NovelToon NovelToon

Ibu Pengganti Sang Pewaris

1

Cherry Gabriella bersembunyi seperti tikus ketakutan. Rasa gentar yang menggerogoti jiwanya bukan karena dirinya sendiri, melainkan karena bayi mungil dalam pelukannya darah dagingnya sendiri. Pikirannya kalut, tak tahu harus berbuat apa. Yang ia yakini hanya satu: ia harus segera menjauh, keluar dari rumah sakit ini, tanpa terlihat oleh pria itu.

“Sialan! Di mana perempuan keparat itu?!” suara bariton penuh amarah menggema di koridor, membuat tubuh Cherry bergetar hebat.

“Bos, maaf, tapi kami tidak menemukannya.”

“Aku tahu dia masih di sini! Tidak ada yang bisa lari dariku, bahkan perempuan penggali emas itu. Apalagi anakku!” bentaknya geram.

Cherry menunduk, menatap bayi polos di pelukannya. Air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan.

Nak, maafkan Mama yang telah menyeretmu ke dalam kekacauan ini. Mama mencintaimu, selalu. Mama tidak akan pernah menyerahkanmu, apalagi kepada ayahmu yang berhati monster. Maafkan Mama… yang sempat hampir menukarmu dengan uang.

“Bos, sudah ketemu di CCTV. Terlihat terakhir kali perempuan itu berada.”

Tanpa pikir panjang, Cherry melesat keluar dari persembunyiannya. Ia berlari sekencang-kencangnya menuju pintu keluar rumah sakit, mendorong siapa pun yang menghalangi jalannya.

“Itu dia!” seseorang berteriak.

Cherry menoleh sekilas. Salah satu anak buah pria itu. Napasnya memburu, langkahnya semakin cepat. Begitu berhasil keluar, ia menyeberang jalan meski lampu lalu lintas masih merah. Deritan rem mobil terdengar, disertai teriakan orang-orang panik.

“Ya Tuhan, ada perempuan bawa bayi!”

Namun Cherry tak peduli. Ia hanya terus berlari, hingga hujan deras tiba-tiba mengguyur. Ia buru-buru mencari tempat berteduh.

Di bawah atap seadanya, ia menatap bayinya yang tertidur. Tubuhnya masih lemah pasca melahirkan, tapi ia harus berlari sejauh ini. Ia tak peduli risiko komplikasi, yang penting keselamatan si kecil.

Awalnya ia pikir mudah saja menukar anaknya demi uang. Tapi semua berubah ketika ia menatap wajah mungil itu. Ibu macam apa aku, sampai tega berniat begitu?

Sekarang ia tahu, ia akan merawat anaknya sendiri. Ia akan bertahan, apa pun yang terjadi.

Anaknya istimewa. Tidak rewel, tidak banyak tangis. Cherry yakin, ia tak salah menyelamatkannya. Ia bahkan rela menantang maut asalkan bayi ini jauh dari ayahnya, pria berhati iblis yang berkuasa bak dewa, tapi lebih kejam dari setan.

Ketika hujan mereda, Cherry buru-buru pulang. Ia hanya sempat mengambil barang-barang penting, lalu pergi lagi.

Sambil menatap anaknya yang sedang menggigit-gigit jari, Cherry tersenyum getir. Meski masih bayi, wajahnya sudah begitu sempurna. Mata biru, alis tebal, hidung mancung, bibir merah merona. semua warisan ayahnya yang bermuka malaikat tapi berhati iblis.

“Baby Arnold Spencer,” bisiknya lembut.

Bayi itu tersenyum, tangannya bergerak-gerak minta digendong. Cherry segera mengangkatnya. Saat Arnold mengendus-endus dadanya, ia langsung paham. Malaikat kecilnya lapar. Ia pun menyusui sang buah hati sebelum melanjutkan perjalanan.

**

Setiba di terminal bus, Cherry terkejut. Foto dirinya terpampang besar di layar, bertuliskan DICARI dengan hadiah uang fantastis. Tentu, pria itu akan menggunakan semua cara.

