NovelToon NovelToon

Rindu Di Bawah Atap Yang Berbeda

Bab 1

Rabu malam di Padang terasa berat dan lengket. Kelembapan udara sisa hujan sore tadi seakan menyelinap masuk melalui celah ventilasi kamar Akbar, membuat putaran kipas angin tua di sudut ruangan terasa sia-sia. Di layar laptopnya, halaman Microsoft Word yang berisi bab pendahuluan skripsi menatapnya dengan kursor yang berkedip-kedip mengejek. Jenuh. Satu kata itu sudah cukup untuk merangkum seluruh dunianya selama beberapa bulan terakhir.

Untuk kesekian kalinya malam itu, Akbar menyerah. Laptop ia geser menjauh, dan ponsel menjadi satu-satunya sumber cahayanya. Jemarinya yang lelah mulai melakukan ritual pelarian modern: menggulir linimasa media sosial tanpa tujuan. Sebuah parade kebahagiaan orang lain, lelucon basi yang diulang-ulang, dan iklan-iklan yang seolah tahu isi kepalanya. Semua terasa sama. Hampa.

Lalu, jemarinya berhenti.

Di antara ratusan konten yang melintas, sebuah gambar dari laman eksplorasi berhasil membekukan gerakannya. Itu bukan foto seorang selebriti atau model profesional. Hanya seorang gadis remaja berseragam putih abu-abu yang tersenyum ke arah kamera, dengan beberapa temannya yang sedikit buram di latar belakang.

Namun, senyum itu... ada sesuatu yang berbeda. Senyum yang tidak dibuat-buat, yang seolah menarik sudut bibirnya hingga matanya yang sedikit sipit ikut tersenyum, memancarkan binar polos yang menular. Rambut hitamnya yang panjang tergerai begitu saja, sedikit berantakan ditiup angin, namun justru menambah kesan alami. Kesan hidup.

Akbar, yang dunianya sedang terasa abu-abu, tiba-tiba merasakan percikan warna hanya dari melihat sebuah foto.

Tanpa sadar, ia mengetuk foto itu. Nama akunnya muncul di sudut kiri bawah: erencya.j.

Erencya. Nama yang indah, terasa asing di lidah Minangnya. Rasa penasaran yang lebih kuat dari rasa kantuknya mendorong Akbar untuk membuka profil itu. Galeri fotonya adalah sebuah jendela menuju dunia yang sama sekali lain. Potongan-potongan kehidupan seorang gadis SMA di Jambi. Foto saat ia tertawa lepas bersama teman-temannya di depan gerbang sekolah, foto semangkuk mie pangsit yang ia sebut sebagai yang terbaik di kota, foto saat perayaan Imlek bersama keluarga besarnya, dengan lampion-lampion merah terang dan senyum bahagia di antara sanak saudara.

Lalu, sebuah foto membuatnya terdiam sejenak. Erencya, mengenakan gaun sederhana, berdiri di pelataran sebuah vihara yang megah, dengan tangan menangkup di depan dada. Di belakangnya, patung-patung emas berkilauan di bawah cahaya sore.

Jambi. Ratusan kilometer dan sebuah selat memisahkan mereka. Keturunan Tionghoa. Sebuah budaya yang berbeda. Dan keyakinan... sebuah dunia yang begitu berbeda dari kesehariannya yang diwarnai oleh lima panggilan azan setiap hari.

Logika di kepala Akbar berteriak bahwa ini konyol. Untuk apa ia begitu terpaku pada profil seorang gadis SMA di kota yang bahkan belum pernah ia kunjungi? Seorang gadis yang dunianya begitu jauh berbeda.

Tapi hatinya, untuk pertama kali setelah sekian lama, merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar penasaran. Sebuah getaran hangat yang menjalar, mengusir rasa jenuh yang sedari tadi membelenggunya. Senyum di foto itu terasa seperti sapaan personal untuknya.

Malam semakin larut, diiringi suara jangkrik dari halaman belakang. Azan Subuh masih beberapa jam lagi. Dalam kesunyian kamarnya di Padang, Akbar melakukan sesuatu yang tidak ia sadari akan menjadi titik awal dari babak terpenting sekaligus terpedih dalam hidupnya.

Dengan jantung yang sedikit berdebar, ia menekan tombol biru bertuliskan "Ikuti".

Itu bukan sekadar menekan sebuah tombol. Di detik itu, rasanya seperti membuka sebuah pintu menuju dunia yang sama sekali asing, tanpa tahu apa yang menunggunya di balik pintu itu.

