"Apa kalian yakin ingin berpisah?"
Kedua pasangan itu saling menoleh satu sama lain, lalu mengangguk kepada seorang pria paruh baya yang tadinya bertanya kepada mereka. Dua keluarga tengah duduk bersama di salah satu rumah mereka dengan keadaan tegang. Semua pasang mata menuju pada sosok pasangan yang ingin mengakhiri pernikahan mereka.
Tentu dua keluarga itu terkejut bukan main, setelah tadi pagi merayakan satu tahun pernikahan mereka. Sorenya, pasangan itu mengabarkan ingin berpisah satu sama lain. Hingga mereka kembali berkumpul untuk membicarakan masalah besar tersebut.
"Apa yang membuat kalian berpikir ingin berpisah?" balas pria tadi sambil mendesah pelan.
Sebelum menjawab, Delan mengembuskan napas untuk menenangkan perasaannya yang mendadak tidak menentu. Padahal, sbelumnya dirinya sangat yakin dengan keputusan besar ini yang mungkin mengecewakan dua keluarga.
"Kami benar-benar tidak cocok satu sama lain, Pa," jawab Delan yang memang menjadi alasan mereka memutuskan untuk berpisah.
Dua pasang orangtua itu menghela napas sesak, terutama dua wanita yang sudah saling berpegangan tangan. Berita mengejutkan juga mengecewakan untuk didengar, membuat dada mereka terasa sesak. Menatap sekali lagi anak-anak mereka yang hanya menundukkan pandangan sedari tadi.
Delan dan Radella, menikah tepat satu tahun yang lalu karena perjodohan. Kedua orangtuanya yang berteman baik juga menjadi kolega bisnis memutuskan untuk menjodohkan putra dan putri mereka. Meski awalnya, mereka memang berat untuk menerima tapi selama satu tahun berjalan terlihat hubungan mereka yang semakin membaik.
Tidak jarang, mereka mendapati putra putrinya saling melempar perhatian yang membuat dua pasang orangtua itu sudah berasumsi kalau hubungan keduanya sudah berjalan mulus. Sudah ada cinta di antara mereka, saling merasa memiliki dan akhirnya pernikahan itu dijalani dengan ketulusan hati mereka.
Namun siapa sangka, saat ini keduanya mengabari hal mengecewakan itu setelah pagi tadi merayakan satu tahun pernikahan mereka. Berasalan mereka tetap tidak cocok satu sama lain seperti yang dikatakan oleh Delan barusan.
"Padahal, Bunda lihat kalian makin hari makin lengket," sahut ibunda Radella, bunda Suci.
"Mama juga merasakannya. Apa kalian benar-benar tidak bisa merasakan perasaan kalian sendiri?" Mamanya Delan juga ikut menimpali, mama Marisa. Dua wanita itu tidak ingin kehilangan Delan dan Radella sebagai menantu. Pasangan itu sudah dianggap anak sendiri oleh dua wanita yang seumuran tersebut.
"Maafkan kami, Ma, Bun. Kami sudah memikirkan dan memutuskan ini. Sekali lagi, maafkan kami," jawab Delan dengan rendah.
Sedangkan, Radella sedari tadi masih bungkam. Tidak tega melihat dua wanita itu yang sudah meneteskan air mata. Dirinya merasa sangat bersalah, tapi juga tidak bisa memaksakan perasaannya kepada Delan, begitu juga sebaliknya.
Mereka berpikir dingin sebelum memutuskan ini dan memberitahu kepada orangtua mereka. Perpisahan ini bukan hanya keinginan satu pihak saja, tapi Delan dan Radella memang menginginkan setelah satu tahun mencoba bertahan dalam satu atap.
Radella membenarkan ucapan bundanya dan mamanya Delan, bahwa hubungan dirinya bersama Delan memang semakin hari semakin hangat. Namun, untuk perasaan mereka tetap belum bisa menerima. Hubungan mereka terjalin karena mereka tinggal satu atap saja, selebihnya tidak ada hal spesial lainnya, begitulah pikir Radella.
"Della, padahal Mama sudah menganggap kamu anak Mama sendiri," Isak mama Marisa semakin tidak rela.
