untuk masuk ke rumah itu di mana kelurga besarnya sudah berkumpul.
Zain sebelumnya sudah menceritakan apa yang terjadi pada dirinya hari ini pada keluarganya sebelum jenasah nyonya Sarah dimakamkan.
Nyonya Ami dan tuan Darren menyambut kedatangan menantu mereka. Namun begitu melihat menantu mereka yang ternyata sangat imut membuat mereka saling menatap satu sama lain.
"Kenapa istrinya Zain masih kecil mam?" tanya tuan Darren.
"Itu karena gadis itu mengalami pertumbuhan yang tidak normal tidak sesuai usianya," bisik nyonya Ami yang sudah mengetahui informasi itu dari putranya.
"Jadi maksud pernikahan ini apa?" tanya tuan Darren tidak mengerti dengan jalan pikiran putranya.
"Bukankah perusahaan kita sedang diambang bangkrut, pah? gadis ini adalah peri penolong kita. Jadi terima lah dia menjadi bagian dari keluarga kita," ucap nyonya Ami.
"Mam, papa. Kenalkan ini istriku Zara...! Zara ini kedua orangtuaku," ucap Raihan memperkenalkan ketiganya.
"Assalamualaikum om, Tante...!" sapa Zara seraya mencium tangan kedua mertuanya yang menyambutnya dengan ragu.
"Sayang. Jangan panggil om dan Tante tapi panggil saja mama dan papa seperti Zain ....! Mengerti?" ucap nyonya Ami lembut.
"Hmm...!" Zara mengangguk. Ia sama sekali tidak bisa tersenyum. Hatinya masih di landa kesedihan. Menerima kelurga baru itu tidak semudah dirinya belajar menerima pelajaran baru.
Pelajaran hidup ternyata lebih sulit baginya yang terbiasa hidup mudah di kala masih ada sosok ibunya.
"Bunda, apa yang terjadi padaku selanjutnya?" batin Zara menahan kesedihannya.
"Ayo kita ke kamar, Zara...!" ajak Zain membuat Zara bingung.
"Ke kamar? Ngapain?" batin Zara gelisah.
Koper milik Zara sudah ada di dalam kamarnya Zain. Gadis itu mendekati kopernya lalu membukanya dengan cepat. Zain mengira jika Zara hendak mengambil baju tidurnya namun ternyata gadis itu mengambil boneka kesayangannya yaitu Teddy bear.
"Siapa nama temanmu itu?" tanya Zain memperlakukan Zara seperti anak kecil karena otak Zara tidak bisa diajak berpikir dewasa.
"Milky. Dia sahabat terbaikku," ucap Zara memeluk bonekanya dengan sayang.
"Kenapa dikasih nama cowok?" tanya Zain lagi.
"Karena nama wanita tidak cocok untuknya. Dia bisa menyimpan rahasia dan aku akan berkata apapun padanya tanpa sungkan seperti aku bicara pada Allah saat berdoa," ucap Zara polos.
"Kamu bisa bicara apapun padaku jika kamu mau. Kamu juga bisa jadikan aku temanmu. Aku janji akan jaga rahasia mu," ucap Zain menawarkan persahabatan dengan Zara.
Zara menatap wajah tampannya Zain lalu ia menggelengkan kepalanya." Kamu tidak mungkin menjadi temanku karena kamu tidak akan menerima apapun tentangku," ucap Zara.
"Kenapa kamu berkata begitu?" tanya Zain.
"Karena kamu adalah manusia. Kamu punya amarah, malu dan kecewa. Mungkin juga kamu bisa berbalik jadi pengkhianat. Dan diatas semua itu kamu belum tentu tulus padaku," ucap Zara layaknya orang dewasa yang berpikiran normal.
"Apakah ada yang pernah mengatakan itu padamu?" tanya Zain yang merasa Zara tidak mungkin bisa berpikir sejauh itu untuk menilai seseorang dengan kekurangan yang ia miliki.
"Aku membacanya di salah satu buku pemberian bunda. Orang yang bisa kita percayai adalah diri kita sendiri. Jadi jangan pernah bergantung pada manusia jika tidak ingin hati kita kecewa atas ulahnya," jelas Zara.