Bab 2

Tombol "Ikuti" telah ia tekan. Sebuah tindakan digital yang terasa begitu nyata, seolah ada seutas benang tak kasat mata yang kini terhubung dari kamarnya di Padang ke tempat gadis itu berada. Jantung Akbar berdebar sedikit lebih kencang dari biasanya. Ia merasa seperti seorang remaja, bukan pria 24 tahun yang seharusnya lebih tenang dalam menghadapi situasi seperti ini.

"Apa yang baru saja kulakukan?" bisiknya pada diri sendiri, di antara deru kipas angin.

Ia kembali membuka profil Erencya, kali ini menelaahnya lebih dalam. Ia membaca beberapa keterangan foto yang ditulis gadis itu. Kalimat-kalimatnya ceria dan sedikit jenaka. Terlihat jelas ia adalah seseorang yang menikmati hidupnya, dikelilingi teman-teman dan keluarga yang hangat. Semakin banyak yang Akbar lihat, semakin kuat pula dorongan aneh di dalam dadanya. Sebuah keinginan untuk mengenal sosok di balik senyuman itu.

Pandangannya lalu tertuju pada tombol "Pesan". Tombol itu seolah memanggilnya, sebuah gerbang menuju percakapan yang mungkin saja tidak akan pernah ada. Selama beberapa menit, ia hanya menatapnya. Keraguan berperang dengan keinginan. Apa yang harus ia katakan pada seorang gadis asing yang usianya terpaut enam tahun, tinggal di pulau seberang, dan berasal dari dunia yang sama sekali berbeda?

Jemarinya akhirnya bergerak, membuka kolom percakapan yang masih kosong dan dingin. Keyboard virtual muncul, menunggu perintahnya.

Pikirannya buntu.

Hai. Terlalu singkat.

Salam kenal, kamu cantik. Terlalu gombal dan murahan.

Akbar menarik napas dalam-dalam. Jadilah dirimu sendiri, Bar. Tulus dan apa adanya. Jemarinya mulai mengetik sebuah kalimat yang terasa paling mewakili dirinya.

“Assalamualaikum. Maaf, profil kamu lewat di explore saya. Salam kenal dari Padang.”

Ia berhenti, menatap kembali kalimat itu. Assalamualaikum. Itu adalah sapaan damainya, identitasnya sebagai seorang Muslim. Namun, keraguan menyergapnya. Akankah gadis itu merasa aneh? Akankah sapaan itu justru menciptakan dinding pertama di antara mereka bahkan sebelum percakapan dimulai?

Dengan cepat, ia menghapus kalimat itu. Ia mencoba lagi dengan versi yang lebih netral.

“Malam. Maaf, profil kamu lewat di explore. Fotonya bagus. Salam kenal dari Padang.”

Ia membacanya lagi. Entah kenapa, kalimat itu terasa hambar dan tanpa jiwa. Bukan dirinya. Rasanya seperti ia sedang menyembunyikan sebagian dari dirinya.

Dengan sebuah helaan napas pasrah, ia menghapus draf kedua itu dan mengetik ulang kalimat pertamanya. Biarlah. Inilah dirinya. Jika sapaan yang membawa doa kedamaian ini saja sudah menjadi penghalang, maka apalah artinya melanjutkan kepura-puraan?

“Assalamualaikum. Maaf, profil kamu lewat di explore saya. Salam kenal dari Padang.”

Ia memejamkan mata sejenak, mengumpulkan keberanian, lalu dengan satu ketukan cepat, ibu jarinya menekan ikon kirim.

Pesan itu melesat pergi. Centang satu berwarna abu-abu muncul di sudutnya. Terkirim.

Akbar sontak meletakkan ponselnya di atas kasur dengan layar menghadap ke bawah, seolah benda itu adalah benda panas yang bisa meledak kapan saja. Ia mencoba mengalihkan perhatiannya kembali ke laptop, ke skripsinya yang terbengkalai. Tapi sia-sia. Huruf-huruf di layar seakan menari-nari tanpa makna. Pikirannya tidak lagi di Padang, melainkan melayang jauh ke Jambi, bertanya-tanya apakah pesannya akan dibaca, dan jika iya, akankah ada balasan?

Satu menit. Lima menit. Sepuluh menit.

Ia tidak tahan lagi. Dengan gerakan ragu, ia meraih kembali ponselnya. Layar itu menyala, dan hatinya sedikit mencelos. Pesan itu masih sama. Centang satu. Terkirim. Belum diterima. Mungkin gadis itu sudah tidur.

