Lima tahun yang lalu
Gaun pengantin putih itu terasa berat di tubuhnya, meski tampak indah berkilauan diterpa cahaya matahari yang masuk dari dinding-dinding kaca. Sinta Lestari menunduk, jemari gemetar meraba kalung peninggalan ibunya. Napasnya pendek, tercekat di dada. Ini seharusnya menjadi hari paling bahagia dalam hidupnya—hari yang ia tunggu bertahun-tahun. Tapi detik-detik yang berjalan terasa mencekik.
Orang-orang mulai berbisik. Kursi panjang yang semula riuh kini diliputi kegelisahan. Musik pengiring yang sedari tadi mengalun berubah jadi pengingat kejam: sang pengantin pria belum juga datang. Prasetyo Adi, laki-laki yang seharusnya duduk di meja akad bersamanya, menghilang.
Arum, adik Sinta, berusaha menenangkannya. Bella dan Intan berlari-lari kecil, mencoba mengalihkan perhatian para tamu. Tapi waktu terus berjalan, menit demi menit, tanpa tanda-tanda Prasetyo akan muncul.
Sinta menegakkan kepala, mencoba tegar. Hatinya masih berdoa, tolong… datanglah.
Namun pintu tetap tertutup. Tidak ada langkah kaki, tidak ada senyum pria yang ia cintai.
Bisikan di antara tamu semakin keras. Beberapa menutup mulut, sebagian lain memandang iba, sebagian lagi hanya menatap dengan mata penasaran.
Air mata yang sedari tadi ia tahan akhirnya lolos, mengalir di pipinya. Tangannya yang masih menggenggam buket bunga terkulai lemah. Seluruh tubuhnya bergetar. Ia ditinggalkan. Di pelaminan. Di depan semua orang.
Dunia seolah runtuh. Malu, marah, sedih, hancur—semua bercampur jadi satu. Sinta tidak hanya kehilangan calon suami, tapi juga kepercayaannya pada cinta.
Hari itu, di bawah langit Pangandaran yang biru cerah, Sinta berjanji pada dirinya sendiri:
Ia tidak akan pernah lagi menyerahkan hatinya dengan mudah.
"Sumpah, laki-laki itu kyut banget!" kata Putri Ayu sambil menggeleng-gelengkan kepala. Tangannya sibuk melipat tumpukan kaus dengan rapi. "Kalau aku nggak lagi jalan sama pacar, udah aku samperin dia tadi malam di Kedai Kopi Galuh. Kamu kok belum ketemu dia, Kak Sinta?"
Sinta Lestari tersenyum melihat Putri , internnya yang masih kuliah dan punya semangat besar di dunia fesyen. Ia memilih mengisi kerja praktek di butik pinggir pantainya sambil berlibur daripada di dalam mall ditengah kota. Sifatnya yang ceria membuat butik mereka jadi lebih hidup, walaupun dia masih perlu banyak belajar.
"Arum sudah beberapa kali meminta kita makan bersama, tapi kayaknya belum jodoh," jawab Sinta. "Tapi dia kayaknya terlalu tua buat kamu nggak sih?"
Putri menghela napas, matanya menerawang. "Siapa peduli? Aku kan cuma mau main-main, bukan mau nikah!"
Bella Kartika, manajer sekaligus sahabat Sinta, menyahut dari balik kasir. "Aku dengar. Dia juga lagi bantuin Fajar menginstal aplikasi untuk tokonya dan semua pembukuan toko nya menjadi sangat sangat baik."
"Aku nggak nyangka dia asalnya dari Jakarta," kata Bella. "Dia cepat banget beradaptasi di sini."
"Mungkin dia bakal betah dan menetap," timpal Sinta, terhibur dengan gosip yang seru ini. Pangandaran memang indah dan banyak turis, tapi kota ini sebenarnya kecil. Jadi, penduduk lokal senang sekali ada pendatang baru yang menarik, apalagi cowok misterius dan cakep seperti Kevin.