Perkataan Zara menyentil Zain yang memang memiliki niat jahat pada gadis lugu yang memiliki kebutuhan khusus itu. Zain menepis perasaan kasihan pada Zara yang pasti sangat kesepian walaupun gadis itu memiliki teman. Namun Zain belum begitu mengenal ketiga teman dekatnya Zara yang dilihatnya di pemakaman tadi sore.
"Baiklah. Itu hakmu untuk memilih teman yang sesuai dengan penilaian mu Zara. Tapi aku suamimu sekarang. Jadi kamu bisa berbagi denganku jika kau mau. Sekarang kamu mandi lalu ganti baju dan kita akan turun makan malam," pinta Zain.
"Terus nanti Zara tidur di mana?" tanya Zara melihat tempat tidur di kamar itu hanya satu.
"Yah kamu akan tidur denganku. Kita ini kan sudah menjadi suami istri. Jadi tidurnya di ranjang yang sama," jelas Zain.
"Tidak mau. Nanti kamu pasti memperkosaku. Lagipula bunda bilang kalau laki-laki dan perempuan itu tidak boleh berada di tempat yang sepi saat berduaan," ucap Zara.
"Ya Allah. Kumat lagi otaknya nih bocah," batin Zain menahan geram.
"Orang yang sudah menikah itu boleh bersentuhan dan berciuman. Tidak dilarang oleh agama maupun negara, Zara. Nanti aku belikan buku khusus untuk hubungan suami istri agar dibaca kamu supaya kamu tahu arti pernikahan kita yang sesungguhnya," ucap Zain lalu membuka koper Zara dan mengeluarkan isinya untuk mengambil baju ganti untuk Zara.
Gadis cantik itu memperhatikan suaminya yang menyiapkan semua kebutuhannya termasuk pakaian dalamnya." Sekarang kamu mandi ya..!" ucap Zain menyerahkan bajunya Zara.
"Ya. Makasih. Di mana kamar mandinya?" tanya Zara yang belum tahu seluk beluk kamar itu.
"Itu...!" tunjuk Zain lalu mengeluarkan baju Zara dan dimasukkan ke dalam lemarinya.
Ia tahu Zara tidak mungkin bisa merapikan barangnya sendiri karena memiliki kekurangan dalam berpikir. Namun sesaat kemudian ia baru ingat kekasihnya Celin.
"Apa yang harus aku katakan pada Celin kalau dia tahu aku sudah menikah?" Zain terlihat gelisah karena akan mendapatkan masalah dengan kekasihnya Celin yang sudah menjalin hubungannya selama lima tahun. Hanya saja hubungan mereka ditentang oleh kedua orangtuanya Zain karena Celin dan keluarganya selalu memanfaatkan kekayaan putra mereka.
...----------------...
Suasana makan malam itu terasa hangat. Nyonya Ami terlihat sangat senang dengan kehadiran menantu dadakannya. Wajah cantik Zara yang imut dan kelakuannya terlihat kocak menjadi hiburan tersendiri baginya.
"Zara, makanan kesukaan kamu apa sayang?" tanya nyonya Ami melihat Zara agak sedikit malas menyantap makanannya. Mungkin karena gadis itu masih memikirkan kematian ibunya.
"Zara menyukai semua jenis makanan mama," ucap Zara lalu melahap makanannya dengan cepat untuk menjaga perasaan mertuanya.
"Alhamdulillah. Berarti mama bisa masak apa saja untuk Zara," ucap nyonya Ami lega.
Sementara itu Oma Lea membisikkan sesuatu pada cucunya Zain dan terdengar dengan nada mengancam." Sekarang kamu sudah punya istri. Oma harap kamu tinggalkan wanita sialan itu dan fokus pada istrimu," ancam Oma Lea.
"Pernikahan kami hanya sebuah kesepakatan, Oma. Jadi jangan terlalu berharap dengan pernikahan ini," ketus Zain.
"Biasanya jodoh yang disukai oleh Allah lebih awet jalannya daripada pilihanmu sendiri, Zain. Lupakan masalalu dan bangun masa depanmu dengan zara. Yang kamu kira buruk bagimu justru akan lebih banyak menolong mu dikemudian hari," timpal opa Galih.