Cherry cepat-cepat menunduk, menarik tudung jaketnya.

“Wah, ganteng sekali anakmu,” ujar seorang perempuan di sebelahnya.

Refleks, Cherry memeluk Arnold lebih erat. “Terima kasih.”

“Boleh saya foto? Anakmu pasti viral di media sosial.”

“Tolong jangan,” pintanya cepat.

“Ah, satu saja--” perempuan itu sudah mengangkat ponsel.

Cherry geram. Ia merebut benda itu dan menginjaknya hingga rusak. Perempuan itu terkejut.

“Kalau sudah dibilang jangan, ya jangan. Beli saja baru,” ucap Cherry dingin sambil menyodorkan uang dua juta rupiah.

Saat itu bus datang. Cherry langsung naik, memilih kursi paling belakang dekat jendela.

**

“Puncak!” teriak sopir.

Cherry turun, menghela napas lega saat udara sejuk menyambutnya. Aku pulang.

Ia berjalan menuju rumah peninggalan kakek-neneknya. Rumah sederhana dengan pekarangan luas, jauh dari tetangga. Bukan miliknya memang, masih atas nama ibunya tapi ia ingin menjaga tempat yang begitu dicintai ibunya.

Di dalam rumah, ia meletakkan Arnold di kasur bayi. Ia meneguk air putih, lalu memandang sekeliling. Tidak besar, tapi cukup. Setidaknya untuk sementara, mereka aman.

Pria itu pasti masih fokus mencarinya di kota. Mungkin, jika tak berhasil, ia akan mencari pengganti. Yang dibutuhkannya hanyalah pewaris, dan itu bisa ia dapatkan lewat anak lain.

Cherry mengusap lembut pipi bayinya. “Arnold, nak, kita tinggal di sini dulu ya. Maafkan Mama yang menyeretmu ke dalam kekacauan ini. Kau seharusnya tidak mengalami hidup seperti ini, tapi Mama berjanji… Mama akan selalu menjagamu. Apa pun taruhannya.”

Arnold terkekeh, mengangkat tangan mungilnya seolah ingin meraih wajah ibunya. Cherry mendekatkan wajahnya. Sentuhan kecil itu membuat hatinya hangat.

Janji, Mama akan melindungimu. Cinta Mama padamu tak tergantikan. Bukan uang, bukan kekuasaan. Mama akan membesarkanmu jadi anak baik, penuh kasih, tidak seperti Ayahmu. Jangan biarkan kegelapan merenggutmu.

Air mata Cherry menetes, tapi tawa Arnold membuatnya ikut tersenyum.

Ya, ia tidak sendirian. Ia tahu perjuangannya benar. Ia yakin, keputusannya menjauh adalah yang terbaik.

Meski harus berhadapan dengan hukum, meski sampai mengorbankan nyawa, ia tidak akan pernah menyerahkan anaknya. Ia akan melawan, demi Arnold.

2

Trevor Spencer melirik ke arah tempat tidur bayi tempat Arnold terbaring. Cherry segera bergeser, menutupi anaknya dengan tubuhnya.

“Aku datang untuk anakku. Bukankah itu sudah jelas?” tanyanya dengan nada sarkastik.

“Anakmu? Tidak ada anakmu di sini. Pergilah!” usir Cherry tegas.

“Kau tahu persis apa yang kumaksud, perempuan. Serahkan anakku sebelum aku mengambilnya dengan tanganku sendiri,” ancamnya dingin.

“Sudah kubilang tidak ada anakmu di sini! Orang sepertimu, antek setan, tidak pantas dikaruniai anak. Pergi! Kau tidak akan mendapat apa-apa di sini!” Cherry membentak dengan marah.

Trevor memberi isyarat, dan beberapa anak buahnya segera maju. Mereka mencengkeram kedua lengan Cherry, menyeretnya menjauh dari Arnold. Cherry memberontak sekuat tenaga, tapi tubuh kekar mereka terlalu kuat.

Trevor mendekati Arnold, lalu menggendongnya. Ia menatap Cherry, sementara Cherry menatap balik penuh kebencian. Kalau pria itu berani menyakiti anaknya, Cherry bersumpah akan membunuhnya dengan cara paling brutal.