Kevin memang cepat terkenal. Suatu hari, dia datang ke rumah Bagas dan langsung bekerja di Bagas Tours, memandu tur melihat objek wisata disekita pantai pangandaran. Kevin adalah sahabat Bagas. Arum, adik Sinta, datang dari Jakarta dan mulai pacaran dengan Bagas, jadi dia langsung terpesona dengan Kevin. Semua perempuan tergila-gila ingin kencan sama Kevin. Tapi, setiap kali Arum memaksa Sinta untuk ketemu, Sinta selalu menolak.
Dia memang lagi nggak tertarik mengejar pria paling hits di kota. Dia lagi nggak tertarik sama cowok mana pun saat ini.
"Mungkin kali ini kamu beneran coba, ya?" kata Bella Kartika sambil terkekeh. "Kamu tuh udah nolak semua cowok di kota ini, lho."
Sinta menatap Bella dengan tatapan peringatan. "Jangan mulai deh! Kalau kamu terusin, aku bakal bikin pengumuman diskon dan maksa kamu lembur. Pelanggan nggak perlu tahu soal kehidupan cintaku."
"Emang ada kehidupan cinta, Sinta?" goda Bella.
Putri dan si pelanggan tadi tertawa. Sinta menarik napas. Dia sudah terbiasa dengan ejekan teman-temannya. "Sudah, mending kita fokus aja sama kerjaan. Nanti juga Kevin masih ada pas toko tutup."
Pas banget, bel pintu berbunyi, menandakan sekelompok pelanggan baru datang. Sinta senang bisa kembali ke rutinitasnya mengurus Modest Butik, toko kesayangannya yang dia bangun dari nol. Suasana toko dipenuhi obrolan hangat dan aroma lavender. Sinta menatap sekeliling dengan bangga.
Butiknya terletak di Pangandaran, dekat kafe dan toko mainan. Dulu, dia tahu nggak akan sanggup sewa tempat di pinggir pantai. Untungnya, dia dapat tempat komersial terakhir di area ramai ini.
Modest Butik menjual pakaian, perhiasan, dan aksesori unik bergaya pantai. Nggak ada kaus atau mug murahan di sini. Rak-raknya diisi parfum mewah, kotak perhiasan, dan lilin. Sinta tahu dekorasi itu penting, makanya tokonya didesain lapang dan menarik di setiap sudut. Ini bukan cuma toko baju, tapi juga sebuah pengalaman.
Hidupnya banyak berubah beberapa tahun terakhir. Dulu, saat mantan suaminya membawanya ke sini dari Jakarta, Sinta sempat kesulitan. Dia ingin dekat dengan adiknya, Arum, tapi mantan suaminya dapat pekerjaan bagus, dan Sinta merasa nggak punya pilihan karena suaminya sumber uangnya. Dia baru lulus kuliah sosiologi saat orang tuanya meninggal. Pilihan yang sangat cerdas, pikirnya sinis.
Dia berakhir di Pangandaran tanpa teman, keluarga, atau pekerjaan. Sinta sempat berjuang keras untuk jadi istri sempurna dan mencari jati dirinya.
Sekarang, dia sudah punya jalannya sendiri. Dia punya teman, adik yang dekat, dan bisnis yang sukses. Dia bukan lagi wanita bimbang dan hilang arah yang hidupnya hancur karena ditinggal di altar pernikahan.
Dulu, dia nggak pernah membayangkan bisa kerja di dunia fashion. Dia pikir orang yang punya butik pasti lulusan sekolah mode. Tapi setelah dia kerja di butik setelah kejadian itu, dia sadar banyak staf yang tidak tahu apa-apa.
Kurang dari setahun, dia lebih mengerti cara mengelola butik daripada pemiliknya sendiri. Dan karena dia terlalu vokal, dia malah dipecat. Itu adalah salah satu hal terbaik yang pernah terjadi padanya.
Sinta ikut banyak kelas bisnis online, lalu mengajukan pinjaman bank buat buka butik sendiri. Rasanya seperti semesta membukakan jalan untuknya, menyingkirkan semua rintangan. Dan sekarang, Modest Butik sukses. Dia punya banyak pelanggan setia, bahkan saat sepi turis. Sinta selalu semangat bangun pagi untuk bekerja.