"Tapi opa, aku hanya ingin memenuhi permintaan terakhir ibunya Zara bukan menjadikan dia sebagai....-"
"Tutup mulutmu Zain...! Jangan diteruskan. Walaupun Zara tidak mengerti apa yang sedang kita bahas saat ini tapi dia akan terluka mendengar kalimatmu selanjutnya," tegas nyonya Ami membuat putranya terdiam.
Zara seakan tidak mempedulikan ocehan kelurga barunya itu. Ia sibuk memakan buahnya sambil memikirkan kecelakaan yang baru dialaminya tadi pagi. Mungkin ia merasa heran dengan keluarga barunya yang tidak peduli dengan kesedihannya saat ini.
"Mama, Zara mau bobo. Zara ngantuk...!" pamit Zara dan Zain segera beranjak dari tempat duduknya untuk menemani istrinya.
Setibanya di kamar, Zara merebahkan tubuhnya tanpa ingin membuka hijab. Zain ikut duduk disampingnya Zara.
"Kenapa tidur pakai hijab?" tanya Zain lembut.
"Aku tidak boleh memperlihatkan rambutku di depan pria yang bukan mahram ku," ucap Zara.
"Kita sudah menikah jadi aku boleh melihat rambutmu bahkan seluruh tubuhmu," ucap Zain membuat Zara yang sudah rebahan kembali terduduk tegak.
"Tidak boleh. Aku tidak mau. Kamu pasti akan memperkosaku," ucap Zara membuat Zain gemas.
"Ya Allah, begini amat ujiannya punya bini bocil spesial," batin Zain. Ia juga malas menjelaskan apapun lagi pada Zara yang belum tentu konek dengan pikirannya.
"Baiklah. Tidak apa kalau tidur dengan jilbab. Mau aku peluk?" tawar Zain.
"Nggak...!" sambar Zara dengan mata melotot marah.
"Baiklah. Berarti aku boleh tidur di sini denganmu?" pinta Zain.
"Yah. Tapi jangan dekat-dekat ya...!" ucap Zara dan Zain mengangguk sambil mengusap kepala Zara yang masih terbungkus jilbab hitam. Zain memperhatikan wajah Zara dengan seksama saat mata gadis itu mulai terpejam karena saat ini posisi mereka saling berhadapan.
"Ternyata bocil ini sangat cantik. Apakah aku harus meninggalkannya suatu hari nanti jika perusahaan ku kembali sukses? Siapa yang akan menjaganya setelah aku menceraikan nya?" batin Zain yang tidak tega melihat wajah Zara yang terlihat masih sangat polos.
Pukul satu pagi, ponsel Zain berdering. Pria tampan ini meraih ponselnya dengan setengah sadar lalu menempelnya ke kuping.
"Hallo...!" sapa Zain dengan suara terdengar serak khas bangun tidur.
"Zain. Aku butuh duit," ucap wanita di seberang sana.
"Cellin....! " Zain terduduk begitu mendengar suara wanitanya.
"Iya sayang. Bisa kamu mengirim aku uang. Ayahku butuh biaya tambahan," ucap Celin yang saat ini sedang berada di Jerman.
"Maaf sayang. Kamu tahu sendiri kalau perusahaanku sedang collabs. Aku tidak bisa membantumu lagi," ucap Zain terus terang.
"Bukankah kamu masih punya barang mewah dan juga aset tidak bergerak yang bisa kamu gadai. Atau mobil mewah kamu juga bisa kamu jual untuk membantuku. Tolonglah sayang...!" ucap Celin terdengar memelas dan memaksa.
"Maafkan aku Celin, kali ini aku tidak bisa membantumu. Pikiranku sangat kacau dengan keadaan perusahaan ku," ucap Zain sendu.
"Kau sangat tidak berguna," umpat Celin membatin sambil menatap ponselnya seakan memaki Zain di depan wajah pria tampan itu.
"Maaf Celin, aku masih ngantuk. Selamat malam...!" ucap Zain mengakhiri obrolan mereka secara sepihak.