Mata Radella juga mulai berkaca-kaca, perlahan kepalanya mendongak menatap dua wanita yang sudah saling merangkul untuk menguatkan. Radella tahu, bunda dan mamanya kecewa dengan keputusan mereka. Karena, Radella beberapa kali sering mendengar dua wanita itu sudah membayangkan bagaimana kehidupan dirinya bersama Delan dengan anak-anak di tengah mereka.
"Maafkan kami. Bunda sama Mama gak perlu khawatir, yang berpisah hanya hubungan pernikahan Radella dan Delan, hubungan kita tetap sama sedari awal. Radella tetap anak Mama, Delan juga tetap anak Bunda," terang Radella mencoba menenangkan dua wanita yang dia sayangi.
"Kalian yakin dengan keputusan itu?" Papa Adam kembali memastikan. Pria paruh baya itu juga memiliki harapan kalau anak menantunya bisa menjalani pernikahan mereka sampai maut memisahkan.
"Kami yakin, Pa!" tegas Delan setelah beberapa saat terdiam.
Pria itu memang sempat terdiam beberapa detik sebelum menjawab, entah kenapa perasaannya semakin tidak nyaman. Dia berpikir, karena tidak tega melihat orangtua dan mertuanya terisak. Makanya, perasaannya semakin tidak nyaman dan ingin segera menyudahi semuanya.
Adam menoleh ke arah besan prianya, Fatoni. Mereka saling menatap dengan helaan napas berat. Pertemanan sedari kecil mereka jalin, berharap menjadi keluarga dengan ikatan sah, hanya bisa bertahan selama satu tahun. Anak-anak mereka tidak bisa lagi bersama, mereka juga tidak bisa memaksakan karena mereka sudah dewasa untuk memahami hidupnya masing-masing.
"Mau bagaimana lagi, ini keputusan kalian. Papa berharap kalian bisa kembali berpikir lagi sebelum benar-benar berpisah nantinya. Kami sebagai orangtua hanya ingin kalian berdua bahagia, meski ada harapan kalau bahagia kalian saling bersama," jawab Adam tersenyum nanar.
"Pa, hubungan kita tidak akan putus. Papa, Ayah, Mama, Bunda, tidak perlu takut saling kehilangan. Yang berbeda hanya hubungan pernikahan Radella dan Delan saja, kita juga bisa tetap menjalin hubungan pertemanan. Delan dan Radella lebih cocok sebagai teman saja," terang Radella dengan cepat. Sekali menerangkan kalau mereka tetap keluarga, ada atau tidaknya pernikahan dirinya dan Delan tidak akan mengubah apapun.
Setelah berkata demikian, tiba-tiba saja perasaan Radella sedikit terusik. Apalagi kalimat terakhirnya yang membuat dadanya merasa sesak tanpa sebab. Begitupun dengan Delan, tidak nyaman saat mendengar istrinya mengatakan hubungan mereka lebih cocok sebagai teman ketimbang pasangan.
***
"Kemarilah!" Delan meminta istrinya, yang mungkin tinggal menghitung beberapa hari sebelum mereka menjadi mantan, untuk mendekat.
Delan berdiri di batas balkon kamar mereka, mungkin sebentar lagi juga akan menjadi kamarnya secara penuh setelah Radella pergi. Pria itu menatap jalanan berganti dengan langit yang amat tolak belakang. Jalanan yang begitu padat tidak mengenal waktu, juga langit yang selalu memenangkan.
Radella bergerak mendekat, ikut berdiri sejajar dengan Delan. Beberapa bulan terakhir, mereka sering menghabiskan malam dengan menikmati seperti sekarang hingga kantuk menyerang. Momen manis yang mungkin nanti Radella bakal ingat sesekali.
"Lega rasanya setelah berujar dengan orangtua tentang keinginan kita," ujar Delan tetap memandang lurus.
Harusnya Radella juga demikian, tapi perempuan itu malah merasa sendu. Padahal, berpisah adalah keinginan mereka berdua sedari lama. Saat waktunya datang, perasaannya semakin tidak nyaman untuk membicarakannya.
"Apa kamu lega?" Alih-alih menyetujui, Radella malah bertanya. Entah kenapa, dirinya ingin mengetahui perasaan Delan padahal suaminya sudah berujar barusan.