“Sudahkah kau melihat wajah polos ini? Kemiripan kami terlalu jelas. Bagaimana bisa kau bilang dia bukan anakku?” tanyanya tenang.

“Tidak semua kemiripan berarti ada hubungan darah. Bisa saja hanya kebetulan,” bantah Cherry.

“Omong kosong. Kau sudah menerima uangnya. Apa lagi yang kau persoalkan?” ucap Trevor dingin.

Cherry menarik napas panjang. “Aku akan kembalikan uangmu. Tolong… kembalikan anakku,” pintanya memohon.

“Kita pergi,” perintah Trevor.

“Tidak! Tolong! Kembalikan anakku!” jerit Cherry dengan air mata deras.

“Kita sudah punya kesepakatan. Kau menerima uang, jadi aku mengambil anakku,” ujarnya datar.

“Akan kukembalikan semuanya. Biarkan kami hidup dengan tenang,” Cherry meratap.

“Anak ini pewarisku. Apa kau lupa?”

“Kau bisa mencari ibu pengganti lain dan menjadikan anak itu pewarismu. Tapi jangan dia. Jangan anakku. Biarkan dia hidup normal. Dia masih polos, belum mengerti apa-apa tentang dunia ini. Jangan bawa dia ke dalam kehidupanmu yang penuh kekacauan,” Cherry memohon putus asa.

Trevor menatap Arnold yang sedang mengisap jarinya. Begitu polos, begitu suci. Untunglah bayi itu tak tahu apa-apa.

Dunia Cherry runtuh ketika Trevor berbalik, melangkah keluar rumah sambil menggendong Arnold. Cherry menjerit histeris.

Jangan… jangan ambil anakku!

Salah satu anak buah menyuntikkan cairan ke tubuh Cherry. Seketika tubuhnya lemas. Mereka melepaskannya dan pergi menyusul bos mereka. Cherry jatuh tersungkur di lantai, berusaha melawan kantuk yang menekan matanya.

Anakku… akan kuambil kau kembali, bisiknya sebelum kesadarannya menghilang.

**

Cherry mendapati dirinya di sebuah tempat serba putih. Ia tersentak, mengingat Arnold. Panik, ia menoleh ke segala arah.

Tak jauh dari sana, seorang anak laki-laki sedang bermain. Cherry segera menghampirinya.

“Dek, apa kau lihat bayi? Kecil… segini?” tanyanya sambil memberi isyarat dengan tangannya.

“Ayah bilang aku tidak boleh bicara dengan orang asing,” jawab anak itu.

Cherry menatapnya. Ada sesuatu yang familiar, mata biru, alis tebal, hidung mancung, bibir merah. Hatinya berbisik: ia mengenal anak ini.

“A-Arnold? Nak? Ini kau?” Cherry memeluknya dengan gemetar.

Namun anak itu mendorongnya menjauh. “Jangan sentuh aku!” bentaknya.

“Sayang, ini Mama…” Cherry berusaha lembut.

“Aku tidak punya mama! Ibuku sudah mati. Dia mengkhianatiku saat aku masih bayi. Aku benci dia!” balas anak itu kesal.

“Arnold!”

Suara berat itu membuat Cherry menoleh. Trevor berdiri di sana.

“Papa!” Arnold berlari ke arahnya.

Cherry terperanjat. Ia segera mengejar, berteriak histeris. “Arnold! Jangan! Jangan pergi! Kembalikan anakku, dasar iblis!”

Tapi keduanya perlahan menghilang dari pandangannya.

Cherry hampir berteriak ketika tiba-tiba tubuhnya disiram air. Ia tersentak. Ternyata ia masih di rumahnya sendiri. Tangannya terikat pada tiang.

Beberapa orang asing berdiri mengelilinginya. Cherry tak mengenal satu pun. Apa mereka anak buah Trevor? Tapi untuk apa mereka di sini kalau Trevor sudah membawa Arnold?