"Zain, Zain, Zain.. Ah...lelaki sialan...! Baiklah...! Aku tidak akan mengganggumu lagi karena kamu sudah tidak tajir lagi seperti dulu. Aku akan menemukan tambang emasku pada pria lain di negara ini," ucap Celin lalu merebahkan tubuhnya karena tidak berhasil membujuk prianya yang selama ini selalu memanjakan dirinya dengan kemewahan.
Saat Zain kembali ke dalam kamarnya ia melihat istri kecilnya sudah berada di atas sajadah sedang melakukan sholat tahajjud. Zain memperhatikan wajah Zara yang terbalut mukena putih terlihat sangat cantik dan bercahaya. Wajah polos itu bak bidadari yang sedang menyinari kamarnya. Zain tidak bisa melanjutkan tidurnya karena sibuk menikmati kecantikan istrinya yang ia nikahi hari ini.
"Jika kamu adalah gadis normal mungkin aku akan belajar mencintaimu, Zara. Tapi, itu tidak mungkin karena aku tidak bisa menjadikanmu sebagai istriku untuk selamanya. Aku hanya butuh uangmu untuk menguatkan lagi perusahaan ku," batin Zain yang lama-kelamaan mulai mengantuk lagi.
Usai tahajud Zara melanjutkan membaca Alqur'an. Suaranya lirih diikuti oleh air mata yang terus mengalir membayangi kecelakaan yang menimpa dia dan ibunya hingga membuat ibunya tewas. Zara menyalahkan dirinya sendiri karena pagi itu ia membantah perkataan ibunya yang ingin menjodohkannya dengan seseorang yang tidak ia kenal.
Rupanya lelaki yang dijodohkan nya itu adalah Zain yang pagi itu sengaja mengikuti mobil nyonya Sarah karena nyonya Sarah ingin menolong keuangan perusahaannya yang memiliki utang yang tidak sedikit. Itulah sebabnya Zara langsung menerima pernikahan dirinya dan Zain sebelum ibunya menghembuskan nafas terakhirnya. Nyonya Sarah ingin memastikan putrinya berada ditangan orang yang tepat untuk melindungi putrinya sebelum dirinya wafat.
"Maafkan aku bunda. Jika saja aku tidak menentang mu kemarin mungkin aku tidak akan kehilangan bunda," gumam Zara usai membaca Alqur'an untuk mengurangi kesedihan yang amat mendalam saat ini. Ia seperti hidup seorang diri. Tidak ada pelukan dan hiburan dari seseorang untuk ia bisa berbagi.
...----------------...
Aroma harum masakan di dapur sana membuat penghuni rumah mewah itu turun ke lantai bawah. Melihat seorang gadis dengan apron di tubuh mungilnya membuat nyonya Ami menghampiri menantu kecilnya itu.
"Zara sayang...! kamu lagi ngapain?" tanya sang ibu mertua melihat Zara sedang membuat nasi goreng dan omlet telur.
"Buat sarapan untuk semuanya, mama. Semoga kalian suka masakan Zara," ucap Zara sambil tersenyum canggung.
"Kenapa kamu harus repot-repot nak. Itu tugasnya mama," tukas nyonya Ami yang takut masakan Zara tidak sesuai dengan lidahnya mereka.
"Zara sudah terbiasa memasak makanan untuk bunda dan Zara sendiri. Zara tidak suka duduk diam tanpa melakukan aktivitas apapun. Setidaknya Zara tidak ingat bunda terus, mama," timpal Zara lalu menyiapkan nasi goreng ke dalam wadah yang sudah ia siapkan.
Zara menata hidangan itu seindah mungkin. Nyonya Ami mengambil sesendok nasi goreng itu untuk ia cicipi. Ia begitu ragu dengan keahlian Zara yang nota bene memiliki kemunduran berpikir alias tulalit.
Dipikirannya Zara adalah gadis manja dan tidak tahu apapun karena kondisinya tersebut. Walaupun Zara terlihat seperti gadis normal yang bisa mengelabui pendapat orang tentang dirinya karena penampilannya gadis terlihat sangat cantik dengan tubuh mungilnya namun mempesona. Setelah mencicipi masakan menantunya, Nyonya Ami cukup kaget dengan masakan pertama Zara.