Andai saja dia punya seseorang untuk berbagi.
Sinta mengenyahkan pikiran itu dan kembali fokus. Butiknya sudah ramai lagi. Bella K mengobrol dengan remaja yang sedang mencoba kalung, dan Putri sibuk di kasir. Waktu berjalan cepat.
Saat toko agak sepi, Bella menghampiri. "Putri , istirahat gih. Makasih ya udah bantuin pas lagi ramai."
Putri tersenyum senang. "Sama-sama. Oh ya, Kak Bella, bisa sisihkan anting perak yang baru itu buatku? Aku dapat diskon, kan?"
Bella menyeringai. "Tiga puluh persen. Koleksi Tulola kan?"
"Iya, keren banget!"
Sinta tertawa. "Aku aja sampai bujuk Lola buat kasih lebih banyak barangnya. Tenang, aku simpan buat kamu, tapi jangan boros-boros. Kamu butuh buat biaya kuliah."
Putri menyeringai nakal. "Tapi aku harus tampil cantik dulu dong. Sampai jumpa!" Dia keluar, celana jeans, crop top lucu, dan kepang rambutnya jadi iklan berjalan yang sempurna buat butik mereka.
Bella menghela napas. "Kamu ingat nggak kita dulu gimana?"
"Nggak," jawab Sinta singkat.
Bella menggeleng sambil mengambil salad dari kulkas. "Ingat dong. Aku dulu suka pesta dan tiap bulan gonta-ganti pacar. Khawatir sama masa depan, dan mikir kalau aku nggak cukup kurus atau cantik. Sayang banget."
Sinta mulai melipat kaus lagi. "Masa muda emang disia-siakan oleh anak muda, ingat? Kita nggak bisa ngasih tahu mereka apa-apa karena mereka harus mengalaminya sendiri, kayak kita dulu. Setidaknya kamu sudah mau menikah dengan seorang pria yang baik."
Bella duduk dan membuka makanannya. "Percaya deh, Ibu sempat khawatir. Dia lebih sayang Gilang daripada aku karena sikap Gilanf di dekatnya. Kayak Gilang udah berbuat baik banget karena mau nikahin aku."
"Oh ya?" goda Sinta.
Bella pura-pura melotot. "Lucu! Ngomong-ngomong soal pernikahan, aku mau nanya, kamu mau ketemu seseorang nggak?"
"Oh, tentu saja nggak. Nggak, setelah pertemuan terakhir yang kamu tipu-tipu."
"Ayolah, Sinta! Mana aku tahu kalau dia masih tinggal di rumah ibunya? Kata Gilang, dia udah dapat promosi dan karirnya lagi naik."
"Aku lelah kencan buta dan hubungan yang dipaksakan. Aku lebih suka di rumah aja. Semesta pasti akan kirim orang yang tepat kalau aku sudah siap."
Bella menatapnya tajam. "Kamu habis makan mecin ya? Percaya sama takdir itu bukan Sinta banget. Kamu tuh tipe yang bikin sesuatu terjadi, ingat? Kamu percaya sama diri sendiri."
Sinta merapikan lilin di rak. "Jangan bilang aku ngomong omong kosong itu. Kedengarannya kayak influencer motivasi. Kalau memang ada pria yang ditakdirkan buatku, dia bakal muncul di depan pintuku, atau—entahlah—muncul begitu saja! Nah, sampai saat itu, aku lagi mikirin langkah besar dan butuh saranmu."
"Oke, aku dengerin. Tapi kamu harus coba aplikasi kencan," jawab Bella.
"Bella, ini serius. Aku butuh komitmen yang sungguh-sungguh."
Mata Bella melebar. "Oke, aku siap. Katakan padaku."
"Aku mungkin akan... mengadopsi kucing."
Bella terdiam, lalu berkedip. "Kamu bercanda?"
"Nggak. Ya ampun, mikirinnya aja bikin aku deg-degan, tapi entah kenapa, rasanya ini langkah yang tepat? Bawa makhluk hidup yang harus kuurus ke rumahku. Pasti kucingnya dari tempat penampungan. Aku bahkan belum cerita ke Arum soal ide gila ini. Menurutmu gimana?"