“Aku tidak percaya Trevor Spencer mau dengan perempuan ini. Umurnya baru dua puluhan,” ujar salah seorang pria.

“Trevor tak peduli siapa yang ia tiduri, asal bisa punya pewaris,” sahut yang lain.

“Kalian siapa?” tanya Cherry dingin.

“Di mana bayinya?” balas seseorang, mengabaikan pertanyaannya.

“Kalian siapa?!” Cherry mengulang.

“Jawab saja,” perintah pria yang tampak seperti pemimpin mereka.

Bayi? Jadi mereka juga mencari Arnold? hati Cherry berdesir. Berarti mereka bukan anak buah Trevor.

“Kenapa aku harus memberitahu kalian?” tantangnya.

“Dasar perempuan tak tahu diri!” salah satu dari mereka menamparnya keras. Pipinya perih, terasa hangat oleh darah.

“Sepertinya Trevor sudah mendahului kita, Bos,” lapor seseorang.

“Kita harus mendapatkan bayi itu. Dan membunuhnya,” ucap sang bos datar.

Cherry terbelalak. “Apa?! Kalian mau membunuh anakku?!”

“Ya. Dan kalau kau tak diam, kau yang kubunuh duluan,” ancamnya.

“Kalian tidak akan berhasil. Aku tidak akan membiarkan kalian,” Cherry bersikeras.

“Dan apa yang bisa kau lakukan? Anak kecil sepertimu sebaiknya kembali ke kampus, bukan ikut campur urusan besar,” sindirnya.

“Jangan pernah sakiti anakku. Kalau kalian melakukannya, aku sendiri yang akan menyeret kalian ke neraka!” Cherry mengancam penuh kebencian.

Mereka terbahak.

“Hahaha… anak muda sekarang lucu sekali. Tidurlah, kau tak ada gunanya lagi,” ucap sang bos, lalu menghantamkan gagang pistol ke kepalanya.

“Aargh!” Cherry menjerit kesakitan.

“Ayo pergi,” perintah sang bos.

Mereka pun meninggalkannya terikat sendirian.

Cherry meronta, berusaha melepaskan diri. Setelah sekian lama, ia akhirnya berhasil. Ia berdiri terhuyung, lalu melangkah keluar.

Ia hanya punya satu tujuan: merebut kembali Arnold.

Ingatlah, nak… Mama tidak akan pernah mengkhianatimu. Jangan pernah membenci Mama. Aku akan berjuang. Tunggu aku.

3

“Tuan, maafkan Saya. Tapi Tuan Muda tidak mau minum susu. Sejak tadi malam dia menolak minum dan terus menangis. Jika Tuan Muda terus tidak makan… mungkin… maafkan Saya, Tuan,” lapor seorang pelayan dengan kepala tertunduk.

Trevor segera bangkit dan melangkah cepat ke kamar anaknya. Saat tiba, ia mendapati Arnold menangis keras.

“Tuan, Tuan Muda masih belum mau makan. dia menolak susu,” ujar pelayan lain, panik.

Trevor meraih botol susu dan mencoba memberikannya pada Arnold, tapi bayi itu terus menggeleng sambil menangis makin kencang.

“Sialan! Kau harus makan atau kau akan mati!” bentak Trevor, frustrasi. Namun tangisan Arnold sama sekali tak berhenti.

“T-Tuan… mungkin Tuan Muda sudah terbiasa disusui langsung oleh ibunya,” usul salah seorang pelayan ragu.

“Kalau begitu, susui dia!” perintah Trevor garang.

Seorang pelayan wanita maju dan mencoba menyusui Arnold, tapi bayi itu tetap menolak. Akhirnya ia menyerah dan mengembalikannya ke tempat tidur.

“Tuan Muda tetap tidak mau,” lapor pelayan itu cemas.

“Jadi kau mencoba bunuh diri dengan kelaparan, hah?” geram Trevor pada bayinya.