Dan di tengah malam Padang yang hening, dengan hanya denting jam dinding sebagai penanda waktu, Akbar menunggu sebuah jawaban dari seberang pulau. Sebuah jawaban yang tidak ia tahu akan menjadi awal dari segalanya.

Bab 3

Buku catatannya dengan kening berkerut. Angka dan simbol itu seakan menari-nari mengejeknya. Ia baru saja menyelesaikan les tambahan dan kini harus berjuang sendirian untuk memahami materi persiapan ujian. Kamarnya yang bernuansa pastel terasa sunyi, hanya terdengar suara gesekan ujung pensil di atas kertas.

Tiba-tiba, keheningan itu pecah oleh getaran singkat dari ponselnya yang tergeletak di samping buku.

Sebuah notifikasi pesan dari Instagram. Erencya meliriknya sekilas, mengira itu dari salah satu teman sekelasnya yang mungkin menanyakan tugas. Namun, nama yang tertera di layar membuatnya menghentikan gerakan pensilnya.

Akbar.

Nama itu asing. Ia tidak punya teman atau kenalan bernama Akbar. Rasa penasarannya yang lebih besar dari pusingnya pada pelajaran Kimia, membuatnya meraih ponsel itu. Ia membuka ruang pesan.

“Assalamualaikum. Maaf, profil kamu lewat di explore saya. Salam kenal dari Padang.”

Erencya membaca kalimat itu dua kali. Assalamualaikum. Sebuah sapaan yang sangat familiar ia dengar dari teman-temannya yang Muslim, sebuah ucapan doa yang damai. Menerimanya dari orang yang sama sekali asing terasa sedikit berbeda, namun tetap sopan. Lalu matanya menangkap kata "Padang". Jauh sekali.

Sebelum membalas, nalurinya menuntunnya untuk membuka profil pengirim pesan itu. Akbar. Foto profilnya adalah siluet seorang pria yang berdiri di tepi pantai, dengan langit senja berwarna jingga sebagai latar belakangnya. Wajahnya tidak terlihat jelas, namun ada kesan tenang dan puitis dari foto itu.

Jemarinya menggulir ke bawah. Galeri Akbar tidak seperti kebanyakan profil pria yang ia tahu. Tidak ada foto pamer kendaraan atau swafoto berlebihan. Isinya justru menenangkan: pemandangan bukit yang hijau, detail secangkir kopi dengan uap yang masih mengepul, tumpukan buku-buku tebal, dan beberapa foto candid bersama teman-temannya di sebuah danau. Pria ini tampak dewasa, punya dunianya sendiri.

"Siapa itu, Ren?"

Suara Mamanya dari ambang pintu kamarnya yang sedikit terbuka membuatnya terkejut. Erencya buru-buru meletakkan ponselnya.

"Bukan siapa-siapa, Ma. Cuma notif dari teman," jawabnya sedikit gugup, berharap mamanya tidak bertanya lebih jauh.

Mamanya hanya mengangguk kecil, mengingatkannya untuk tidak tidur terlalu malam, lalu kembali ke ruang tengah. Erencya menghela napas lega. Ia menatap kembali layar ponselnya. Orang tuanya selalu berpesan agar hati-hati dengan orang asing di dunia maya.

Namun, pesan dari Akbar tidak terasa mengancam. Justru terasa begitu sopan dan tulus. Tidak membalasnya rasanya akan sangat tidak sopan. Lagi pula, ini hanya sebuah sapaan perkenalan. Apa salahnya?

Jemarinya yang lentik mulai menari lincah di atas keyboard. Ia tahu sapaan pembuka yang paling tepat untuk membalas pesan itu.

“Wa'alaikumsalam. Iya, tidak apa-apa. Salam kenal juga. Erencya dari Jambi.”

Singkat. Ramah. Dan sopan.

Dengan sedikit debaran di dada, ia menekan tombol kirim. Pesan itu terkirim, dan dalam sepersekian detik, dua centang abu-abu di sampingnya langsung berubah menjadi biru. Dibaca.

Dan bahkan sebelum Erencya sempat meletakkan ponselnya, tiga titik kecil muncul dan berkedip-kedip di sudut bawah.

Dia sedang mengetik balasan.

Sebuah senyum tipis tanpa sadar terukir di bibir Erencya. Ternyata, pria dari Padang itu sedang menunggunya. Dan di sudut hatinya yang paling dalam, ada getaran kecil yang terasa menyenangkan. Getaran yang memberitahunya bahwa malam yang membosankan karena rumus Kimia ini mungkin akan menjadi sedikit lebih menarik.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!