Bella Kartika merosot di kursinya sambil kembali fokus pada saladnya. Dia terlihat kecewa. "Menurutku pengumumanmu itu menyebalkan. Aku takut kalau kamu pelihara kucing, kamu nggak akan pernah keluar rumah lagi."
Sinta tertawa. "Wanita pecinta kucing yang nggak punya anak bisa menguasai dunia dengan caranya sendiri."
"Oke, kamu berhasil membuatku terdiam."
Mereka berdua tertawa, lalu pelanggan baru datang. Sisa sore itu sangat sibuk sampai malam. Saat toko tutup, Sinta merasa lelah. Tapi dia harus lembur karena banyak laporan keuangan yang harus diselesaikan. Mungkin sudah saatnya mempekerjakan akuntan. Keuntungannya lumayan, tapi menambah karyawan adalah keputusan besar. Dia merasa bertanggung jawab pada semua yang bekerja di butiknya dan tidak mau terburu-buru, apalagi saat musim sepi. Pemilik propertinya juga belakangan ini bersikap aneh. Sinta merasa sewanya akan naik, tapi setiap kali diajak bicara soal perpanjangan kontrak, si pemilik selalu menghindar.
Instingnya sensitive, dan itu bukan pertanda baik.
Sinta mengingatkan dirinya kalau semuanya baik-baik saja. Dia mencintai hidupnya. Walaupun melihat adiknya dan Bagas jatuh cinta membuat hatinya merasa kosong. Dia bahagia untuk Arum, tapi bertanya-tanya apakah dia bisa benar-benar membuka hati lagi.
Pikirannya melayang pada Kevin.
Ada perasaan aneh yang menjalar di punggungnya. Malam di mana dia membiarkan dirinya merasakan gairah yang seperti kisah cinta orang tuanya. Jenis perasaan yang sering ditulis di buku dan film. Kenangan malam itu selalu ada, tapi dia menyimpannya di dalam kotak Pandora, tidak pernah dibiarkan terbuka. Dia pergi, karena merasa hidupnya akan berantakan jika dia tetap tinggal.
Kehilangan orang tua dan perceraian mengajarkannya dua hal penting yang tidak akan dia ulangi.
Dia tidak pernah dipilih. Dan semua orang pada akhirnya pergi.
Pikiran itu menyayat hatinya, tapi dia sudah terbiasa. Lebih baik berhenti kencan dan bahagia sendiri. Namun, sudah saatnya dia berani membuat komitmen baru pada sesuatu yang bisa membuatnya berkembang.
Pernikahannya mungkin gagal, tapi bagaimana dengan koleksi sepatunya? Layak dirawat, diinvestasikan, dan disabari. Luar biasa.
Mengadopsi kucing mungkin adalah langkah sempurna berikutnya.
Sinta hampir siap untuk mengambil lompatan itu.
Jeep berhenti dengan suara mesin yang berangsur pelan di halaman Bagas Tours.
Kevin Mahendra memutar kunci, mesin mati. Ia menoleh ke penumpang belakang, tiga mahasiswi yang dari tadi cekikikan sepanjang tur.
“Tur hari ini selesai, teman-teman. Semoga seru, ya,” katanya sambil kasih senyum ramah.
“Seru banget, Mas Kevin!” salah satu, si rambut merah tinggi semampai, maju ke depan sambil meraih tangannya. “Kamu pemandu wisata paling keren!”
Kevin ketawa tipis. “Makasih, Masya. Senang bisa nganter kalian.”
Cewek itu menyelipkan selembar uang tip plus kertas kecil. Nomor telepon. Matanya berbinar.
“Mungkin nanti kita bisa nongkrong bareng? Minum di kafe pantai, gimana?”
Kevin mengangkat alis, nahan ketawa.
“Biasanya gue oke-oke aja… tapi minggu ini gue lagi jadi babysitter buat keponakan. Jadi fix, gue skip.”
Wajah Marsya langsung manyun. “Sayang banget. Tapi kalau berubah pikiran, telepon, ya.”