“Tenang, bro.” Suara lain tiba-tiba terdengar. Edwin, sahabat Trevor, muncul dengan senyum santai. “Mungkin anakmu sudah terbiasa dengan ibunya sendiri. Ayahnya pintar, ibunya pintar, jadi anaknya jelas pintar juga. Bayi ini tahu apa yang boleh dan tidak boleh ia minum. Singkatnya, anakmu pemilih. Aku tidak heran sama sekali, karena dia punya keturunan bagus.”

Trevor menggeram rendah. “Sialan! Butuh waktu seharian untuk mencari pengganti ASI buatan yang cocok. Dia tidak makan sejak kemarin! Kalau dia tetap tidak makan hari ini, dia bisa mati. Aku harus menemukan perempuan itu untuk memberi makan anak sialan ini!”

“Tidak perlu. Karena dia sedang dalam perjalanan ke sini,” sahut Edwin santai. “Aku melihatnya di jalan tadi.”

Benar saja, teriakan terdengar dari luar. “Argh, lepaskan aku! Aku di sini untuk anakku! Panggil bos kalian yang iblis itu!”

Trevor segera keluar. “Biarkan dia masuk.”

Cherry muncul, wajahnya penuh amarah dan mata berkaca-kaca. “Di mana anakku?” tanyanya tajam.

Trevor memberi isyarat. Seorang pelayan segera membawa Arnold keluar.

“Apa yang membawamu ke sini?” tanya Trevor dingin.

Cherry melempar dua tas ransel ke hadapannya. Trevor mengerutkan dahi.

“Lima miliar. Tidak kurang sepeser pun. Aku mengembalikan uangmu, jadi kembalikan anakku,” ucap Cherry tegas.

“Kau pikir aku orang bodoh?” balas Trevor sinis.

Cherry segera membuka tas-tas itu. “Hitunglah. Itu tepat lima miliar. Jadi tolong… kembalikan anakku.”

Edwin melangkah maju dengan senyum ramah. “Ehem, hai nona cantik… Cherry, kan namanya? Kenapa tidak duduk dulu, tenangkan dirimu? Jangan buat suasana tegang di Masion megah temanku ini.”

Cherry menatapnya penuh harap. “Kau temannya? Tolong… bujuk dia untuk mengembalikan anakku.”

“Duduklah dulu. Kita bicarakan ini dengan kepala dingin,” ujar Edwin lembut.

Akhirnya Cherry duduk. Trevor pun menuruti Edwin dan ikut duduk di sofa seberang.

“Bawa anakku keluar,” pinta Cherry.

Pelayan masuk dengan menggendong Arnold. Bayi itu langsung berhenti menangis begitu melihat Cherry dan mengulurkan tangan mungilnya. Hati Cherry meledak dengan rasa haru.

“Arnold Spencer… anakku,” bisiknya gembira. Ia hampir meraih Arnold, namun pelayan menyerahkannya pada Trevor.

“Dia berhenti menangis, ya?” celetuk Edwin pelan.

“Uangmu sudah ada di sana, jadi kembalikan anakku,” pinta Cherry lagi.

“Tidak.” Jawaban Trevor tegas dan dingin.

Cherry menghela napas. “Aku hanya ingin anakku. Kami akan pergi jauh, aku janji takkan pernah muncul lagi di hadapanmu.”

“Aku juga menginginkannya. Dia pewarisku,” jawab Trevor keras.

“Kau bisa mencari ibu pengganti yang lain,” balas Cherry putus asa.

Edwin tersenyum miring. “Iya juga sih… bisa.”

Trevor melirik tajam hingga Edwin buru-buru diam.

“Aku bisa carikan ibu pengganti baru untukmu. Aku akan lakukan apa saja, asal kembalikan anakku,” pinta Cherry lagi.

“Tidak.”

“Bagaimana kalau kalian berdua saja yang membesarkan anak itu?” usul Edwin tiba-tiba.

Trevor dan Cherry sama-sama mengerutkan kening.

“Apa maksudmu, brengsek?” bentak Trevor.