Delan menoleh, sedikit terkejut mendapati Radella menatapnya lekat dari samping seakan menunggu jawaban darinya. Mendadak, bibirnya kelu untuk berkata. Menatap wajah Radella yang malam ini terlihat lebih memesona. Apalagi, dari jarak sedekat ini.
"Apa aku boleh menciummu, untuk pertama dan terakhirnya?" Delan tidak menjawab pertanyaan Radella, pria itu malah fokus pada wajah cantik istrinya yang sebentar lagi menjadi mantan istrinya.
Radella tersentak, kisah rumah tangga mereka terlalu lucu. Selama satu tahun, mereka tidak pernah benar-benar bersentuhan fisik secara sengaja. Sekarang, Delan meminta izin dengan suara seraknya. Bukan serak karena nafsu, tapi gusar akan perasaannya yang terus berkecamuk.
"Pertama dan terakhir?" bisik Radella tersenyum kecut.
Perempuan itu tidak menjawab, memilih memejamkan mata sambil mendekatkan kepalanya pertanda menyetujui permintaan Delan. Pria itu juga segera menyambutnya, untuk pertama dan terakhir sebelum semuanya berakhir.
"Terimakasih, biarkan malam ini kita sedekat mungkin sebelum kita berjalan sesuai keinginan kita nantinya," bisik Delan sambil menempelkan kedua dahi mereka.
Dua pasangan suami istri yang sebentar lagi akan berpisah sesuai keinginan mereka, masih bergelung nyaman di atas kasur empuk mereka. Mereka memang dari awal tidur satu tempat, tapi mereka benar-benar belum pernah bersentuhan fisik secara sadar dan sengaja, baru semalam ciuman untuk pertama dan terakhir kalinya.
Radella sangat nyaman berada dalam pelukan Delan tanpa dia ketahui, guling yang biasanya berada di tengah sebagai pembatas sudut tergelatak di bawah dengan tidak berdaya. Untuk pertama kali, mereka tidur dengan begitu dekat selama satu tahun.
Biasanya mereka bangun, posisi tetap sama pun keberadaan guling yang tetap nyaman berada di tengah. Hingga hari ini, hari terakhir mereka tinggal bersama tidur dengan begitu dekat bahkan sangat dekat.
Sinar matahari yang menerobos melalui ventilasi jendela mengusik tidur Radella. Perempuan itu lebih dulu membuka mata dan langsung terkejut saat melihat Delan sedekat itu. Wajah tampan yang Radella akui sejak pertama mereka dikenalkan.
Radella juga merasakan keras pada kepala bagian belakangnya, saat sadar ternyata lengan kokoh Delan yang dia jadikan bantal. Belum lagi tangan sebelahnya Delan berada di atas tubuhnya, seolah memeluknya memberikan rasa hangat untuknya. Memang benar, Radella merasa hangat dan nyaman sampai sekarang dengan posisi itu.
Tidak ada niatan Radella untuk mengubah posisi atau menjauhkan tangan Delan yang berada di atas tubuhnya. Perempuan itu menikmati momen manis mereka di hari terakhir. Sebelum dirinya nanti kembali pulang dan pernikahan mereka akan berakhir setelah mereka memasukkan pendaftaran perceraian ke pengadilan agama.
Dahi Radella mengernyit memikirkan semua rencana mereka, kembali perasaannya dilanda tidak nyaman dan tidak rela. Apalagi saat menatap wajah damai Delan sedekat ini, membuat perasaannya tidak menentu. Membayangkan, akan ada perempuan lain yang menjadi kekasih Delan sekarang dan menggantikan posisinya sekarang. Mereka memang masih menjalin hubungan dengan kekasih masing-masing secara terbuka, dengan syarat jangan sampai kedua orangtua mereka mengetahui.
Tidak ingin terlalu bergelut dan semakin tidak nyaman dengan pikiran dan perasaannya, Radella mulai bergerak untuk memindahkan tangan kokoh yang tengah memeluknya. Dia tidak ingin terbuai oleh pikirannya sendiri, ditambah wajah tampan delan di depannya juga ciuman mereka di malam hari, takut membuat Radella kalut.