Kevin mengantongi tip dan kertas itu tanpa banyak komentar. “Have fun, jaga diri.”
Mereka pun melenggang pergi, menoleh beberapa kali. Kevin cuma melambaikan tangan asal. Begitu Jeep kosong, ia turun dan masuk ke kantor kecil. Di dalam, Bagas sudah menunggu di balik meja kasir, senyum usil mengembang.
“Gimana, Vin? Lu pake alasan keponakan lagi, apa beneran nolak?”
Kevin pasang muka capek. “Keponakan. Kalau enggak, gue udah jadi headline koran: Pemandu wisata tampan ditangkap gara-gara mahasiswi.”
Bagas ngakak, sampai hampir keselek minumannya. “Anjir, muka ganteng lu itu emang aset, bro. Siapa sangka bisa jadi mesin uang buat bisnis gue?”
Kevin melotot. “Lu beneran bilang gue jadi magnet turis? Gila lu, Gas.”
“Eh serius!” Bagas nyengir makin lebar. “Liat aja, sejak lu gabung, tur makin rame. Orang-orang pada nanya, ‘Yang bawa Kevin bukan?’ Gue sampe mikir, jangan-jangan gue harus bikin papan nama gede: TUR KHUSUS BARENG KEVIN – FULL BOOKED SAMPE LEBARAN.”
Kevin nggak tahan, ketawa keras. “Persetan lu. Jangan lebay!”
“Lebay? Bro, kalo lebay itu udah jadi branding gue,” Bagas menepuk dada bangga.
Kevin geleng-geleng kepala, nyandar di meja. “Astaga, Gas. Gue capek tapi ketemu lu selalu bikin kepala makin pening.”
“Tapi ngaku aja, tanpa gue hidup lu hampa, kan?”
Kevin ngedumel pura-pura serius. “Hampa karena tiap hari harus liat muka lu.”
Bagas ngakak lagi. “Sumpah, gue sayang banget sama lu, Vin. Kalo lu bukan cowok, udah gue lamarnya.”
“Untung gue cowok. Kalau enggak, gue kabur duluan.”
Mereka berdua tertawa. Setelah agak reda, Bagas tiba-tiba nyeletuk. “Eh, makan malam sama gue sama Arum, gimana?”
Kevin menaikkan sebelah alis. “Nggak takut gue rebut pacar lu? Dengan pesona gue yang mematikan ini?”
“Arum bilang muka lu pas-pasan.”
Kevin terbahak. “Sumpah, Gas, cewek lu jujur banget. Gue suka!”
“Eh, jangan suka kebangetan. Ntar beneran direbut lagi. Gue nggak ikhlas.”
Kevin ngedengus, pura-pura sok ganteng. “Tenang aja. Gue nggak suka cewek yang matanya minus.”
“HA! Ngeles. Itu cewek minus atau plus, tetep nggak mungkin jatuh ke lu.”
“Persetan, Gas. Lu irinya keterlaluan.”
Bagas menepuk bahunya. “Tapi serius, Vin. Gue bersyukur lu mau tinggal di sini. Lu udah bantu banget bisnis gue. Arum juga seneng lu ada di tim. Malah si Tuan Pitts aja—lu tau kan, si kakek nyebelin sebelah rumah—anehnya bisa suka sama lu.”
Kevin mendengus. “Suka? Gas, itu terlalu kuat. Gue cuma bantu buangin sampahnya waktu hujan. Dia ngomel-ngomel juga.”
“Yah tapi waktu gue yang coba, dia rebut lagi tong sampahnya biar gue salah. Kalau lu, malah didiemin.”
Kevin nyengir puas. “Apa boleh buat, orang-orang lebih nyaman sama gue daripada sama lu.”
Bagas mencondongkan badan, sengaja menekankan kalimat, “Tapi Arum nggak.”
Kevin ikut nyengir. “Buset, lu niat banget nyari masalah sama gue.”
Bagas ngakak puas.
Kevin keluar dari kantor, langkahnya melambat. Malam mulai turun, lampu-lampu jalan menyala. Ia menghirup dalam-dalam aroma asin laut bercampur asap ikan bakar.