“Bodoh! Maksudku begini, kenapa kalian harus berebut? Bayi ini butuh kalian berdua. Cherry, kau tahu tidak, anak ini sejak kemarin malam tidak mau minum apapun? Dia hanya mau ASI-mu. Itu artinya dia butuh kau. Dan Trevor bayi ini juga butuh perlindunganmu. Semua musuhmu sudah tahu bayi ini pewarismu, jadi mereka akan memburunya. Dia butuh kalian berdua. Jadi, bersatulah demi anak ini.”

Cherry menatap Trevor dengan emosi campur aduk. “Jadi maksudmu… anakku tidak makan sejak kemarin malam? Kau tidak memberinya makan?”

“Dia tidak mau makan! Apa yang harus kulakukan?” balas Trevor sengit.

“Trevor, berikan dia pada Cherry. Biar dia bisa menyusui bayinya,” bujuk Edwin.

Akhirnya Trevor menyerahkan Arnold pada Cherry. Tangis bayi itu langsung mereda di pelukan ibunya.

“Baby Arnold… mama sudah di sini,” ucap Cherry penuh kasih.

“Kenapa Arnold?” Edwin menggoda.

“Karena dia malaikatku,” jawab Cherry.

“Itu cringe sekali,” komentar Trevor.

“Arnold… kedengarannya bagus,” Edwin terkekeh.

“Tsk. Cepat susui dia!” perintah Trevor ketus.

“Di sini?” Cherry melirik sekeliling, merasa canggung dengan banyak pria yang memperhatikan.

“Bi, antar Nona Cherry ke kamar Baby Arnold." Edwin memberi instruksi pada pelayan.

Cherry pun pergi bersama pelayan itu. Sementara itu, Trevor memanggil anak buahnya. “Kau memukulnya?”

“Tidak, Bos. Kami hanya menyuntiknya dengan obat tidur seperti perintah Anda,” jawabnya.

Trevor mengerutkan dahi. Kalau begitu, dari mana luka di wajahnya?

“Kasihan sekali gadis itu,” celetuk Edwin. “Dia baru dua puluh tahun, masih mahasiswa. Kau dua puluh tujuh, bro. Selisih tujuh tahun. Dari sekian banyak perempuan, kenapa harus dia? Memang cantik dan seksi, tapi tetap saja terlalu muda.”

“Seolah aku punya pilihan?” dengus Trevor.

“Tapi aku kagum padanya. Dia berani menentangmu, bro. Perempuan lain pasti sudah gemetar. Anak muda sekarang biasanya memilih aborsi demi menjaga nama baik, tapi dia tidak. Dia mempertahankan bayinya. Dan lihat, dia bahkan memilih bayinya daripada uang lima miliar! Aku sendiri bisa hidup tenang selamanya dengan uang segitu. Eh… boleh tidak uangnya buat aku saja?” candanya.

“Kau itu miliarder, brengsek! Diam, atau akan kutendang keluar sekarang juga!” bentak Trevor.

“Santai, bro. Aku bahkan barusan menolongmu. Dan ini balasannya?” Edwin mendengus kesal.

“Memangnya aku minta?”

“Minimal resort satu lah… atau mobil.”

“Kau punya uang sendiri. Pergi sebelum kulempar bola matamu ke luar!” ancam Trevor.

“Baiklah, baiklah. Tsk, tidak tahu terima kasih,” gumam Edwin sambil pergi.

Trevor akhirnya menuju kamar bayinya. Saat membuka pintu, ia mendapati Cherry tertidur di ranjang sambil masih menyusui Arnold. Wajahnya tampak lelah, namun kecantikannya tetap terpancar, bahkan makin menyentuh hati.

Arnold membuka mata, menatap Trevor, lalu tersenyum kecil. Trevor memberi isyarat agar bayi itu tetap diam. Ia perlahan mengulurkan tangan untuk mengambil Arnold, namun Cherry tiba-tiba menggenggam tangannya erat.

“Jangan sakiti anakku,” ucapnya lirih, tapi penuh ketegasan.

Mata Cherry memohon, sekaligus menantang. Seolah bersujud tanpa benar-benar berlutut, ia hanya ingin satu hal: jangan sampai Trevor menyakiti darah dagingnya.

Trevor berdiri tegak. Cherry akhirnya melepaskan genggamannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!