"Sebentar, lima menit lagi. Biarkan aku memelukmu seperti ini sampai lima menit lagi," ujar Delan dengan suara serak dengan matanya yang tetap terpejam.
Radella terkejut mendengar suara Delan, berarti pria di depannya sudah terbangun tapi tetap terdiam seolah masih terlelap. Radella kembali menuruti permintaan Delan, tetap diam membiarkan tangan kokoh memeluknya.
***
"Apa kamu akan membawa semua barang-barangmu? Kamu bisa mencicilnya, nanti ambil lagi sekalian kalau kamu merindukan tempat ini." Delan berujar saat melihat Radella tengah membereskan barang-barangnya. Waktu menunjukkan pukul sepuluh, saatnya dia kembali pulang sesuai perjanjiannya.
Radella menghentikan pergerakannya, menoleh kepada Delan yang duduk tenang di atas kasur. "Kamu akan mengizinkan aku datang ke sini?" tanyanya memastikan. Muncul secercah kebahagiaan tanpa Radella sadari saat Delan mengangguk sambil tersenyum. "Tentu saja, kapan pun kamu ingin datang, pintu akan selalu terbuka untukmu."
"Kalau seperti itu, aku akan membawa keperluan pribadiku terlebih dahulu!" putus Radella menutup koper yanh hanya berisikan beberapa baju juga pelengkapan pribadi Radella. Tidak ada separuh yang dia bawa setelah mendengar ucapan Delan, hanya sekian barang yang dirasa selalu dibutuhkan saja.
"Sudah? Apa kamu ingin segera pulang?" tanya Delan melihat Radella meletakkan koper di samping pintu. Perempuan itu ikut duduk di samping Delan di atas kasur yang setahun ini menjadi tempat
"Apa kamu ingin segera aku pulang?" Bukannya menjawab, Radella malah kembali melempar pertanyaan. Mendadak saja dia kesal mendengar pertanyaan Delan, dia menafsirkan kalau pria di sampingnya ingin segera dirinya keluar dari tempatnya.
"Kalau kamu masih ingin di sini, aku malah senang." Delan tersenyum tipis saat Radella menoleh terkejut mendengar jawabannya. Dia salah menafsirkan dan terlalu ketakutan tanpa sebab.
***
Akhirnya, Delan mengantarkan Radella sore hari hampir menjelang malam. Melanggar kesepakatan tanpa sadar, karena perjanjian Radella akan pulang pagi lalu mereka bisa menyiapkan berkas-berkas perceraian untuk mendaftar ke pengadilan agama.
Nyatanya, mereka terlalu asik menikmati hari terakhir yang mereka ciptakan sendiri. Bersenang-senang mengabaikan waktu berdua, seakan ingin melupakan kalau mereka sebentar lagi akan berpisah. Hingga telepon dari kekasih Radella menyadarkan keduanya, kalau waktu mereka sudah berada di ujung batas.
"Kalian beneran akan berpisah?" sambut Suci membukakan pintu anak dan menantunya atau calon mantan menantunya, terlalu rumit untuk dikatakan.
"Iya, Bun. Radella kembali pulang!" balas Radella ingin menampilkan senyuman bahagianya, tapi yang terlihat malah raut kesedihan.
"Bunda, Ayah. Delan mengembalikan...." Tidak ada kata lanjutan, Delan menghela napas karena bibirnya terasa kelu untuk berucap padahal dia sedari tadi sudah menyiapkan kalimat yang sopan dan diterima.
Ayahnya Radella, Fatoni, ikut menghela napas. Sesama pria, Fatoni paham bagaimana perasaan menantunya kepada sang anak. Namun, entah apa yang dipikirkan pasangan muda itu hingga memilih berpisah dan mengabaikan perasaannya masing-masing.
"Jangan katakan kalau kamu benar-benar tidak siap, Nak," sahut Fatoni melihat keheningan di wajah Delan.
Delan mendongak, matanya bertemu dengan Radella yang juga menatapnya sambil menggigit bibir ikut gelisah. Lalu menoleh ke arah ayah mertuanya untuk melanjutkan kalimatnya.