Jakarta kembali menyeruak di pikirannya. Penjara. Johan Santoso. Pengkhianatan. Semua itu masih terasa pahit. Tapi di Pangandaran, ia menemukan sesuatu yang baru: orang-orang ramah, pekerjaan sederhana, dan sedikit ketenangan.
Untuk pertama kalinya sejak lama, Kevin merasa bisa bernapas.
Meski ia tahu, hidup masih panjang untuk dibuktikan.
Dua hal tetap jadi pegangannya:
Kebebasan dan adiknya.
Sisanya? Ia cuma bisa berharap.
***
Sinta hanya ingin melakukan satu hal: rebahan. Dia sudah memakai piyama, siap dengan segelas soda, dan menonton serial Money Heist yang lagi hits di Netflix. Tapi di sinilah dia, selonjoran di sofa dengan pandangan kosong ke TV. Serial Netflix-nya hanya berputar sendiri, otaknya sudah off. Keluar rumah? Ketemu orang? Big NO.
Sayangnya, adiknya, Arum, tidak mau tahu. Arum sudah janji malam ini Sinta harus ikut, harus ketemu cowok yang katanya misterius, si Kevin. "Sekali aja, Kak, please..." rengek Arum setiap hari. Padahal biasanya Arum paling ngerti kalau kakaknya lagi capek.
Sinta menghela napas panjang. "Gue enggak mauuu..."
Tok-tok-tok.
Dia mengerang kesal sambil jalan gontai ke pintu.
"Kenapa belum siap, Sin?" Suara Intan langsung nyerocos begitu pintu kebuka. Mata Intan yang besar menyipit, persis kayak detektif lagi curiga. "Jangan bilang lo mau kabur lagi!"
Sinta cuma bisa pasrah. Intan langsung nyelonong masuk, gayanya selalu total: celana jeans ketat, crop top hitam, kepang panjang sampai pinggang, dan auranya sangat seksi. Semua cowok pasti ingin melihatnya. Yang bikin lucu, di balik gaya -nya, Intan adalah jenius matematika yang punya bisnis keuangan sendiri. Kontras banget!
"Lo sengaja dateng buat ngintipin gue ya," gerutu Sinta, masih malas.
"Jelas! Gue enggak mau lo mendekam di rumah kayak janda muda baru ditinggal mantan," jawab Intan santai, sambil melempar tas ke meja. "Ayo siap-siap! Arum bakal ngamuk kalau lo batal."
Sinta menyeret kaki masuk ke dalam rumah. Rumah ini sebenarnya dibeli bareng mantannya dulu, tapi sekarang sudah dia sulap jadi 'surga' kecil Sinta. Nuansanya krem, putih, dan biru laut. Ada bantal kerang, potret burung camar, vas bunga. Dapurnya? Dream kitchen. Saking nyamannya, kadang rumah ini terasa seperti penjara karena dia betah banget di dalam.
Begitu sampai di kamar, Intan langsung menyerbu lemari. "Ini nih yang gue suka," katanya, menggeser gantungan baju. "Lo punya banyak pilihan. Malam ini lo harus tampil kece!"
Sinta menatap Intan dengan muka memelas. "Gue malas, Tan. Ini cuma Kedai Kopi Galuh, bukan gala dinner."
"Lo nyebelin banget," Intan cuek, menarik keluar celana flare pudar dan atasan halter putih potongan V. "Ini aja. Bawah santai, atas agak genit. Win-win solution."
"Tan, ini terlalu minim, deh..."
"Enggak lah. Lo punya body bagus, biarin orang lihat dikit. Udah, pakai!"
Sinta akhirnya malah ketawa sendiri. "Lo tuh selalu tukang bully gue!"
"Karena gue sayang. Ayo, sekarang sepatunya!" Intan membuka lemari sepatu yang jadi kebanggaan Sinta. Matanya langsung berbinar. "Sumpah, Sin, tiap kali gue lihat koleksi lo, gue pengen minjem."
Sinta ketawa ngakak. "Dasar lebay!"