"Masya Allah. Nasi goreng buatanmu enak sekali sayang. Hebat kamu...!" puji nyonya Ami lalu mengambil lagi untuk ia makan sedikit sebelum keluarganya makan bersama pagi ini. Rasanya mama tidak ingin berhenti makan nasi goreng seafood buatan kamu sayang," puji sang ibu mertua membuat Zara tersipu.
"Mama bisa aja. Makasih ya mama udah menerima Zara di kelurga ini," ucap Zara hati-hati.
Ami seketika terdiam melihat wajah cantik Zara yang lugu dan tulus. Matanya memancarkan kesedihan yang amat mendalam tapi gadis ini berusaha menyenangkan semua orang. Ami memeluknya erat saat Zara mau melepaskan apron dari tubuhnya.
"Nak. Maafkan mama tidak menyambut kamu dengan layak masuk ke rumah ini. Tapi mama janji akan menyayangi kamu seperti Zain. Yang sabar ya hadapin Zain karena saat ini dia banyak masalah," nasehat Ami bijak.
"Iya mama. Zara mau ke atas dulu mau panggil om Zain," ucap Zara membuat Ami menahan tawanya.
"Hah...? Masa putraku dipanggil om?" ucap Ami melihat Zara menaiki tangga satu persatu.
Tidak lama kemudian anggota keluarga sudah berkumpul di ruang makan tinggal Zara dan Zain yang belum turun. Zara mengetuk pintu perlahan dan melihat Zain sudah rapi namun masih sibuk dengan ponselnya.
"Om tidak berangkat kerja?" tanya Zara.
"Aku ingin ke perusahaanmu ada janji dengan pengacara mu. Apakah kamu mau ikut? Oh iya kamu tidak sekolah?" tanya Zain.
"Zara masih dalam masa berkabung. Lagi pula dua hari lagi libur. Zara mau di rumah aja sambil beresin pakaian Zara yang ada di koper itu. Maafin ya om sudah berantakin kamar om," ucap Zara lagi.
"Tidak apa Zara. Kita ini suami istri jadi kita harus saling berbagi. Kamu habis dari mana? tadi aku cari kamu sudah menghilang. Kirain aku kamu kabur," canda Zain terdengar garing.
"Zara akan kabur kalau om melakukan KDRT seperti yang ada di berita viral. Ih menyeramkan...!" Zara bergidik sendiri mengingat berita yang sering ia tonton.
"Jangan nonton berita itu lagi. Lebih baik kamu baca buku atau browsing cara buat anak," ucap Zain lalu keluar dari kamar diikuti Zara yang bingung dengan ucapan aneh suaminya.
"Emangnya bisa cari di google resep buat anak Om?" tanya Zara polos membuat Zain mengangguk mengerjai istrinya yang tulalit itu. Keduanya sudah duduk di kursi mereka masing-masing.
"Wah kelihatannya enak nih nasi gorengnya," ucap Zain ketika Zara menyendok nasi goreng ke dalam piringnya. Zain tidak sabar mencicipi nasi goreng itu. Saat ia mengunyah nya, Omanya lansung celetuk.
"Apakah kamu tidak tahu kalau nasi goreng enak ini buatan istrimu," ucap Oma Lea membuat Zain hampir tersedak.
"What...? Gadis tulalit ini bisa masak?" batin Zain melihat wajah cantik Zara yang terlihat tenang menyicipi nasi goreng buatannya sendiri.
"Iya nak, tadi mama bangun Zara sibuk olah nasi goreng dan menatanya sangat indah. Zara belajar sama siapa?" tanya Ami penasaran.
"Zara sekolah kejuruan dan ambil jurusan memasak karena Zara senang memasak dari kecil. Zara juga sering belajar sama chef Haldi. Beliau adalah chef terkenal di salah satu hotel bintang lima," tutur Zara apa adanya.
"Chef nya masih muda atau udah tua, sayang?" tanya Oma.
"Sepertinya usianya sama seperti om Zain tapi dia terlihat lebih tampan dan sopan," puji Zara lagi-lagi membuat Zain tersedak.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!