"Delan akan mengembalikan...." Sekali lagi, dia tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Dia merasa malu dan bodoh, harusnya bisa segera menuntaskan semuanya.
"Sudah Ayah bilang, katakan kalau kamu siap. Tapi, Ayah menebak kamu tidak akan siap," sahut Fatoni sambil terkekeh.
"Sementara, Radella akan di sini. Kamu tidak perlu mengatakan hal-hal yang sebenarnya tidak ingin kamu katakan. Pintu ini selalu terbuka kalau kamu ingin menemui Radella!"
Dengan berat hati, Delan berpamitan dan sampai akhir tidak mampu mengatakan apa yang seharusnya dikatakan saat akan berpisah. Delan dan Radella menginginkan perpisahan yang baik, perpisahan yang sebagaimana mestinya sesuai aturan.
Mereka mengantarkan kepergian Delan sampai teras rumah, lalu masuk saat mobil delan meninggalkan pekarangan rumah besar tersebut. Ada rasa tidak rela melihat Delan pulang tanpa dia di sampingnya, tapi sekali lagi, Radella menegaskan perasaannya kalau ini pilihan mereka berdua yang telah mereka inginkan sedari lama.
"Apa kamu lega bisa kembali pulang?" Belum sempat Radella mendudukkan dirinya, lemparan pertanyaan dari sang bunda membuatnya mendongak.
Wajah bundanya dan ayah tidak bisa menutupi raut kekecewaan. Setiap orangtua pasti menginginkan kebahagiaan anaknya, melihat anaknya menikah sekali seumur hidup. Bukan seperti sekarang, menikah baru setahun sudah berpisah.
"Maafkan Radella, Bun," cicit Radella segera duduk sambil menunduk.
"Loh, Kak?" Semuanya menoleh, si bungsu datang dengan wajah terkejut mendapati kakaknya berada di rumah dengan koper yanh tergelatak di dekatnya.
"Kenapa?" balas Radella menatap adiknya. Adiknya baru saja pulang entah dari mana, dan si bungsu itu juga belum tahu perihal kakaknya yang akan berpisah.
"Kakak di sini? Tadi aku lihat mobil bang Delan, aku kira Kakak juga ada mobil itu," ungkapnya.
"Iya, Kakak di sini. Kakak kembali pulang!" balas Radella terdengar sinis.
"Kenapa? Kakak bertengkar sama bang Delan?" Si bungsu ikut duduk mendekat, mencari tahu jawabannya karena penasaran apa lagi dengan keberadaan koper itu.
"Kakakmu sama suaminya ingin pisah," sahut bunda Suci membuat anak bungsunya melotot karena terkejut.
"Pisah? Kenapa? Perasaan aku lihat kalian bahagia saja." Matanya menatap penuh tanya ke arah Radella yang terlihat enggan untuk menjelaskan.
"Katanya mereka gak cocok. Biarkan saja Kakakmu, suka-suka mereka saja!"
Kamar yang cukup lama tidak ditempati, nuansanya tetap sama. Tidak ada yang berubah hanya beberapa barang yang dia bawa ke tempat Delan, tapi sekarang sudah dia bawa kembali. Gadis itu membuka kopernya, menata kembali barang yang tidak terlalu banyak ke tempat semula, tempat awalnya sebelum pindah ke tempat Delan.
Tidak butuh waktu lama karena barangnya tidak banyak, masih banyak yang dia tinggal di tempat Delan setelah mendapatkan persetujuan pria itu. Setelah memastikan semuanya beres, Radella merebahkan diri di kasurnya. Matanya terpejam meresapi perasaan aneh yang terus dirasakan saat keluar dari rumah Delan.
Kamar yang sering dia rindukan, menjadi saksi bisu curahan hatinya. Namun, sekarang dia malah kesepian saat masuk tadi. Saat memejamkan mata sekarang pun, dia merasa berada di kamar yang dia tempati setahun terakhir ini bersama seorang pria, yang tak lain adalah suaminya, sebelum mereka memutuskan untuk berpisah sekarang.
"Ada apa denganku? Bukankah ini keinginanku?" keluh Radella membuka matanya. Wajahnya terlihat frustasi karena ketidaknyamanan perasaannya.