Di depan mereka, deretan sepatu mewah terpajang rapi: Louboutin, Gucci, Dior. Sandal, heels, boots. Benar-benar kayak butik. Intan akhirnya memilih.
"Akhirnya gue tahu yang gue mau," katanya, mengangkat sandal platform putih dengan sulaman bunga. "Ini, perfect buat malam ini."
Sinta tersenyum. "Oke. Kasih gue lima belas menit."
Dia dandan cepat. Intan membantunya mengeriting rambut agar jatuhnya lembut. Tas denim kecil, parfum Dior, beres. Intan bersiul kagum. "Gila, lo cakep banget! Lo kelihatan kayak tokoh utama film Korea."
Sinta tertawa. "Lo juga cantik, Tan."
***
Mereka melangkah keluar. Di tengah jalan, Intan dapat pesan. "Ups, Bella minta dijemput. Lo pesen meja duluan ya."
"Berarti dia bakal ngopi malam ini," Sinta terkekeh.
"Anak-anak pasti lagi heboh semua."
Sinta pun sampai di Kedai Kopi Galuh. Arum sudah menunggu dengan senyum lebar. Sinta memeluk adiknya.
"Lama bange, Kak. Intan mana?"
"Dia jemput Bella."
"Bagas sebentar lagi datang. Aku enggak sabar banget kamu ketemu Kevin!"
Sinta mengangkat tangan. "Sayang, jangan kecewa ya kalau Kakak sama Kevin enggak cocok. Semua cewek di kota ini ngejar dia. Dan kamu tahu Kakak enggak hobi rebutan."
Arum menatapnya lembut. "Aku cuma pengin kamu bahagia, Kak. Kamu spesial, dan aku enggak mau orang lain enggak ngelihat itu."
Hati Sinta meleleh. "Aduh, kamu manis banget. Udah deh, kita bahas Bagas aja. Kamu kelihatan bahagia banget sama dia."
"Tadi ada yang nyebut namaku ?" Bagas muncul sambil mencium Arum. Sinta cuma bisa geleng-geleng melihat adiknya bucin banget. Adegan kecil keintiman itu mengingatkannya pada masa lalu.
Dia mengusir bayangan itu. "Aku baik-baik aja," batinnya.
Meja makin ramai. Intan dan Bella datang. Sinta berdiri, meregangkan badan, jalan sebentar. Ternyata enak juga keluar rumah.
Arum tiba-tiba menghampiri. "Kevin udah dateng."
Sinta tertawa kecil. "Habis ini, janji enggak ngomel-ngomel lagi soal dia ya? Kamu kayak mak comblang profesional."
"Aku cuma jagain kamu, Kak."
Arum menarik lengannya, menggiringnya. "Kevin, ini Sinta. Sinta, ini Kevin."
Sinta mendongak. Tatapannya bertemu dengan mata itu.
Semua mendadak hening. Tangannya gemetar. Gelas kopinya jatuh, pecah di lantai.
Itu dia.
Pria dari malam hujan empat tahun lalu. Pria yang mencuri sepotong hatinya.
Kevin Mahendra.
Dia masih sama: rambut tebal, rahang tajam, tubuh ramping tapi berotot, dan wangi rempah yang familiar langsung menusuk hidungnya. Dan matanya... Ya Tuhan.
"Sin..." suara Kevin serak memanggilnya.
Sinta hampir pingsan. "Hai. Senang ketemu kamu, Kevin."
Ada sesuatu di mata Kevin—rasa sakit? marah?—tapi Sinta enggak punya waktu buat menganalisis. Instingnya berteriak: lari.
Dia menoleh ke Arum. "Maaf ya, aku pusing banget. Bilang ke anak-anak aku pamit dulu."
"Aku anterin deh—"
"Enggak!" Sinta memaksakan senyum. "Kamu di sini aja. Aku butuh sendiri."
Dia keluar dari kafe seolah ada setan yang mengejarnya. Begitu sampai di rumah, dia bersandar di pintu. Badannya jatuh ke lantai. Mata terpejam.
Kenangan itu datang lagi, membanjirinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!