"Harusnya aku lega, aku senang. Bukan malah gelisah seperti ini!" teriaknya melampiaskan frustasinya.
Perempuan itu mencoba menarik napas, melepaskan dengan pelan-pelan untuk menenangkan diri. Otaknya dia alihkan pada hal lain, tapi malah terus terbayang momen sederhana bersama Delan selama ini. Padahal, selama mereka menikah tidak ada hal romantis yang perlu dikenang atau membuatnya berdetak tidak karuan.
Hanya momen sederhana, kehidupan sehari-hari sebagai seorang yang tinggal bersama bukan dua orang yang sedang hidup bersama. Namun, dirinya langsung membeku saat momen itu terus berlanjut hingga ciuman semalam mereka, yang katanya ciuman pertama dan terakhir. Wajahnya memanas, dengan perasaan yang semakin kalut.
"Ini tidak beres, sementara Delan sudah merasa lega tapi kenapa aku malah gelisah seperti ini!" Dia menggeleng beberapa kali mengusir bayangan yang bisa membuatnya kalut.
Dia segera beranjak, masuk ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Meski sebelum pulang, dia sudah membersihkan tubuhnya di rumah Delan. Dia hanya ingin menyegarkan pikirannya dan mengenyahkan bayangan bersama Delan. Radella merasa ada yang salah dengan dirinya, tidak seharusnya seperti sekarang karena mereka sudah bulat memutuskan berpisah dan menjalin dengan kekasih masing-masing tanpa ada rasa bersalah saling mengkhianati.
Cukup lama Radella membasahi seluruh tubuhnya hingga dirinya merasa kedinginan karena waktu juga mulai beranjak malam. Dia segera menyudahi dan keluar dengan baju tidur yang nyaman. Langkah kakinya berjalan menuju jendela, membukanya dan duduk di kusen jendela membiarkan punggungnya merasakan angin segar.
"Harusnya, ada balkon kamar seperti di rumah Delan," bisiknya tanpa sadar.
Tidak lama, suara ketukan terdengar disertai panggilan untuknya. Setelahnya pintu terbuka menampilkan seorang gadis cantik yang lumayan mirip dengannya, gadis itu berjalan sambil tersenyum cerah, berbanding terbalik dengan dirinya yang terlihat kusut padahal habis mandi.
"Kebiasaan banget langsung nyelonong," sindir Radella menatap pergerakan gadis itu yang langsung rebahan di kasurnya.
Gadis itu kembali duduk, menatap kakanya yang duduk di kusen jendela dengan rambut basah. Dia baru pertama melihat jendela kamar kakaknya terbuka selama dirinya hidup, karena perempuan itu sedari dulu anti membuka jendela apalagi sampai duduk seperti itu.
"Aku tadi sudah mengetuk pintu, memanggil nama Kakak juga," balasnya tidak ingin kalah. Dia juga hafal, kakaknya jarang mengunci pintu kamar yang membuatnya mudah untuk masuk saat ketukannya tidak ada respon.
Radella tidak membalas, memilih beranjak lalu ikut bergabung di kasurnya bersama sang adik yang usianya tidak terpaut jauh dengannya. "Mau ngapain ke sini?" tanyanya menatap adiknya datar.
"Yaelah, Kak, biasa aja dong. Harusnya, Kakak berterimakasih karena selama Kakak gak di sini, aku yang sering membersihkan kamar ini," jawabnya sambil memasang wajah jumawa.
"Gak sopan, gak ada orangnya malah ditempati," dengus Radella.
"Kak, aku membersihkan, bukan menempati!" balas adiknya dengan menekan setiap katanya.
Radella tidak membalas, memilih merebahkan tubuhnya sambil menutup mata. Harusnya dia mengeringkan rambutnya terlebih dahulu, agar lebih nyaman dan tidak membuat sakit kepala saat dibawa tidur. Namun, perempuan itu terlalu malas untuk bertindak.
Sang adik menatap kakanya, mengamati wajah Radella yang tengah menutup mata. Matanya berkilat geli saat menelisik wajah Radella. "Kakak, galau, ya!" Tawa sang adik pecah membuat Radella membuka mata dengan pandangan tidak suka.
"Siapa yang galau? Ngapain juga galau?" balas Radella tidak terdengar meyakinkan sama sekali.
"Kakak ngapain pisah sama bang Delan coba, laki-laki setampan itu malah ditinggalin," balas adiknya.
"Kamu tahu apa tentang perasaan. Sudah keluar sana, Kakak mau istirahat!" usir Radella. Dia tidak ingin mendengar atau membahas tentang Delan dan pernikahannya.
"Tapi, Kakak kalau pisah sama bang Delan juga gak masalah, sih. Aku yang akan menggantikan Kakak, aku terima apapun kondisi bang Delan," celutuk adiknya dengan santai. Namun, tidak dengan Radella yang langsung terduduk menatap kesal.
"Rasyafa, keluar dari kamar!" teriaknya yang langsung disambut tawa lebih keras dari adiknya. Namun begitu, Rasyafa tetap berjalan keluar. Sebelum menghilang, dia kembali menoleh memberikan tatapan ejekan kepada Radella yang membuat perempuan itu hanya bisa mendengus kesal.
***
Malam sudah larut, tapi Delan enggan untuk beranjak dari posisinya sekarang. Tetap berdiri di balkon kamarnya, menatap langit yang semakin gelap sedari tadi. Padahal angin malam cukup dingin untuk menyentuh kulitnya.
Rasanya langsung hampa saat salah satu penghuni kamar mereka selama setahun ini pergi. Harusnya dia lega seperti yang dikatakan tempo lalu, tapi dia malah merasa kehilangan. Telepon yang sedari tadi berdering menampilkan nama kekasihnya dia abaikan, padahal mereka telah berjanji untuk jalan malam ini.
Nyatanya, pulang dari rumah Radella untuk mengantarkan perempuan itu, dirinya malah terjebak di balkon kamarnya. Beranjak hanya saat dia haus atau ada perlu lainnya sebentar. Mengingat momen manis malam terakhir mereka sebelum mereka berpisah.
"Apa Radella sudah tidur?" bisiknya pelan. Menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya, waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Dia hafal, kalau Radella tidak bisa tidur terlalu larut.
Kepalanya memutar waktu keseharian mereka, di mana saat dirinya masih berdiri di balkon seperti itu, Radella akan memanggil untuk mengajak tidur. Meski mereka tidur dengan pembatas guling, tapi Radella selalu mengajak tidur di waktu yang sama.
Delan tersenyum tipis, momen sederhana itu sekarang terasa menyesakkan saat diingat. Sekarang, dirinya malah merindukan momen itu, di mana Radella memanggil dengan keras lalu mengajaknya tidur, kalau dirinya menolak, perempuan itu akan mengoceh panjang lebar yang membuat Delan pusing mendengarnya.
Tidak ingin berlarut, pria itu segera beranjak. Menutup pintu balkon lalu menatap kasur mereka yang tampak rapi dengan pandangan yang sulit dijelaskan. Malam pertama baginya untuk kembali tidur sendiri, setelah satu tahun tidur bersama Radella. Mulai sekarang dan seterusnya, dia akan tidur sendiri tanpa ada panggilan dari Radella.
"Harusnya tidak seperti ini," desah Delan membaringkan tubuhnya.
Sebelum benar-benar terlelap, ponselnya kembali berdering panjang. Karena pikirannya sedari tadi mengingat Radella, dia dengan cepat menerimanya berharap sang penelepon benar-benar Radella tanpa melihat namanya.
"Akhirnya, kamu angkat telepon aku juga. Kenapa kamu mengabaikan aku, bukankah harusnya kita jalan-jalan seperti yang kamu janjikan?"
Delan tersentak, menjauhkan teleponnya dan melihat nama yang tertera. Dia menghela napas saat tahu bukan Radella yang menghubunginya. Melainkan, sang kekasih yang menagih janjinya karena dirinya menghilang begitu saja.
"Maafkan aku, besok kita jalan-jalan seharian, ya," balas Delan setelah berpikir sebentar. Dia harus fokus pada kekasihnya, mengalihkan pikirannya dari Radella dan bersama sang kekasih yang sudah dua tahun menemaninya dirinya. Namun, ada satu perasaan yang seakan tidak rela dengan pikirannya barusan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!